Senin, 27 Maret 2017

FIQIH (Mu’amalat) - Dhomaan (Jaminan)



Pokok Bahasan     :  FIQIH (Mu’amalat)
Judul                    :  Dhomaan (Jaminan)
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

DHOMAAN ( JAMINAN )


Dhomaan  asal kata dari Dhomintu  yang artinya: “aku jamin sesuatu.” Adapun kata Dhomaan menurut Syara’: “melaazimkan/ mewajibkan diri kita akan sesuatu kewajiban yang dalam tanggungan orang lain.”  
Seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar hutang dan kita yang menjaminnya, artinya kita mewajibkan diri kita untuk menanggung/ menjamin/ membayar/ menalangi hutang orang tersebut. Dan nanti sampai saatnya (sesuai kesepakatan) orang yang kita jamin/ talangi hutangnya tadi akan mengembalikan/ mengganti uang kita.
Iltizam:  mewajibkan sesuatu yang ada dalam kewajiban/ tanggungan seseorang kepada kita dengan harta. 

Syarat Dhoomin (orang yang menjamin)adalah:
1.  Ia bebas untuk ber-Tashoruf  atas hartanya
Ia tidak dalam keadaan Mahjuur ‘Alaiih, yaitu ia tidak sedang Safiih (bangkrut), ia bukan Shoby (anak kecil), ia bukan Majnuun (gila) dan ia bukan budaq. Dia berhaq menggunakan hartanya, dan ia sah dalam mendayagunakan hartanya.
2.  Dhoomin sah menjamin hutang yang sudah pasti dalam tanggungan
Dhomaan-nya sah jika si-Dhoomin tahu:
-        kadar hutangnya, berapa besar/ berat jumlah hutangnya?
-        jenis hutangnya, bila hutangnya berupa beras, apa jenis berasnya?
-        sifat (rupa) dari hutangnya, berupa barang atau berupa uang?
3.    Dikaitkan atau disyaratkan Dhomaan yang sudah Mustaqiroh
Sulit dimengerti akan sahnya Dhomaan Shidaaq   (jaminan mas kawin) seseorang sebelum Dukhuul  (berhubungan badan).
Misalkan seseorang menikah dengan mas kawinnya secara hutang, dan dari pihak perempuan tidak yakin, maka ada seseorang yang mau menjamin mas kawinnya sebelum Dukhuul. Pernikahannya (mas kawinnya) dapat gugur sebelum Dukhuul, misalkan ada aib pada diri perempuan, seperti kemaluannya tertutup atau bercerai sebelum terjadi dukhuul atau lainnya. Bila sebelum terjadi Dukhuul, maka dapat saja ia lepas dari membayar mas kawin. Akan tetapi bila sudah terjadi Dukhuul, maka orang tidak dapat lepas dari membayar mas kawin yang dihutangnya.
Oleh karena itu tidah mensyaratkan Imam Roofi’i  dan Imam Nawawi, kecuali keadaan hutangnya sudah tsaabit laazimaan  (sudah tetap dan sudah pasti). Yang dimaksud mustaqiroh  disini, tetap sekalipun belum pasti. Dhomaan Shidaaq  (jaminan mas kawin) dibolehkan apabila maksudnya mustaqiroh dapat menjadi  laazim, masih dibolehkan. Karena makna dari mustaqir  diartikan pasti atau menjadi pasti, sekalipun belum pasti, tetapi akan menjadi pasti. Segala sesuatu yang bakal pasti, sekalipun belum pasti saat ini karena belum Dukhuul, tetapi akan menjadi pasti setelah terjadi Dukhuul. Jadi Dhomaan Shidaaq  (jaminan mas kawin) dibolehkan, karena pada saatnya akan menjadi pasti.

Keluar dari kata Tuan Syekh Mushonif, jika ia sudah ketahui kadarnya, nilai jumlah uangnya atau barangnya pada Dayn (hutang) yang Majhuul, maka tidak sah Dhomaan-nya. Bila seseorang ingin menjamin hutang, tetapi tidak diketahui berapa besar atau nilai dari hutangnya, maka Dhomaan (jaminan)nya tidak sah atau tidak dibolehkan. Jadi harus diketahui jenisnya, sifatnya, kadarnya, jumlahnya dari hutang yang akan dijamin.

Bagi Shoohibul Haq (orang yang meminjamkan uang/barang), ia boleh menuntut kepada siapa saja yang dia mau atau dia kehendaki dari pada Dhoomin (orang yang menjamin) dan Madhmuun ‘Anhu (orang yang langsung berhutang).

Pernyataan Tuan Syekh Mushonif  atas perkataan: “Apabila Dhomaan itu sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan, dia gugur tidak tertulis dalam kebanyakan naskah-naskah dari matan-matan kitab.

Manakala si-Dhoomin (penjamin) sudah membayar/ melunasi kepada Shoohibul Haq (pemilik uang), maka ia dapat menuntut kepada Madhmuun ‘Anhu (orang yang dijaminnya) dengan syarat yang telah disebutkan oleh kata-kataTuan Syekh Mushonif , kapan kita boleh kembali kepada orang yang kita jamin hutangnya (Madhmuun ‘Anhu). Bila Dhomaan (penjamin) dan Qodhoo’a (yang membayarnya), jika kita diminta untuk kembali kepada dia dan atas izinnya. Misalkan ada keributan antara yang berhutang dengan tuan hutang, maka kita harus meminta izin terlebih dahulu kepada orang yang berhutang dan si-tuan hutang untuk dapat menjamin hutangnya. Bila orang yang menjamin tidak mendapatkan izin atau dia menjamin tanpa sepengetahuan dari orang yang berhutang, dan pada saatnya nanti dia meminta ganti atas uang jaminan yang telah ia bayarkan kepada si-tuan hutang, maka ia tidak dapat menuntut ganti kepada orang yang telah ia jamin hutangnya. Untuk itu maka harus  mendapatkan izin dari orang yang kita jamin (Madhmuun ‘Anhu)  baik dalam Dhomaan-nya ataupun dayn (hutangnya)-nya. Jika dia menjamin dengan seizin dari yang berhutang dan dia membayarnyapun dengan seizin yang berhutang, maka dia boleh meminta ganti uang jaminan yang telah dibayarkannya. Atau dia menjamin dengan seizin dari yang berhutang, tetapi sewaktu membayar tanpa seizin dari yang berhutang, maka menurut qoul (pendapat) yang Ashoh masih boleh. Qoul Ashoh  muqoobil  (berhadapan) dengan Qoul Shohiih. Apabila ada khilaf (perbedaan pendapat) diantara Ulama Fiqih yang terlalu berat/ dahsyat/ keras, maka ada pendapat yang Ashoh dan Shohiih. Manakala ada pendapat yang Ashoh dan yang Shohiih, maka kita wajib menjalankan pendapat yang Ashoh dan meninggalkan yang Shohiih. Apabila ada khilaf diantara Ulama Fiqih yang tidak terlalu berat, maka ada Qoul Shohiih muqoobil  (berhadapan) dengan Qoul Dhoif, maka ambil Qoul yang Shohiih.

Kemudian Tuan Syekh Mushonif  menjelaskan dari perkataannya yang telah lalu, jika Dhoomin (orang yang menjamin) tidak mengetahui kadarnya, jenisnya, sifatnya, jumlahnya dari hutang yang akan dijamin maka disebut Dhomaan Majhuul. Semacam perkataannya: “Jual kepada si-fulan barang ‘anu atau itu’ tidak diketahui berapa jumlahnya? bagaimana sifatnya? apa jenisnya? Saya yang tanggung harganya/ uangnya, hal ini tidak sah, karena barang yamg dijaminnya itu tidak jelas.

Tidak sah juga Dhomaan Maalamyajib, menjamin sesuatu yang tidak wajib, belum ada kewajiban, belum istiqroor. Belum terjadi transaksi, belum ada akad, belum ghobeth, belum diterima barangnya, si-Dhoomin sudah berkata: “Urusan ente ane yang jamin.” Ucapannya ini tidak sah dan tidak berlaku, karena belum wajib. Manakala sudah istiqroor, sudah ada kepastian, sekalipun akan pasti nanti, maka masih dibolehkan.

Semacam akan menjamin hutang sebesar Rp. 100.000,- yang wajib atasnya pada masa yang akan datang. Hal ini tidak sah/ tidak boleh,  karena belum terjadi aqad, belum istiqroor, belum terjadi hutang-piutang, atau syaratnya sudah terjadi bahwa nanti akan terjadi hutang-piutang.
Atau semacam seseorang menjamin uang belanja yang merupakan kewajiban dari seorang suami, akan tetapi belum tentu menjadi kewajiban manakala si-istri bertindak nusus (menentang/ melawan suami), maka menjadi tidak wajib untuk mengeluarkan uang belanja.

Kecuali Dhomaan Darkalmabii’  (jaminan untuk mendapatkan barang yang dijual). Gambarannya bahwa menjamin untuk mendapatkan barang yang akan dijual itu dibolehkan. Si-dhoomin (penjamin) menjamin si-baa’i (penjual) akan barang yang dijual, misalkan si-penjual tidak mengenal orang yang akan membeli barangnya. Maka orang yang mengenal si-pembeli menjamin manakala terjadi sesuatu, maka barangnya yang merupakan milik dari si-penjual akan kembali.
Dhomaan Darkalmabii’  (jaminan untuk mendapatkan barang yang dijual), yaitu dhoomaan (jaminan)-nya kepada si-baa’i (penjual). Manakala uang yang digunakan untuk membayar merupakan uang hasil curian atau merupakan uang palsu, maka si-dhoomin menjamin barangnya si-penjual akan kembali apabila barangnya masih ada, apabila barangnya sudah tidak ada, maka yang dijamin adalah mengganti tsaman (harga) dari barang tersebut.


Dhomaan Darkaltsaman, dia menjamin si-musytarii  (pembeli) tsaman (harganya) atas uang yang sudah dibayarkan, misalkan si-pembeli tidak mengenal orang yang menjual barang, dikhawatirkan barangnya merupakan barang curian atau barang rampasan atau barang tiruan atau lainnya. Maka orang yang mengenal si-penjual menjamin manakala terjadi sesuatu, maka tsaman harga yang sudah dibayarkan oleh si-pembeli akan ia jamin. Jaminan semacam ini dibolehkan. Jika dikemudian hari ternyata barang barang yang dibelinya itu merupakan barang curian/ barang rampasan/ barang palsu, maka si-penjamin (dhoomin) yang bertanggung jawab untuk mengembalikan secara utuh tsaman (harga) dari uang yang sudah diserahkan oleh si-pembeli kepada si-penjual.

Dhooman (Jaminan) Yang Bukan Harta
Dhooman (Jaminan) yang bukan merupakan harta dapat berupa jaminan badan (Kafaalatul Badan), atau dapat disebut juga Kafaalatul Abdaan  atau Kafaalatul Wajah. Misalkan Seseorang membunuh orang, maka  dari pihak yang dibunuh dapat menuntut hukum qishosh. Maka dia harus dihadapkan di depan hakim untuk dituntut, akan tetapi karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk dia dapat hadir dalam sidang, misalnya dalam kondisi sakit atau belum ketemu orangnya atau lainnya, maka si-dhoomin menjamin bahwa sampai saatnya nanti dia akan menghadirkannya di pengadilan/ di depan sidang.

Kafaalatul Badan sah/ boleh menjaminkan dirinya untuk seseorang yang sedang tersangkut tindak pidana. Jika atas orang yang dijamin badannya, misalnya karena membunuh, maka dia ada kewajiban kepada orang lain, apakah dia harus dibunuh lagi (qishosh)  atau harus membayar diyat (mengganti nyawa dengan harta, misalnya dengan 100 onta). Ini merupakan haq Adami (manusia), misalkan yang membunuh tidak dapat dihadirkan karena menghilang atau dalam keadaan sakit yang tidak mungkin dihadirkan, maka ada yang menjamin badan, dalam hal ini sah dan dibolehkan.

Hukuman membunuh orang yang muhsor, menuduh zina orang yang baik-baik  tanpa ada bukti atau tidak dapat menghadirkan 4 saksi yang melihat langsung perbuatan zina. Apabila tidak dapat membuktikan atau tidak dapat menghadirkan 4 saksi yang melihat langsung, maka ia terkena sangsi hukuman.

Dikecualikan manakala ada haq Adami (haq manusia), maka boleh dijamin, akan tetapi bila menyangkut haq Alloh, maka tidak dapat dijamin.
-        Orang mencuri dan dia harus terkena hukuman potong tangan, maka tidak ada yang dapat menjamin, karena itu merupakan haq Alloh, bukan haq Adami.
-        Seorang dihukum cambuk karena meminum khomer (arak), maka tidak dapat dijamin, karena itu merupakan haq Alloh, bukan haq manusia.
-        Orang berbuat zina padahal dia sudah menikah dengan pernikahan yang sah, maka dia harus dihukum mati dengan cara dirajam, maka tidak ada yang dapat menjaminnya, karena ini merupakan haq Alloh.
-        Sedangkan orang baik-baik yang dituduh berbuat zina, maka ini merupakan haq manusia, dicemarkan nama baiknya, maka dalam hal ini dapat dijamin, karena bukan merupakan haq Alloh.
Maka tidak sah Kafaalatul Abdaan  (menjamin badan) yang ada atas orang tadi haq Alloh SWT.  Haq Adam (manusia) di dasari oleh kekikiran, sebelum ia dapat mengambil haqnya, maka dia akan menuntut. Sedangkan haq Alloh pada dasarnya pemaaf atau mudah. Untuk itu apabila ada perbuatan zina yang dilakukan seseorang dengan secara sembunyi-sembunyi, maka jangan diungkit-ungkit/ diungkap di muka umum dan orang yang berbuatpun tidak mesti melapor kepada pengadilan bahwa ia telah berbuat zina. Untuk perbuatan yang menyangkut haq Alloh, seperti berzina, mencuri, minum khomer, maka tidak perlu mengungkapkannya kepada orang lain, cukup ia bertaubat kepada Alloh.

Dalam sebuah riwayat, ada seorang Sohabat Nabi yang datang menghadap kepada Rasululloh SAW. Ia berkata kepada Rasululloh: “Ya Rasululloh, hukum aku karena aku telah berbuat zina.” Nabi berusaha ingin menyelamatkan nyawa dari ini pemuda, karena dia mengakui berbuat zina padahal ia sudah menikah,  maka hukuman dari perbuatan zinanya tersebut adalah hukuman mati. Maka Nabi berkata: “Mungkin kamu hanya mengadu paha saja.” “Tidak, aku telah berbuat zina, Ya Rasululloh.” “Mungkin kamu hanya saling mencium saja.” “Tidak, aku telah berbuat zina, Ya Rasululloh.” Nabi berusaha mencari jalan untuk menutupi agar pemuda ini tidak sampai dihukum mati, akan tetapi pemuda ini tetap berkeras hati mengakui bahwa ia telah berbuta zina dan meminta Nabi untuk menjalankan hukum atasnya, maka tidak ada jalan lain bagi Nabi untuk menegakkan hukum Alloh dengan jalan di rajam.

Dalam riwayat yang lain, ada seorang perempuan mengakui bahwa ia telah berbuat zina dan ada bayi dalam kandungannya hasil dari perbutan zinanya dan ia meminta agar Rasululloh menghukum dirinya. Maka Nabi berkata: “Jika memang ada bayi dalam kandunganmu, maka tunggu sampai ia lahir ke alam dunia.” Pada akhirnya setelah 9 bulan lahirlah bayi tersebut, dan perempuan ini kembali kepada Nabi dan meminta Nabi untuk menjatuhkan hukuman kepadanya. Maka Nabi memerintahkan perempuan tersebut untuk kembali setelah 2 tahun lagi, untuk memberikan kesempatan kepadanya untuk merawat anak tersebut. Setelah 2 tahun perempuan ini kembali lagi menemui Nabi dan meminta agar Nabi menjatuhkan hukuman kepadanya, maka pada akhirnya Nabi menjatuhkan hukuman mati dengan cara di rajam.
Untuk itu apabila kita melakukan perbuatan dosa yang menyangkut haq Alloh, maka tutupi (jangan diceritakan kepada orang lain) dan segera bertaubat kepada Alloh SWT.

Dan bebaslah si-kafiil  (orang yang menjamin badan seseorang)dengan jalan diserahkannya si-makfuul bi badanihi (orang yang dijamin badannya) ditempat di mana yang telah dijanjikan atau di pengadilan, bebas tanpa ada haail (penghalang/ gangguan) yang dapat menghambat dalam penyerahan orang yang dijamin kepada makfuullah (orang yang mendapatkan jaminan).

Manakala ada haail (hambatan/ halangan/ gangguan/ ancaman) dari orang yang ditakutkan sewaktu akan menyerahkan si-makfuul badanihi (orang yang dijamin badannya), maka bebaslah si-kafiil  (orang yang menjamin badan seseorang).


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar