Pokok
Bahasan : FIQIH (Mu’amalat)
Judul : Dhomaan (Jaminan)
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
DHOMAAN ( JAMINAN
)
Dhomaan asal kata dari Dhomintu yang artinya: “aku jamin sesuatu.” Adapun kata Dhomaan
menurut Syara’: “melaazimkan/ mewajibkan
diri kita akan sesuatu kewajiban yang dalam tanggungan orang lain.”
Seseorang mempunyai kewajiban untuk
membayar hutang dan kita yang menjaminnya, artinya kita mewajibkan diri kita
untuk menanggung/ menjamin/ membayar/ menalangi hutang orang tersebut. Dan
nanti sampai saatnya (sesuai kesepakatan) orang yang kita jamin/ talangi
hutangnya tadi akan mengembalikan/ mengganti uang kita.
Iltizam: mewajibkan sesuatu yang ada dalam kewajiban/
tanggungan seseorang kepada kita dengan harta.
Syarat
Dhoomin (orang yang menjamin)adalah:
1. Ia bebas untuk ber-Tashoruf atas hartanya
Ia tidak dalam keadaan Mahjuur
‘Alaiih, yaitu ia tidak sedang Safiih (bangkrut), ia bukan Shoby (anak kecil), ia bukan Majnuun
(gila) dan ia bukan budaq. Dia berhaq menggunakan hartanya,
dan ia sah dalam mendayagunakan hartanya.
2. Dhoomin sah menjamin hutang yang sudah pasti
dalam tanggungan
Dhomaan-nya sah jika si-Dhoomin tahu:
-
kadar
hutangnya, berapa besar/ berat jumlah hutangnya?
-
jenis
hutangnya, bila hutangnya berupa beras, apa jenis berasnya?
-
sifat
(rupa) dari hutangnya, berupa barang atau berupa uang?
3. Dikaitkan atau disyaratkan Dhomaan yang sudah Mustaqiroh
Sulit dimengerti akan sahnya Dhomaan Shidaaq (jaminan mas kawin) seseorang sebelum Dukhuul
(berhubungan badan).
Misalkan seseorang menikah dengan mas
kawinnya secara hutang, dan dari pihak perempuan tidak yakin, maka ada
seseorang yang mau menjamin mas kawinnya sebelum Dukhuul. Pernikahannya (mas
kawinnya) dapat gugur sebelum Dukhuul, misalkan ada aib pada diri perempuan,
seperti kemaluannya tertutup atau bercerai sebelum terjadi dukhuul atau
lainnya. Bila sebelum terjadi Dukhuul, maka dapat saja ia lepas dari membayar
mas kawin. Akan tetapi bila sudah terjadi Dukhuul, maka orang tidak dapat lepas
dari membayar mas kawin yang dihutangnya.
Oleh karena itu tidah mensyaratkan Imam Roofi’i dan Imam Nawawi, kecuali keadaan
hutangnya sudah tsaabit laazimaan (sudah tetap dan sudah pasti). Yang dimaksud mustaqiroh disini, tetap sekalipun belum pasti. Dhomaan Shidaaq (jaminan mas kawin) dibolehkan apabila
maksudnya mustaqiroh dapat menjadi laazim,
masih dibolehkan. Karena makna dari mustaqir
diartikan pasti atau menjadi
pasti, sekalipun belum pasti, tetapi akan menjadi pasti. Segala sesuatu yang
bakal pasti, sekalipun belum pasti saat ini karena belum Dukhuul, tetapi akan menjadi pasti setelah terjadi Dukhuul. Jadi Dhomaan Shidaaq (jaminan mas kawin) dibolehkan, karena pada
saatnya akan menjadi pasti.
Keluar
dari kata Tuan Syekh Mushonif, jika ia sudah
ketahui kadarnya, nilai jumlah uangnya atau barangnya pada Dayn (hutang) yang Majhuul, maka
tidak sah Dhomaan-nya. Bila seseorang
ingin menjamin hutang, tetapi tidak diketahui berapa besar atau nilai dari
hutangnya, maka Dhomaan (jaminan)nya
tidak sah atau tidak dibolehkan. Jadi harus diketahui jenisnya, sifatnya,
kadarnya, jumlahnya dari hutang yang akan dijamin.
Bagi
Shoohibul Haq (orang yang meminjamkan uang/barang), ia boleh menuntut
kepada siapa saja yang dia mau atau dia kehendaki dari pada Dhoomin (orang yang menjamin) dan Madhmuun ‘Anhu (orang yang
langsung berhutang).
Pernyataan
Tuan
Syekh Mushonif atas perkataan:
“Apabila Dhomaan itu sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan, dia gugur
tidak tertulis dalam kebanyakan naskah-naskah dari matan-matan kitab.
Manakala
si-Dhoomin (penjamin) sudah membayar/ melunasi kepada Shoohibul Haq (pemilik
uang), maka ia dapat menuntut kepada Madhmuun
‘Anhu (orang yang dijaminnya) dengan syarat yang telah disebutkan oleh
kata-kataTuan Syekh Mushonif , kapan kita boleh kembali kepada orang
yang kita jamin hutangnya (Madhmuun ‘Anhu).
Bila Dhomaan (penjamin) dan Qodhoo’a (yang membayarnya), jika kita
diminta untuk kembali kepada dia dan atas izinnya. Misalkan ada keributan
antara yang berhutang dengan tuan hutang, maka kita harus meminta izin terlebih
dahulu kepada orang yang berhutang dan si-tuan hutang untuk dapat menjamin
hutangnya. Bila orang yang menjamin tidak mendapatkan izin atau dia menjamin
tanpa sepengetahuan dari orang yang berhutang, dan pada saatnya nanti dia
meminta ganti atas uang jaminan yang telah ia bayarkan kepada si-tuan hutang,
maka ia tidak dapat menuntut ganti kepada orang yang telah ia jamin hutangnya.
Untuk itu maka harus mendapatkan izin
dari orang yang kita jamin (Madhmuun
‘Anhu) baik dalam Dhomaan-nya ataupun dayn (hutangnya)-nya. Jika dia menjamin dengan seizin dari yang
berhutang dan dia membayarnyapun dengan seizin yang berhutang, maka dia boleh
meminta ganti uang jaminan yang telah dibayarkannya. Atau dia menjamin dengan
seizin dari yang berhutang, tetapi sewaktu membayar tanpa seizin dari yang
berhutang, maka menurut qoul
(pendapat) yang Ashoh masih boleh. Qoul Ashoh muqoobil (berhadapan) dengan Qoul Shohiih. Apabila
ada khilaf (perbedaan pendapat) diantara Ulama Fiqih yang terlalu berat/
dahsyat/ keras, maka ada pendapat yang Ashoh dan Shohiih. Manakala ada pendapat
yang Ashoh dan yang Shohiih, maka kita wajib menjalankan pendapat yang Ashoh
dan meninggalkan yang Shohiih. Apabila ada khilaf diantara Ulama Fiqih yang
tidak terlalu berat, maka ada Qoul Shohiih
muqoobil (berhadapan) dengan Qoul Dhoif, maka ambil Qoul yang Shohiih.
Kemudian
Tuan
Syekh
Mushonif menjelaskan dari
perkataannya yang telah lalu, jika Dhoomin
(orang yang menjamin) tidak mengetahui kadarnya, jenisnya, sifatnya, jumlahnya
dari hutang yang akan dijamin maka disebut Dhomaan
Majhuul. Semacam perkataannya: “Jual
kepada si-fulan barang ‘anu atau itu’ tidak diketahui berapa jumlahnya?
bagaimana sifatnya? apa jenisnya? Saya yang tanggung harganya/ uangnya, hal ini
tidak sah, karena barang yamg dijaminnya itu tidak jelas.
Tidak
sah juga Dhomaan Maalamyajib,
menjamin sesuatu yang tidak wajib, belum ada kewajiban, belum istiqroor. Belum terjadi transaksi, belum ada akad, belum ghobeth, belum diterima barangnya,
si-Dhoomin sudah berkata: “Urusan ente ane yang jamin.” Ucapannya ini tidak sah
dan tidak berlaku, karena belum wajib. Manakala sudah istiqroor, sudah ada
kepastian, sekalipun akan pasti nanti, maka masih dibolehkan.
Semacam
akan menjamin hutang sebesar Rp. 100.000,- yang wajib atasnya pada masa yang
akan datang. Hal ini tidak sah/ tidak boleh,
karena belum terjadi aqad,
belum istiqroor, belum terjadi hutang-piutang, atau syaratnya sudah terjadi
bahwa nanti akan terjadi hutang-piutang.
Atau
semacam seseorang menjamin uang belanja yang merupakan kewajiban dari seorang
suami, akan tetapi belum tentu menjadi kewajiban manakala si-istri bertindak nusus (menentang/ melawan suami), maka
menjadi tidak wajib untuk mengeluarkan uang belanja.
Kecuali
Dhomaan Darkalmabii’ (jaminan untuk
mendapatkan barang yang dijual). Gambarannya bahwa menjamin untuk mendapatkan
barang yang akan dijual itu dibolehkan. Si-dhoomin (penjamin) menjamin si-baa’i (penjual) akan barang yang
dijual, misalkan si-penjual tidak mengenal orang yang akan membeli barangnya.
Maka orang yang mengenal si-pembeli menjamin manakala terjadi sesuatu, maka
barangnya yang merupakan milik dari si-penjual akan kembali.
Dhomaan Darkalmabii’ (jaminan untuk mendapatkan barang yang
dijual), yaitu dhoomaan (jaminan)-nya kepada si-baa’i (penjual). Manakala uang
yang digunakan untuk membayar merupakan uang hasil curian atau merupakan uang
palsu, maka si-dhoomin menjamin barangnya si-penjual akan kembali apabila
barangnya masih ada, apabila barangnya sudah tidak ada, maka yang dijamin
adalah mengganti tsaman (harga) dari barang tersebut.
Dhomaan
Darkaltsaman,
dia menjamin si-musytarii (pembeli) tsaman
(harganya) atas uang yang sudah dibayarkan, misalkan si-pembeli tidak mengenal
orang yang menjual barang, dikhawatirkan barangnya merupakan barang curian atau
barang rampasan atau barang tiruan atau lainnya. Maka orang yang mengenal
si-penjual menjamin manakala terjadi sesuatu, maka tsaman harga yang sudah
dibayarkan oleh si-pembeli akan ia jamin. Jaminan semacam ini dibolehkan. Jika
dikemudian hari ternyata barang barang yang dibelinya itu merupakan barang
curian/ barang rampasan/ barang palsu, maka si-penjamin (dhoomin) yang
bertanggung jawab untuk mengembalikan secara utuh tsaman (harga) dari uang yang
sudah diserahkan oleh si-pembeli kepada si-penjual.
Dhooman
(Jaminan) Yang Bukan Harta
Dhooman
(Jaminan) yang bukan merupakan harta dapat berupa jaminan badan (Kafaalatul Badan), atau dapat disebut
juga Kafaalatul Abdaan atau Kafaalatul
Wajah. Misalkan Seseorang membunuh orang, maka dari pihak yang dibunuh dapat menuntut hukum qishosh.
Maka dia harus dihadapkan di depan hakim untuk dituntut, akan tetapi
karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk dia dapat hadir dalam sidang,
misalnya dalam kondisi sakit atau belum ketemu orangnya atau lainnya, maka
si-dhoomin menjamin bahwa sampai saatnya nanti dia akan menghadirkannya di
pengadilan/ di depan sidang.
Kafaalatul
Badan sah/ boleh menjaminkan dirinya untuk seseorang yang sedang tersangkut
tindak pidana. Jika atas orang yang dijamin badannya, misalnya karena membunuh,
maka dia ada kewajiban kepada orang lain, apakah dia harus dibunuh lagi (qishosh) atau harus membayar diyat (mengganti nyawa
dengan harta, misalnya dengan 100 onta). Ini merupakan haq Adami (manusia),
misalkan yang membunuh tidak dapat dihadirkan karena menghilang atau dalam
keadaan sakit yang tidak mungkin dihadirkan, maka ada yang menjamin badan,
dalam hal ini sah dan dibolehkan.
Hukuman
membunuh orang yang muhsor, menuduh zina orang yang baik-baik tanpa ada bukti atau tidak dapat menghadirkan
4 saksi yang melihat langsung perbuatan zina. Apabila tidak dapat membuktikan
atau tidak dapat menghadirkan 4 saksi yang melihat langsung, maka ia terkena
sangsi hukuman.
Dikecualikan
manakala ada haq Adami (haq manusia), maka boleh dijamin, akan tetapi bila
menyangkut haq Alloh, maka tidak dapat dijamin.
-
Orang
mencuri dan dia harus terkena hukuman potong tangan, maka tidak ada yang dapat
menjamin, karena itu merupakan haq Alloh, bukan haq Adami.
-
Seorang
dihukum cambuk karena meminum khomer
(arak), maka tidak dapat dijamin, karena itu merupakan haq Alloh, bukan haq
manusia.
-
Orang
berbuat zina padahal dia sudah menikah dengan pernikahan yang sah, maka dia
harus dihukum mati dengan cara dirajam, maka tidak ada yang dapat menjaminnya,
karena ini merupakan haq Alloh.
-
Sedangkan
orang baik-baik yang dituduh berbuat zina, maka ini merupakan haq manusia,
dicemarkan nama baiknya, maka dalam hal ini dapat dijamin, karena bukan
merupakan haq Alloh.
Maka
tidak sah Kafaalatul Abdaan (menjamin badan) yang ada atas orang tadi haq
Alloh SWT. Haq Adam (manusia) di dasari
oleh kekikiran, sebelum ia dapat mengambil haqnya, maka dia akan menuntut.
Sedangkan haq Alloh pada dasarnya pemaaf atau mudah. Untuk itu apabila ada
perbuatan zina yang dilakukan seseorang dengan secara sembunyi-sembunyi, maka
jangan diungkit-ungkit/ diungkap di muka umum dan orang yang berbuatpun tidak
mesti melapor kepada pengadilan bahwa ia telah berbuat zina. Untuk perbuatan
yang menyangkut haq Alloh, seperti berzina, mencuri, minum khomer, maka tidak
perlu mengungkapkannya kepada orang lain, cukup ia bertaubat kepada Alloh.
Dalam
sebuah riwayat, ada seorang Sohabat Nabi yang datang menghadap kepada
Rasululloh SAW. Ia berkata kepada Rasululloh: “Ya Rasululloh, hukum aku karena
aku telah berbuat zina.” Nabi berusaha ingin menyelamatkan nyawa dari ini
pemuda, karena dia mengakui berbuat zina padahal ia sudah menikah, maka hukuman dari perbuatan zinanya tersebut
adalah hukuman mati. Maka Nabi berkata: “Mungkin kamu hanya mengadu paha saja.”
“Tidak, aku telah berbuat zina, Ya Rasululloh.” “Mungkin kamu hanya saling
mencium saja.” “Tidak, aku telah berbuat zina, Ya Rasululloh.” Nabi berusaha
mencari jalan untuk menutupi agar pemuda ini tidak sampai dihukum mati, akan
tetapi pemuda ini tetap berkeras hati mengakui bahwa ia telah berbuta zina dan
meminta Nabi untuk menjalankan hukum atasnya, maka tidak ada jalan lain bagi
Nabi untuk menegakkan hukum Alloh dengan jalan di rajam.
Dalam
riwayat yang lain, ada seorang perempuan mengakui bahwa ia telah berbuat zina
dan ada bayi dalam kandungannya hasil dari perbutan zinanya dan ia meminta agar
Rasululloh menghukum dirinya. Maka Nabi berkata: “Jika memang ada bayi dalam
kandunganmu, maka tunggu sampai ia lahir ke alam dunia.” Pada akhirnya setelah
9 bulan lahirlah bayi tersebut, dan perempuan ini kembali kepada Nabi dan
meminta Nabi untuk menjatuhkan hukuman kepadanya. Maka Nabi memerintahkan
perempuan tersebut untuk kembali setelah 2 tahun lagi, untuk memberikan
kesempatan kepadanya untuk merawat anak tersebut. Setelah 2 tahun perempuan ini
kembali lagi menemui Nabi dan meminta agar Nabi menjatuhkan hukuman kepadanya,
maka pada akhirnya Nabi menjatuhkan hukuman mati dengan cara di rajam.
Untuk itu apabila kita melakukan
perbuatan dosa yang menyangkut haq Alloh, maka tutupi (jangan diceritakan
kepada orang lain) dan segera bertaubat kepada Alloh SWT.
Dan
bebaslah si-kafiil (orang yang menjamin badan seseorang)dengan
jalan diserahkannya si-makfuul bi badanihi
(orang yang dijamin badannya) ditempat di mana yang telah dijanjikan atau di
pengadilan, bebas tanpa ada haail (penghalang/
gangguan) yang dapat menghambat dalam penyerahan orang yang dijamin kepada makfuullah (orang yang mendapatkan jaminan).
Manakala
ada haail (hambatan/ halangan/
gangguan/ ancaman) dari orang yang ditakutkan sewaktu akan menyerahkan si-makfuul badanihi (orang yang dijamin badannya), maka bebaslah si-kafiil (orang yang menjamin badan seseorang).
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan
permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum,
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar