Jumat, 22 Januari 2016

FIQIH ( Mu’amalat ) - Hukum Jual - Beli



Pokok Bahasan     :  FIQIH ( Mu’amalat )
Judul                    :  Hukum Jual - Beli
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

                                                    MU’AMALAT









Kitab (Kumpulan) tentang Hukum-Hukum Jual-Beli dan hukum jual-beli lainnya, seperti Iijaaroh (Sewa-Menyewa), Syirkah/ Join Venture (Kerjasama), Qiradh (Menanam Saham), Qardh  (Pinjaman) dan Hukum-Hukum Mu’amalat lainnya. Manusia sebagai makhluk sosial, maka  kita saling berhubungan dengan sesama manusia lainnya.

Dalam hal Mu’amalat ada yang namanya Qiradh  (menaruh saham) kepada seseorang, kita mempunyai uang sedangkan kawan kita mempunyai keahlian, maka kita dapat menanam saham/ modal kepadanya untuk mengharapkan keuntungan, bukan bagi hasil dari modal. Sedangkan Syirkah, kita ikut terjun langsung/ terlibat di dalam mengelola usaha. Ada perwakilan dalam jual beli. Dan ada juga Iijaaroh (sewa-menyewa), baik sewa barang atau sewa badan. 

Ulama-Ulama menyatakan, permasalahan Fiqih dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan, yaitu:
1.    Ibadat:  Mengatur tentang hubungan kita kepada Alloh SWT. dengan cara-cara yang ditentukan oleh agama.
2.    Mu’amalat:  Aturan agama untuk menjaga hak milik manusia dalam bermasyarakat dalam hal tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan oleh agama.
3.    Munakahat: Aturan agama yang mengatur tentang akad pernikahan untuk menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya.
4.    Jinayat:  Aturan agama yang mengatur tentang hukuman atas perbuatan/ tindakan pidana yang dilakukan antara sesama manusia untuk menjaga/ melindungi harta dan jiwa seseorang dari perbuatan kriminal/ kejahatan.

Disamping itu ada juga pembahasan dalam Ilmu Fiqih mengenai Itiq, yaitu: Aturan agama yang mengatur tentang masalah perbudakan.

Dalam pembahasan Fiqih ini di dahului membahas masalah Ibadat, karena ulama berbendapat untuk menghasilkan kebahagian di negeri akhirat. Karena tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Alloh, maka sangat penting bagi seseorang untuk mengetahui tentang tata cara dalam beribadah kepada Alloh. Maka salah bila ada orang yang berpendapat agar mendahulukan dunia terlebih dahulu, karena mereka berdalil, bahwa dalam doa ‘sapu jagad’, yaitu: “Rabbanaa aatinaa fid-dun-yaa hasanah wa fil-aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban-naar.”   Orang yang telah ‘mabuk’ dunia mengatakan bahwa dalam doa tersebut, dunia disebutkan terlebih dahulu baru kemudian akhirat. Mereka tidak memahami Koidah Naahwiiyah, untuk semata-mata kumpul/ ja’ma antara dunia dan akhirat, bukan untuk Tartib. Jadi dahulukan kebahagian akhirat (abadi) terlebih dahulu, baru kemudian kebahagian dunia (sementara).

Belajar Buyuu’  (Jual-beli) tujuannya untuk mendapatkan dunia, agar menjadi sebab/ jembatan menuju akhirat. Setelah mendapatkan dunia, maka kita dapat beribadah seperti: Zakat, Infaq, Shodaqoh, Haji, Menikah dan lain sebagainya. Untuk mendapatkan akhirat kita perlu dunia, maka kita perlu mengetahui tentang cara Jual-Beli. Alasan pembahasan tentang Jual-Beli lebih di dahulukan dibandingkan dengan pembahasan tentang Nikah, karena orang lebih mendahulukan syahwat ‘perut’/ makan (ekonomi) dibandingkan dengan syahwat nikah.

Ditunda lagi tentang Jinayat  (Hukum Islam), sebab  timbulnya kriminal/ kejahatan itu karena adanya syahwat dunia (makan) dan syahwat bahtin.

A.  Hukum-Hukum Buyuu’ (Jual-Beli)
Buyuu’ meliputi dua pihak/ dua sisi, jual dan beli. Ada Hadits Nabi yang menyatakan: “Janganlah seorang laki-laki melamar/ meminang perempuan yang sudah di dilamar/ dipinang oleh saudaranya. Dan jangan menjual atas penjualan saudaranya.”
Misalkan ada seorang perempuan muslim yang telah dilamar oleh seorang laki-laki muslim, maka tidak dibolehkan bagi lelaki muslim lain untuk datang melamar kepada perempuan yang sudah dilamar tersebut. Dan dalam masalah jual beli, misalkan ada seseorang yang sudah menjual barangnya kepada orang lain, kemudian ada orang lain yang membujuk untuk membatalkan jual-beli tersebut karena ia berani untuk membayar dengan harga yang lebih tinggi, maka hal ini tidak dibolehkan, bahkan diharamkan dan dosa besar. Diharamkannya tidak hanya dalam hal menjual, tetapi demikian pula dalam hal membeli, sama juga dihukumkan haramnya.

Secara Lughot (bahasa), Bi’ menghadapkan sesuatu dengan sesuatu, dengan cara tukar-menukar. Menghadapkan uang dengan barang, artinya menukar barang dengan uang. Syarat sah-nya jual beli harus dengan harta, baik berupa uang atau barang yang bernilai dan ada harganya. Masuk dalam kelompok/ katagori Bi’  dalam lughot (bahasa) yang bukan barang, semacam najis. Menjual najis, termasuk Bi’  juga dalam bahasa. Seperti menjual khomer (minuman keras), kotoran hewan, kulit binatang yang belum di samak, itu semua termasuk dalam katagori/ kelompok  barang yang najis.  

Misalkan contoh Bi’ dengan menghadapkan barang yang najis dengan barang yang najis, seperti menukar antara khomer (minuman keras) dengan kulit binatang yang belum di samak.

Bi’  adalah menghadapkan antara tsaman (barang) dengan wustman (harganya). Misalkan barangnya 3 botol bir dan harganya berupa kulit yang belum di samak atau kotoran hewan. Hal ini termasuk Bi’  juga dalam segi bahasa, tetapi bukan berdasarkan syara’. Tetapi dalam syara’, Bi’ -nya harus antara barang yang suci dengan barang yang suci, najis tidak boleh diperjual-belikan, para ulama berpendapat, najis boleh diperjual-belikan bila sifatnya dharurat, semacam kotoran sapi/ kambing . Akan tetapi sifatnya bukan jual-beli melainkan sifatnya qishosh. Artinya menggugurkan haq kita, jadi bila kita memiliki kotoran sapi/ kambing, maka itu bukan termasuk milik, boleh dijual dalam kondisi dharurat. Najis  jual-belinya haram dan dilarang, tetapi Ulama Fuqoha membolehkannya karena sifatnya dharurat, seperti untuk pupuk tanaman.

Dalam Bi’  ada tsaman (barang) dan wusman (harga). Misalkan membeli mobil dengan uang, maka mobilnya adalah tsaman dan uangnya adalah wusman.

Tidak dibolehkan jual-beli barang dengan yang sama-sama najis, misalnya menjual kotoran hewan dengan khomer. Atau jual-beli antara barang yang najis  dengan barang yang bukan najis  atau uang, misalnya membeli khomer dengan uang atau dengan beras. Maka keduanya tidak dibolehkan, jual-beli antara barang yang najis dengan barang yang najis, atau jual-beli antara barang yang najis dengan barang yang suci/ uang.

Jadi jual-beli barang yang najis menurut lughot (bahasa) termasuk Bi’, tetapi bila berdasarkan syara’ (agama) bukan termasuk Bi’. Dalam Bi’  ada mu’awadhoh (tukar-menukar), dengan disertai izin syara. Artinya syara meng-izinkan kita mengadakan transaksi jual-beli semacam ini, bila tidak ada izin dari syara, maka bukan termsuk Bay’ juga. Misalkan si-A memberikan beras, maka si-B memberikan uang.

Bi’  menurut syara’ (agama), adalah: memberikan/ memindahkan milik, satu benda yang sifatnya harta, bernilai atau ada harganya.
Yang dimaksud barang yang tidak bernilai seperti 2 butir gandum atau 2 butir beras, 1 pentul korek api dll. Semuanya itu tidak ada nilainya, maka tidak sah dan tidak dapat disebut Bi’
Memberikan/ memindahkan milik kita kepada seseorang yang bersifat harta dengan disertai ada mu’awadhoh (tukar-menukar). Yang satu memberikan barang, yang satunya lagi memberikan uang atau barang. Dan syaratnya harus dengan izin shara.

Definisi Bi’  yang lain dari ulama, yaitu: memberi milik akan manfaat, manfaat yang sifatnya mubahah, tidak boleh manfaat yang harom, manfaatnya selamanya atau secara terus menerus, tidak ada batasan waktu, seperti sebulan atau setahun.
Seperti kita menjual kebun, rumah, motor, mobil dll. penjualan semacam ini manfaatnya bersifat mubahah.

Jadi setelah terjadinya Bi’, maka haq kepemilikannya berpindah dari penjual kepada pembeli untuk seterusnya/ selamanya. Bi’  bukan dengan cara Hibah, yaitu memberikan/ memindahkan haq kita kepada orang lain berupa waqaf, maka itu bukan termasuk Bi’, karena tidak ada tsaman dan wutsman, hanya semata-mata untuk ibadah kepada Alloh. Hibah ini dikeluarkan dari Bi’, karena dalam Hibah tidak ada pertukaran, antara barang dengan harga. Hibah kepada seseorang tidak dapat dicabut kembali, kecuali Hibah orang tua kepada anaknya.

Nikah bukan termasuk Bi’, pihak lelaki memberikan mahar kepada perempuan, sedangkan perempuan tidak memberikan apa-apa hanya diberikan kesempatan untuk memanfaatkan kehormatannya. Dalam nikah ada transaksi disitu berupa mahar (mas kawin), sedangkan perempuan tidak memberikan apa-apa kepada si-laki, ia hanya memberikan kesempatan kepada si-laki tadi untuk memanfaatkan kehormatannya. Jadi dalam nikah tidak menjadi milik, sehingga setelah kita menikahi seorang perempuan kita tidak dapat menyewakan atau menjual perempuan tadi. Sedangkan transaksi dalam Bi’  menjadi milik, sehingga kita dapat bebas menyewakan atau menjualnya kembali. Dalam nikah tsamannya berupa mahar, sedangkan wutsman-nya tidak ada. Dalam transksi Bi’  harus ada tsaman dan wutsman,  si-lelaki memberikan mahar (tsaman), sedangkan perempuan tidak memberikan apa-apa, oleh karena itu nikah tidak masuk dalam Bi’.

Secara Lughot  (bahasa), jual-beli (Bii’/Bee’) menghadapkan sesuatu dengan sesuatu, dengan cara tukar-menukar. Menghadapkan uang dengan barang, artinya menukar barang dengan uang. Masuk dalam pengertian jual-beli   (Bii’/Bee’)  disini adalah jual-beli najis, sedangkan dalam pengertian Syara’ najis bukan termasuk barang (maal).

Sedangkan jual-beli (Bii’/Bee’)  menurut syara’ (agama), adalah: memberikan/ memindahkan milik kita kepada orang lain, benda yang berupa harta, yang bernilai atau ada harganya, disertai dan melalui mu’awadhoh (tukar-menukar/ ada timbal-balik), murni semata-mata mu’awadhoh  serta ada izin syara’ yang membolehkan kita melakukan transaksi. Atau kita memberikan/ memindahkan  milik kepada orang akan manfaat yang mubah(tidak haram) menurut syara’, dengan harga (tsaman) yang ada nilainya juga.

Keluar dari kata-kata “Mu’awadhoh”  (tukar-menukar/ timbal-balik), adalah hibah karena dalam hibah tidak ada tukar-menukar ataupun timbal-balik, pihak yang satu memberikan barang/ kendaraan/ tanah atau lainnya, sedangkan pihak yang satunya lagi tidak memberikan apa-apa, untuk itu hibah tidak dapat digolongkan sebagai jual-beli. Dalam hibah tidak ada timbal-baliknya, sedangkan yang namanya jual-beli harus ada timbal-baliknya berupa harta yang ada nilainya/ harganya.

Serupa dengan hibah adalah nikah. Pihak laki-laki memberikan mahar kepada pihak perempuan berupa mas kawin, sedangkan pihak perempuan hanya memberikan kesempatan untuk memanfaatkan ia punya  kehormatan, ada timbal-baliknya, tetapi bukan berupa harta/ barang yang ada nilainya/ barang berharga.  Jadi nikah tidak dapat dihukumkan sebagai jual-beli, bila nikah dihukumkan sebagai jual-beli, maka setelah kita menikah dengan seorang perempuan, maka kita dapat menjual/ menyewakan istri kita.

Keluar dari kata-kata “Tamlik”  (memindahkan kepemilikan), harta/ benda yang kita sewakan bukan termasuk jual-beli (Bii’/Bee’). Dalam sewa hanya memberikan kesempatan untuk memanfaatkan barang yang disewakan dengan batasan waktu (tidak selamanya). Dalam transaksi sewa, ada timbal-baliknya yaitu satu pihak memberikan uang dan di pihak yang lain memberikan kesempatan untuk memanfaatkan barang/ benda miliknya. Tetapi dalam transaksi sewa, benda yang disewakan tidak menjadi milik, sehingga tidak masuk dalam jual-beli (Bii’/Bee’). Selama belum tuntas masa sewanya, maka selama itu pula barang/ benda yang disewakan dapat dimanfaatkan oleh pihak yang menyewa.

Keluar dari kata-kata “Maaliyah”  (harta/ benda yang berharga), benda yang bukan termasuk harta semacam najis (pupuk kandang/ kotoran hewan), bukan termasuk barang yang dapat diperjual-belikan. Najis  jual-belinya haram dan dilarang, tetapi Ulama Fuqoha membolehkannya karena sifatnya dharurat, seperti kotoran hewan untuk pupuk tanaman.
Jual-beli dibolehkan jika ada harga/ nilainya, jika tidak ada nilainya maka tidak dibolehkan, contohnya menjual 2 butir gandum/ beras. 2 butir gandum/ beras tidak ada nilainya, jadi tidak dapat dikatakan sebagai jual-beli (Bii’/Bee’).

Keluar dari kata-kata “Qurbah”  (mendekatkan diri kepada Alloh), jual-beli tidak ada tujuan mendekatkan diri kepada Alloh atau ibadah. Jual-beli adalah suatu hal yang mubah untuk kebutuhan kita sehari-hari, tidak ada sisi pahala disitu. Jika “Qardhun”  (meminjamkan uang) kepada orang ada nilai ibadahnya, sedangkan jual-beli tidak ada nilai ibadahnya. Setiap meminjamkan uang hukumnya shodaqoh, ada pahala shodaqoh disitu. Jika dalam jual-beli tidak ada nilai ibadah, bila mendapatkan keuntungan maka dijual. Rasululloh bersabda: “Aku melihat di pintu syurga ada tulisan: shodaqoh pahalanya 10 kali lipat sampai 700 kali lipat.” Bergantung kwalitas keikhlasannya dalam ber-shodaqoh.  Sedangkan kalau kita meminjamkan, maka pahalanya 11 kali lipat, lebih banyak pahala meminjamkan dari pada pahala shodaqoh. Karena bila kita shodaqoh kepada orang belum tentu ia butuh/ perlu akan uang atau benda yang kita berikan, akan tetapi kalau kita memberikan pinjaman kepada orang, sudah pasti dia sangat membutuhkan. Dalam mengembalikan pinjaman tidak boleh lebih ataupun kurang, akan tetapi bagi kita yang meminjam, disunnahkan saat mengembalikannya dilebihkan, akan tetapi tidak boleh disyaratkan/ disebutkan dalam akad pinjaman.

Keluar dari kata-kata izin syara’ (agama membolehkan) yaitu “Ribaa”, Ribaa bukan termasuk jual-beli. Barang-barang dari hasil ribawi bukan terjadi dari hasil jual-beli, tidak menjadi milik. Ribaa tidak termasuk jual-beli (Bii’/Bee’), karena tidak ada izin syara’. Ribaa terlihatnya bentuknya seperti jual-beli, tetapi bukan termasuk jual-beli. “Alloh menghalalkan jual-beli dan Alloh mengharamkan riba.”  

Masuk dalam kata-kata “tamlik”  (memberikan/ memindahkan milik), yaitu  manfaat semacam menaruh kayu/ balok di atas tembok kita. Artinya kita menjual manfaat dari tembok kita, hal ini termasuk jual-beli (Bii’/Bee’)  juga. Kita menjual manfaatnya, bukan temboknya. Contoh yang lainnya adalah tempat jalannya air, jadi saluran air (pipa) kita melewati tanah milik orang lain, kita membeli manfaatnya bukan membeli tanahnya. Contoh Gambaran aqadnya:
“Aku jual kepada kamu haq bangun di atas tanah ini dengan harga….”
 “Aku jual kepada kamu haq menaruh kayu di atas ini tembok dengan harga   …..”
 “Aku jual kepada kamu haq melewati saluran air di atas tanah ini dengan      harga …..” 
Jadi yang dijual manfaatnya, bukan ’ayn-nya.

Keluar dari kata-kata manfaat yang “Mubah” (yang tidak haram), gitar dan  seruling merupakan barang yang haram diperjual-belikan, karena termasuk barang “al malaahy”  (barang/ benda yang membuat lalai). Gitar dan seruling bukan termasuk jual-beli, karena termasuk barang yang haram, ada dalil yang menyebutkan bahwa keduanya termasuk barang yang haram.

Keluar dari kata-kata “tsaman” (harga), yaitu “waqaf”. Waqaf hanya satu pihak yang menyerahkan berupa tanah/ barang ataupun lainnya, sedangkan pihak yang satu tidak memberikan/ menyerahkan harga (tsaman) ataupun lainnya. Disitu ada “tamlik” (memberikan/ memindahkan milik) manfaat yang mubah, dapat dimanfaatkan oleh orang yang di-waqaf-kan untuk selama-lamanya tanpa ada harga (tsaman).

Keluara dari kata-kata tsaman juga, “Al Ujuuru fil Iijaaroh  (sewa atau upah kerja), memberikan upah atau menyewa tenaga orang untuk mengerjakan sesuatu. Sewa dapat berupa barang ataupun orang. Iijaaroh bukan tsaman, kita membeli manfaatnya bukan barang/ orangnya. Untuk sewa ada batasan waktunya, habis waktunya atau habis masa kerjaannya.

Keluar dari kata-kata maal (harta), yaitu khomer. Karena khomer termasuk najis dan najis haram untuk diperjual-belikan. Ada dalil yang mengharamkannya, termasuk anjing, babi dan darah.

Jual-Beli itu ada 3 macam, bahkan ada yang menyebutnya 4 macam, yaitu:
1.  Menjual benda (ainin)
Yang termasuk benda disini dapat berupa makanan, tanah, rumah, kendaraan ataupun lainnya. Menjual benda yang ada dihadapan/ terlihat (musyaahadah). Benda yang diperjual-belikan dapat di lihat oleh kedua belah pihak, baik penjual maupun pembeli. Seluruh fisik barang terlihat semuanya, tidak ada yang tertutup atau hanya sebagian fisiknya yang terlihat. Atau secara  hukumnya dianggap sudah terlihat padahal secara fisik barangnya tidak terlihat, jadi yang dilihat adalah tempat dari barang tadi, seperti petinya atau bungkusnya saja. Jadi sewaktu aqad/ transaksi yang dilihat hanya pembungkusnya saja dapat berupa peti ataupun sampul. Atau dia sudah melihat barangnya pada waktu sebelumnya (sebelum aqad).

Syaratnya tidak lewat zaman/ masa/ waktu yang dapat menyebabkan berubahnya itu barang pada saat aqad, misalnya karena busuk atau basi. Bila terjadinya aqad 1 Minggu kemudian, tetapi barang yang diperjual-belikan akan busuk/ basi dalam waktu 2 atau 3 hari, maka aqad/ transaksinya tidak diperbolehkan. Jadi tidak lewat dalam satu masa/ waktu yang dapat merubah isi barang dagangan tadi pada waktu aqad. Dalam hal ini jual-belinya diperbolehkan jika ada syarat-syaratnya, manakala persyaratannya ada maka diperbolehkan, apa yang disebutkan dalam perjanjian sebelum transaksi tentang kondisi/ keadaan barang tersebut, ternyata benar/ sesuai dengan kondisi/ keadaan barang pada waktu barang tersebut dibuka, maka jual-belinya diperbolehkan. Karena sudah dibicarakan sebelumnya, maka pada saat transaksi barang yang diperjual-belikan boleh tidak dihadirkan, cukup penjual dan pembelinya saja asalkan ada syarat-syaratnya.

Barang yang diperjual-belikan adalah barang yang suci, jika najis tidak dapat diperjual-belikan, baik najis dalam zatnya ataupun dalam sifatnya. Dan bukan barang yang mutan’najis  juga, seperti misalnya minyak goreng yang kejatuhan bangkai binatang, maka hal itu tidak dapat disucikan lagi, untuk itu tidak boleh diperjual-belikan.

Barang yang diperjual-belikan dapat diambil  manfaatnya, meskipun manfaatnya tidak dapat diambil saat ini, misalkan orang membeli anak kuda atau anak keledai, maka setelah dewasa kuda atau keledai tadi baru dapat dimanfatkan, meskipun tidak dapat dimanfaatkan dengan segera. Jadi barang yang diperjual-belikan merupakan barang yang suci dan ada manfaatnya.

Imam Syafi’i mensyaratkan bahwa barang yang diperjual-belikan harus barang yang suci. Sedangkan Imam Hanafi tidak mensyaratkan barang yang diperjual-belikan harus barang yang suci, Imam Hanafi membolehkan jual-beli barang najis, semacam kulit babi, kulit bangkai, asalkan ada manfaatnya. Menurut Imam Hanafi, selama tidak ada ‘nash’  yang melarangnya dan ada manfaatnya, maka masih dibolehkan untuk diperjual-belikan. Tetapi bila ada ‘nash’  dalam Al Qur’an yang melarangnya, semacam khomer, bangkai, darah maka dilarang untuk diperjual-belikan.

Imam Hanafi pun membolehkan menjual binatang buas dan barang yang mutan’najis . Banyak bermacam-macam cara dalam jual-beli, sehingga kita dibolehkan ber-taqlid  kepada imam-imam yang empat. Seperti kita membeli: cacing, ulat, telur semut untuk makanan burung, dalam madzhab  Imam Syafi’i jual-beli semacam ini tidak dibolehkan, akan tetapi pada madzhab  imam yang lain dibolehkan, untuk itu kita dibolehkan ber-taqlid  kepada imam-imam yang lain, karena semuanya benar.

Pihak penjual dapat/ mampu menyerahkan itu barang, misalkan barang yang dijual berupa burung, ternyata burung yang dijual tersebut terlepas/ terbang, selama si-penjual sanggup/ mampu untuk  menghadirkan/ menangkap burung tersebut, maka jual-belinya sah atau dibolehkan.
Atau misalkan si-pembeli merasa senang dengan binatang tersebut dan ia merasa mampu untuk dapat menangkap binatang yang terlepas/ kabur tadi, maka jual-belinya juga sah. Selama si-pembeli dapat menerima keadaan barang yang dibelinya (terlepas/ kabur), maka jual-belinya dibolehkan.

Si-penjual ada kemampuan/ kekuasaan untuk mendayaguna yang jaaiz  menurut syara’. Si-penjual tidak sedang sakit, tidak sedang disita ia punya hartanya karena banyak hutangnya, atau tidak karena bodoh (tidak tahu tentang harga barang yang dijualnya). Orang yang tidak mengerti tentang nilai uang/ nilai barang, maka tidak sah untuk melakukan jual-beli. Atau orang yang disita hartanya karena banyak hutangnya, maka dia tidak sah untuk melakukan jual-beli. Si-penjual merupakan pemilik yang sah atas barang yang dijualnya tersebut, atau dia memiliki/ diberikan wilayah/ kekuasaan (ada surat kuasa) untuk menjual barang yang diperjual-belikan.

Jika dalam masalah ibadat, sangkaan (dzhon)  dan kenyataan harus pararel/ sejalan, misalkan antum mau sholat di hutan ataupun tempat terpencil yang jauh dari keramaian, maka antum ada kewajiban mencari tahu arah dari qiblat dan apakah sudah masuk waktu shalat atau belum? Tidak dapat kita asal sholat saja, meskipun arah qiblat dan waktu shalatnya benar, tetap tidak sah shalatnya. Jadi kita mesti ber-Ij’tihat,  berusaha untuk mencari tahu waktu dan arah qiblat yang benar, karena dalam ibadat sangkaan (dzhon)  dan kenyataan harus sesuai. Misalkan dia sudah ber-Ij’tihat  untuk mencari tahu arah qiblat, ternyata setelah selesai shalat ada orang yang memberitahu bahwa arah qiblat kita salah, maka shalatnya yang kita kerjakan dianggap tidak sah.

Lain halnya dengan jual-beli, jual-beli cukup yang dipandang kenyataannya saja, sangkaannya tidak di pandang. Misalkan ada seorang anak lelaki satu-satunya dan ia bermaksud untuk menjual rumah/ mobil milik bapaknya, dan si-anak mempunyai prasangka yang kuat bahwa bapaknya masih hidup, tetapi dalam kenyataannya pada saat terjadi transaksi, tercatat bahwa pada hari dan jam yang sama, ternyata bapaknya sudah meninggal dunia, maka transaksi jual-belinya dianggap sah, karena ia mewarisi harta bapaknya. Jadi dalam masalah ibadah harus sama antara sangkaan dan kenyataan, tetapi dalam masalah mu’amalat cukup dilihat dari kenyataannya saja. 

Dalam jual-beli (Bii’/Bee’) harus ada Ijaab-Qobuul. Ijaab dari penjual dan Qobuul  dari pembeli. Ijaab adalah lafadz (ucapan) yang memindahkan atas milik secara dzhoohir. Contoh: “Bii’ tuka….” / “Aku jual kepada kamu…..” Sedangakan Qobuul adalah: lafadz (ucapan) yang menerima milik dengan petunjuk yang nyata, yaitu dengan ucapan: “Qobiltu/ Isytaraytu.”  Jadi jual-beli (Bii’/Bee’) mutlaq harus ada Ijaab-Qobuul, bila tidak ada Ijaab-Qobuul-nya maka jual-beli (Bii’/Bee’)  tidak sah. Jual-beli (Bii’/Bee’) dikaitkan dengan ridho, ridho itu urusan hati, urusan yang tersembunyi,  tidak nyata, dan tidak ada yang tahu. Jika tidak ada ucapan Ijaab-Qobuul, maka tidak ada yang tahu apakah kedua belah pihak ridho, untuk itu maka tunjukan ke-ridho-an kamu dengan lafadz ataupun dapat diganti dengan berupa tulisan atau dengan isyarat bagi orang yang bisu.

Dengan mu’aqad  saja tidak sah. Mu’aqad adalah saling memberi, yang satu memberikan barang dan yang satunya lagi memberikan uang. Umumnya kita dalam bertransaksi jual-beli seperti itu, tanpa adanya Ijaab-Qobuul. Mu’aqad adalah sepakat antara penjual dan pembeli untuk menukarkan tsaman (barang) dengan wustman (harga). Si-penjual menerima wustman (harga/ uang) dan si-pembeli menerima tsaman (barang), tanpa adanya Ijaab-Qobuul dan keduanya ridho, masih dianggap tidak sah jual-belinya.

Jalan keluarnya, Imam Nawawi dan sebagian kelompok Ulama Fuqoha menyatakan: “Sah jual-belinya dengan dipandang dari ridho antara keduanya, karena tidak ada keterangan yang mensyaratkan adanya lafadz.” Kita hidup bermasyarakat dalam bertransaksi sebaiknya kita ber-taqlid kepada pendapat dari Imam Nawawi dalam hal jual-beli. Bila kita tidak ber-taqlid kepada Imam Nawawi, sah jual-belinya tetapi kita dihukumkan berdosa. Bila saat ini kita dalam bertransaksi menggunakan cara Ijaab-Qobuul, tentunya menjadi bahan ejekan karena dipandang aneh, padahal orang-orang terdahulu untuk membeli barang semacam: bakul, sapu, garam dll., mereka masih menggunakan tuntunan agama, yaitu dengan cara Ijaab-Qobuul dalam bertransaksi. Untuk itu agar kita terhindar dari tuntutan di akhirat kelak, maka usahakan sebelum bertransaksi kita ber-taqlid kepada Imam Nawawi. 

Dalam mengucapkan Ijaab dan Qobuul harus menyambung/ langsung, tidak ada jeda yang lama diantara keduanya). Antara Ijaab dan Qobuul harus sepakat, misalkan: Penjual berkata: “Aku jual kepada kamu mobil ini dengan harga Rp. 100 Juta.”  Pembeli cukup menjawab: “Saya terima (Qobiltu).”   Tetapi dapat pula dipanjangkan menjadi: “Saya terima mobil ini dengan harga Rp. 100 Juta.”  Bila pembeli mengucapkan: “Saya terima mobil ini dengan harga Rp. 50 Juta, maka jual-belinya tidak sah. Karena antara Ijaab dan Qobuulnya tidak sama, yaitu  tidak terjadi kesepakatan harga.

Bila ternyata sudah waktu jatuh tempo ternyata si-pembeli tidak ada kesanggupan untuk membayar, maka si-hakim dapat menjual barang itu. Atau bila ada orang yang diwasiatkan untuk mengurus harta warisan dari seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya saat masih kecil. Si-Hakim dapat menempatkan/ memposisikan dirinya sebagai Baa’i  (penjual): “Aku jualkan ini barang kepada kamu dengan harga …….., dan aku pindahkan kemilikannya kepada kamu.”  Perkataan dari Musytarii  (pembeli): “Qobiltu/ Isytaraytu.”  Maka sah jual-belinya, asalkan antara pengucapan Ijaab dengan Qobuul harus langsung/ menyambung.

Si-penjual harus menyebutkan barang dan harganya, sedangkan untuk si-pembeli cukup dengan kata-kata: “Qobiltu/ Isytaraytu,”  maka transaksi jual-belinya sah. Yang pertama mengucapkan Ijaab dapat dilakukan oleh si-penjual ataupun oleh si-pembeli. Bila dari si-penjual ucapannya:  “Aku jual barang ini kepada kamu dengan harga …..”  Sedangkan bila si-pembeli yang mengucapkan, maka ucapannya: “Aku beli dari kamu barang ini dengan harga …..”  Yang terpenting baik si-penjual ataupun si-pembeli yang mengucapkan terlebih dahulu, maka wajib menyebutkan: tsaman dan wutsman, bila tidak menyebutkan maka transaksi jual-belinya tidak sah. Sedangkan yang mengucapkan belakangan, tidak wajib menyebutkan tsaman dan wutsman lagi, tetapi cukup berkata: “Qobiltu/ Isytaraytu.”   

Sekarang permasalahannya bila jual-belinya melalui internet (online) dan supermarket/ minimarket seperti yang berkembang saat ini, aqad melalui telephone dan seumpamanya dikarenakan jarak antara keduanya (penjual dan pembeli) jauh, satu sama lain tidak dapat melihat/ berjumpa secara langsung dan juga tidak dapat dilihat barang yang diperjual-belikan, tetapi dapat didengarkan suaranya, seperti: “Saya jual barang ini dengan harga ……. kontan.”  Maka Imam Nawawi Rahimahumullohu taala berkata: “Andaikata keduanya saling sambung menyambung, keduanya saling berjauhan, keduanya saling jual-beli, maka sah jual-belinya tidak ada khilaf, sebagaimana tertulis dalam kitab Maj’mu. Seperti yang aku lihat pada sebagian pameran-pameran atau semacam super market, mereka tidak  mencantumkan harga dari tiap-tiap barang yang diperdagangkan, maka si-pembeli mengambil sejumlah barang dagangan dan si-kasir menghitung harga dari barang dagangan itu, si-pembeli tidak mengetahui berapa harga tiap-tiap barang dagangan yang diambilnya, maka jual-belinya harus ada Ijaab-Qobuul.  Hal semacam ini menurut pendapat ulama, ada yang menyatakan sah dan ada yang menyatakan tidak sah. Tetapi sebaiknya si-pembeli mencari tahu berapa harga dari tiap-tiap barang yang akan dibelinya, agar terhindar dari kebodohan.

Barang yang najis tidak menjadi milik tetapi hanya sebagai haq saja. Jual-beli barang yang najis disebut: Ikhtishosh.  Barang yang najis  dibolehkan jual-beli di saat darurat, semacam kotoran hewan untuk pupuk. 

Tidak beda jauh persyaratan shiqot, dalam jual-beli ada syarat shiqot berupa Ijaab-Qobuul.  Jual beli tanpa Ijaab-Qobuul  itu sah hukumnya, tetapi nanti ada tuntutan di akhirat, karena syaratnya jual-beli harus ada ridho, sedangkan ridho itu urusan hati, untuk itu keridhoannya harus di lafadzhh-kan (diucapkan) berupa Ijaab-Qobuul.  Muaqod  adalah penjual memberikan barang dan pembeli memberikan uang, tetapi tanpa ada Ijaab-Qobuul, sehingga masih ada tuntutan di akhirat kelak.

Kita dibolehkan untuk bertaqlid kepada fatwa/ pendapat dari Imam Nawawi yang membolehkan jual-beli tanpa adanya Ijaab-Qobuul. Karena di akhir zaman bila kita menggunakan Ijaab-Qobuul  akan menjadi bahan ejekan (sukhriyah).  Jadi untuk melepaskan tuntutan di akhirat kelak, maka kita dibolehkan untuk ber-taqlid kepada fatwa dari Imam Nawawi yang menyatakan boleh melakukan transaksi jual-beli tanpa Ijaab-Qobuul, yaitu Muaqod. Tetapi alangkah bagusnya bila kita dalam bertransaksi jual-beli kita menggunakan Ijaab-Qobuul. Kemarin-kemarin kita dalam bertransaksi jual-beli tidak menggunakan Ijaab-Qobuul  karena kita tidak tahu, untuk itu kita perlu ber-taqlid kepada fatwa dari Imam Nawawi. Taqlid dalam beramal hukumnya sah, dan ber-taqlid atas amal yang sudah dijalankan hukumnya juga sah.

Tidak jauh berbeda dalam hal jual-beli barang yang bukan najis ada persyaratan shighot, dalam Ikhtishosh (jual-beli barang yang najis) pun, ada persyaratan shighot  untuk melepaskan haq kita atas barang yang najis. Penjual berkata: “Aku angkat kekuasaanku atas ini Ikhtishosh” atau “Aku gugurkan kekuasaanku atas ini Ikhtishosh.” Najis dapat berupa kotoran hewan (sapi, kambing, ayam dll.) yang digunakan sebagai pupuk. Bahkan pada madzhab  yang lain lebih longgar lagi, dibolehkan menjual najis kecuali yang sudah ada nash dalam Al Qur’an yang melarangnya, seperti darah (dam)  dan babi (khinziir), sedangkan najis yang lainnya masih dibolehkan. Dalam hal ini kita dapat bertaqlid kepada pendapat dari Imam Hanafi dan Imam Hambali.

Dan tidak jauh berbeda juga seperti jual-beli barang yang bukan najis (halal), dibolehkan kita mengambil imbalan/ gantiannya (‘iwadh)  dari melepaskan kekuasaan atas barang yang najis. Semacam orang yang mundur/ melepaskan diri dari jabatannya akan mendapatkan imbalan/ pesangon. Semacam sekarang ini banyak perusahaan yang menawarkan pensiun dini kepada karyawannya untuk mengurangi jumlah karyawan pada perusahan tersebut.

Pendapat dari Syech Manshur Al Bahuuty, beliau ber-madzhab Hambali dalam kitab Syarah Zaad : Mensyaratkan bagi ‘aaqid (penjual & pembeli):
-                Dia boleh berdaya guna (tasharuf)  dalam barang yang ada padanya, artinya dia dapat menjalankan apa yang diinginkan dari hartanya. Misalkan budaq tidak dapat melakukan transaksi jual-beli, karena apa yang dimiliki oleh si-budaq sepenuhnya adalah milik tuannya, jadi yang dibolehkan  melakukan transaksi adalah orang yang merdeka.
-                Orang yang bertransaksi jual-beli harus orang yang mukalaf . Yaitu orang yang sudah aqil baligh dan tidak gila. Pada dasarnya anak kecil tidak boleh melakukan transaksi jual-beli, kecuali untuk hal-hal yang dianggap ‘remeh’ (barang yang murah nilainya). Dan orang yang gila tidak dibolehkan melakukan transaksi jual-beli.
-                Cerdas orangnya, artinya dia mengerti nilai uang atas suatu barang. Orang yang bodoh tidak dibolehkan melakukan transaksi jual-beli. Maka tidah sah berdaya-gunanya anak kecil dalam bertransaksi jual-beli. Tidak sah jual-belinya anak kecil dan orang yang bodoh tanpa seizin dari walinya atau bapaknya/ kakeknya. Jika ada izin dari walinya, maka transaksi jual-belinya sah, sekalipun dia bertransaksi untuk barang yang jumlahnya banyak. Haram juga bagi si-wali mengizinkan bagi si-anak kecil untuk membeli sesuatu yang banyak tanpa ada kemaslahatan/ kepentingan yang baik pada barang yang dibelinya itu. Berlangsung/ berjalan/ sah hukum transaksi jual-belinya pada sesuatu yang sedikit. Transaksi jual-beli untuk barang yang jumlah/ nilai-nya sedikit tetap sah meskipun tanpa ada izin dari walinya. Berdaya gunanya (tasharuf)  si-hamba (budaq) harus atas izin dari tuannya. Budaq tidak boleh melaksanakan transaksi jual-beli atas hartanya tanpa seizin dari tuannya.

2.  Menjual Suatu Benda Yang Sudah Di-shifaat-kan/ Dijelaskan
Menjual barang dengan menyebutkan jenisnya, kadarnya, shifaatnya, ukurannya dan diterangkan dalam suatu aqad jual-beli. Gambarannya untuk transaksi jual-beli yang dishifaatkan/ dijelaskan, yaitu: “Aku jual kepada kamu baju dengan ukuran…., dan jenisnya…, dan shifaat….. dan  warnanya…. Jika barang berupa baju yang sudah dishifaatkan tadi, ternyata barangnya ada disitu, maka hal tersebut tidak ber-resiko apa-apa/ tidak berbahaya, maka transaksinya sah saja. Karena orang ini berpegang atas shifaat-shifaat yang dijelaskan dalam aqad tadi.

Bersalahan atau berbeda ketentuannya/ hukumnya/ akibatnya, maka tidak sah jual-belinya jika hanya menyebutkan shifaatnya saja (tidak tuntas), tanpa menyebutkan ukurannya, jenisnya, kadarnya dari barang yang dijual. Karena yang ditentukan (barang yang dijual) tadi tidak dijelaskan dalam aqad/ pertanggungan. Karena hal ini terbilang suatu hal yang ghooib, yaitu barang yang dijual tidak terlihat. Tidak dibolehkan menjual suatu barang yang ghooib tanpa menjelaskan secara lengkap pada saat aqad tentang shifaatnya, ukurannya, jenisnya, kadarnya dari barang yang akan diperjual-belikan tersebut.

Jika transaksi aqadnya dengan lafadzh: Bii’/Bee’: “Bii’ tuka…”, maka disebut Bii’/Bee’ (jual-beli), bukan Bii’ Salam. Jika Bii’ Salam maka lafadzh-nya adalah: “Aslamtuka…, atau Aslamtu alaika….”  Maka berkata Tuan Syech Mushonif (pengarang kitab): “Saat ini kita masih bicara masalah Bii’/Bee’ bukan masalah Bii’ Salam, yaitu Bii’/Bee’ dalam tanggungan. Bii’/Bee’ dalam tanggungan ada hukum-hukumnya tersendiri, dan Bii’/Bee’ Salam-pun ada hukum-hukumnya tersendiri pula.

Maka hukum ketentuan-ketentuan Bii’/Bee’ Salam, yaitu disyaratkan diterima uangnya dalam suatu majlis (tempat) secara tunai, sedangkan  barangnya baru akan diterima beberapa bulan kemudian (indent). Akan tetapi barang yang dijual sudah dishifaatkan/ diterangkan, apabila nanti pada saat barang yang diterima tidak sesuai dengan yang dishifaatkan, maka uangnya harus dikembalikan kepada si-pembeli. Uang yang diserahkan oleh si-pembeli tidak boleh di tukarkan dalam bentuk uang yang lain, misalnya pembeli menyerahkan uang berupa rupiah, maka tidak boleh ditukar menjadi berupa dollar ataupun real. Dan uangnya tidak boleh dipaliangkan/ di over kepada orang lain. Disitu diserahkan uang, maka disitu pula harus dikembalikan/ diserahkan uangnya.

Dalam Bii’/Bee’ (jual-beli) tidak disyarakan menyerahkan uang di majlis (tempat) pada saat transaksi, karena dibolehkan menyerahkan uangnya kemudian/ belakangan. Sedangkan Bi’ Salam harus menyerahkan uangnya terlebih dahulu, sedangkan barangnya baru diserahkan kemudian.

Semacam dijual budaq berserta anaknya, dengan menshifaatkan keduanya secara lengkap, dengan menggunakan lafadzh Bii’/Bee’ (jual-beli) maka sah hukum jual-belinya. Jika dilafadzhkan dengan aqad Bi’ Salam: “Aslamtuka…, atau Aslamtu alaika….”, maka tidak sah. Jika dilafadzhkan dengan lafadzh Salam, maka wajib menerima akan si-musytarii.

Jika sudah di lafadzhkan padanya bagi itu barang dengan shifaatnya dan ternyata sesuai itu barang dengan shifaat yang sudah disebutkan dalam Salam, maka sah itu transaksi. Jika barang yang diterima tidak sesuai dengan kondisi barang yang dishifaatkan, maka si-pembeli tidak mesti menerimanya. Bagi si-pembeli boleh melihat dan memilih, si-pembeli boleh memilih barangnya atau membatalkan pembeliannya. Karena disitu ada hiyal ghoib (tipu daya yang tersembunyi).

3.  Menjual Benda Yang Ghooib (Tidak Ada Ditempat)
Menjual benda yang Ghooib  artinya tidak terlihat dari pandangan kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli (Muta’aqidyn). Transaksi jual-beli terjadi tanpa melihat barang yang diperjual-belikan. Barangnya tidak terlihat sekalipun barangnya ada di majlis (tempat). Sekalipun barangnya ada ditempat, tetapi selama tidak terlihat maka tidak sah transaksi jual-belinya, apalagi bila barangnya tidak ada ditempat.

Tuan Syech Mushonif  menafsirkan/ menerangkan tentang barang yang Ghooib (Ghooibah), yaitu barang yang tidak dilihat/ disaksikan oleh Muta’aqidyn (penjual dan pembeli). Bisa terjadi kedua belah pihak tidak melihat barang yang diperjual-belikan. Atau salah satu dari keduanya yang tidak melihat sedangkan yang satunya melihat, apakah si-pembeli ataupun si-penjual. Maka dalam hal semacam ini, transaksi jual-beli barangnya tidak boleh terjadi, karena keduanya tidak melihat atau salah satu dari keduanya tidak melihat barang yang diperjual-belikan tersebut.

Karena ada larangan dari Nabi tentang Baii’ul Ghoror, jika ulama-ulama kampung dahulu biasa menyebut transaksi semacam ini dengan istilah: “jual-beli kucing dalam karung.”  Ghoror  dalam bahasa Arab diartikan sebagai tipuan. Definis Ghoror  menurut Ulama Fiqih: “Yang meliputi kita resikonya.” Bila kita membeli barang yang ada resikonya, maka disebut ghoror. Atau yang membuat mundur-maju/ bolak-balik diantara 2 perkara (bagus atau jelek), yang paling dominan adalah yang paling menakutkan atau tidak sesuai dengan keinginan kita (barangnya jelek), maka itu disebut ghoror. Nabi melarang transaksi jual-beli barang yang mengandung resiko (bagus/ jelek). Jadi tidak boleh kita melakukan transaksi jual-beli tanpa kita melihat barang yang diperjual-belikan. Sekalipun si-penjual men-shifaat-kan (menjelaskan/ menerangkan) dengan sangat bersungguh-sungguh bahwa barang yang dijualnya tidak ada yang jelek/ cacat, hal tersebut masih tidak dibolehkan atau tidak sah jual-belinya.

Dapat kita ketahui dari itu penjelasan, maka tidak dibolehkannya (tidak sah) jual-belinya orang yang buta, baik ia sebagai penjual ataupun ia sebagai pembeli. Bagaimana orang yang buta dapat melihat apa yang diperjual-belikan? Untuk orang yang buta dalam menyerahkan atau menerima barangnya harus diwakilkan. Kecuali untuk transaksi barang yang ada tanggungannya semacam bii’/bee’ Salam, maka hal itu dibolehkan.

Maka tidak boleh dilakukan transaksi jual-belinya manakala tidak mar’iyah  (tidak dilihat) oleh kedua belah pihak, jadi barang yang diperjual-belikan harus dilihat oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli) terlebih dahulu. Karena ada larangan menjual Baii’ul Ghoror, yaitu menjual barang yang penuh resiko.

Yang dimaksud dengan kata-kata Jawaz  pada macam jual-beli yang ketiga, yaitu sah. Maksud Jawaz adalah sah, tetapi haram. Maka Jawaz (sah) ini meliputi sah tapi haram, ada sah tapi makruh. Semacam menjual anggur kepada seseorang yang dia tahu persis bahwa anggur tersebut akan dijadikan khomer/ arak. Jika si-penjual menyangka bahwa anggur yang dijualnya akan dijadikan arak, maka jual-belinya sah tetapi haram. Sama bandingannya dengan transaksi jual-beli yang dilakukan pada saat adzan Jum’at yang kedua, maka jual-belinya sah tetapi haram. 

Hal ini jika ada Dzhon (sangkaan kuat), jika si-pembeli akan menggunakan anggur ini untuk dijadikan arak (minuman keras). Atau ia ada Waham (ada sangkaan tetapi tidak kuat dan sangkaannya masih di bawah dzhon), lebih dekat kepada syak.  Ia duga dan ia sangka bahwa anggur ini kemungkinan akan diperas untuk dijadikan arak (minuman keras). maka hal itu masih tidak dibolehkan dan hukumnya makruh. Sama makruhnya sebagaimana orang yang menjual kain kafan untuk orang yang meninggal dunia. Karena bila kita menjual kain kafan, kita selalu mengharapkan akan banyak orang yang mati, sehingga akan laku dagangannya. Banyak kerjaan (profesi) ataupun barang dagangan yang makruh untuk dijual.

Ada jual-beli yang Wajib, Mustahab, Haram, Makruh dan Sunnah.
Jual-beli yang Wajib yaitu kita menjual makanan pokok (semacam beras atau gandum dll.) kepada orang yang ber-hajad  (butuh), bila kita tidak menjual kepadanya, maka ia akan mati kelaparan.
Jual-beli yang Mustahab, yaitu kita di sunnahkan menjual suatu barang yang dibutuhkan orang. Pedagang yang benar dan jujur nanti di akhirat akan dikumpulkan bersama para Anbiya (Nabi-nabi) dan para Syuhada (Orang yang mati Syahid). Terkadang makanan ini bisa menjadi wajib dan bisa pula menjadi Mustahab.

Memberi faham perkataan dari Tuan Syech Mushonif, kata-kata “Lamtusyaahad” ( tidak disaksikan/ tidak dilihat), memiliki syarat bahwa barang tadi setelah dilihat kemudian barang itu menghilang dari pandangan kita (tidak ada di tempat majlis aqad), maka aqadnya dalam hal itu dibolehkan, asalkan sudah dilihat terlebih dahulu. Jadi sebelum transaksi kita sudah melihat barangnya dan pada saat aqad transaksi barang sudah tidak kita lihat lagi, maka hal itu dibolehkan. Tetapi sebagai syarat untuk sah-nya itu jual-beli, bahwa si-aaqid (penjual/ pembeli), terutama bagi si-pembeli agar mengingat tentang shifaat-shifaat dan kondisi dari barang yang akan dibelinya sebelum transaksi. Bila si-aaqid (penjual/ pembeli) tidak mengingat barang yang ditransaksikan, misalkan barangnya dilihat pada waktu seminggu yang lalu sehingga sewaktu transaksi dia sudah lupa tentang shifaat-shifaat dari itu barang, maka jual-belinya tidak sah.

Dibolehkannya aqad jual-beli yang tidak dilihat pada saat transaksi, tetapi barang tersebut sudah dilihat pada beberapa minggu atau beberapa hari yang lalu, maka syaratnya ia masih ingat tentang shifaat-shifaat dari barang tersebut dan barang tersebut pada umumnya tidak berubah dari sejak dilihat sampai terjadinya transaki. Misalkan semacam buah atau kue/ makanan, bila dilihatnya seminggu yang lalu, maka ada kemungkinan buah/ makanan tersebut telah rusak/ busuk/ basi. Untuk barang yang tidak berubah dari sejak barang tersebut dilihat sampai terjadinya transaksi maka transaksi jual-belinya dibolehkan, semacam singkong.

Untuk barang yang pada umumnya tidak rusak pada interval,  masa antara waktu dilihat dan waktu terjadinya transaksi, maka transaksi jual-belinya dibolehkan. Bila kondisi barang dari sejak dilihat sampai terjadinya transaki, ada kemungkinan barang tersebut dapat berubah ataupun barang tersebut tidak berubah, artinya kemungkinannya 50%, maka transaksinya dibolehkan.

Bersalahan hukumnya jika barang pada umumnya akan berubah pada waktu/ masa antara waktu dilihat dan waktu transaksi, maka aqad jual-belinya tidak sah. Andaikata barang tersebut pada umumnya/ kebiasaannya tidak rusak pada masa jarak antara waktu dilihat dan waktu transaksi, dan ternyata setelah terjadi transaksi barang tersebut berubah/ rusak, artinya tidak seperti biasanya atau menyalahi dari kebiasaannya, maka si-pembeli diberikan hak memilih, apakah akan melajutkan jual-beli atau membatalkan jual-beli, selama itu barang tidak berubah ke arah yang lebih baik, bila berubah ke arah yang lebih baik itu bagus. Jika misalkan saat dilihat buahnya masih mentah/ mengkel dan pada 3 hari kemudian saat terjadi transaksi, buah tersebut berubah menjadi matang, artinya berubah ke arah yang baik/ bagus, maka transaksi jual-belinya  dibolehkan.

4.  Menjual Manfaat
Hanya menjual manfaatnya saja, bukan bendanya atau zat-nya, dan manfaat yang dijual berlaku terus-menerus. Jika sewa menyewa tidak berlaku terus-menerus, melainkan ada batasan waktu. Shighot-nya  jual-beli juga, tetapi bukan jual-beli benda-nya/ zat- nya/‘ayn-nya  tetapi hanya manfaatnya saja. Semacam menjual hak untuk melewati/ melintasi tanah milik orang lain, karena kita tidak memilik jalan melainkan harus melewati tanah milik orang lain. Atau kita membeli manfaat untuk melintasi saluran air di tanah milik orang lain. Kita membeli manfaatnya dengan menggunakan surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Kita tidak memiliki itu tanah, kita hanya membeli manfaatnya saja dan manfaatnya berlaku untuk selamnya, tidak ada batasan waktu. Contoh lainnya adalah seperti kita menaruh kayu di tembok orang lain, artinya kita membeli manfaat untuk menaruh kayu pada tembok orang lain dan manfaat ini berlaku untuk selamanya. Sekalipun tidak memiliki haq atas benda tadi, tetapi hanya manfaatnya saja, tetapi ini termasuk jual-beli (bii/bee)  juga. Shighot-nya  termasuk jual-beli juga dan ada Ijaab-Qobuul-nya. Kita hanya membeli manfaatnya saja, dan bukan membeli  bendanya.

Untuk barang yang akan dijual harus memenuhi 5 persyaratan, 3 persyaratan sudah disebutkan oleh Tuan Syech Musonif (Pengarang Kitab), yaitu:
1.  Barang/ Benda Yang Dijual Adalah Segala Sesuatu Yang Suci
Sekalipun keyakinan akan kesucian dari benda yang dijualnya tadi diperolehnya dengan jalan  Ij’tihad. Ij’tihad yaitu segala daya upaya dikeluarkannya untuk dapat menyakinkannya bahwa benda yang dijualnya merupakan barang yang suci. Dari hasil Ij’tihadnya apabila benar maka mendapatkan 2 pahala dan apabila salah maka hanya mendapatkan 1 pahala saja.

2.  Benda Yang Dijual Ada Manfaatnya
Menjual 2 butir gandum/ beras tidak ada manfaatnya, maka jual-belinya tidak diperbolehkan. Manfaat dari benda yang dijual merupakan manfaat yang Mubah (Halal), bukan manfaat yang Haram. Sekalipun manfaatnya tadi di akhirat, bukan di dunia, dalam hal ini jual-belinya masih diperbolehkan.
Semacam kita membeli budaq yang lumpuh/ sakit kronis. Tujuan orang membeli budaq adalah untuk diambil manfaatnya berupa tenaganya, sedangkan membeli budaq yang sudah lumpuh/ sakit kronis apa yang dapat diambil manfaatnya?  Tujuan ia membeli budaq bukan untuk diambil manfaat tenaganya di dunia, melainkan dengan tujuan untuk dimerdekakan, dan ia hanya mengharapkan balasan pahala dari Alloh SWT. Manfaatnya tidak terlihat di dunia, tetapi akan kita rasakan nanti di akhirat. Banyak ayat-ayat yang menganjurkan untuk memerdekakan budaq, maka dalam Islam tidak ada per-budaq-an, Islam juga bertujuan untuk menghapus adanya perbudaqan yang sudah ada. Justru sampai saat ini per-budaq-an masih terjadi dibelahan bumi Eropa, mereka memper-budaq orang-orang dari Afrika.
Mengapa kita masih perlu untuk mempelajari “Kitabul Itiiq” (Kitab Masalah Per-budaq-an)?  Karena bisa saja terjadi pada saat nanti akan terjadi peperangan antara Islam dengan Kafir, maka orang kafir yang tertangkap/ tertawan dapat menjadi budaq kita.
Atau manfaat dari barang yang kita beli tidak dapat kita manfaatkan  sekarang/ saat ini, tetapi kita manfaatkan nanti (berproses). Untuk saat ini belum dapat kita manfaatkan untuk bekerja, dalam hal ini jual-belinya masih dibolehkan, seperti membeli keledai yang masih kecil. Untuk saat ini keledai yang masih kecil tersebut belum dapat digunakan untuk mengangkut barang atau sebagai alat transportasi, tetapi nanti setelah ia tumbuh dewasa, keledai tersebut baru dapat dimanfaatkan. Keledai yang masih kecil tadi boleh diperjual-belikan dengan syarat bila induknya/ ibunya sudah mati, atau keledai tadi sudah tidak menyusu lagi. Apabila keledai tadi masih menyusu, maka haram untuk diperjual-belikan, karena akan memisahkan antara anak dengan induknya. Menjual atau membeli binatang yang masih menyusu kepada induknya maka hukumnya haram, karena binatang yang masih kecil tersebut masih membutuhkan perawatan dari induknya.

3.  Benda/ Barang Yang Dijual Milik Seseorang
Yang dimaksud dengan kata-kata “mamluk”  disini adalah si-penjual  mempunyai kekuasaan/ wilayah atas benda/ barang yang dijualnya. Kekuasaannya dapat diperoleh dari beberapa jalan, seperti benda/ barang tadi memang benar-benar miliknya secara pribadi.
Atau dia diberikan kuasa/ wilayah oleh si-pemilik barang tadi untuk menjual barang miliknya. Seperti bapak atau kakek ada wilayah atau kuasa atas barang/ benda dari anaknya atau cucunya yang masih kecil.
Atau orang tua dari si-anak yang masih kecil, semasa hidupnya ia berwasiat dengan memberikan kuasa kepada seseorang yang dapat ia percaya untuk mengurus harta dari anak yang masih kecil. Orang yang mendapatkan wasiat tadi memperoleh kuasa/ wilayah untuk menjual benda/ barang tadi berdasarkan Wasiat.
Atau ada izin dari Syara (agama), padahal benda/ barang yang dijualnya bukan merupakan miliknya, dan dia tidak memiliki kuasa/ wilayah atas barang tersebut dan ia tidak mempunyai wasiat untuk menjual barang tersebut, tetapi ada izin Syara yang membolehkan dia untuk menjual barang/ benda tersebut. Semacam ia menemukan barang di jalan, misalnya seperti jam tangan, uang atau cincin yang mahal harganya.
Apabila barang yang kita temukan bukan merupakan barang yang tahan untuk disimpan lama, bila disimpan lama maka barang tersebut akan rusak/ busuk, misalnya kita menemukan 1 peti dodol garut, atau kita menemukan pisang 1 tandan misalnya, maka kita dapat menjual barang temuan tadi. Barang yang kita temukan/ dapatkan dan ditakutkan akan rusaknya apabila disimpan lama, maka kita dapat menjualnya. Dalam hal ini Syara mengizinkannya, padahal bukan merupakan miliknya, dan dia tidak ada kuasa/ wilayah, dan dia tidak ada wasiat, tetapi izin syara yang membolehkannya untuk menjual barang temuan tadi. Akan tetapi ada persyaratannya. Jika suatu saat nanti ada yang mengakui bahwa barang yang kita temukan tadi adalah miliknya, maka kita harus membayar/ menggantinya.
Apabila barang yang kita temukan merupakan barang yang tahan lama untuk disimpan, misalkan semacam emas, uang atau lainnya, maka kita harus mengumumkan barang temuan tadi di tempat-tempat keramaian semacam pasar atau masjid. Akan tetapi saat kita mengumumkannya jangan kita sebutkan ciri-ciri dari barang yang kita temukan tersebut, bisa jadi ada orang yang mengaku-ngaku sebagai pemiliknya padahal bukan dia pemilik sahnya. Kita mengumumkan barang temuan tadi di tempat-tempat keramaian, seperti masjid-masjid, pasar-pasar dll. selama 1 tahun lamanya. Bila ada orang yang mengakui, maka tanya kepadanya barang apa yang hilang darinya? Bila apa yang dia sebutkan ciri-cirinya  sama persis dengan apa yang kita temukan, maka serahkan barang tersebut kepadanya. Bila sampai 1 tahun setelah kita umumkan dan tidak ada yang mengakuinya, maka atas izin syara kita dibolehkan untuk menjualnya. Misalkan setelah beberapa tahun dan kita telah menjual barang temuan tadi (misalkan berupa emas), kemudian ada orang yang datang kepada kita dan ia menyebutkan barang dengan ciri-ciri yang sama dengan barang yang kita temukan, maka kita harus menggantinya. Kemungkinan orang yang kehilangan barang tersebut tidak mengetahui saat kita mengumumkan barang hasil temuan tadi atau dia sedang berada di luar kota saat kita mengumumkannya.
“Orang yang menemukan barang yang tidak sama dengan jenis barang miliknya, maka dia boleh menjual barang dengan jenis miliknya dan dia boleh memiliki barang yang ditemukannya.”

4.  Ada Kemampuan/ Kesanggupan Untuk Menerima Barangnya
Syarat yang ke-4 ini ditambahkan oleh Syech Nawawi Al Banteni
Si-pembeli yakin bahwa ia mampu menerima barang yang diperjual-belikan seketika itu, tanpa ada tambahan biaya/ ongkos. Sekalipun si-penjual tidak ada kemampuan untuk menyerahkan barang yang diperjual-belikannya tersebut. Ketentuan ini berlaku selain pada Bee’/Bii’ Dhimny. Bee’/ Bii’ Dhimny  yaitu: jual-beli yang resikonya di tanggung oleh si-pembeli. Ada yang menyatakan bahwa Bee’/ Bii’ Salam  sama dengan Bee’/ Bii’ Dhimny. Padahal Bee’/ Bii’ Salam berbeda dengan Bee’/ Bii’ Dhimny.

Jika Bee’/ Bii’ Salam harus ada kemampuan menyerahkan bagi si-penjual dan si-pembeli sanggup menerimanya. Sedangkan pada Bee’/ Bii’ Dhimny, jika pada awalnya si-pembeli mampu menerima itu barang, ternyata pada akhirnya dia tidak mampu menerimanya, maka resikonya ditanggung oleh pembeli. Pada Bee’/ Bii’ Dhimny tidak disyaratkan untuk dapat menyerahkan itu barang. Pada persyaratan Jual-Beli, si-penjual mampu menyerahkan barang kepada si-pembeli, kemampuan si-pembeli untuk menerima itu barang yang dibelinya. Andaikata si-penjual tidak mampu menyerahkan itu barang, tetapi si-pembeli sanggup untuk menerimanya, maka itu sudah cukup, maka salah satu saja dari keduanya yang memiliki kemampuan itu.

Bila kau katakan kepada pemilik budaq yang mana budaq ini sudah dirampas orang: “Bebaskan/ merdekakan kau punya budaq dengan harga (sekian…) untukku.”  Padahal si-budaq ada ditangan orang lain, dan bukan pada tangan si-penjual. Dengan kita membelinya, maka bebas itu budaq dari tangan si-penjual. Si-penjual berkata: “Ya, aku bebaskan itu budaq dari tanganku untukmu, maka jual-belinya sah, padahal budaq tidak ada ditangan dia (sudah di rampas orang). Dan si-pembeli ada kemampuan untuk mendapatkan itu budaq dari tangan orang, mungkin dengan kekuasaannya, pengaruh atau lainnya, sehingga si-pembeli  mempunyai keyakinan untuk mendapatkan itu budaq yang dibelinya. Apabila pada akhirnya budaq itu tidak dapat diambil dari tangan orang yang merampasnya, maka sah jual-belinya dan hal itu menjadi resiko dari si-pembeli. Itulah yang disebut dengan Bee’/ Bii’ Dhimny, dan si-pembeli tidak dapat menuntut agar uangnya dikembalikan, karena si-pembeli sudah mengetahui bahwa budaq yang dibelinya tidak berada pada tangan si-penjual, melainkan ada di tangan orang yang merampasnya.

Hal ini sama dengan yang dikehendaki dari membeli budaq dengan tujuan untuk dimerdekakan. Sah jual-belinya, tetapi si-pembeli tidak mendapatkan apa-apa. Bila masih berstatus budaq masih dapat di perjual-belikan, tetapi bila sudah dimerdekakan maka tidak dapat diperjual-belikan lagi. Budaq yang dibelinya tadi tidak dapat dimanfaatkannya. Sudah menjadi resiko si-pembeli, karena dia telah memerdekakan itu budaq. Atau dia menyaksikan kemerdekaan itu budaq dan di tolak sahaada-nya. Atau jika budaq yang dibelinya adalah bapaknya atau kakeknya terus ke atas atau anak, cucu dan terus ke bawah, maka tidak disyaratkan atasnya kemampuan untuk menerima itu barang, maka hal itu dibolehkan. Karena tujuan dia untuk membeli itu budaq adalah untuk menyelamatkan kakeknya, bapaknya, anaknya atau cucunya. Dia beli itu budaq, tetapi dia tidak mempunyai kemampuan untuk menerima itu barang/ budaq, maka sah jual-belinya.

5.  Barang yang Dijual-belikan Diketahui oleh Kedua Belah Pihak (Penjual & Pembeli)  
Kedua belah pihak harus mengetahui barangnya (‘‘ayn-nya/ zat-nya), kadarnya, timbangannya, jumlahnya, shifaatnya, karena hal ini menjadi syarat mutlaq dalam jual-beli.

Menjelaskan Tuan Syech Musonif tentang syarat-syarat jual-beli, diantaranya:
a.  Tidak Diboleh Menjual-belikan Benda/ Barang Yang Najis
Untuk barang yang najis hanya dibolehkan memindahkan haq saja. Najis tidak boleh dijual-belikan, seperti pupuk kandang (kotoran sapi, kambing dll.) Ijaab-Qobulnya bukan jual-beli, tetapi hanya memindahkan haq atau kekuasaan saja. Tidak sah menjual benda yang najis, sekalipun benda yang semula najis tersebut dapat berubah menjadi suci dengan sebab dipindahkan atau berubah, misalnya kulit binatang yang sebelum di samak hukumnya najis, setelah dibersihkan kotoran dan lendirnya dengan jalan di samak, maka kulit tersebut berubah menjadi suci. Semacam kulit bangkai bila disamak, maka dapat berubah menjadi suci. Barang/ benda tersebut bisa berubah dari najis menjadi suci dengan jalan Istihaalah atau tidak dapat berubah artinya tetap najis, maka sama saja kedua barang/ benda tersebut tidak dapat diperjual belikan, hanya boleh memindahkan haq saja. Ada barang yang najis dan tidak dapat disucikan semacam khomer, khomer dengan cara apapun juga tidak dapat disucikan. Dan ada juga benda yang mutan’najis, sekalipun bendanya itu muhtaromah (terhormat). Pada proses pembuatan cuka pada awalnya menjadi arak terlebih dahulu. Misalkan orang memeras anggur dengan tujuan untuk membuat cuka bukan untuk membuat khomer, tetapi pada proses awalnya perasan anggur tadi berubah menjadi khomer terlebih dahulu, setelah beberapa lama baru kemudian berubah menjadi cuka. Pada saat masih menjadi khomer tidak boleh diperjual-belikan, tetapi bila sudah berubah menjadi cuka baru boleh diperjual-belikan. Khomer ‘ayn/ zat-nya najis, bagaimanapun caranya tidak dapat disucikan, karena tidak dapat disucikan, maka bagaimanapun juga tidak dapat diperjual-belikan.
Dan semacam minyak goreng yang pada awalnya adalah barang yang suci, tetapi kemudian ke jatuhan najis (misalnya semacam: bangkai binatang), maka minyak goreng tersebut berubah menjadi mutan’najis. Maka minyak goreng tersebut tidak dapat diperjual-belikan lagi karena minyak goreng tersebut sudah bercampur/ menyatu dengan najis, sehingga tidak dapat disucikan lagi. Untuk contoh barang yang bercamur dengan najis dan tidak dapat disucikan lagi tidak hanya minyak goreng saja, tapi dapat juga berupa madu, susu, cuka, syrup dan dapat berupa benda apa saja yang tidak dapat lagi disucikan. Untuk benda yang pada asalnya suci kemudian bercampur dengan benda yang najis sehingga berubah menjadi mutan’najis, dan tidak dapat disucikan karena sudah bercampur, maka benda/ barang tersebut tidak dapat diperjual-belikan.
Adapun untuk benda yang dapat disucikan, semacam kain yang terkena najis, kemudian dicuci sehingga najisnya hilang, maka benda tersebut dapat diperjual-belikan dan ada perinciannya. Apabila ada benda yang dapat disucikan dengan jalan dicuci, dan najis ini tidak menutupi bagian daripada baju, maka sah jual-belinya. Apabila ada benda yang dapat disucikan tanpa dicuci, artinya benda tersebut berubah sendiri secara alami (Istihaalah). Seperti memeras anggur dengan tujuan untuk membuat cuka, maka sebelum menjadi cuka, perasan anggur tersebut berubah terlebih dahulu menjadi khomer/ arak (najis). Selama masih menjadi arak/ khomer, maka tidak sah atau tidak boleh diperjual-belikan, tetapi setelah menjadi cuka baru boleh diperjual-belikan.

b.   Tidak Sah Menjual Suatu Benda Yang Bukan Milik Dari Si-Penjual
Tidak sah menjual barang yang bukan milik dari si-Penjual, lain halnya dengan adanya wilayah, atau dikuasakan, diwakilkan atau diizinkan. Sekalipun benda yang dijual adalah benda yang suci. Bila seseorang menjual barang yang bukan miliknya, kemudian si-pemilik yang sah tidak menyetujuinya terjadinya jual-beli tersebut, maka transaksi jual-belinya batal.

c.   Tidak Sah Menjual Sesuatu Benda Yang Tidak Ada Manfaatnya
Karena barang yang tidak ada manfaatnya bukan termasuk/ dianggap sebagai harta. Maka mengambil harta/ uang/ bayaran sebagai imbalan atas diserahkannya barang/ benda yang tidak ada manfaatnya, maka tercegah/ di larang/ tidak dibolehkan/ tidak sah.
Ketiadaan manfaatan atas sesuatu barang/ benda adakalanya karena sedikitnya, jika jumlahnya banyak tentulah ada manfaatnya. Semacam menjual 2 butir gandum/ beras, maka jual-belinya tidak sah. Jika kita mengambil bayaran atas penjualan 2 butir gandum/ beras tadi, maka hal itu tidak sah dan uangnya harus dikembalikan. Tidak ada bedanya antara zaman pada saat harga benda/ barang tersebut murah dan zaman pada saat harga benda/ barang tersebut mahal. Sudah menjadi consensus/ kesepakatan dari para ulama, tidak ada yang menyatakan boleh. Untuk suatu benda/ barang yang karena sedikitnya sehingga tidak ada manfaatnya, maka tidak boleh/ tidak sah jual-belinya. Tidak dipandang juga bila 2 butir gandum/ beras tadi di taruh di alat untuk berburu/ jebakan sebagai makanan pancingan. Misalkan jika kita taruh 2 butir gandum/ beras tadi di dalam kandang jebakan, maka akan mendapatkan binatang buruan. Meskipun bila dipandang barang yang sedikit tadi ada manfaatnya, tetapi tetap hal tersebut tidak dibolehkan. Sekalipun dikatakan barang/benda tersebut tidak ada manfaatnya/ harganya  karena sedikit, tetap tidak dibolehkan (haram) untuk merampasnya/ mengambilnya, karena disitu ada haq dari pemiliknya, jika ada keperluan kita harus memintanya.
Ketidaan manfaatan atas suatu barang/ benda adakalanya karena hinanya barang tersebut, semacam serangga yang ada manfaatnya atau tidak ada manfaatnya. Seperti telur semut (kroto) yang dimanfaatkan untuk makanan burung. Kalajengking tidak boleh diperjual-belikan, karena banyakan mudhorot (bahayanya) dibandingkan manfaatnya, bila ada manfaatnya boleh diperjual-belikan.
Kalajengking yang sangat berbahaya adalah saat ia sedang hamil, karena pada saat itu tingkat racunnya meningkat untuk melindungi anak-anaknya nanti.
Hukum terus berkembang, yang dulu tidak boleh dijual karena dinilai tidak ada manfaatnya semacam telur semut (kroto), tetapi saat ini di nilai ada manfaatnya, sehingga dibolehkan untuk diperjual-belikan. Ulat diperbolehkan untuk diperjual-belikan karena ada manfaatnya untuk makanan burung, bila pada madzhab Imam Hanafi barang-barang semacam ini dibolehkan untuk diperjual-belikan.
Tidak dipandang dengan suatu apa yang sudah disebutkan dari pada manfaat-manfaat yang terdapat dalam kitab-kitab Mujarobat, tetap tidak dibolehkan untuk diperjual-belikan.
Binatang buas yang tidak ada manfaatnya tidak boleh diperjual-belikan juga, tetapi bila dirasa ada manfaatnya boleh diperjual-belikan. Semacam Singa, Srigala dinilai tidak ada manfaatnya, malah dapat membahayakan diri kita, maka tidak boleh diperjual-belikan. Tidak dipandang manfaat kulitnya setelah di samak, meskipun kulit dari binatang buas tersebut ada manfaatnya, misalkan untuk baju, tas, ikat pinggang dll., maka tetap tidak dibolehkan untuk diperjual-belikan. Meskipun harga barang yang terbuat dari kulit binatang buas tersebut harganya mahal. Burung yang tidak ada manfaatnya juga tidak boleh diperjual-belikan, bila ada manfaatnya misalkan untuk didengarkan suaranya, maka dibolehkan untuk diperjual-belikan. Contoh burung yang tidak ada manfaatnya dan tidak boleh diperjual-belikan seperti burung alap-alap (elang), burung gagak. Tidak dipandang bila ada manfaatnya berupa bulunya, seperti untuk kepala anak panah. Tidak dipandang pula binatang-binatang buas yang dipelihara oleh raja-raja dengan tujuan untuk menimbulkan rasa gentar/ takut pada musuh atau rakyatnya.
Binatang buas yang ada manfaatnya maka diperbolehkan untuk diperjual-belikan, semacam macan tutul untuk berburu, gajah digunakan untuk berperang, kucing jinak yang digunakan untuk menangkap tikus, monyet untuk menjaga rumah, burung merak untuk dilihat keindahan bulunya sehingga menimbulkan kesenangan, burung bul-bul (murai) untuk didengarkan suaranya, lebah/ tawon untuk diambil madunya, ulat sutra, lintah dimanfaatkan untuk menyedot darah, kelinci untuk dimakan dagingnya, biawak untuk dimakan dagingnya,
Syaidina Khalid bin Walid memakan daging biawak, meskipun Nabi tidak memakannya tetapi Nabi tidak melarangnya, maka hal itu menandakan dibolekan/ halal memakan daging biawak.
Kucing liar (musang) untuk diambil minyaknya sebagai bahan minyak wangi, bila musang yang tidak dapat menghasilkan minyak, maka tidak boleh diperjual-belikan. Maka jual-beli dari binatang-binatang seperti yang telah disebutkan di atas sah hukumnya/ dibolehkan.   



CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

3 komentar:

  1. assalammualaikum.....habib,,bagaimana hukumnya jualbeli online dan asuransi syariah...?? juga bagaimana hukumnya kredit barang..mis..mobil..rumah..motor pakai bank syariah..makasih atas penjelasnnya..wassalam

    BalasHapus
  2. assalammualaikum.....habib,,bagaimana hukumnya jualbeli online dan asuransi syariah...?? juga bagaimana hukumnya kredit barang..mis..mobil..rumah..motor pakai bank syariah..makasih atas penjelasnnya..wassalam

    BalasHapus
  3. Waalaikum Salam Wr. Wb. Saya tegaskan disini bahwa saya bukan habaib ataupun Ustdz. Seperti yang sudah saya tegaskan di atas, karena keterbatasan ilmu yang saya miliki maka saya tidak membuka forum tanya jawab pada blok ini, afwan, terima ksih.

    BalasHapus