Pokok
Bahasan : FIQIH
Judul : Puasa
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Menurut
Loghot/Bahasa, Puasa adalah: Menahan diri untu tidak makan, tidak minum dan
tidak bercampur dengan istri dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Sedangkan
menurut agama, Puasa adalah: Kita menahan diri dari pada hal-hal yang
membatalkan puasa seperti makan, minum dan menahan nafsu farji kita untuk toat
kepada Alloh.
Puasa
harus dengan niat yang tertentu. Jika kita tidak makan dan minum serta tidak
bercampur dengan istri, tapi tanpa niat puasa, maka tidak dapat dikatakan
sedang berpuasa. Niat puasa misalnya, niat puasa Ramadhan, niat puasa khafarat
karena untuk membatalkan sumpah, karena bercampur dengan istri di siang hari
pada saat puasa.
Misalkan
pada saat waktu berbuka puasa tiba, tidak ada air ataupun makanan untuk
membatalkan puasa, maka dapat diganti bercampur dengan istri.
Ada
hari-hari tertentu yang diharamkan untuk berpuasa, yaitu: tanggal 1 Syawal
(Hari Raya Idul Fitri), tanggal 10 Dzulhijah (Hari Raya Idul Adha), tanggal
11-13 Dzulhijah (Hari Tashriq) merupakan hari yang di khususkan untuk makan dan
minum serta dzikir kepada Alloh, tanggal 30 Sya’ban (Hari Syaq’) disebut hari
Syaq’ karena sering terjadi perbedaan dalam penentuan tanggal 1 Ramadhan dengan
cara melihat bulan.
Orang
yang dipercaya kesaksiannya dalam melihat bulan untuk penentuan awal bulan
adalah orang yang adil. Adil adalah suatu watak yang melekat pada diri
seseorang yang dapat mencegah dari melakukan dosa-dosa besar dan tidak
terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil.
Puasa
dapat dilakukan di hari Syaq’ , akan tetapi bila ada sebabnya seperti membayar
qodho puasa Ramadhan, membayar kafarat, puasa sunnah yang telah biasa
dikerjakan seperti puasa sunnah Senin-Kamis ataupun qodho puasa sunnah seperti
ia meninggalkan puasa sunnah Arafah.
Syarat-syarat
Wajib Puasa:
1. Islam
Orang di luar Islam tidak wajib
berpuasa. Orang yang murtad masih ada kewajiban puasa, tetapi di bayar setelah
ia masuk Islam kembali. Ada kewajiban dari seorang muslim menuntut seorang yang
murtad untuk kembali kedalam Islam. Orang yang murtad tidak sah untuk berpuasa.
Bagi seorang kafir asli tidak ada kewajiban baginya untuk mengkodho puasa saat
ia masuk Islam.
2. Baligh &
Berakal
Baligh bagi anak laki-laki ditandai
dengan mimpi dan keluarnya mani, sedangkan bagi anak perempun dengan keluarnya
darah haid. Bagi anak yang belum baligh tidak ada kewajiban berpuasa. Akan
tetapi puasa mereka tetap sah, terkecuali mereka belum tam’yis.
Tidak ada kewajiban berpuasa bagi
orang yang tidak berakal (gila). Begitupula untuk orang yang mengalami koma,
pingsan, mabuk dan ayan. Akan tetapi ada kewajiban mengkodho puasanya saat
telah sadar.
Bila ia terkena ayan atau mabuk yang
tidak disengaja dari pagi hari dan baru tersadar 1 menit lagi menjelang waktu
Maghrib, maka puasanya sah.
3. Mampu /
Sanggup Berpuasa
Orang yang sakit tidak wajib untuk
berpuasa, demikian pula orang yang sudah terlampau tua/renta dan orang yang
sudah pikun. Bagi yang sakit ada kewajiban mengkodho puasa bila sakitnya sudah
sembuh. Sedangkan untuk yang sudah tua dan pikun, maka puasanya dapat diganti
dengan membayar fidyah setiap hari puasa yang ditinggalkannya.
Untuk wanita yang sedang haid dan
nifas tidak ada kewajiban berpuasa, bahkan haram bila mereka tetap
mengerjakannya. Bagi mereka ada kewajiban mengkodhonya setelah masa haid dan
nifasnya telah berakhir.
Misalkan ia menjalankan puasa, tetapi
1 menit lagi menjelang waktu Maghrib ia mengalami haid, maka puasanya menjadi
batal.
Tidak
ada kewajiban atas lawan-lawan dari yang sudah disebutkan di atas. Misalnya
lawannya Islam adalah kafir, lawannya berakal adalah gila, dan lain-lain.
Niat
puasa yang sempurna adalalah seperti yang biasa kita baca, akan tetapi lafadz
Romadhon, bukan dibaca: “Romadhona” akan tetapi dibaca: “Romadhoni”.
Puasa
intinya adalah menahan diri dari 4 perkara, yaitu:
1. Menahan diri
dari Makan & Minum
Tahan
diri kita dari menelan makanan dan minuman sekalipun hanya sedikit (sebutir
nasi, sebutir wijen atau setes air), hal ini dapat membatalkan puasa. Diartikan
menelan disini berarti ada sisa makanan yang tertinggal di dalam mulut, jika
sengaja memakan dengan memasukkan makanan ke mulut hal itu sudah mutlaq batal.
Makan dan minum yang sedikit itu dapat membatalkan puasa disaat kita
melakukannya dengan sengaja. Jika ia makan atau minum karena lupa atau karena
jahil/bodoh maka tidak membatalkan puasa meskipun banyak. Hal ini sesuai dengan
Hadisth Riwayat Bukhari & Muslim: “Barang siapa puasa dan dia
lupa makan atau minum, maka hendaknya ia sempurnakan ia punya puasa.”
Jahil/Kebodohan
yang dimaklumi dalam agama, diantaranya: ia baru masuk Islam, ia tumbuh di
tempat yang jauh dari ulama-ulama sehingga tidak tahu hukum. Bila ia bukan
orang yang baru masuk Islam dan ia tumbuh dilingkungan yang ada ulama, tetapi
ia lalai tidak mau menuntut ilmu sehingga tidak tahu hukum, maka batal
puasanya, untuk orang semacam ini maka hukumnya disamakan dengan orang
alim/orang yang mengetahui.
2. Menahan diri
dari keluarnya mani dengan jalan masturbasi atau onani
Bila
keluarnya mani melalui jalan mimpi, maka hal itu tidak membatalkan puasa.
Menahan diri dari memegang anggota tubuh istri kita atau mencium tanpa adanya
hijab/kain penghalang sehingga dapat membangkitkan syahwat.
Qublah/Ciuman
di bagi menjadi 5, yaitu:
a. Qublah
Mahabbah (Ciuman Cinta) adanya di pipi, adalah ciuman bapak/ibu kepada
anak-anaknya dan ciuman kakek/nenek kepada cucunya.
b. Qublah Rahmah
(Ciuman Kasih Sayang) adanya di kepala, adalah ciuman anak kepada bapak/ibu dan
ciuman cucu kepada kakek/nenek.
c. Qublah
Syafaqoh (Ciuman Kasih Sayang) adanya di kening, adalah ciuman antara saudara
laki-laki kepada saudara perempuannya atau sebaliknya.
d. Qublah
Tahiyah (Ciuman Penghormatan) adanya di tangan, adalah ciuman sesama muslim.
e. Qublah
Syahwat (Ciuman Syahwat) adanya di mulut, adalah ciuman antara suami dengan
istrinya.
3. Menahan diri
dari melakukan Jima’ (berseturbuh) dengan istri
karena
hal itu dapat membatalkan puasa. Batal puasa dapat disebabkan oleh jima’ yang
disengaja, keinginan sendiri (muhtarom) dan mengetahui hukumnya bahwa jima’
disiang hari pada saat puasa akan membatalkan puasa. Sangsi hukum yang paling
berat adalah puasa berturut-turut selama 2 bulan dan jika pada hari terakhir
puasa ia batal, maka harus di ulangi kembali dari awal. Yang menjalankan sangsi
hanya suami, meskipun jima’ dilakukan bersama istri. Bila ia jima’ dengan istri
karena lupa, maka hukumnya sama seperti makan/minum karena lupa, artinya tidak
membatalkan puasa dan puasanya boleh dilanjutkan, sekalipun jima.-nya dilakukan
berulang-kali. Demikian halnya jika jima’ yang dilakukan karena dipaksa,
misalkan dipaksa berhubungan badan dengan istri atau budaknya. Akan tetapi bila
di paksa berhubungan badan bukan dengan istri atau budaknya(zina), maka hal ini
dapat membatalkan puasa.
4. Jaga/tahan
kita punya diri dari sengaja muntah
Jika
sengaja memasukkan jari/ sesuatu sehingga ia muntah, maka puasanya menjadi
batal. Adanya keinginan sendiri, ia mengetahui hukumnya bila itu ia lakukan
maka batal puasanya. Bila ia terpaksa muntah karena mabuk atau lainnya yang
tidak di sengaja, maka hukumnya tidak membatalkan puasa.
Sendawa
adalah keluarnya angin dari mulut disertai dengan bunyi suara, atau biasa
disebut dengan tahaq’. Hukum bersendawa sama dengan hukum muntah. Jika sengaja
tahaq’ hingga keluar dari mulutnya sampai batas dari keluarnya huruf “Ha” maka
batal puasanya. Jika ia tahaq’ karena terpaksa, misalkan bila ia bertahaq’
dapat mengurangi penyakitnya, maka hal itu tidak mengakibatkan batal puasanya.
Karena
tidak adanya bentuk dari puasa, maka orang yang berpuasa dimasukkan kedalam
rukun puasa. Orang yang berpuasa tidak dapat diketahui secara zohir apakah ia
sedang melakukan ibadah puasa atau tidak, yang mengetahuinya hanya Alloh dan
dirinya sendiri. Lain halnya dengan ibadah shalat, karena orang yang
mengerjakan shalat dapat dilihat dari gerakan-gerakannya seperti ruku, i’tidal,
sujud dll.
Mengetahui/mengenal
dua bagian waktu dari puasa juga termasuk dari rukun puasa. Mengetahui waktu
memulai puasa yaitu waktu Shubuh (terbitnya fajar) dan waktu akhir puasa yaitu
waktu Maghrib (terbenamnya matahari).
Yang menjadi
sebab dari batalnya puasa ada 10 macam, yaitu:
1. Memasukan Suatu Benda ke Dalam Rongga yang
Terbuka dari Anggota Badan
Memasukkan sesuatu dari benda dunia,
misalnya batu ke dalam rongga yang terbuka dari anggota badan, seperti: mulut,
hidung, telinga. Sekalipun benda terbut
tidak dimakan, tetapi dilakukan dengan sengaja, maka hal tersebut dapat
membatalkan puasa. Misalnya memasukkan obat tetes hidung. Mata buka termasuk
rongga yang terbuka, sehingga tidak batal bila di tetesi obat mata.
2. Memasukan Benda ke Dalam Rongga yang Pada
Dasarnya Tidak Terbuka
Anggota badan yang pada dasarnya
tidak terbuka, tetapi terbuka Karena adanya luka, misalnya adanya luka atau
lubang pada batok kepala, hingga kita dapat memasukan benda ke dalamnya. Bila
hal tersebut dilakukan dengan senagaja, maka batal puasanya. Meskipun benda
yang kita masukan tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk merubah luka/lubang
yang terbuka tersebut.
3. Memasukan Benda ke Dalam Qubul atau Dubur
Memasukan suatu benda ke dalam Qubul
atau Dubur dapat membatalkan puasa, misalnya memasukkan obat ke dalam Qubul
atau Dubur. Bila obat dimasukan melalui cara suntik, maka hal itu tidak
membatalkan puasa, karena bukan termasuk rongga yang terbuka. Bila orang yang
ambiyen keluar dari duburnya, kemudian dia memasukan kembali, maka hal tersebut
tidak membatalkan puasa, karena sifatnya darurat. Memasukan jari atau kayu ke
dalam Qubul atau Dubur hingga ke bagian dalam (bagian yang tidak wajib di basuh
sewaktu istinja), maka dapat membatalkan puasa. Bila hanya sampai batas yang
wajib di basuh waktu istinja, maka tidak membatalkan puasa. Bila di basuh pada
bagian yang berlipat, sehingga mengharuskan membasuhnya lebih dalam, maka hal
itu tidak membatalkan puasa.
4.
Muntah Dengan Sengaja
Muntah dengan sengaja merupakan hal
yang membatalkan puasa, disertai ia mengetahui hukumnya dan ada upaya darinya
untuk muntah. Apabila tidak disengaja atau terpaksa ia muntah atau ia tidak
tahu hukumnya bila muntah dengan sengaja dapat membatalkan puasa karena ia baru
masuk Islam atau ia tinggal jauh dari ulama. Dan dikecualikan dari
muntah/dahaqnya karena hajat (harus dikeluarkan), maka hal tersebut tidak membatalkan puasa.
5.
Melakukan Jima’ Dengan Istri
Melakukan Jima’ (bersetubuh) dengan
istri baik melalui Qubul ataupun Dubur, meskipun tidak sampai mengeluarkan
mani, maka hal tersebut dapat membatalkan puasa, terkecuali karena lupa atau di
paksa. Seorang perempuan yang memasukan atau melepas farji suaminya yang telah
lepas dari tubuh suaminya, maka batal puasanya. Sedangkan suaminya tidak ikut
batal puasanya, karena farjinya tersebut telah lepas dari tubuhnya.
6.
Keluarnya Mani
Cairan yang berasal dari farji (selain air
kencing) dapat di bagi menjadi 3:
Mani: Cairan yang
keluar dari farji karena dorongan syahwat disebabkan karena bersentuhan,
hukumnya tidak najis, tetapi wajib mandi jannabah, dan menyebabkan batal puasa.
Ada 3 syarat cairan yang keluar dari farji bisa disebut sebagai mani, yaitu:
keluarnya cairan tersebut muncrat/adanya dorongan yang kuat, Berbau dan Ada
perasaan lezat/nikmat sewaktu mengeluarkannya. Bila salah satu syarat terpenuhi
maka itu dapat disebut sebagai mani.
Madji: Cairan yang
keluar dari farji karena dorongan syahwat (misalnya karena melihat atau
membayangkan sesuatu yang dapat menimbulkan rangsangan syahwat), dihukumkan
najis, tetapi tidak wajib mandi jannabah dan tidak memyebabkan batalnya puasa.
Wa’di: Cairan yang
keluar dari farji karena kelelahan atau akibat mengangkat benda-benda yang
berat, dihukumkan najis, tetapi tidak wajib mandi jannabah dan tidak memyebabkan
batalnya puasa.
Keluarnya mani karena memegang tubuh
istri atau mencium tanpa adanya penghalang dapat membatalkan puasa.
Mengeluarkan mani dengan jalan yang haram (dengan tangan
sendiri/onani/masturbasi) atau mengeluarkan mani melalui jalan yang tidak haram
(melalui tangan istri) tetap membatalkan puasa.
Bila ia dengan sengaja mengelurkan
mani dengan tangannya atau dengan tangan istri/budaknya tanpa adanya
penghalang/dinding ataupun dengan penghalang/dinding, maka mutlaq batal
puasanya.
Bila ia memegang tangan atau anggota
tubuh orang yang sudah lepas dari tubuh pemiliknya, yang pada kondisi orang
yang normal tidak mungkin timbulnya syahwat, sedangkan ia mengelurkan mani
karenanya, maka tidak mengakibatkan batal puasanya.
Bila ia menyentuh sesuatu yang biasa
disenangi oleh orang yang normal, semacam menyentuh perempuan baik yang haram
(bukan istri/budaqnya) ataupun yang halal (istri/budaqnya) baik dengan syahwat
ataupun tidak dengan syahwat tanpa dinding/penghalang dan ia mengeluarkan mani
karenanya maka mutlaq batal puasanya. Tetapi bila adanya dinding/ penghalang
dan tanpa niat untuk menyalurkan syahwatnya, maka tidak batal puasanya. Jika
keluarnya mani disebabkan mimpi di siang hari, maka tidak membatalkan puasa.
Memandang istri, merenung/melamun
sehingga keluar mani, maka tidak batal puasanya, tetapi dengan syarat keluarnya
mani tersebut tidak biasa terjadi bila ia melakukukannya. Akan tetapi bila
sudah biasa terjadi bila ia memandang istri ataupun melamun/memikirkan
perempuan akan keluar mani dan ia tetap mengerjakannya maka batal puasanya.
7.
Yakin Mendapatkan Haid Pada Saat Puasa
Bila saat sedang puasa dan yakin
mendapatkan haid bagi wanita, maka batal puasanya. Jika ia ragu (misalnya
wanita yang baru mulai haid), maka tidak batal puasanya. Batas minimal usia
wanita mengalami haid adalah 9 tahun, 16 hari pada penanggalan Qomariah.
8.
Nifas
Nifas akibat mengeluarkan gumpalan
darah (pendarahan) atau gumpalan daging (keguguran), meskipun sedikit atau
waktunya 1 detik lagi masuk waktu Maghrib, maka mutlaq batal puasanya.
9.
Gila, Ayan atau Mabuk
Datangnya gila atau hilangnya akal
membatalkan puasa, meskipun ia mengalami gila/hilang akal hanya sesaat. Ayan,
mabuk atau pingsan hanya sebentar tidak membatalkan puasa. Tetapi bila
sepanjang hari mulai dari waktu Shubuh sampai waktu Maghrib, maka batal
puasanya. Bersalahan hukumnya dengan orang yang tidur. Meskipun tidurnya
menghabiskan waktu siang, ataupun tidurnya sampai meninggalkan Shalat Dzuhur
dan Shalat Ashar, tetap sah puasanya.
10.
Murtad/Keluar dari Agama Islam
Orang yang Murtad atau keluar dari
Agama Islam mengakibatkan batal puasanya. Karena tidak sah ibadah dari orang
yang bukan muslim.
Yang
disunnahkan untuk orang yang berpuasa:
1. Mensegerakan Berbuka Puasa
Disunnahkan mengawali berbuka puasa
dengan tamar (kurma). Tetapi dahulukan Ritob (kurma mengkel/sebelum menjadi
tamar) sebelum tamar. Urutan yang utama untuk mengawali berbuka adalah: Ritob,
Kurma Ajwa’ (kurma Nabi), Busur (kurma mentah), bila tidak ada maka baru
berbuka dengan tamar (kurma yang matang).
Hendaklah jumlah kurma yang kita
makan adalah witir (ganjil), satu, tiga, lima dan seterusnya. Bila kita makan
kurma sedikit, maka dapat menguatkan penglihatan. Tetapi jika makannya terlalu
banyak, maka yang terjadi adalah sebaliknya yaitu mengurangi penglihatan.
Sesungguhnya tidak ada kebaikan dari makan yang berlebihan.
Jika tidak ada Ritob, tidak ada kurma
ajwa, tidak ada busur ataupun tamar, maka berbukalah dengan air, yang lebih
afdol adalah dengan air zam-zam. Berbukalah terlebih dahulu baru membaca doa
berbuka puasa. Doa berbuka puasa isinya ucapan syukur kita kepada Alloh,
bagaimana kita dapat bersyukur sebelum kita merasakan ni’mat yang Alloh berikan
yaitu berbuka?
Setelah minum, maka dahulukan memakan
makanan yang manis semacam Jabib (kismis), Laban (susu) atau Assal’ (madu).
Susu lebih utama dari pada madu. Madu lebih utama dari pada daging. Bila tidak
ada itu semua, maka batalkan puasa dengan melakukan zima’ bersama istri.
Mempercepat membatalkan puasa adalah
lebih afdol dibandingkan dengan memperlambat berbuka, hal tersebut bersalahan
dengan puasanya orang-orang Yahudi, Nasrani dan Syi’ah, yang suka menunda-nunda
membatalkan puasa dengan keyakinan mereka akan mendapatkan pahala lebih besar.
Dengan mempercepat membatalkan puasa, maka kita mendapatkan keutamaan dan
pahala yang besar.
2. Mengakhirkan Makan Sahur
Selama tidak terjerumus kedalam
keraguan akan masuknya waktu Shalat Subuh (terbitnya fajar). Jika membuatnya
menjadi ragu, maka tidak disunnahkan mengakhirkan waktu makan sahur.
“Sahurlah kamu walau dengan seteguk
air.” (Hadist)
“Carilah bantuan dengan makan di
waktu sahur untuk kita puasa di siang hari.” (Hadist).
Masuknya waktu sahur adalah setelah
masuknya waktu malam.
3. Meninggalkan Kata-kata yang Keji
Kontrol kita punya lidah agar tidak
sembarangan dalam berbicara. Kepada sesama manusia juga kita jaga punya mulut
dari bertengkar, berdusta dan ghibah. Perbuatan itu semua tidak membatalkan
puasa akan tetapi dapat menggugurkan pahala puasa. Jadi kita berpuasa hanya
sekedar menggugurkan kewajiban saja tanpa mendapatkan balasan pahala sesuai
dengan janji Alloh SWT.
“Sesungguhnya pintu-pintu langit ada
hijab/dinding yang akan menghalangi/ menolak amal-amal orang Qibir (sombong),
Hasad dan Ghibah.
Bersalahan hukumya bila kita mendatangkan
suatu hal yang wajib untuk tidak kita kerjakan, seperti memasukkan jari kedalam
mulut yang mengakibatkan kita muntah. Bila terjadi muntah karena perbuatan kita
tersebut, maka menjadi batal puasanya.
Haram dan
tidak sah puasa (wajib/sunnah/qodho) yang dikerjakan pada:
1. Puasa yang
dikerjakan pada Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal).
2. Puasa yang
dikerjakan pada Hari Raya Idul Adha (10 Dzulhijah).
3. Puasa yang
dikerjakan pada Hari Tasyrik (11,12 & 13 Dzulhijah).
Menurut pendapat dari Imam Syafi’i
hari Tasyrik adalah tiga hari yaitu: 11, 12 & 13 Dzulhijah. Akan tetapi
bersalahan dengan pendapat dari 3 Imam yang lain (Imam Maliki, Imam Hambali dan
Imam Hanafi), ketiganya berpendapat bahwa hari Tasyrik hanya tanggal 11 &
12 Dzulhijah. Larangan berpuasa di hari Tasyrik diperkuat dengan Hadist Nabi
riwayat Abu Daud.
4. Puasa di hari
Syak (30 Sya’ban) di hari yang cerah/tidak mendung, tetapi tidak terlihat bulan
atau ada yang melihat bulan tetapi tidak disyahkan oleh hakim/penguasa. Akan
tetapi hukum puasa di hari Syak ini adalah Makruh Tahrim. Makruh Tahrim adalah
suatu hukum haram yang dalilnya tidak Qod’i. Artinya hukum haramnya tidak
mutlaq. Sedangkan Haram adalah suatu hukum yang sudah tetap dengan dalil yang
Qod’i.
Ada beberapa
alasan yang membolehkan berpuasa di hari Syak:
a. Membayar
kodho puasa yang wajib.
b. Membayar
Kafarot karena sumpah atau karena melakukan zima (hubungan suami istri) di
siang hari di bulan Ramadhan.
c. Bertepatan
dengan hari kebiasaannya ia puasa, misalkan ia biasa menjalankan puasa sunnah
senin-kamis dan salah satu harinya jatuh berbarengan di hari Syak, maka
dibolehkan ia berpuasa, meskipun ia baru memulainya. Atau bagi orang yang
menjalankan puasa Nabi Daun yaitu satu hari puasa dan satu hari tidak . Atau
orang yang menjalankan puasa selama 3 bulan penuh yaitu di bulan Rajab, Sya’ban
dan Ramadhan.
d. Membayar
kodho puasa sunnah, misalnya pada saat waktunya dia tidak dapat berpuasa sunnah
Tarwiyah atau Arafah karena sakit, dan ia ingin membayarnya pada saat itu.
e. Puasa Nazar,
akan tetapi tidak boleh disengaja diniatkan menjatuhkan puasanya dihari Syak
atau pertengan bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ni (16 Sya’ban). Tetapi bila ia
bernazar puasa di hari Senin yang kebetulan hari Senin tersebut berbarengan
dengan hari Syak, maka dibolehkan.
f. Bila
diperintahkan oleh penguasa untuk mempersiapkan Shalat Sunnah Istisqo’ (shalat
sunnah minta hujan).
Orang
yang dipercaya dalam menetapkan awal bulan dengan melihat Hilal selain harus
mengusai ilmunya juga harus mempunyai sifat Adil. Orang dapat dikatakan
memiliki sifat adil bila memenuhi syarat-syarat berikut:
-
Tidak
pernah melakukan dosa-dosa besar, ada sekitar 400 dosa besar dan tidak pernah 1
pun yang pernah ia kerjakan.
-
Tidak
pernah selalu melakukan dosa kecil.
-
Mempunyai
sifat yang menjadi watak bagi dirinya, sehingga mencegah dirinya dari
mengerjakan dosa besar.
-
Tidak
mengerjakan sesuatu yang diluar kesopanan, seperti terlalu banyak tertawa,
memelonjorkan kakinya di hadapan orang-orang terhormat, mencium istrinya di hadapan
orang lain (meskipun hukumnya halal).
Orang-orang
yang tertolak kesaksiannya dalam melihat awal bulan, adalah:
-
Anak
kecil
-
Wanita/Perempuan
-
Budak
-
Orang
Fasik
-
Orang
Kafir (diluar Islam)
Siapa
orang yang bersetubuh dengan jalan menenggelamkan seluruh hasafah (kepala
bagian depan alat kelamin lelaki) atau bila hasafahnya terpotong, maka di
perkirakan sepanjang kepala hasafah saat masih ada. Dan ia melakukannya di
bulan Ramadhan dan ia meyakini belum masuk waktu maghrib atau sudah terbenam
matahari tetapi belum sempurna. Dan ia mengetahui hukumnya, ia menyadari dan
tidak ada paksaan dan ia mukalaf (orang yang mempunyai kewajiban untuk
berpuasa). Baik dengan memasukkannya kedalam farji perempuan ataupun kedalam
dubur, baik perempuan yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal ataupun di
kelamin/dubur binatang, meskipun tidak sampai mengeluarkan mani. Maka ada
kewajiban bagi lelaki tersebut untuk membayar kodho & kafarot (denda)
puasa.
Bila
ia meninggal saat setelah selesai melakukan jima (bersetubuh), maka gugur
kewajibannya membayar kafarot. Ataupun seorang laki-laki yang dinikahkan saat
usianya belum masuk usia baliq, maka tidak ada dosa baginya bila melakukan jima
di siang hari di bulan Ramadhan, karena usianya belum wajib untuk melakukan
puasa.
Orang
yang berjima dengan istrinya yang tidak mengetahui/ragu akan sudah terbitnya
fajar (Shubuh) atau masuknya waktu Maghrib, maka tidak ada kewajiban membayara
kafarot baginya. Ataupun saat ia berhubungan masih belum masuk waktu Shubuh dan
saat ia selesai berjima, ia baru menyadari sudah masuk waktu Shubuh, maka
baginya tidak ada kewajiban membayar kafarot.
Orang
yang menggauli istrinya ataupun antara lelaki dengan lelaki (sodomi) di siang
hari di bulan Ramadhan, maka ia wajib mengkodho dan memabayar kafarot (denda)
puasa, karena ia telah merusak puasanya dengan jima. Yang membayar kafarot
puasanya adalah lelaki, sedangkan wanitanya bebas dari membayar kafarot puasa.
Yang
terkena Kafarot & Kodho puasa adalah lelaki, sedangkan perempuan hanya
cukup membayar Kodho puasanya saja. Alasannya karena perempuan telah batal
puasanya saat kemasukkan sesuatu kedalam salah satu anggota tubuhnya yang
terbuka, yaitu farjinya. Sedangkan lelaki batal puasa karena jima.
Tingakatan
Kafarot/Dendanya ada 3 macam, yaitu:
1. Membebaskan Budak
Budak yang dibebaskan adalah budak
yang mu’minah dan tidak cacat, agar ia dapat bekerja secara maksimal untuk
menafkahi dirinya. Bila harta tidak mencukupi untuk membebaskan budak, maka
dipilih kafarot yang kedua.
2. Puasa 2 bulan berturut-turut
Puasa kafarot dikerjakan selama 2
bulan berturut-turut dan bila belum sampai waktu 2 bulan puasanya batal, maka
puasanya harus di ulang dari awal lagi. Saat ia sedang menjalani puasa,
misalkan ia mendapatkan harta warisan dan mencukupi untuk membebaskan budak,
maka puasa kafarotnya tidak memadai, ia tetap harus membebaskan budak. Jika
kafarot yang kedua ia tidak sanggup melaksanakannya, maka baru ia boleh
menjalankan kafarot yang terakhir yang paling ringan.
3. Memberi makan Fakir/Miskin
Memberi makan orang fakir/miskin
sebanyak 60 orang sebanyak, masing-masing 1 mud (1 liter) berupa makanan pokok
(beras/gandum) yang masih mentah.
Bila
seseorang sakit dan tidak ada harapan baginya untuk sembuh atau karena sudah
terlampau tua, maka boleh ia tidak puasa dan cukup baginya membayar fidyah
sebanyak 1 mud (5/6 liter) untuk setiap hari puasa Ramadhan yang
ditinggalkannya.
Bila
ia meninggalkan puasa karena uzur seperti sakit ataupun berlayar dan ia belum
sempat membayar kodho puasanya, maka tidak ada dosa baginya. Dan tidak ada
kewajiban bagi keluarganya untuk membayar kodho puasanya. Bila ada kesempatan
baginya membayar kodho puasanya setelah ia sembuh dari sakit atau sudah tidak
berlayar, tetapi ia tidak menunaikan kodho puasanya sampai ia meninggal, maka
ada kewajiban bagi keluarganya untuk mengeluarkan fidyah bagi si-mayit berupa
makan pokok di negeri itu sebanyak 1 mud (5/6 liter) untuk setiap hari puasa
yang ditinggalkannya. Fidyah yang dikeluarkan berupa makanan pokok/beras yang
masih mentah dan diberikan kepada fakir/miskin
Apabila
ia meninggalkan puasa tanpa uzur dan ia belum sempat membayar kodho puasanya
hingga meninggal, maka ada dosa baginya.
Mengenai
ketentuan membayar fidyah puasa ada dua pendapat dari Imam Syafi’i, yaitu Qaul
Zadit dan Qaul Qodim.
Menurut Qaul
Zadid:
Apabila si-mayit meninggalkan harta waris, maka ada kewajiban bagi keluarganya
untuk membayarkan fidyahnya. Akan tetapi bila si-mayit tidak meninggalkan harta
untuk dibayarkan sebagai fidyah, maka tidak ada kewajiban bagi keluarganya
untuk membayar fidyah ataupun meng-kodho-kan puasa dari si-mayit. Puasa adalah
ibadah badan, sehingga tidak dapat diwakilkan.
Menurut Qaul
Qodim:
Bila si-mayit tidak meninggalkan harta warisan untuk membayar fidyah, maka
masih ada kewajiban bagi keluarganya untuk membayar fidyah dari puasa yang
ditinggalkan si-mayit ataupun bila keluaga dari si-mayit tidak mampu, maka ada
kewajiban untuk meng-kodho-kan puasa dari si-mayit.
Pada
kasus-kasus yang lain banyak pendapat dari Qaul Zadid yang dijadikan sebagai
Qaul yang mu’tamat/Qaul yang utama, akan tetapi khusus pada kasus ini yang
menjadi Qaul yang mu’tamat atau pendapat yang utama adalah Qaul Qodim.
Orang
yang sudah tua disebut Syech (biasanya umurnya di atas 40 tahun), bila usianya
belum 40 tahun tetapi memiliki ilmu yang luas bisa juga disebut Syech, seperti
halnya Imam Syafi’i yang telah mengajar meskipun usianya masih belia.
Orang
yang sudah lanjut usia (laki-laki tua=Syech & perempuan tua=Ajjuz)dan orang
yang sakit yang mana mereka tidak mampu menjalankan puasa, yang dari hari ke
hari jauh dari harapan sembuh, bila mereka puasa, maka mendatangkan kesulitan
baginya, maka silahkan baginya untuk tidak berpuasa, maka cukup membayar fidyah
(bagi orang yang merdeka/bukan budak) setiap hari puasa yang ditinggalkannya
sebanyak 1 mud (+ 1 liter) berupa makanan pokok semacam beras. Baik
orang kaya ataupun orang miskin tetap sama 1 mud untuk satu hari puasa yang
ditinggalkannya.
Kebiasaan
dari sebagian masyarakat kita bila ada saudaranya yang meninggal ada adat
memutar mud, dikalangan habaib adat/kebiasaan ini tidak dijalankan karena
sepertinya membuka aib dari si-mayit, hendaknya beras fidyah dibagikan saja
tanpa adanya upacara adat semacam itu, akan tetapi bila masih terjadi adat
semacam itu disekitar lingkungan kita, maka hendaknya jangan ditentang. Menurut
Qaul yang Mu’tamad fidyah dibayarkan hanya untuk mengganti puasa yang
ditinggalkan dan belum sempat dibayar kodhonya, sedangkan untuk shalat yang ditinggalkan
tidak ada fidyahnya.
Budak/hamba
sahaya yang karena tua atau sakit dan ia masih meninggalkan puasa, maka tidak
wajib baginya membayar fidyah, karena penghasilannya adalah milik tuannya. Akan
tetapi bila tuannya ingin membayarkan fidyahnya maka dibolehkan. Bagi
kerabatnya/keluarganya boleh mengkodhokan puasanya ataupun membayar fidyahnya.
Sedangkan tuannya tidak boleh mengkodhokan puasanya karena ia tidak mempunyai
hubungan darah dengan si-budak.
Jika
orang yang sudah tua atau sakit dan ia tetap memaksakan untuk berpuasa, maka
tidak ada kewajiban baginya membayar fidyah. Bila sudah membayar fidyah,
dikemudian hari karena keajaiban ternyata ia sembuh, maka tidak ada kewajiban
membayar kodho puasa.
Orang
yang sudah tua, sakit atau hamil tidak dibolehkan mensegerakan membayar fidyah
sebelum datangnya bulan Ramadhan. Bahkan tidak boleh membayar fidyah pada hari
itu saat matahari belum terbenam. Begitupula tidak boleh mensegerakan membayar
zakat mall untuk waktu 2 tahun sekaligus, karena harta kita kemungkinan akan
berkembang, zakat tahun depan mungkin lebih besar dari pada zakat tahun ini.
Ketentuan ini tidak bersalahan dengan anjuran mengeluarkan zakat di bulan
Ramadhan, karena pahla mengeluarkan zakat di bulan Ramadhan begitu besar.
Orang
yang hamil boleh tidak berpuasa, meskipun kehamilannya itu akibat perbuatan
zina atau berhubungan dengan binatang. Begitupula orang yang menyusui, walaupun
bukan menyusui manusia, baik menyusui dengan dibayar ataupun menyusui dengan
suka rela/tanpa bayaran.
Bila
keduanya (perempuan yang hamil atau menyusui) khawatir atas keselamatan dirinya
atau anak yang dikandung atau disusuinya dengan sebab puasa. Semacam bahayanya
orang yang sakit, yaitu penyakit yang menurut umumnya/adatnya tidak dapat
ditanggung/ dipikulnya, maka dibolehkan tidak puasa.
Keduanya
wajib tidak berpuasa, jika tidak ada perempuan lain yang tidak berpuasa yang
dapat menggantikan menyusui anaknya. Jika masih ada perempuan lain yang tidak
berpuasa dan dapat menyusui anaknya, maka tidak diperbolehkan tidak berpuasa.
Ada
3 ketentuan untuk membayar kodho puasa dan membayar fidyah bagi wanita hamil
atau menyusui, yaitu:
1. Wanita yang
tidak berpuasa karena takut keselamatan dirinya, maka baginya cukup membayar
kodho puasa saja.
2. Wanita yang
tidak berpuasa karena takut keselamatan anaknya atau orang lain, maka wajib
baginya membayar fidyah dan juga mengkodho puasa yang ditinggalkannya.
3. Wanita yang
tidak berpuasa karena takut keselamatan dirinya dan anaknya atau orang lain,
maka baginya cukup membayar kodho puasa saja. Bila berhimpun keduanya yang
mencegah mengeluarkan fidyah dan wajib mengeluarkan fidyah, maka yang
dimenangkan yang pertama, yaitu cukup mengkodho puasa tanpa membayar fidyah.
Demikian pula untuk orang yang sakit yang masih kemungkinan untuk sembuh, maka
cukup baginya membayar kodho puasa saja.
Dan
tidak ada bedanya dengan dua orang perempuan (yang sedang hamil atau menyusui)
yang sedang berlayar (musafir) ataupun sedang sakit. Ia tidak puasa karena dua
sebab yaitu berlayar atau sakit, maka tidak wajib baginya berpuasa. Bila ia
mengkhawatirkan keselamatan dirinya maka baginya cukup membayar kodho puasa.
Bila ia mengkhawatirkan bayi yang dikandung atau bayi yang disusuinya maka ia
harus membayar kodho puasa dan membayar fidyah. Akan tetapi bila ia
mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan bayinya, maka cukup membayar kodho
puasa saja.
Tidak
menjadi berbilang-bilang kewajiban membayar fidyah, meskipun bayi yang
dilahirkan lebih dari satu. Berlainan halnya dengan kewajiban Aqikah, bila bayi
yang dilahirkan lebih dari satu, maka kewajiban mengeluarkannya pun lebih dari
satu. Dengan ketentuan anak laki-laki 2 ekor dan anak perempuan 1 ekor untu
tiap anak yang dilahirkan.
Fidayah
adalah denda yang disebabkan karena kita meluputkan keutamaan puasa di bulan
Ramadhan. Saluran pembagian fidyah adalah kepada faqir-miskin. Misalkan kita
menerima beras fidyah setelah menshalatkan jenazah, bila kita bukan termasuk
golongan faqir/miskin maka hendanya beras yang kita terima kita berikan kembali
kepada orang yang lebih berhak menerimanya, kita hanya sebagai perantara
penerima saja dari beras fidyah yang dibagikan tersebut.
Tempat
menyalurkan fidyah hanya kepada Faqir dan Miskin dari 8 golongan orang yang
berhaq menerima zakat. Fidyah boleh diberikan kepada golongan Faqir saja, atau
golongan Miskin saja ataupun kepada keduanya.
Dibolehkan
memberikan fidyah/mud lebih dari 1 mud untuk tiap-tiap orang, misalnya boleh
diberikan sebanyak 2,3,4,5 atau 10 liter
kepada tiap-tiap Faqir atau Miskin. Akan tetapi tidak boleh memberikan 1 mud/1
liter untuk 2 orang Faqir/ Miskin.
Apabila
ada kewajiban hanya mengeluarkan 1 mud/1 liter saja, tetapi ia mengeluarkannya
2 mud/2 liter atau lebih, maka dibolehkan.
Orang
yang sakit yang masih ada harapan kesembuhannya, meskipun sakitnya akibat ia
menzholimi badannya sendiri, seperti ia memakan sesuatu yang membuat ia sakit
sehingga ia tidak kuat puasa, sama saja penyakitnya ini timbul sebelum ia puasa
ataupun sakitnya setelah ia puasa. Dan orang yang berlayar/bepergian, yang
berlayarnya dahulu baru puasa (pelayarannya sebelum masuk waktu shubuh/fajar),
dengan pelayaran sejauh 80 km (2 marhalah) yang dibolehkannya melakukan shalat
Khosor & Jama’ dan pelayarannya mubah bukan maksiat, maka dibolehkan
baginya tidak berpuasa.
Akan
tetapi bila pelayarannya setelah puasa (setelah masuk waktu Shubuh/terbit
fajar), maka tidak dibolehkan baginya tidak berpuasa, terkecuali bila ia sakit.
Seperti halnya ia haram melakukan pelayaran/perjalanan pada hari Jum’at,
terkecuali bila ia yakin dapat menunaikan kewajiban Shalat Jum’at.
Batasan
yang dibolehkan tidak berpuasa semacam penyakit yang dapat membahayakan
kesehatannya, seperti penyakit yang karenanya membolehkan ia bertayamum sebagai
pengganti berwudhu. Karena takut kesembuhan penyakitnya menjadi lebih lama
akibat ia berpuasa, maka dibolehkan ia tidak berpuasa. Atau apabila ia takut
jika ia berpuasa dapat mengakibatkan ia mati atau tidak berfungsinya anggota
badannya, maka wajib ia tidak berpuasa. Keselamatan jiwa/badan lebih utama dari
kewajiban ibadah. Dengan selamat nyawanya/berfungsi anggota badannya, maka
disaat yang akan datang masih ada harapan meningkatkan ibadah di kemudian hari.
Jangan salah berprasangka bahwa dengan kita membahayakan nyawa kita dan kita
mati dalam beribadah lebih Alloh cintai dibandingkan dengan kita meninggalkan
ibadah untuk mempertahankan hidup kita.
Dibolehkan
bagi orang sakit, jika sakitnya terus-menerus (tidak berhenti) baik siang
maupun malam hari, dibolehkan baginya meninggalkan niat dari sejak malam hari
karena ada udzur yaitu sakit. Jika sakitnya tidak selalu terus-menerus
(sewaktu-waktu/putus-putus), seperti sakit demam, dan diwaktu sah niat (sejak
waktu Maghrib sampai waktu Shubuh) dia demam, maka dibolehkan tidak berniat
karena ada udzur.
Apabila
dia tidak demam disaat sahnya niat, maka wajib atasnya berniat. Meskipun dari
kebiasaannya setelah masuk wakut Dhuha atau Dzuhur dia akan mengalami demam.
Bila kembali demam yang mengharuskan dia tidak berpuasa, maka dibolehkan dia
berbuka puasa.
Utamakan
kesehatan kita di atas ibadah. Masih banyak waktu dan kesempatan untuk
meningkatkan ibadah di kemudian hari. Akan tetapi jangan menggampangkan
keringan ini, kita yang lebih mengetahui kondisi tubuh kita sendiri.
Kondisi
seperti di atas sama dengan orang yang sangat lapar/sangat haus, maka
dibolehkan baginya membatalkan puasa, tetapi tetap ada kewajiban baginya
berniat puasa di malam hari dan ada kewajiban baginya membayar kodho puasa di
hari kemudian. Seperti orang yang bekerja di ladang/sawah, meskipun dia yakin
bahwa nantinya dia tidak akan kuat untuk terus berpuasa, tetapi tetap ada
tuntutan baginya berniat puasa di malam hari. Biasanya hal ini bergantung
dengan kwalitas keimanan seseorang, ada yang sanggup tetap berpuasa adapula
yang tidak.
Orang
yang musyafir, yang perjalanannya lebih dari 2 marhalah dan pelayarannya
merupakan pelayaran mubah (mencari nafkah, berdagang, silaturahim, berziarah
dll.), bukan perjalanan maksiat (berzina, berjudi dll.) lebih afdol baginya
tidak berpuasa. Akan tetapi tetap ada kewajiban niat pada malam hari, bila pada
akhirnya ia tidak kuat untuk terus berpuasa, maka afdol baginya membatalkan
puasa.
Jika
ia puasa pada saat itu tidak apa-apa, tetapi di hari kemudian dia akan
mengalami demam, maka lebih afdol baginya tidak berpuasa. Jika akibat puasa
dapat menimbulkan ia menjadi cacat, maka haram baginya berpuasa.
Keutamaan
tetap berpuasa adalah membebaskan kita dari membayar kodho puasa dan kita tidak
mengosongkan waktu kita untuk beribadah di bulan Ramadhan yang penuh Hikmah dan
Ampunan Alloh SWT.
Siapa
orang yang menunda membayar kodho puasa Ramadhan dengan sengaja, di tahu hukum
dan sangsinya, ia telah sehat dan mampu untuk puasa, dia mukim (tidak
musyafir), waktunya luas untuk membayar kodho puasa, tetapi ia terus menunda
sampai masuk waktu bulan Ramadhan berikutnya, maka wajib atasnya membayar kodho
dan membayar fidyah akan tetapi tetap di hitung dosa baginya karena
kelalaiannya.
Adapun
orang yang tidak mungkin dia membayar kodho puasa, misalnya orang yang terus
berlayar (musyafir) tidak putus-putusnya semacam pedagang. Atau dia
terus-terusan sakit. Atau semacam perempuan yang hamil/ menyusui yang terus
menerus, misalnya tahun ini dia tidak puasa karena hamil, tahun berikutnya
masih menyusui dan pada tahun ketiga kembali hamil. Untuk ketiga kasus di atas,
kewajiban membayar kodho tetap ada, tetapi tidak ada kewajiban membayar fidyah.
Meskipun hal ini berlangsung bertahun-tahun, asal masih ada uzur.
-
Kewajiban
membayar fidyah untuk orang yang menunda-nunda membayar kodho karena ia
mentakhirkan mengkodho puasanya, sekalipun baginya ada kesempatan luas untuk
membayar kodho puasanya.
-
Kewajiban
membayar fidyah untuk orang yang sudah terlalu tua renta, karena dasarnya ia
meninggalkan kewajiban puasa karena tidak mampu untuk berpuasa. Apa bila ia
memaksakan untuk berpuasa, maka tidak wajib baginya mengeluarkan fidyah.
-
Kewajiban
membayar fidyah untuk orang hamil/ menyusui, karena ia telah meluputkan
kemulyaan puasa di bulan Ramadhan.
Dibolehkan
mensegerakan membayar fidyah karena ia bermaksud mentakhirkan membayar kodho
puasa. Padahal belum masuk waktu bulan Ramadhan berikutnya. Jika ia ingin
membayar kodho puasanya masih ada waktu, tetapi ia bermaksud membayar kodho puasanya setelah bulan
Ramadhan yang akan datang.
Hal
semacam ini sama dengan orang yang membayar kafarot (denda) dari sumpahnya.
Meskipun sumpahnya belum terlanggar, tetapi bila ingin mengeluarkan kafaratnya,
maka dibolehkan. Misalkan ia bersumpah tidak akan datang ke rumah saudaranya
lagi, meskipun ia belum datang ke rumah saudaranya, tetapi ia boleh membayar
kafaratnya sebelum ia melanggar sumpahnya.
Kewajiban
membayar fidyah akan terus berulang sampai ia membayar kodho puasanya. Sebagai
ilustrasi, jika ia tidak puasa Ramadhan selama 10 hari, maka bila ia belum
membayar kodho puasanya sampai datang bulan Ramadhan yang ke-2, maka ada
kewajiban baginya mengeluarkan 10 mud (10 liter) dan bila sampai bulan Ramadhan
ke-3 ia tetap belum membayar kodho puasanya, maka kewajiban membayar fidyah
bertambah lagi menjadi 20 mud (20 liter) begitu pula seterusnya.
Andaikata
seseorang menunda membayar kodho puasa Ramadhan, padahal kondisi kesehatannya
sudah mampu atau memungkinkan baginya untuk segera membayar kodho puasa, tetapi
ia terus menunda sampai masuk waktu Ramadhan berikutnya atau belum masuk waktu
Ramadhan berikutnya tetapi dia keburu meninggal dunia. Maka wajib bagi ahli
(kelurganya) untuk mengeluarkan terlebih dahulu dari warisan si-mayit untuk
membayar fidyah, wasiat, hutang-hutang si mayit, baru kemudian sisa hartanya
dibagikan kepada ahli warisnya.
Ada
2 fatwa/pendapat dari Imam Syafi’i yang menyangkut kasus / permasalahan di atas,
yaitu:
-
Menurut
Qaul Zaddid
(Fatwa yang dikeluarkan saat Imam
Syafi’i masih berada di Mesir).
Keluarga dari si-mayit harus mengeluarkan 2 mud untuk tiap-tiap hari puasa yang
ditinggalkannya, dengan alasan 1 mud karena telah meluputkan membayar kodho
puasa dan 1 mud lagi karena ia telah menunda-nunda waktu membayar kodho puasa.
-
Menurut
Qaul Qoddim
(Fatwa yang dikeluarkan saat Imam
Syafi’i telah berada di Bagdad) Keluarga si-mayit tidak perlu
mengeluarkan 2 mud untuk tiap-tiap hari puasa yang ditinggalkannya, tetapi
cukup mengeluarkan 1 mud untuk tiap-tiap hari puasa yang ditinggalkannya. Dan
ada dari pihak keluarganya atau orang yang diizinkan pihak keluarganya ataupun
ada pendapat yang mengatakan bahwa tidak perlu izin dari pihak keluarganya
untuk menggantikan membayar kodho puasa yang ditinggalkan si-mayit. Jadi
keluarga si-mayit selain mengeluarkan fidyah, juga ada kewajiban mengkodhokan
puasa dari si-mayit.
Pada
umumnya Qaul Zaddid yang dijadikan Qaul yang mu’tamat, akan tetapi untuk kasus
ini pendapat yang mu’tamat adalah fatwa dari Qaul Qoddim, karena bersesuaian
denga hadist-hadist Rasululloh:
-
“Siapa orang
yang meninggalkan puasa, maka yang menggantikannya adalah ahlinya
(keluarganya).”
-
Dalam
suatu riwayat ada seorang wanita yang menemui Rasululloh, ia bertanya kepada Rasululloh:
“Ya Rasululloh ibuku telah meninggal
dunia padahal ia mempunyai nazar puasa, apakah aku harus menggantikan
puasanya?” Rasululloh menjawab: “Ya,
kamu boleh menggantikan puasa nazar ibumu.”
Tidak
memadai hanya dengan puasa pengganti kodho dari ahli (keluarga) si mayit,
melainkan harus tetap mengeluarkan fidyah, karena ia telah mengakhirkan
membayar kodho puasanya.
Andaikata
seseorang ada kewajiban membayar kodho puasa Ramadhan selama 10 hari, sedangkan
5 hari lagi akan berakhir bulan Sya’ban, dan dia meninggal dunia. Orang yang
semacam ini ada kewajiban membayar fidyah sebanyak 15 mud/ 15 liter dengan
rincian: 10 mud dikeluarkan karena ia belum sempat membayar kodho puasa dan 5
mud lagi karena ia menunda-nunda membayar kodho puasa tanpa udzur. Dendanya
hanya 5 mud, karena bila ia masih hidup sampai masuk awal Ramadhan dan ingin
memanfaatkan sisa waktu yang 5 hari untuk membayar kodho puasanya, maka ia
masih mempunyai kesempatan. Sedangkan 5 harinya lagi sangat nyata/ terbukti
luput/ hilangnya kesempatan baginya untuk membayar kodho puasa Ramadhannya,
sehingga karenanya ia terkena denda sebanyak 5 mud.
Puasa Sunnah
di bagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Puasa Sunnah Yang
Berulang Setiap Tahunnya
a.
Puasa Sunnah
hari Arafah ( 9 Dzulhijah)
Yang menjalankan puasa sunnah ini
adalah orang yang tidak melaksanakan ibadah haji. Sedangkan orang yang
menjalankan ibadah haji tidak disunnahkan, tetapi belum sampai menjadi makruh
(Hilaful Aula).
Boleh saja orang yang melaksanakan
ibadah haji ikut mengerjakan puasa sunnah Arafah asal tidak memberatkannya.
Misalkan ia melaksanakan puasanya saat ia masih di Makkah dan menjelang waktu
berbuka ia baru berangkat ke Arafah atau ia baru berangkat ke Arafah setelah
berbuka puasa. Akan tetapi bila ia sampai di Arafah pada siang hari, maka
dianjurkan untuk tidak berpuasa, karena ibadah di Arafah banyak membutuhkan
energy, sehingga dikhawatirkan ia akan mengalami sakit bila memaksakan diri
untuk tetap berpuasa.
HR.
Bukhari & Muslim:
Puasa tanggal 9 Dzulhijah menghapus dosa
tahun yang lalu dan dosa tahun yang akan datang.
Maksud hadist diatas menghapus dosa tahun
yang akan datang, pada tahun yang akan datang bisa jadi kita tidak berbuat dosa
ataupun mungkin umur kita tidak sampai pada tahun yang akan datang. Menurut
pendapat ulama, maksud hadist di atas adalah: Alloh akan memelihara kita agar
terhindar dari melakukan perbuatan dosa pada tahun yang akan datang.
Menurut
Ibnu Abbas RA.:
Hadist ini sebagai kabar gembira bagi
orang yang mengjalankan puasa sunnah Arafah, bahwa umurnya akan dipanjangkan
sampai tahun yang akan datang.
Menurut riwayat, binatang-binatang
buas juga berpuasa pada hari Arafah, hal ini dibuktikan dengan melempar daging
pada segerombolan binatang buas, ternyata mereka tidak langsung memakannya,
mereka baru memakan daging tersebut saat matahari sudah terbenam.
b.
Puasa Sunnah
Assuroh (10 Muharram) & Puasa Sunnah Tasyu’ah (9 Muharram)
Bagi yang melaksanakan sunnah puasa
Assuroh akan di hapus dosanya pada tahun yang lalu. Rasululloh bersabda: “Andaikan
umurku sampai pada tahun yang akan datang, maka aku pasti akan puasa pada
tanggal 9 Muharram.” Hadist ini sebagai dalil bahwa Rasululloh menganjurkan
kita untuk juga berpuasa pada tanggal 9 Muharram, akan tetapi Rasululloh belum
sempat melaksanakan niatnya tersebut, Rasululloh keburu di panggil menghadap Alloh
SWT. Rasululloh ingin melaksanakan puasa sunnah Tasyu’ah, karena untuk
membedakan dengan bangsa Yahudi yang juga melaksanakan puasa pada tanggal 10
Muharram.
c.
Puasa 6 hari
dibulan Syawal
Puasa 6 hari di bulan Syawal,
afdolnya mulai puasa sunnahnya pada tanggal 2 Syawal berturut-turut selama 6
hari. Akan tetapi dibolehkan tidak berturut asal masih berada di bulan Syawal.
Andaikan dia tidak tahu bahwa ada puasa sunnah di bulan Syawal, dia puasa saja
di bulan Syawal maka dia tetap mendapatkan pahla puasa di bulan Syawal.
Misalkan dia kodho puasa Ramadhan atau puasa nazar di bulan Syawal dan ia tidak
niatkan puasa sunnah Syawal, dia hanya meniatkan puasa kodho atau puasa nazar
saja, maka dia tetap dapat pahla sunnah di bulan Syawal. Atau dia puasa sunnah
yang lain, maka dia tetap mendapatkan pahla sunnah puasa Syawal. Akan tetapi
bila ia sengaja menunda kodho Ramadhan tahun kemarin untuk membayarnya di bulan
Syawal, maka pahala sunnah Syawalnya tidak ia dapatkan.
2. Puasa Sunnah
Yang Berulang dengan Berulangnya Bulan
a.
Puasa Sunnah
Pada Hari Terangnya Bulan
Dihari-hari terangnya bulan kita di
sunnahkan puasa sebagai tanda syukur kepada Alloh karena tidak gelap gulitanya
malam, yaitu puasa sunnah pada tanggal 13, 14 & 15 setiap bulannya pada
penanggalan Hijriyah.
b.
Puasa Sunnah
Pada Hari Gelapnya Bulan
Dihari-hari gelap setiap akhir bulan,
maka disunnahkan puasa sunnah pada tanggal 28, 29 & 30 setiap bulannya pada
penanggalan Hijriyah dengan tujuan agar Alloh segera cabut atau hilangkan ini
kegelapan.
3. Puasa Sunnah
Yang Berulang dengan Berulangnya Minggu
Yaitu puasa sunnah hari Senin &
hari Kamis.
Nabi selalu mengerjakan puasa Sunnah
Senin & Kamis, karena pada dua hari itu dilaporkannya catatan-catatan amal
hamba kepada Alloh dan Aku (kata Nabi) suka dan senang apabila saat
dilaporkannya catatanku maka aku sedang puasa. Amalan-amalan ibadah kita di
hari Selasa, Rabu & Kamis di laporkannya kepada Alloh pada hari Kamis. Dan
amalan-amalan kita pada hari Jum’at, Sabtu, Minggu & Senin di laporkannya
kepada Alloh pada hari Senin. Puasa Sunnah hari Senin lebih utama/ afdol dari
pada Puasa Sunnah hari Kamis, karena adanya keistimewaan-keistimewaan pada hari
Senin. Karena Nabi di lahirkan pada hari Senin, Nabi dibangkitkan menjadi Nabi
pada hari Senin dan Nabi Wafat di hari
Senin. Sebagaimana Wasiat Nabi kepada
Bilal: “Hai Bilal jangan sampai kamu
keluputan/ kehilangan kesempatan puasa di hari Senin, karena aku di lahirkan
pada hari senin dan aku juga dibangkitkan menjadi Nabi pada hari Senin serta
kelakpun aku akan di wafatkan pada hari Senin.” Nabi merayakan hari
kelahirannya dengan cara puasa.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi
motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Lebih banyak pengambilan keterangannya dari kitab tausyikh karya syaikh nawawi al bantani. Trimakasih
BalasHapusLebih banyak pengambilan keterangannya dari kitab tausyikh karya syaikh nawawi al bantani. Trimakasih
BalasHapus