Pokok
Bahasan : FIQIH ( Mu’amalat )
Judul : Hukum Jual - Beli
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
MU’AMALAT
MU’AMALAT
Kitab
(Kumpulan) tentang Hukum-Hukum Jual-Beli dan hukum jual-beli lainnya, seperti Iijaaroh (Sewa-Menyewa), Syirkah/ Join Venture (Kerjasama), Qiradh
(Menanam Saham), Qardh (Pinjaman) dan Hukum-Hukum Mu’amalat lainnya.
Manusia sebagai makhluk sosial, maka
kita saling berhubungan dengan sesama manusia lainnya.
Dalam
hal Mu’amalat ada yang namanya Qiradh (menaruh saham) kepada seseorang, kita
mempunyai uang sedangkan kawan kita mempunyai keahlian, maka kita dapat menanam
saham/ modal kepadanya untuk mengharapkan keuntungan, bukan bagi hasil dari
modal. Sedangkan Syirkah, kita ikut terjun langsung/ terlibat di dalam
mengelola usaha. Ada perwakilan dalam jual beli. Dan ada juga Iijaaroh
(sewa-menyewa), baik sewa barang atau sewa badan.
Ulama-Ulama
menyatakan, permasalahan Fiqih dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan, yaitu:
1. Ibadat: Mengatur
tentang hubungan kita kepada Alloh SWT. dengan cara-cara yang ditentukan oleh
agama.
2. Mu’amalat: Aturan agama
untuk menjaga hak milik manusia dalam bermasyarakat dalam hal tukar menukar
barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan oleh agama.
3. Munakahat: Aturan agama yang mengatur tentang
akad pernikahan untuk menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan
perempuan yang bukan mahramnya.
4. Jinayat:
Aturan agama yang mengatur tentang hukuman atas perbuatan/ tindakan
pidana yang dilakukan antara sesama manusia untuk menjaga/ melindungi harta dan
jiwa seseorang dari perbuatan kriminal/ kejahatan.
Disamping
itu ada juga pembahasan dalam Ilmu Fiqih mengenai Itiq, yaitu: Aturan agama yang mengatur tentang masalah perbudakan.
Dalam
pembahasan Fiqih ini di dahului membahas masalah Ibadat, karena ulama
berbendapat untuk menghasilkan kebahagian di negeri akhirat. Karena tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Alloh, maka sangat penting
bagi seseorang untuk mengetahui tentang tata cara dalam beribadah kepada Alloh.
Maka salah bila ada orang yang berpendapat agar mendahulukan dunia terlebih
dahulu, karena mereka berdalil, bahwa dalam doa ‘sapu jagad’, yaitu: “Rabbanaa aatinaa fid-dun-yaa hasanah wa
fil-aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban-naar.” Orang yang telah
‘mabuk’ dunia mengatakan bahwa dalam doa tersebut, dunia disebutkan terlebih
dahulu baru kemudian akhirat. Mereka tidak memahami Koidah Naahwiiyah, untuk semata-mata kumpul/ ja’ma
antara dunia dan akhirat, bukan untuk Tartib. Jadi dahulukan kebahagian akhirat
(abadi) terlebih dahulu, baru kemudian kebahagian dunia (sementara).
Belajar
Buyuu’ (Jual-beli) tujuannya untuk mendapatkan dunia,
agar menjadi sebab/ jembatan menuju akhirat. Setelah mendapatkan dunia, maka
kita dapat beribadah seperti: Zakat, Infaq, Shodaqoh, Haji, Menikah dan lain
sebagainya. Untuk mendapatkan akhirat kita perlu dunia, maka kita perlu
mengetahui tentang cara Jual-Beli. Alasan pembahasan tentang Jual-Beli lebih di
dahulukan dibandingkan dengan pembahasan tentang Nikah, karena orang lebih
mendahulukan syahwat ‘perut’/ makan (ekonomi) dibandingkan dengan syahwat
nikah.
Ditunda
lagi tentang Jinayat (Hukum Islam), sebab timbulnya kriminal/ kejahatan itu karena
adanya syahwat dunia (makan) dan syahwat bahtin.
A. Hukum-Hukum Buyuu’ (Jual-Beli)
Buyuu’ meliputi dua pihak/ dua sisi,
jual dan beli. Ada Hadits Nabi yang menyatakan: “Janganlah seorang laki-laki melamar/ meminang perempuan yang sudah di
dilamar/ dipinang oleh saudaranya. Dan jangan menjual atas penjualan
saudaranya.”
Misalkan ada seorang perempuan muslim
yang telah dilamar oleh seorang laki-laki muslim, maka tidak dibolehkan bagi
lelaki muslim lain untuk datang melamar kepada perempuan yang sudah dilamar
tersebut. Dan dalam masalah jual beli, misalkan ada seseorang yang sudah
menjual barangnya kepada orang lain, kemudian ada orang lain yang membujuk
untuk membatalkan jual-beli tersebut karena ia berani untuk membayar dengan
harga yang lebih tinggi, maka hal ini tidak dibolehkan, bahkan diharamkan dan
dosa besar. Diharamkannya tidak hanya dalam hal menjual, tetapi demikian pula
dalam hal membeli, sama juga dihukumkan haramnya.
Secara Lughot (bahasa), Bi’
menghadapkan sesuatu dengan sesuatu, dengan cara tukar-menukar. Menghadapkan
uang dengan barang, artinya menukar barang dengan uang. Syarat sah-nya jual beli
harus dengan harta, baik berupa uang atau barang yang bernilai dan ada
harganya. Masuk dalam kelompok/ katagori Bi’
dalam lughot (bahasa) yang bukan
barang, semacam najis. Menjual najis,
termasuk Bi’ juga dalam bahasa. Seperti menjual khomer
(minuman keras), kotoran hewan, kulit binatang yang belum di samak, itu semua termasuk dalam
katagori/ kelompok barang yang najis.
Misalkan contoh Bi’ dengan menghadapkan barang yang najis dengan barang yang najis,
seperti menukar antara khomer (minuman keras) dengan kulit binatang yang belum
di samak.
Bi’ adalah menghadapkan antara tsaman (barang) dengan wustman (harganya). Misalkan barangnya 3
botol bir dan harganya berupa kulit yang belum di samak atau kotoran
hewan. Hal ini termasuk Bi’ juga dalam segi bahasa, tetapi bukan
berdasarkan syara’. Tetapi dalam syara’, Bi’
-nya harus antara barang yang suci dengan barang yang suci, najis tidak boleh diperjual-belikan,
para ulama berpendapat, najis boleh
diperjual-belikan bila sifatnya dharurat, semacam kotoran sapi/ kambing .
Akan tetapi sifatnya bukan jual-beli melainkan sifatnya qishosh. Artinya
menggugurkan haq kita, jadi bila kita memiliki kotoran sapi/ kambing, maka itu
bukan termasuk milik, boleh dijual dalam kondisi dharurat. Najis jual-belinya haram dan
dilarang, tetapi Ulama Fuqoha membolehkannya
karena sifatnya dharurat, seperti untuk pupuk tanaman.
Dalam Bi’ ada tsaman (barang) dan
wusman (harga). Misalkan membeli mobil dengan uang, maka mobilnya adalah tsaman
dan uangnya adalah wusman.
Tidak dibolehkan jual-beli barang
dengan yang sama-sama najis, misalnya
menjual kotoran hewan dengan khomer. Atau jual-beli antara barang yang najis
dengan barang yang bukan najis
atau uang, misalnya membeli khomer
dengan uang atau dengan beras. Maka keduanya tidak dibolehkan, jual-beli antara
barang yang najis dengan barang yang najis, atau jual-beli antara barang yang
najis dengan barang yang suci/ uang.
Jadi jual-beli barang yang najis
menurut lughot (bahasa) termasuk Bi’,
tetapi bila berdasarkan syara’ (agama) bukan termasuk Bi’. Dalam Bi’ ada mu’awadhoh
(tukar-menukar), dengan disertai izin syara. Artinya syara meng-izinkan kita
mengadakan transaksi jual-beli semacam ini, bila tidak ada izin dari syara,
maka bukan termsuk Bay’ juga. Misalkan si-A memberikan beras, maka si-B
memberikan uang.
Bi’ menurut syara’ (agama), adalah: memberikan/
memindahkan milik, satu benda yang sifatnya harta, bernilai atau ada harganya.
Yang dimaksud barang yang tidak
bernilai seperti 2 butir gandum atau 2 butir beras, 1 pentul korek api dll.
Semuanya itu tidak ada nilainya, maka tidak sah dan tidak dapat disebut Bi’
Memberikan/ memindahkan milik kita
kepada seseorang yang bersifat harta dengan disertai ada mu’awadhoh (tukar-menukar). Yang satu memberikan barang, yang
satunya lagi memberikan uang atau barang. Dan syaratnya harus dengan izin
shara.
Definisi Bi’ yang lain dari ulama,
yaitu: memberi milik akan manfaat, manfaat yang sifatnya mubahah, tidak boleh
manfaat yang harom, manfaatnya selamanya atau secara terus menerus, tidak ada
batasan waktu, seperti sebulan atau setahun.
Seperti kita menjual kebun, rumah,
motor, mobil dll. penjualan semacam ini manfaatnya bersifat mubahah.
Jadi setelah terjadinya Bi’, maka haq kepemilikannya berpindah
dari penjual kepada pembeli untuk seterusnya/ selamanya. Bi’ bukan dengan cara Hibah,
yaitu memberikan/ memindahkan haq kita kepada orang lain berupa waqaf,
maka itu bukan termasuk Bi’, karena
tidak ada tsaman dan wutsman, hanya semata-mata untuk ibadah kepada Alloh.
Hibah ini dikeluarkan dari Bi’,
karena dalam Hibah tidak ada pertukaran, antara barang dengan harga. Hibah
kepada seseorang tidak dapat dicabut kembali, kecuali Hibah orang tua kepada
anaknya.
Nikah bukan termasuk Bi’, pihak lelaki memberikan mahar
kepada perempuan, sedangkan perempuan tidak memberikan apa-apa hanya diberikan
kesempatan untuk memanfaatkan kehormatannya. Dalam nikah ada transaksi disitu
berupa mahar (mas kawin), sedangkan perempuan tidak memberikan apa-apa kepada
si-laki, ia hanya memberikan kesempatan kepada si-laki tadi untuk memanfaatkan
kehormatannya. Jadi dalam nikah tidak menjadi milik, sehingga setelah kita
menikahi seorang perempuan kita tidak dapat menyewakan atau menjual perempuan
tadi. Sedangkan transaksi dalam Bi’ menjadi milik, sehingga kita dapat bebas
menyewakan atau menjualnya kembali. Dalam nikah tsamannya berupa mahar,
sedangkan wutsman-nya tidak ada. Dalam transksi Bi’ harus ada tsaman dan
wutsman, si-lelaki memberikan mahar
(tsaman), sedangkan perempuan tidak memberikan apa-apa, oleh karena itu nikah
tidak masuk dalam Bi’.
Secara Lughot (bahasa), jual-beli (Bii’/Bee’) menghadapkan sesuatu dengan
sesuatu, dengan cara tukar-menukar. Menghadapkan uang dengan barang, artinya
menukar barang dengan uang. Masuk dalam pengertian jual-beli (Bii’/Bee’) disini adalah jual-beli najis, sedangkan dalam
pengertian Syara’ najis bukan termasuk barang (maal).
Sedangkan jual-beli (Bii’/Bee’) menurut syara’ (agama), adalah: memberikan/
memindahkan milik kita kepada orang lain, benda yang berupa harta, yang
bernilai atau ada harganya, disertai dan melalui mu’awadhoh (tukar-menukar/ ada timbal-balik), murni semata-mata mu’awadhoh serta ada izin syara’ yang membolehkan kita
melakukan transaksi. Atau kita memberikan/ memindahkan milik kepada orang akan manfaat yang
mubah(tidak haram) menurut syara’, dengan harga (tsaman) yang ada nilainya juga.
Keluar dari kata-kata “Mu’awadhoh” (tukar-menukar/ timbal-balik), adalah hibah
karena dalam hibah tidak ada tukar-menukar ataupun timbal-balik, pihak yang
satu memberikan barang/ kendaraan/ tanah atau lainnya, sedangkan pihak yang
satunya lagi tidak memberikan apa-apa, untuk itu hibah tidak dapat digolongkan
sebagai jual-beli. Dalam hibah tidak ada timbal-baliknya, sedangkan yang
namanya jual-beli harus ada timbal-baliknya berupa harta yang ada nilainya/
harganya.
Serupa dengan hibah adalah nikah.
Pihak laki-laki memberikan mahar kepada pihak perempuan berupa mas kawin,
sedangkan pihak perempuan hanya memberikan kesempatan untuk memanfaatkan ia
punya kehormatan, ada timbal-baliknya,
tetapi bukan berupa harta/ barang yang ada nilainya/ barang berharga. Jadi nikah tidak dapat dihukumkan sebagai
jual-beli, bila nikah dihukumkan sebagai jual-beli, maka setelah kita menikah
dengan seorang perempuan, maka kita dapat menjual/ menyewakan istri kita.
Keluar dari kata-kata “Tamlik”
(memindahkan kepemilikan), harta/ benda yang kita sewakan bukan termasuk
jual-beli (Bii’/Bee’). Dalam sewa
hanya memberikan kesempatan untuk memanfaatkan barang yang disewakan dengan
batasan waktu (tidak selamanya). Dalam transaksi sewa, ada timbal-baliknya
yaitu satu pihak memberikan uang dan di pihak yang lain memberikan kesempatan
untuk memanfaatkan barang/ benda miliknya. Tetapi dalam transaksi sewa, benda
yang disewakan tidak menjadi milik, sehingga tidak masuk dalam jual-beli (Bii’/Bee’). Selama belum tuntas masa
sewanya, maka selama itu pula barang/ benda yang disewakan dapat dimanfaatkan
oleh pihak yang menyewa.
Keluar dari kata-kata “Maaliyah” (harta/ benda yang berharga), benda yang
bukan termasuk harta semacam najis (pupuk kandang/ kotoran hewan), bukan
termasuk barang yang dapat diperjual-belikan. Najis jual-belinya haram dan
dilarang, tetapi Ulama Fuqoha membolehkannya
karena sifatnya dharurat, seperti kotoran hewan untuk pupuk tanaman.
Jual-beli dibolehkan jika ada harga/
nilainya, jika tidak ada nilainya maka tidak dibolehkan, contohnya menjual 2
butir gandum/ beras. 2 butir gandum/ beras tidak ada nilainya, jadi tidak dapat
dikatakan sebagai jual-beli (Bii’/Bee’).
Keluar dari kata-kata “Qurbah”
(mendekatkan diri kepada Alloh),
jual-beli tidak ada tujuan mendekatkan diri kepada Alloh atau ibadah. Jual-beli
adalah suatu hal yang mubah untuk kebutuhan kita sehari-hari, tidak ada sisi
pahala disitu. Jika “Qardhun” (meminjamkan uang) kepada orang ada nilai
ibadahnya, sedangkan jual-beli tidak ada nilai ibadahnya. Setiap meminjamkan
uang hukumnya shodaqoh, ada pahala shodaqoh disitu. Jika dalam jual-beli tidak
ada nilai ibadah, bila mendapatkan keuntungan maka dijual. Rasululloh bersabda:
“Aku melihat di pintu syurga ada tulisan: shodaqoh pahalanya 10 kali lipat
sampai 700 kali lipat.” Bergantung kwalitas keikhlasannya dalam
ber-shodaqoh. Sedangkan kalau kita
meminjamkan, maka pahalanya 11 kali lipat, lebih banyak pahala meminjamkan dari
pada pahala shodaqoh. Karena bila kita shodaqoh kepada orang belum tentu ia butuh/
perlu akan uang atau benda yang kita berikan, akan tetapi kalau kita memberikan
pinjaman kepada orang, sudah pasti dia sangat membutuhkan. Dalam mengembalikan
pinjaman tidak boleh lebih ataupun kurang, akan tetapi bagi kita yang meminjam,
disunnahkan saat mengembalikannya dilebihkan, akan tetapi tidak boleh
disyaratkan/ disebutkan dalam akad pinjaman.
Keluar dari kata-kata izin syara’
(agama membolehkan) yaitu “Ribaa”, Ribaa
bukan termasuk jual-beli. Barang-barang dari hasil ribawi bukan terjadi dari
hasil jual-beli, tidak menjadi milik. Ribaa tidak termasuk jual-beli (Bii’/Bee’), karena tidak ada izin
syara’. Ribaa terlihatnya bentuknya seperti jual-beli, tetapi bukan termasuk
jual-beli. “Alloh menghalalkan jual-beli
dan Alloh mengharamkan riba.”
Masuk dalam kata-kata “tamlik”
(memberikan/ memindahkan milik), yaitu
manfaat semacam menaruh kayu/ balok di atas tembok kita. Artinya kita
menjual manfaat dari tembok kita, hal ini termasuk jual-beli (Bii’/Bee’) juga. Kita menjual manfaatnya, bukan
temboknya. Contoh yang lainnya adalah tempat jalannya air, jadi saluran air
(pipa) kita melewati tanah milik orang lain, kita membeli manfaatnya bukan
membeli tanahnya. Contoh Gambaran aqadnya:
“Aku jual kepada kamu haq bangun di
atas tanah ini dengan harga….”
“Aku jual kepada kamu haq menaruh kayu di atas
ini tembok dengan harga …..”
“Aku jual kepada kamu haq melewati saluran air
di atas tanah ini dengan harga
…..”
Jadi yang dijual manfaatnya, bukan ’ayn-nya.
Keluar dari kata-kata manfaat yang “Mubah” (yang tidak haram), gitar
dan seruling merupakan barang yang haram
diperjual-belikan, karena termasuk barang “al
malaahy” (barang/ benda yang membuat
lalai). Gitar dan seruling bukan termasuk jual-beli, karena termasuk barang
yang haram, ada dalil yang menyebutkan bahwa keduanya termasuk barang yang
haram.
Keluar dari kata-kata “tsaman” (harga), yaitu “waqaf”.
Waqaf hanya satu pihak yang menyerahkan berupa tanah/ barang ataupun
lainnya, sedangkan pihak yang satu tidak memberikan/ menyerahkan harga (tsaman)
ataupun lainnya. Disitu ada “tamlik”
(memberikan/ memindahkan milik) manfaat yang mubah, dapat dimanfaatkan oleh
orang yang di-waqaf-kan untuk selama-lamanya tanpa ada harga (tsaman).
Keluara dari kata-kata tsaman juga, “Al Ujuuru fil Iijaaroh” (sewa atau upah
kerja), memberikan upah atau menyewa tenaga orang untuk mengerjakan sesuatu.
Sewa dapat berupa barang ataupun orang. Iijaaroh
bukan tsaman, kita membeli manfaatnya
bukan barang/ orangnya. Untuk sewa ada batasan waktunya, habis waktunya atau
habis masa kerjaannya.
Keluar dari kata-kata maal (harta),
yaitu khomer. Karena khomer termasuk najis dan najis haram untuk
diperjual-belikan. Ada dalil yang mengharamkannya, termasuk anjing, babi dan
darah.
Jual-Beli itu ada 3 macam, bahkan ada
yang menyebutnya 4 macam, yaitu:
1. Menjual benda (ainin)
Yang termasuk benda disini dapat
berupa makanan, tanah, rumah, kendaraan ataupun lainnya. Menjual benda yang ada
dihadapan/ terlihat (musyaahadah).
Benda yang diperjual-belikan dapat di lihat oleh kedua belah pihak, baik
penjual maupun pembeli. Seluruh fisik barang terlihat semuanya, tidak ada yang
tertutup atau hanya sebagian fisiknya yang terlihat. Atau secara hukumnya dianggap sudah terlihat padahal
secara fisik barangnya tidak terlihat, jadi yang dilihat adalah tempat dari
barang tadi, seperti petinya atau bungkusnya saja. Jadi sewaktu aqad/ transaksi
yang dilihat hanya pembungkusnya saja dapat berupa peti ataupun sampul. Atau
dia sudah melihat barangnya pada waktu sebelumnya (sebelum aqad).
Syaratnya tidak lewat zaman/ masa/
waktu yang dapat menyebabkan berubahnya itu barang pada saat aqad, misalnya
karena busuk atau basi. Bila terjadinya aqad 1 Minggu kemudian, tetapi barang
yang diperjual-belikan akan busuk/ basi dalam waktu 2 atau 3 hari, maka aqad/
transaksinya tidak diperbolehkan. Jadi tidak lewat dalam satu masa/ waktu yang
dapat merubah isi barang dagangan tadi pada waktu aqad. Dalam hal ini
jual-belinya diperbolehkan jika ada syarat-syaratnya, manakala persyaratannya
ada maka diperbolehkan, apa yang disebutkan dalam perjanjian sebelum transaksi
tentang kondisi/ keadaan barang tersebut, ternyata benar/ sesuai dengan
kondisi/ keadaan barang pada waktu barang tersebut dibuka, maka jual-belinya
diperbolehkan. Karena sudah dibicarakan sebelumnya, maka pada saat transaksi
barang yang diperjual-belikan boleh tidak dihadirkan, cukup penjual dan
pembelinya saja asalkan ada syarat-syaratnya.
Barang yang diperjual-belikan adalah
barang yang suci, jika najis tidak dapat diperjual-belikan, baik najis dalam
zatnya ataupun dalam sifatnya. Dan bukan barang yang mutan’najis juga, seperti
misalnya minyak goreng yang kejatuhan bangkai binatang, maka hal itu tidak
dapat disucikan lagi, untuk itu tidak boleh diperjual-belikan.
Barang yang diperjual-belikan dapat
diambil manfaatnya, meskipun manfaatnya
tidak dapat diambil saat ini, misalkan orang membeli anak kuda atau anak
keledai, maka setelah dewasa kuda atau keledai tadi baru dapat dimanfatkan,
meskipun tidak dapat dimanfaatkan dengan segera. Jadi barang yang
diperjual-belikan merupakan barang yang suci dan ada manfaatnya.
Imam Syafi’i mensyaratkan bahwa
barang yang diperjual-belikan harus barang yang suci. Sedangkan Imam Hanafi
tidak mensyaratkan barang yang diperjual-belikan harus barang yang suci, Imam Hanafi
membolehkan jual-beli barang najis, semacam kulit babi, kulit bangkai, asalkan
ada manfaatnya. Menurut Imam Hanafi, selama tidak ada ‘nash’ yang melarangnya dan
ada manfaatnya, maka masih dibolehkan untuk diperjual-belikan. Tetapi bila ada ‘nash’ dalam Al Qur’an yang melarangnya, semacam
khomer, bangkai, darah maka dilarang untuk diperjual-belikan.
Imam Hanafi pun membolehkan menjual
binatang buas dan barang yang mutan’najis
. Banyak bermacam-macam cara dalam jual-beli, sehingga kita dibolehkan ber-taqlid kepada imam-imam yang
empat. Seperti kita membeli: cacing, ulat, telur semut untuk makanan burung,
dalam madzhab Imam Syafi’i jual-beli semacam ini tidak
dibolehkan, akan tetapi pada madzhab imam yang lain dibolehkan, untuk itu kita
dibolehkan ber-taqlid kepada imam-imam yang lain, karena semuanya
benar.
Pihak penjual dapat/ mampu
menyerahkan itu barang, misalkan barang yang dijual berupa burung, ternyata
burung yang dijual tersebut terlepas/ terbang, selama si-penjual sanggup/ mampu
untuk menghadirkan/ menangkap burung
tersebut, maka jual-belinya sah atau dibolehkan.
Atau misalkan si-pembeli merasa
senang dengan binatang tersebut dan ia merasa mampu untuk dapat menangkap
binatang yang terlepas/ kabur tadi, maka jual-belinya juga sah. Selama
si-pembeli dapat menerima keadaan barang yang dibelinya (terlepas/ kabur), maka
jual-belinya dibolehkan.
Si-penjual ada kemampuan/ kekuasaan
untuk mendayaguna yang jaaiz menurut syara’. Si-penjual tidak sedang
sakit, tidak sedang disita ia punya hartanya karena banyak hutangnya, atau
tidak karena bodoh (tidak tahu tentang harga barang yang dijualnya). Orang yang
tidak mengerti tentang nilai uang/ nilai barang, maka tidak sah untuk melakukan
jual-beli. Atau orang yang disita hartanya karena banyak hutangnya, maka dia
tidak sah untuk melakukan jual-beli. Si-penjual merupakan pemilik yang sah atas
barang yang dijualnya tersebut, atau dia memiliki/ diberikan wilayah/ kekuasaan
(ada surat kuasa) untuk menjual barang yang diperjual-belikan.
Jika dalam masalah ibadat, sangkaan (dzhon)
dan kenyataan harus pararel/ sejalan, misalkan antum mau sholat di hutan
ataupun tempat terpencil yang jauh dari keramaian, maka antum ada kewajiban
mencari tahu arah dari qiblat dan apakah sudah masuk waktu shalat atau belum?
Tidak dapat kita asal sholat saja, meskipun arah qiblat dan waktu shalatnya
benar, tetap tidak sah shalatnya. Jadi kita mesti ber-Ij’tihat, berusaha untuk mencari tahu waktu dan arah
qiblat yang benar, karena dalam ibadat sangkaan (dzhon) dan kenyataan harus
sesuai. Misalkan dia sudah ber-Ij’tihat untuk mencari tahu arah qiblat, ternyata
setelah selesai shalat ada orang yang memberitahu bahwa arah qiblat kita salah,
maka shalatnya yang kita kerjakan dianggap tidak sah.
Lain halnya dengan jual-beli,
jual-beli cukup yang dipandang kenyataannya saja, sangkaannya tidak di pandang.
Misalkan ada seorang anak lelaki satu-satunya dan ia bermaksud untuk menjual
rumah/ mobil milik bapaknya, dan si-anak mempunyai prasangka yang kuat bahwa
bapaknya masih hidup, tetapi dalam kenyataannya pada saat terjadi transaksi,
tercatat bahwa pada hari dan jam yang sama, ternyata bapaknya sudah meninggal
dunia, maka transaksi jual-belinya dianggap sah, karena ia mewarisi harta
bapaknya. Jadi dalam masalah ibadah harus sama antara sangkaan dan kenyataan,
tetapi dalam masalah mu’amalat cukup dilihat dari kenyataannya saja.
Dalam jual-beli (Bii’/Bee’) harus ada Ijaab-Qobuul.
Ijaab dari penjual dan Qobuul dari pembeli. Ijaab adalah lafadz (ucapan)
yang memindahkan atas milik secara dzhoohir. Contoh: “Bii’ tuka….” / “Aku jual kepada kamu…..” Sedangakan Qobuul adalah:
lafadz (ucapan) yang menerima milik dengan petunjuk yang nyata, yaitu dengan
ucapan: “Qobiltu/ Isytaraytu.” Jadi
jual-beli (Bii’/Bee’) mutlaq harus
ada Ijaab-Qobuul, bila tidak ada Ijaab-Qobuul-nya maka jual-beli (Bii’/Bee’) tidak sah. Jual-beli (Bii’/Bee’) dikaitkan dengan ridho, ridho itu urusan hati, urusan
yang tersembunyi, tidak nyata, dan tidak
ada yang tahu. Jika tidak ada ucapan Ijaab-Qobuul, maka tidak ada yang tahu
apakah kedua belah pihak ridho, untuk itu maka tunjukan ke-ridho-an kamu dengan
lafadz ataupun dapat diganti dengan berupa tulisan atau dengan isyarat bagi
orang yang bisu.
Dengan mu’aqad saja tidak sah. Mu’aqad adalah saling memberi,
yang satu memberikan barang dan yang satunya lagi memberikan uang. Umumnya kita
dalam bertransaksi jual-beli seperti itu, tanpa adanya Ijaab-Qobuul. Mu’aqad
adalah sepakat antara penjual dan pembeli untuk menukarkan tsaman (barang) dengan wustman
(harga). Si-penjual menerima wustman (harga/
uang) dan si-pembeli menerima tsaman
(barang), tanpa adanya Ijaab-Qobuul dan keduanya ridho, masih dianggap tidak
sah jual-belinya.
Jalan keluarnya, Imam Nawawi dan sebagian
kelompok Ulama Fuqoha menyatakan: “Sah jual-belinya dengan dipandang dari ridho
antara keduanya, karena tidak ada keterangan yang mensyaratkan adanya lafadz.”
Kita hidup bermasyarakat dalam bertransaksi sebaiknya kita ber-taqlid kepada
pendapat dari Imam Nawawi dalam hal jual-beli. Bila kita tidak ber-taqlid
kepada Imam Nawawi, sah jual-belinya tetapi kita dihukumkan berdosa. Bila saat
ini kita dalam bertransaksi menggunakan cara Ijaab-Qobuul, tentunya menjadi
bahan ejekan karena dipandang aneh, padahal orang-orang terdahulu untuk membeli
barang semacam: bakul, sapu, garam dll., mereka masih menggunakan tuntunan
agama, yaitu dengan cara Ijaab-Qobuul dalam bertransaksi. Untuk itu agar kita
terhindar dari tuntutan di akhirat kelak, maka usahakan sebelum bertransaksi
kita ber-taqlid kepada Imam Nawawi.
Dalam mengucapkan Ijaab dan Qobuul
harus menyambung/ langsung, tidak ada jeda yang lama diantara keduanya). Antara
Ijaab dan Qobuul harus sepakat, misalkan: Penjual berkata: “Aku jual kepada kamu mobil ini dengan harga Rp. 100 Juta.” Pembeli cukup menjawab: “Saya terima (Qobiltu).”
Tetapi dapat pula dipanjangkan menjadi: “Saya terima mobil ini dengan harga Rp. 100 Juta.” Bila pembeli mengucapkan: “Saya terima mobil
ini dengan harga Rp. 50 Juta, maka jual-belinya tidak sah. Karena antara Ijaab
dan Qobuulnya tidak sama, yaitu tidak
terjadi kesepakatan harga.
Bila ternyata sudah waktu jatuh tempo
ternyata si-pembeli tidak ada kesanggupan untuk membayar, maka si-hakim dapat
menjual barang itu. Atau bila ada orang yang diwasiatkan untuk mengurus harta
warisan dari seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya saat masih
kecil. Si-Hakim dapat menempatkan/ memposisikan dirinya sebagai Baa’i (penjual): “Aku jualkan ini barang kepada kamu dengan harga …….., dan aku
pindahkan kemilikannya kepada kamu.”
Perkataan dari Musytarii (pembeli): “Qobiltu/ Isytaraytu.” Maka sah jual-belinya, asalkan antara
pengucapan Ijaab dengan Qobuul harus langsung/ menyambung.
Si-penjual harus menyebutkan barang
dan harganya, sedangkan untuk si-pembeli cukup dengan kata-kata: “Qobiltu/ Isytaraytu,” maka
transaksi jual-belinya sah. Yang pertama mengucapkan Ijaab dapat dilakukan oleh
si-penjual ataupun oleh si-pembeli. Bila dari si-penjual ucapannya: “Aku
jual barang ini kepada kamu dengan harga …..” Sedangkan bila si-pembeli yang mengucapkan,
maka ucapannya: “Aku beli dari kamu barang
ini dengan harga …..” Yang
terpenting baik si-penjual ataupun si-pembeli yang mengucapkan terlebih dahulu,
maka wajib menyebutkan: tsaman dan wutsman, bila tidak menyebutkan maka
transaksi jual-belinya tidak sah. Sedangkan yang mengucapkan belakangan, tidak
wajib menyebutkan tsaman dan wutsman lagi, tetapi cukup berkata: “Qobiltu/ Isytaraytu.”
Sekarang permasalahannya bila
jual-belinya melalui internet (online) dan supermarket/ minimarket seperti yang
berkembang saat ini, aqad melalui telephone dan seumpamanya dikarenakan jarak
antara keduanya (penjual dan pembeli) jauh, satu sama lain tidak dapat melihat/
berjumpa secara langsung dan juga tidak dapat dilihat barang yang
diperjual-belikan, tetapi dapat didengarkan suaranya, seperti: “Saya jual
barang ini dengan harga ……. kontan.”
Maka Imam Nawawi Rahimahumullohu taala berkata: “Andaikata keduanya
saling sambung menyambung, keduanya saling berjauhan, keduanya saling
jual-beli, maka sah jual-belinya tidak ada khilaf, sebagaimana tertulis dalam
kitab Maj’mu. Seperti yang aku lihat
pada sebagian pameran-pameran atau semacam super market, mereka tidak mencantumkan harga dari tiap-tiap barang yang
diperdagangkan, maka si-pembeli mengambil sejumlah barang dagangan dan si-kasir
menghitung harga dari barang dagangan itu, si-pembeli tidak mengetahui berapa
harga tiap-tiap barang dagangan yang diambilnya, maka jual-belinya harus ada Ijaab-Qobuul. Hal semacam ini menurut
pendapat ulama, ada yang menyatakan sah dan ada yang menyatakan tidak sah.
Tetapi sebaiknya si-pembeli mencari tahu berapa harga dari tiap-tiap barang
yang akan dibelinya, agar terhindar dari kebodohan.
Barang yang najis tidak menjadi milik
tetapi hanya sebagai haq saja. Jual-beli barang yang najis disebut: Ikhtishosh. Barang yang najis dibolehkan jual-beli
di saat darurat, semacam kotoran hewan untuk pupuk.
Tidak beda jauh persyaratan shiqot,
dalam jual-beli ada syarat shiqot berupa Ijaab-Qobuul. Jual beli tanpa Ijaab-Qobuul itu sah
hukumnya, tetapi nanti ada tuntutan di akhirat, karena syaratnya jual-beli
harus ada ridho, sedangkan ridho itu urusan hati, untuk itu keridhoannya harus
di lafadzhh-kan (diucapkan) berupa Ijaab-Qobuul. Muaqod
adalah penjual memberikan barang dan pembeli
memberikan uang, tetapi tanpa ada Ijaab-Qobuul,
sehingga masih ada tuntutan di akhirat kelak.
Kita dibolehkan untuk bertaqlid
kepada fatwa/ pendapat dari Imam Nawawi yang membolehkan jual-beli tanpa adanya
Ijaab-Qobuul. Karena di akhir zaman
bila kita menggunakan Ijaab-Qobuul akan menjadi bahan ejekan (sukhriyah). Jadi untuk melepaskan
tuntutan di akhirat kelak, maka kita dibolehkan untuk ber-taqlid kepada fatwa
dari Imam Nawawi yang menyatakan boleh melakukan transaksi jual-beli tanpa Ijaab-Qobuul, yaitu Muaqod. Tetapi alangkah bagusnya bila kita dalam bertransaksi
jual-beli kita menggunakan Ijaab-Qobuul.
Kemarin-kemarin kita dalam bertransaksi jual-beli tidak menggunakan Ijaab-Qobuul karena kita tidak tahu, untuk itu kita perlu
ber-taqlid kepada fatwa dari Imam Nawawi. Taqlid dalam beramal hukumnya sah,
dan ber-taqlid atas amal yang sudah dijalankan hukumnya juga sah.
Tidak jauh berbeda dalam hal
jual-beli barang yang bukan najis ada persyaratan shighot, dalam Ikhtishosh (jual-beli barang yang najis) pun, ada
persyaratan shighot untuk melepaskan haq kita atas barang yang
najis. Penjual berkata: “Aku angkat kekuasaanku atas ini Ikhtishosh” atau “Aku
gugurkan kekuasaanku atas ini Ikhtishosh.” Najis dapat berupa kotoran hewan
(sapi, kambing, ayam dll.) yang digunakan sebagai pupuk. Bahkan pada madzhab yang lain lebih longgar lagi, dibolehkan
menjual najis kecuali yang sudah ada nash
dalam Al Qur’an yang melarangnya, seperti darah (dam) dan babi (khinziir), sedangkan najis yang lainnya
masih dibolehkan. Dalam hal ini kita dapat bertaqlid kepada pendapat dari Imam
Hanafi dan Imam Hambali.
Dan tidak jauh berbeda juga seperti
jual-beli barang yang bukan najis (halal), dibolehkan kita mengambil imbalan/
gantiannya (‘iwadh) dari melepaskan kekuasaan atas barang yang
najis. Semacam orang yang mundur/ melepaskan diri dari jabatannya akan
mendapatkan imbalan/ pesangon. Semacam sekarang ini banyak perusahaan yang
menawarkan pensiun dini kepada karyawannya untuk mengurangi jumlah karyawan
pada perusahan tersebut.
Pendapat dari Syech Manshur Al Bahuuty,
beliau ber-madzhab Hambali dalam kitab Syarah
Zaad : Mensyaratkan bagi ‘aaqid (penjual & pembeli):
-
Dia
boleh berdaya guna (tasharuf) dalam barang yang ada padanya, artinya dia
dapat menjalankan apa yang diinginkan dari hartanya. Misalkan budaq tidak dapat
melakukan transaksi jual-beli, karena apa yang dimiliki oleh si-budaq
sepenuhnya adalah milik tuannya, jadi yang dibolehkan melakukan transaksi adalah orang yang merdeka.
-
Orang
yang bertransaksi jual-beli harus orang yang mukalaf . Yaitu orang yang sudah aqil baligh dan tidak
gila.
Pada dasarnya anak kecil tidak boleh melakukan transaksi jual-beli,
kecuali untuk hal-hal yang dianggap ‘remeh’ (barang yang murah nilainya). Dan
orang yang gila tidak dibolehkan melakukan transaksi jual-beli.
-
Cerdas
orangnya, artinya dia mengerti nilai uang atas suatu barang. Orang yang bodoh
tidak dibolehkan melakukan transaksi jual-beli. Maka tidah sah berdaya-gunanya
anak kecil dalam bertransaksi jual-beli. Tidak sah jual-belinya anak kecil dan
orang yang bodoh tanpa seizin dari walinya atau bapaknya/ kakeknya. Jika ada
izin dari walinya, maka transaksi jual-belinya sah, sekalipun dia bertransaksi
untuk barang yang jumlahnya banyak. Haram juga bagi si-wali mengizinkan bagi
si-anak kecil untuk membeli sesuatu yang banyak tanpa ada kemaslahatan/
kepentingan yang baik pada barang yang dibelinya itu. Berlangsung/ berjalan/
sah hukum transaksi jual-belinya pada sesuatu yang sedikit. Transaksi jual-beli
untuk barang yang jumlah/ nilai-nya sedikit tetap sah meskipun tanpa ada izin
dari walinya. Berdaya gunanya (tasharuf) si-hamba (budaq) harus atas izin dari
tuannya. Budaq tidak boleh melaksanakan transaksi jual-beli atas hartanya tanpa
seizin dari tuannya.
2. Menjual Suatu Benda Yang Sudah Di-shifaat-kan/ Dijelaskan
Menjual barang dengan menyebutkan
jenisnya, kadarnya, shifaatnya,
ukurannya dan diterangkan dalam suatu aqad jual-beli. Gambarannya untuk
transaksi jual-beli yang dishifaatkan/ dijelaskan, yaitu: “Aku jual kepada kamu
baju dengan ukuran…., dan jenisnya…, dan shifaat….. dan warnanya…. Jika barang berupa baju yang sudah
dishifaatkan tadi, ternyata barangnya ada disitu, maka hal tersebut tidak
ber-resiko apa-apa/ tidak berbahaya, maka transaksinya sah saja. Karena orang
ini berpegang atas shifaat-shifaat yang dijelaskan dalam aqad tadi.
Bersalahan atau berbeda ketentuannya/
hukumnya/ akibatnya, maka tidak sah jual-belinya jika hanya menyebutkan
shifaatnya saja (tidak tuntas), tanpa menyebutkan ukurannya, jenisnya, kadarnya
dari barang yang dijual. Karena yang ditentukan (barang yang dijual) tadi tidak
dijelaskan dalam aqad/ pertanggungan. Karena hal ini terbilang suatu hal yang
ghooib, yaitu barang yang dijual tidak terlihat. Tidak dibolehkan menjual suatu
barang yang ghooib tanpa menjelaskan secara lengkap pada saat aqad tentang
shifaatnya, ukurannya, jenisnya, kadarnya dari barang yang akan
diperjual-belikan tersebut.
Jika transaksi aqadnya dengan lafadzh: Bii’/Bee’: “Bii’ tuka…”,
maka disebut Bii’/Bee’ (jual-beli),
bukan Bii’ Salam. Jika Bii’ Salam maka lafadzh-nya
adalah: “Aslamtuka…, atau Aslamtu
alaika….” Maka berkata Tuan Syech Mushonif (pengarang kitab): “Saat ini kita
masih bicara masalah Bii’/Bee’ bukan masalah Bii’ Salam, yaitu Bii’/Bee’ dalam
tanggungan. Bii’/Bee’ dalam tanggungan ada hukum-hukumnya tersendiri, dan
Bii’/Bee’ Salam-pun ada hukum-hukumnya tersendiri pula.
Maka hukum ketentuan-ketentuan Bii’/Bee’ Salam, yaitu disyaratkan
diterima uangnya dalam suatu majlis (tempat) secara tunai, sedangkan barangnya baru akan diterima beberapa bulan
kemudian (indent). Akan tetapi barang yang dijual sudah dishifaatkan/
diterangkan, apabila nanti pada saat barang yang diterima tidak sesuai dengan
yang dishifaatkan, maka uangnya harus dikembalikan kepada si-pembeli. Uang yang
diserahkan oleh si-pembeli tidak boleh di tukarkan dalam bentuk uang yang lain,
misalnya pembeli menyerahkan uang berupa rupiah, maka tidak boleh ditukar
menjadi berupa dollar ataupun real. Dan uangnya tidak boleh dipaliangkan/ di
over kepada orang lain. Disitu diserahkan uang, maka disitu pula harus
dikembalikan/ diserahkan uangnya.
Dalam Bii’/Bee’ (jual-beli) tidak
disyarakan menyerahkan uang di majlis
(tempat) pada saat transaksi, karena dibolehkan menyerahkan uangnya kemudian/
belakangan. Sedangkan Bi’ Salam harus menyerahkan uangnya terlebih dahulu,
sedangkan barangnya baru diserahkan kemudian.
Semacam dijual budaq berserta
anaknya, dengan menshifaatkan keduanya secara lengkap, dengan menggunakan
lafadzh Bii’/Bee’ (jual-beli) maka sah hukum jual-belinya. Jika dilafadzhkan
dengan aqad Bi’ Salam: “Aslamtuka…, atau Aslamtu alaika….”, maka tidak sah.
Jika dilafadzhkan dengan lafadzh Salam, maka wajib menerima akan si-musytarii.
Jika sudah di lafadzhkan padanya bagi
itu barang dengan shifaatnya dan ternyata sesuai itu barang dengan shifaat yang
sudah disebutkan dalam Salam, maka sah itu transaksi. Jika barang yang diterima
tidak sesuai dengan kondisi barang yang dishifaatkan, maka si-pembeli tidak
mesti menerimanya. Bagi si-pembeli boleh melihat dan memilih, si-pembeli boleh
memilih barangnya atau membatalkan pembeliannya. Karena disitu ada hiyal ghoib (tipu daya yang
tersembunyi).
3. Menjual Benda Yang Ghooib (Tidak Ada Ditempat)
Menjual benda yang Ghooib artinya tidak terlihat dari pandangan kedua
belah pihak yaitu penjual dan pembeli (Muta’aqidyn).
Transaksi jual-beli terjadi tanpa melihat barang yang diperjual-belikan.
Barangnya tidak terlihat sekalipun barangnya ada di majlis (tempat). Sekalipun
barangnya ada ditempat, tetapi selama tidak terlihat maka tidak sah transaksi
jual-belinya, apalagi bila barangnya tidak ada ditempat.
Tuan Syech Mushonif menafsirkan/
menerangkan tentang barang yang Ghooib (Ghooibah), yaitu barang yang tidak dilihat/
disaksikan oleh Muta’aqidyn (penjual dan pembeli). Bisa terjadi kedua belah
pihak tidak melihat barang yang diperjual-belikan. Atau salah satu dari
keduanya yang tidak melihat sedangkan yang satunya melihat, apakah si-pembeli
ataupun si-penjual. Maka dalam hal semacam ini, transaksi jual-beli barangnya
tidak boleh terjadi, karena keduanya tidak melihat atau salah satu dari
keduanya tidak melihat barang yang diperjual-belikan tersebut.
Karena ada larangan dari Nabi tentang
Baii’ul Ghoror, jika ulama-ulama kampung dahulu biasa menyebut transaksi
semacam ini dengan istilah: “jual-beli
kucing dalam karung.” Ghoror
dalam bahasa Arab diartikan sebagai tipuan. Definis Ghoror menurut Ulama Fiqih:
“Yang meliputi kita resikonya.” Bila kita membeli barang yang ada resikonya,
maka disebut ghoror. Atau yang
membuat mundur-maju/ bolak-balik diantara 2 perkara (bagus atau jelek), yang
paling dominan adalah yang paling menakutkan atau tidak sesuai dengan keinginan
kita (barangnya jelek), maka itu disebut ghoror.
Nabi melarang transaksi jual-beli barang yang mengandung resiko (bagus/
jelek). Jadi tidak boleh kita melakukan transaksi jual-beli tanpa kita melihat
barang yang diperjual-belikan. Sekalipun si-penjual men-shifaat-kan (menjelaskan/ menerangkan) dengan sangat
bersungguh-sungguh bahwa barang yang dijualnya tidak ada yang jelek/ cacat, hal
tersebut masih tidak dibolehkan atau tidak sah jual-belinya.
Dapat kita ketahui dari itu penjelasan,
maka tidak dibolehkannya (tidak sah) jual-belinya orang yang buta, baik ia
sebagai penjual ataupun ia sebagai pembeli. Bagaimana orang yang buta dapat
melihat apa yang diperjual-belikan? Untuk orang yang buta dalam menyerahkan
atau menerima barangnya harus diwakilkan. Kecuali untuk transaksi barang yang
ada tanggungannya semacam bii’/bee’ Salam, maka hal itu dibolehkan.
Maka tidak boleh dilakukan transaksi
jual-belinya manakala tidak mar’iyah (tidak dilihat) oleh kedua belah pihak, jadi
barang yang diperjual-belikan harus dilihat oleh kedua belah pihak (penjual dan
pembeli) terlebih dahulu. Karena ada larangan menjual Baii’ul Ghoror, yaitu
menjual barang yang penuh resiko.
Yang dimaksud dengan kata-kata Jawaz pada macam jual-beli yang ketiga, yaitu sah.
Maksud Jawaz adalah sah, tetapi haram. Maka Jawaz (sah) ini meliputi sah tapi
haram, ada sah tapi makruh. Semacam menjual anggur kepada seseorang yang dia
tahu persis bahwa anggur tersebut akan dijadikan khomer/ arak. Jika si-penjual menyangka bahwa anggur yang dijualnya
akan dijadikan arak, maka jual-belinya sah tetapi haram. Sama bandingannya
dengan transaksi jual-beli yang dilakukan pada saat adzan Jum’at yang kedua,
maka jual-belinya sah tetapi haram.
Hal ini jika ada Dzhon (sangkaan kuat), jika si-pembeli akan menggunakan anggur ini
untuk dijadikan arak (minuman keras). Atau ia ada Waham (ada sangkaan tetapi tidak kuat dan sangkaannya masih di
bawah dzhon), lebih dekat kepada syak. Ia duga dan ia sangka bahwa anggur ini
kemungkinan akan diperas untuk dijadikan arak (minuman keras). maka hal itu
masih tidak dibolehkan dan hukumnya makruh.
Sama makruhnya sebagaimana orang yang menjual kain kafan untuk orang yang
meninggal dunia. Karena bila kita menjual kain kafan, kita selalu mengharapkan
akan banyak orang yang mati, sehingga akan laku dagangannya. Banyak kerjaan
(profesi) ataupun barang dagangan yang makruh untuk dijual.
Ada jual-beli yang Wajib, Mustahab,
Haram, Makruh dan Sunnah.
Jual-beli yang Wajib yaitu kita
menjual makanan pokok (semacam beras atau gandum dll.) kepada orang yang ber-hajad
(butuh), bila kita tidak menjual
kepadanya, maka ia akan mati kelaparan.
Jual-beli yang Mustahab, yaitu kita
di sunnahkan menjual suatu barang yang dibutuhkan orang. Pedagang yang benar
dan jujur nanti di akhirat akan dikumpulkan bersama para Anbiya (Nabi-nabi) dan
para Syuhada (Orang yang mati Syahid). Terkadang makanan ini bisa menjadi wajib
dan bisa pula menjadi Mustahab.
Memberi faham perkataan dari Tuan
Syech Mushonif, kata-kata “Lamtusyaahad” (
tidak disaksikan/ tidak dilihat), memiliki syarat bahwa barang tadi setelah
dilihat kemudian barang itu menghilang dari pandangan kita (tidak ada di tempat
majlis aqad), maka aqadnya dalam hal
itu dibolehkan, asalkan sudah dilihat terlebih dahulu. Jadi sebelum transaksi
kita sudah melihat barangnya dan pada saat aqad transaksi barang sudah tidak
kita lihat lagi, maka hal itu dibolehkan. Tetapi sebagai syarat untuk sah-nya
itu jual-beli, bahwa si-aaqid
(penjual/ pembeli), terutama bagi si-pembeli agar mengingat tentang
shifaat-shifaat dan kondisi dari barang yang akan dibelinya sebelum transaksi.
Bila si-aaqid (penjual/ pembeli)
tidak mengingat barang yang ditransaksikan, misalkan barangnya dilihat pada
waktu seminggu yang lalu sehingga sewaktu transaksi dia sudah lupa tentang
shifaat-shifaat dari itu barang, maka jual-belinya tidak sah.
Dibolehkannya aqad jual-beli yang
tidak dilihat pada saat transaksi, tetapi barang tersebut sudah dilihat pada
beberapa minggu atau beberapa hari yang lalu, maka syaratnya ia masih ingat
tentang shifaat-shifaat dari barang tersebut dan barang tersebut pada umumnya
tidak berubah dari sejak dilihat sampai terjadinya transaki. Misalkan semacam
buah atau kue/ makanan, bila dilihatnya seminggu yang lalu, maka ada
kemungkinan buah/ makanan tersebut telah rusak/ busuk/ basi. Untuk barang yang
tidak berubah dari sejak barang tersebut dilihat sampai terjadinya transaksi
maka transaksi jual-belinya dibolehkan, semacam singkong.
Untuk barang yang pada umumnya tidak
rusak pada interval, masa antara waktu
dilihat dan waktu terjadinya transaksi, maka transaksi jual-belinya dibolehkan.
Bila kondisi barang dari sejak dilihat sampai terjadinya transaki, ada kemungkinan
barang tersebut dapat berubah ataupun barang tersebut tidak berubah, artinya
kemungkinannya 50%, maka transaksinya dibolehkan.
Bersalahan hukumnya jika barang pada
umumnya akan berubah pada waktu/ masa antara waktu dilihat dan waktu transaksi,
maka aqad jual-belinya tidak sah. Andaikata barang tersebut pada umumnya/
kebiasaannya tidak rusak pada masa jarak antara waktu dilihat dan waktu
transaksi, dan ternyata setelah terjadi transaksi barang tersebut berubah/
rusak, artinya tidak seperti biasanya atau menyalahi dari kebiasaannya, maka
si-pembeli diberikan hak memilih, apakah akan melajutkan jual-beli atau
membatalkan jual-beli, selama itu barang tidak berubah ke arah yang lebih baik,
bila berubah ke arah yang lebih baik itu bagus. Jika misalkan saat dilihat
buahnya masih mentah/ mengkel dan pada 3 hari kemudian saat terjadi transaksi,
buah tersebut berubah menjadi matang, artinya berubah ke arah yang baik/ bagus,
maka transaksi jual-belinya dibolehkan.
4. Menjual Manfaat
Hanya menjual manfaatnya saja, bukan
bendanya atau zat-nya, dan manfaat yang dijual berlaku terus-menerus. Jika sewa
menyewa tidak berlaku terus-menerus, melainkan ada batasan waktu. Shighot-nya jual-beli juga, tetapi bukan jual-beli
benda-nya/ zat- nya/‘ayn-nya
tetapi hanya manfaatnya saja. Semacam menjual hak untuk melewati/
melintasi tanah milik orang lain, karena kita tidak memilik jalan melainkan
harus melewati tanah milik orang lain. Atau kita membeli manfaat untuk melintasi
saluran air di tanah milik orang lain. Kita membeli manfaatnya dengan
menggunakan surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Kita
tidak memiliki itu tanah, kita hanya membeli manfaatnya saja dan manfaatnya
berlaku untuk selamnya, tidak ada batasan waktu. Contoh lainnya adalah seperti
kita menaruh kayu di tembok orang lain, artinya kita membeli manfaat untuk
menaruh kayu pada tembok orang lain dan manfaat ini berlaku untuk selamanya.
Sekalipun tidak memiliki haq atas benda tadi, tetapi hanya manfaatnya saja,
tetapi ini termasuk jual-beli (bii/bee) juga. Shighot-nya termasuk
jual-beli juga dan ada Ijaab-Qobuul-nya. Kita
hanya membeli manfaatnya saja, dan bukan membeli bendanya.
Untuk barang yang akan dijual harus
memenuhi 5 persyaratan, 3 persyaratan sudah disebutkan oleh Tuan Syech Musonif
(Pengarang Kitab), yaitu:
1. Barang/ Benda Yang Dijual Adalah Segala Sesuatu Yang
Suci
Sekalipun keyakinan akan kesucian
dari benda yang dijualnya tadi diperolehnya dengan jalan Ij’tihad. Ij’tihad yaitu segala daya upaya
dikeluarkannya untuk dapat menyakinkannya bahwa benda yang dijualnya merupakan
barang yang suci. Dari hasil Ij’tihadnya apabila benar maka mendapatkan 2
pahala dan apabila salah maka hanya mendapatkan 1 pahala saja.
2. Benda Yang Dijual Ada Manfaatnya
Menjual 2 butir gandum/ beras tidak
ada manfaatnya, maka jual-belinya tidak diperbolehkan. Manfaat dari benda yang
dijual merupakan manfaat yang Mubah (Halal), bukan manfaat yang Haram.
Sekalipun manfaatnya tadi di akhirat, bukan di dunia, dalam hal ini
jual-belinya masih diperbolehkan.
Semacam kita membeli budaq yang
lumpuh/ sakit kronis. Tujuan orang membeli budaq adalah untuk diambil
manfaatnya berupa tenaganya, sedangkan membeli budaq yang sudah lumpuh/ sakit
kronis apa yang dapat diambil manfaatnya?
Tujuan ia membeli budaq bukan untuk diambil manfaat tenaganya di dunia,
melainkan dengan tujuan untuk dimerdekakan, dan ia hanya mengharapkan balasan
pahala dari Alloh SWT. Manfaatnya tidak terlihat di dunia, tetapi akan kita
rasakan nanti di akhirat. Banyak ayat-ayat yang menganjurkan untuk memerdekakan
budaq, maka dalam Islam tidak ada per-budaq-an, Islam juga bertujuan untuk
menghapus adanya perbudaqan yang sudah ada. Justru sampai saat ini per-budaq-an
masih terjadi dibelahan bumi Eropa, mereka memper-budaq orang-orang dari
Afrika.
Mengapa kita masih perlu untuk
mempelajari “Kitabul Itiiq” (Kitab Masalah Per-budaq-an)? Karena bisa saja terjadi pada saat nanti akan
terjadi peperangan antara Islam dengan Kafir, maka orang kafir yang tertangkap/
tertawan dapat menjadi budaq kita.
Atau manfaat dari barang yang kita
beli tidak dapat kita manfaatkan
sekarang/ saat ini, tetapi kita manfaatkan nanti (berproses). Untuk saat
ini belum dapat kita manfaatkan untuk bekerja, dalam hal ini jual-belinya masih
dibolehkan, seperti membeli keledai yang masih kecil. Untuk saat ini keledai
yang masih kecil tersebut belum dapat digunakan untuk mengangkut barang atau
sebagai alat transportasi, tetapi nanti setelah ia tumbuh dewasa, keledai
tersebut baru dapat dimanfaatkan. Keledai yang masih kecil tadi boleh
diperjual-belikan dengan syarat bila induknya/ ibunya sudah mati, atau keledai
tadi sudah tidak menyusu lagi. Apabila keledai tadi masih menyusu, maka haram
untuk diperjual-belikan, karena akan memisahkan antara anak dengan induknya.
Menjual atau membeli binatang yang masih menyusu kepada induknya maka hukumnya
haram, karena binatang yang masih kecil tersebut masih membutuhkan perawatan
dari induknya.
3. Benda/ Barang Yang Dijual Milik Seseorang
Yang dimaksud dengan kata-kata “mamluk”
disini adalah si-penjual mempunyai kekuasaan/ wilayah atas benda/
barang yang dijualnya. Kekuasaannya dapat diperoleh dari beberapa jalan,
seperti benda/ barang tadi memang benar-benar miliknya secara pribadi.
Atau dia diberikan kuasa/ wilayah
oleh si-pemilik barang tadi untuk menjual barang miliknya. Seperti bapak atau
kakek ada wilayah atau kuasa atas barang/ benda dari anaknya atau cucunya yang
masih kecil.
Atau orang tua dari si-anak yang
masih kecil, semasa hidupnya ia berwasiat dengan memberikan kuasa kepada
seseorang yang dapat ia percaya untuk mengurus harta dari anak yang masih
kecil. Orang yang mendapatkan wasiat tadi memperoleh kuasa/ wilayah untuk
menjual benda/ barang tadi berdasarkan Wasiat.
Atau ada izin dari Syara (agama),
padahal benda/ barang yang dijualnya bukan merupakan miliknya, dan dia tidak
memiliki kuasa/ wilayah atas barang tersebut dan ia tidak mempunyai wasiat
untuk menjual barang tersebut, tetapi ada izin Syara yang membolehkan dia untuk
menjual barang/ benda tersebut. Semacam ia menemukan barang di jalan, misalnya
seperti jam tangan, uang atau cincin yang mahal harganya.
Apabila barang yang kita temukan
bukan merupakan barang yang tahan untuk disimpan lama, bila disimpan lama maka
barang tersebut akan rusak/ busuk, misalnya kita menemukan 1 peti dodol garut,
atau kita menemukan pisang 1 tandan misalnya, maka kita dapat menjual barang
temuan tadi. Barang yang kita temukan/ dapatkan dan ditakutkan akan rusaknya
apabila disimpan lama, maka kita dapat menjualnya. Dalam hal ini Syara
mengizinkannya, padahal bukan merupakan miliknya, dan dia tidak ada kuasa/
wilayah, dan dia tidak ada wasiat, tetapi izin syara yang membolehkannya untuk
menjual barang temuan tadi. Akan tetapi ada persyaratannya. Jika suatu saat
nanti ada yang mengakui bahwa barang yang kita temukan tadi adalah miliknya,
maka kita harus membayar/ menggantinya.
Apabila barang yang kita temukan
merupakan barang yang tahan lama untuk disimpan, misalkan semacam emas, uang
atau lainnya, maka kita harus mengumumkan barang temuan tadi di tempat-tempat
keramaian semacam pasar atau masjid. Akan tetapi saat kita mengumumkannya
jangan kita sebutkan ciri-ciri dari barang yang kita temukan tersebut, bisa
jadi ada orang yang mengaku-ngaku sebagai pemiliknya padahal bukan dia pemilik
sahnya. Kita mengumumkan barang temuan tadi di tempat-tempat keramaian, seperti
masjid-masjid, pasar-pasar dll. selama 1 tahun lamanya. Bila ada orang yang
mengakui, maka tanya kepadanya barang apa yang hilang darinya? Bila apa yang
dia sebutkan ciri-cirinya sama persis
dengan apa yang kita temukan, maka serahkan barang tersebut kepadanya. Bila
sampai 1 tahun setelah kita umumkan dan tidak ada yang mengakuinya, maka atas
izin syara kita dibolehkan untuk menjualnya. Misalkan setelah beberapa tahun
dan kita telah menjual barang temuan tadi (misalkan berupa emas), kemudian ada
orang yang datang kepada kita dan ia menyebutkan barang dengan ciri-ciri yang
sama dengan barang yang kita temukan, maka kita harus menggantinya. Kemungkinan
orang yang kehilangan barang tersebut tidak mengetahui saat kita mengumumkan
barang hasil temuan tadi atau dia sedang berada di luar kota saat kita
mengumumkannya.
“Orang
yang menemukan barang yang tidak sama dengan jenis barang miliknya, maka dia
boleh menjual barang dengan jenis miliknya dan dia boleh memiliki barang yang
ditemukannya.”
4. Ada Kemampuan/ Kesanggupan Untuk Menerima Barangnya
Syarat yang ke-4 ini ditambahkan oleh
Syech Nawawi Al Banteni
Si-pembeli yakin bahwa ia mampu
menerima barang yang diperjual-belikan seketika itu, tanpa ada tambahan biaya/
ongkos. Sekalipun si-penjual tidak ada kemampuan untuk menyerahkan barang yang
diperjual-belikannya tersebut. Ketentuan ini berlaku selain pada Bee’/Bii’ Dhimny. Bee’/ Bii’ Dhimny yaitu:
jual-beli yang resikonya di tanggung oleh si-pembeli. Ada yang menyatakan bahwa
Bee’/ Bii’ Salam sama dengan Bee’/ Bii’ Dhimny. Padahal Bee’/
Bii’ Salam berbeda dengan Bee’/ Bii’ Dhimny.
Jika Bee’/ Bii’ Salam harus ada
kemampuan menyerahkan bagi si-penjual dan si-pembeli sanggup menerimanya.
Sedangkan pada Bee’/ Bii’ Dhimny, jika pada awalnya si-pembeli mampu menerima
itu barang, ternyata pada akhirnya dia tidak mampu menerimanya, maka resikonya
ditanggung oleh pembeli. Pada Bee’/ Bii’ Dhimny tidak disyaratkan untuk dapat
menyerahkan itu barang. Pada persyaratan Jual-Beli, si-penjual mampu
menyerahkan barang kepada si-pembeli, kemampuan si-pembeli untuk menerima itu
barang yang dibelinya. Andaikata si-penjual tidak mampu menyerahkan itu barang,
tetapi si-pembeli sanggup untuk menerimanya, maka itu sudah cukup, maka salah
satu saja dari keduanya yang memiliki kemampuan itu.
Bila kau katakan kepada pemilik budaq
yang mana budaq ini sudah dirampas orang: “Bebaskan/ merdekakan kau punya budaq
dengan harga (sekian…) untukku.” Padahal
si-budaq ada ditangan orang lain, dan bukan pada tangan si-penjual. Dengan kita
membelinya, maka bebas itu budaq dari tangan si-penjual. Si-penjual berkata:
“Ya, aku bebaskan itu budaq dari tanganku untukmu, maka jual-belinya sah,
padahal budaq tidak ada ditangan dia (sudah di rampas orang). Dan si-pembeli
ada kemampuan untuk mendapatkan itu budaq dari tangan orang, mungkin dengan
kekuasaannya, pengaruh atau lainnya, sehingga si-pembeli mempunyai keyakinan untuk mendapatkan itu
budaq yang dibelinya. Apabila pada akhirnya budaq itu tidak dapat diambil dari
tangan orang yang merampasnya, maka sah jual-belinya dan hal itu menjadi resiko
dari si-pembeli. Itulah yang disebut dengan Bee’/ Bii’ Dhimny, dan si-pembeli
tidak dapat menuntut agar uangnya dikembalikan, karena si-pembeli sudah
mengetahui bahwa budaq yang dibelinya tidak berada pada tangan si-penjual,
melainkan ada di tangan orang yang merampasnya.
Hal ini sama dengan yang dikehendaki
dari membeli budaq dengan tujuan untuk dimerdekakan. Sah jual-belinya, tetapi
si-pembeli tidak mendapatkan apa-apa. Bila masih berstatus budaq masih dapat di
perjual-belikan, tetapi bila sudah dimerdekakan maka tidak dapat diperjual-belikan
lagi. Budaq yang dibelinya tadi tidak dapat dimanfaatkannya. Sudah menjadi
resiko si-pembeli, karena dia telah memerdekakan itu budaq. Atau dia
menyaksikan kemerdekaan itu budaq dan di tolak sahaada-nya. Atau jika
budaq yang dibelinya adalah bapaknya atau kakeknya terus ke atas atau anak,
cucu dan terus ke bawah, maka tidak disyaratkan atasnya kemampuan untuk
menerima itu barang, maka hal itu dibolehkan. Karena tujuan dia untuk membeli
itu budaq adalah untuk menyelamatkan kakeknya, bapaknya, anaknya atau cucunya.
Dia beli itu budaq, tetapi dia tidak mempunyai kemampuan untuk menerima itu
barang/ budaq, maka sah jual-belinya.
5. Barang yang Dijual-belikan Diketahui oleh Kedua
Belah Pihak (Penjual & Pembeli)
Kedua belah pihak harus mengetahui
barangnya (‘‘ayn-nya/ zat-nya),
kadarnya, timbangannya, jumlahnya, shifaatnya, karena hal ini menjadi syarat
mutlaq dalam jual-beli.
Menjelaskan Tuan Syech Musonif
tentang syarat-syarat jual-beli, diantaranya:
a. Tidak Diboleh Menjual-belikan Benda/ Barang Yang Najis
Untuk barang yang najis hanya dibolehkan
memindahkan haq saja. Najis tidak boleh dijual-belikan, seperti pupuk kandang
(kotoran sapi, kambing dll.) Ijaab-Qobulnya bukan jual-beli, tetapi hanya
memindahkan haq atau kekuasaan saja. Tidak sah menjual benda yang najis,
sekalipun benda yang semula najis tersebut dapat berubah menjadi suci dengan
sebab dipindahkan atau berubah, misalnya kulit binatang yang sebelum di samak
hukumnya najis, setelah dibersihkan kotoran dan lendirnya dengan jalan di
samak, maka kulit tersebut berubah menjadi suci. Semacam kulit bangkai bila
disamak, maka dapat berubah menjadi suci. Barang/ benda tersebut bisa berubah
dari najis menjadi suci dengan jalan Istihaalah
atau tidak dapat berubah artinya tetap najis, maka sama saja kedua barang/
benda tersebut tidak dapat diperjual belikan, hanya boleh memindahkan haq saja.
Ada barang yang najis dan tidak dapat disucikan semacam khomer, khomer dengan cara apapun juga tidak
dapat disucikan. Dan ada juga benda yang mutan’najis, sekalipun bendanya itu muhtaromah (terhormat). Pada proses
pembuatan cuka pada awalnya menjadi arak terlebih dahulu. Misalkan orang
memeras anggur dengan tujuan untuk membuat cuka bukan untuk membuat khomer,
tetapi pada proses awalnya perasan anggur tadi berubah menjadi khomer terlebih
dahulu, setelah beberapa lama baru kemudian berubah menjadi cuka. Pada saat
masih menjadi khomer tidak boleh diperjual-belikan, tetapi bila sudah berubah
menjadi cuka baru boleh diperjual-belikan. Khomer ‘ayn/ zat-nya najis, bagaimanapun caranya tidak dapat
disucikan, karena tidak dapat disucikan, maka bagaimanapun juga tidak dapat
diperjual-belikan.
Dan semacam minyak goreng yang pada
awalnya adalah barang yang suci, tetapi kemudian ke jatuhan najis (misalnya semacam: bangkai
binatang), maka minyak goreng tersebut berubah menjadi mutan’najis. Maka minyak goreng tersebut tidak dapat
diperjual-belikan lagi karena minyak goreng tersebut sudah bercampur/ menyatu
dengan najis, sehingga tidak dapat disucikan lagi. Untuk contoh barang yang
bercamur dengan najis dan tidak dapat disucikan lagi tidak hanya minyak goreng
saja, tapi dapat juga berupa madu, susu, cuka, syrup dan dapat berupa benda apa
saja yang tidak dapat lagi disucikan. Untuk benda yang pada asalnya suci
kemudian bercampur dengan benda yang najis sehingga berubah menjadi mutan’najis,
dan tidak dapat disucikan karena sudah bercampur, maka benda/ barang tersebut
tidak dapat diperjual-belikan.
Adapun untuk benda yang dapat
disucikan, semacam kain yang terkena najis, kemudian dicuci sehingga najisnya
hilang, maka benda tersebut dapat diperjual-belikan dan ada perinciannya.
Apabila ada benda yang dapat disucikan dengan jalan dicuci, dan najis ini tidak
menutupi bagian daripada baju, maka sah jual-belinya. Apabila ada benda yang
dapat disucikan tanpa dicuci, artinya benda tersebut berubah sendiri secara
alami (Istihaalah). Seperti memeras
anggur dengan tujuan untuk membuat cuka, maka sebelum menjadi cuka, perasan
anggur tersebut berubah terlebih dahulu menjadi khomer/ arak (najis). Selama masih
menjadi arak/ khomer, maka tidak sah atau tidak boleh diperjual-belikan, tetapi
setelah menjadi cuka baru boleh diperjual-belikan.
b.
Tidak Sah
Menjual Suatu Benda Yang Bukan Milik Dari Si-Penjual
Tidak sah menjual barang yang bukan
milik dari si-Penjual, lain halnya dengan adanya wilayah, atau dikuasakan,
diwakilkan atau diizinkan. Sekalipun benda yang dijual adalah benda yang suci.
Bila seseorang menjual barang yang bukan miliknya, kemudian si-pemilik yang sah
tidak menyetujuinya terjadinya jual-beli tersebut, maka transaksi jual-belinya
batal.
c.
Tidak Sah
Menjual Sesuatu Benda Yang Tidak Ada Manfaatnya
Karena barang yang tidak ada
manfaatnya bukan termasuk/ dianggap sebagai harta. Maka mengambil harta/ uang/
bayaran sebagai imbalan atas diserahkannya barang/ benda yang tidak ada manfaatnya,
maka tercegah/ di larang/ tidak dibolehkan/ tidak sah.
Ketiadaan manfaatan atas sesuatu
barang/ benda adakalanya karena sedikitnya, jika jumlahnya banyak tentulah ada
manfaatnya. Semacam menjual 2 butir gandum/ beras, maka jual-belinya tidak sah.
Jika kita mengambil bayaran atas penjualan 2 butir gandum/ beras tadi, maka hal
itu tidak sah dan uangnya harus dikembalikan. Tidak ada bedanya antara zaman
pada saat harga benda/ barang tersebut murah dan zaman pada saat harga benda/
barang tersebut mahal. Sudah menjadi consensus/ kesepakatan dari para ulama,
tidak ada yang menyatakan boleh. Untuk suatu benda/ barang yang karena
sedikitnya sehingga tidak ada manfaatnya, maka tidak boleh/ tidak sah
jual-belinya. Tidak dipandang juga bila 2 butir gandum/ beras tadi di taruh di
alat untuk berburu/ jebakan sebagai makanan pancingan. Misalkan jika kita taruh
2 butir gandum/ beras tadi di dalam kandang jebakan, maka akan mendapatkan
binatang buruan. Meskipun bila dipandang barang yang sedikit tadi ada manfaatnya,
tetapi tetap hal tersebut tidak dibolehkan. Sekalipun dikatakan barang/benda
tersebut tidak ada manfaatnya/ harganya
karena sedikit, tetap tidak dibolehkan (haram) untuk merampasnya/
mengambilnya, karena disitu ada haq dari pemiliknya, jika ada keperluan kita
harus memintanya.
Ketidaan manfaatan atas suatu barang/
benda adakalanya karena hinanya barang tersebut, semacam serangga yang ada
manfaatnya atau tidak ada manfaatnya. Seperti telur semut (kroto) yang
dimanfaatkan untuk makanan burung. Kalajengking tidak boleh diperjual-belikan,
karena banyakan mudhorot (bahayanya) dibandingkan manfaatnya, bila ada
manfaatnya boleh diperjual-belikan.
Kalajengking yang sangat berbahaya
adalah saat ia sedang hamil, karena pada saat itu tingkat racunnya meningkat untuk
melindungi anak-anaknya nanti.
Hukum terus berkembang, yang dulu
tidak boleh dijual karena dinilai tidak ada manfaatnya semacam telur semut
(kroto), tetapi saat ini di nilai ada manfaatnya, sehingga dibolehkan untuk
diperjual-belikan. Ulat diperbolehkan untuk diperjual-belikan karena ada
manfaatnya untuk makanan burung, bila pada madzhab Imam Hanafi barang-barang
semacam ini dibolehkan untuk diperjual-belikan.
Tidak dipandang dengan suatu apa yang
sudah disebutkan dari pada manfaat-manfaat yang terdapat dalam kitab-kitab Mujarobat, tetap tidak dibolehkan untuk
diperjual-belikan.
Binatang buas yang tidak ada
manfaatnya tidak boleh diperjual-belikan juga, tetapi bila dirasa ada
manfaatnya boleh diperjual-belikan. Semacam Singa, Srigala dinilai tidak ada
manfaatnya, malah dapat membahayakan diri kita, maka tidak boleh
diperjual-belikan. Tidak dipandang manfaat kulitnya setelah di samak, meskipun
kulit dari binatang buas tersebut ada manfaatnya, misalkan untuk baju, tas,
ikat pinggang dll., maka tetap tidak dibolehkan untuk diperjual-belikan.
Meskipun harga barang yang terbuat dari kulit binatang buas tersebut harganya
mahal. Burung yang tidak ada manfaatnya juga tidak boleh diperjual-belikan,
bila ada manfaatnya misalkan untuk didengarkan suaranya, maka dibolehkan untuk
diperjual-belikan. Contoh burung yang tidak ada manfaatnya dan tidak boleh
diperjual-belikan seperti burung alap-alap (elang), burung gagak. Tidak
dipandang bila ada manfaatnya berupa bulunya, seperti untuk kepala anak panah.
Tidak dipandang pula binatang-binatang buas yang dipelihara oleh raja-raja
dengan tujuan untuk menimbulkan rasa gentar/ takut pada musuh atau rakyatnya.
Binatang buas yang ada manfaatnya
maka diperbolehkan untuk diperjual-belikan, semacam macan tutul untuk berburu,
gajah digunakan untuk berperang, kucing jinak yang digunakan untuk menangkap
tikus, monyet untuk menjaga rumah, burung merak untuk dilihat keindahan bulunya
sehingga menimbulkan kesenangan, burung bul-bul (murai) untuk didengarkan
suaranya, lebah/ tawon untuk diambil madunya, ulat sutra, lintah dimanfaatkan
untuk menyedot darah, kelinci untuk dimakan dagingnya, biawak untuk dimakan
dagingnya,
Syaidina Khalid bin Walid memakan daging
biawak, meskipun Nabi tidak memakannya tetapi Nabi tidak melarangnya, maka hal
itu menandakan dibolekan/ halal memakan daging biawak.
Kucing liar (musang) untuk diambil
minyaknya sebagai bahan minyak wangi, bila musang yang tidak dapat menghasilkan
minyak, maka tidak boleh diperjual-belikan. Maka jual-beli dari binatang-binatang
seperti yang telah disebutkan di atas sah hukumnya/ dibolehkan.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz
Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
assalammualaikum.....habib,,bagaimana hukumnya jualbeli online dan asuransi syariah...?? juga bagaimana hukumnya kredit barang..mis..mobil..rumah..motor pakai bank syariah..makasih atas penjelasnnya..wassalam
BalasHapusassalammualaikum.....habib,,bagaimana hukumnya jualbeli online dan asuransi syariah...?? juga bagaimana hukumnya kredit barang..mis..mobil..rumah..motor pakai bank syariah..makasih atas penjelasnnya..wassalam
BalasHapusWaalaikum Salam Wr. Wb. Saya tegaskan disini bahwa saya bukan habaib ataupun Ustdz. Seperti yang sudah saya tegaskan di atas, karena keterbatasan ilmu yang saya miliki maka saya tidak membuka forum tanya jawab pada blok ini, afwan, terima ksih.
BalasHapus