Rabu, 16 September 2015

FIQIH (HAJI & UMROH) - Hukum Tertinggal/Meninggalkan Salah Satu Rukun Haji



Pokok Bahasan     :  FIQIH (HAJI & UMROH)
Judul                    :  Hukum Tertinggal/Meninggalkan Salah Satu Rukun Haji
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.


A.   Hukum Tertinggal/ Keluputan Wuquf di Padang Arafah

Siapa orang yang sedang melaksanakan ihrom haji, dan dia keluputan/ ketinggalan/ kehilangan kesempatan untuk Wuquf di Padang Arafah, padahal sentral dari peribadatan haji adalah Wuquf di Padang Arafah. Ketinggalan wuqufnya ini bukan karena di tawan musuh, sakit atau lainnya. Tetapi karena sebab terbitnya fajar di hari ke-10 Dzulhijah (hari penyembelihan hewan qurban), dia baru sampai di padang Arafah setelah masuk waktu Shubuh tanggal 10 Dzulhijah.

Waktu Wuquf di Padang Arafah adalah sejak tergelincirnya matahari (masuk Waktu Dzuhur) pada tanggal 9 Dzulhijah hingga sebelum masuk waktu Shubuh tanggal 10 Dzulhijah. Syarat untuk Wuquf sebenarnya cukup ringan, sekedar ada (sambil lewat pun jadi, tidak perlu lama-lama), asalkan kita sudah berada di Padang Arafah beberapa menit sebelum masuk waktu Shubuh tanggal 10 Dzulhijah, maka sudah sah Wuquf kita. Hanya sunnahnya dari Imam Syafi’i adalah men-jama’ (menghimpun) antara waktu, yaitu waktu siang dan waktu malam. Bagi yang meninggalkan men-jama’ antara waktu siang dan malam, maka disunnahkan baginya untuk membayar dam.

Jadi jika setelah terbit fajar (waktu Shubuh) tanggal 10 Dzulhijah dia baru masuk ke Padang Arafah, maka dia sudah ketinggalan kesempatan untuk Wuquf di Padang Arafah. Maka bila ia tidak mendapatkan kesempatan untuk Wuquf di Padang Arafah, maka berarti hajinya gagal atau tidak mendapatkan predikat haji.

Bagian dari wilayah Padang Arafah cukup luas (ada tanda-tanda batasan wilayahnya), asalkan dia sampai di ujung pinggir Padang Arafah sebelum terbit fajar (masuk waktu Shubuh tanggal 10 Dzulhijah), maka dia masih terhitung mendapatkan kesempatan Wuquf di Padang Arafah. 

Jika ketinggalan Wuquf di Padang Arafah, baik dengan sebab ada udzur  ataupun tidak ada udzur, maka jalan keluar dia untuk membebaskannya dari ihrom hajinya, yaitu dia wajib segera tahalul, jangan ditunda-tunda lagi. Saat tahalul dia harus niat huruj’ (niat keluar dari peribadatan hajinya). “Aku tahalul untuk membebaskan (menghalalkan) diri, keluar dari pada ibadah haji.”  Jika masih dalam ihrom haji, maka belum dapat melakukan beberapa hal yang merupakan larangan saat sedang ihrom haji. Mutlaq harus diniatkan, tanpa ada niat, maka tidak sah kerjaan/ amalannya.

Cara tahalulnya adalah dengan mengerjakan amalan-amalan (rukun-rukun) umroh, yaitu Thawaf, Sa’ii dan cukur ditambah niat, niat bukan niat umroh, tetapi niatnya niat tahalul untuk membebaskan/ melepaskan/ menghalalkan diri dari ihrom haji. Niatnya pada tiap-tiap satu dari amalan/ rukun umroh, Thawaf niat tahalul umroh, Sa’ii niat tahalul umroh dan Halaq (bercukur) juga niat tahalul umroh.

Dia harus datangkan/ mengerjakan kerjaan/ amalan yang belum dilakukannya dari pada amalan-amalan umroh, amalan umroh adalah Thawaf, Sa’ii dan Halaq (Cukur).
Misalkan dia melaksanakan Haji Ifrood, maka pada saat datang ke Makkkah dia melaksanakan Thawaf Quduum. Dan setelah Thawaf Quduum dia boleh melaksanakan Sa’ii dan boleh juga tidak melaksanakan Sa’ii. Bila ia melakukan Sa’ii setelah Thawaf Quduum, maka nanti setelah Thawaf Ifadhoh dia tidak perlu Sa’ii lagi, bahkan makruh hukumnya bila mengulang Sa’ii lagi. Tetapi Thawaf Quduum tidak  termasuk kedalam rukun haji, maka yang dihitung hanya Sa’ii nya saja. Jadi dia tinggal melaksanakan Thawaf dan bercukur. Tetapi bila setelah Thawaf Quduum dia tidak mengerjakan Sa’ii, maka dia harus mendatangkan/ mengerjakan ketiga amalan umroh, yaitu Thawaf, Sa’ii dan Halaq (bercukur).

Jika saat haji niatnya cukup satu di awal, yaitu saat mulai ihrom, begitu juga dengan shalat, niatnya hanya satu, yaitu di awal shalat, sedangkan di saat ruku, I’tidal, sujud dll. tidak perlu niat lagi. Pindah dari satu rukun ke rukun yang lainnya tidak perlu niat lagi. Tetapi untuk tahalul yang disebabkan oleh ketinggalan Wuquf di Padang Arafah, maka tiap-tiap mengerjakan amalan/ rukun umroh harus diniatkan.

Maka wajib atas orang yang ketinggalan/ keluputan Wuquf di Padang Arafah, niat Tahalul pada tiap-tiap seluruh kerjaan-kerjaan umrohnya, Thawaf niat Tahalul, Sa’ii niat Tahalul, dan Halaq/ cukur) niat Tahalul. Dan tidak diisyaratkan untuk tertib (berurutan) dalam mengerjakan amalan-amalan umroh tadi. Buktinya adalah misalkan dia setelah Thawaf Quduum dia Sa’ii, padahal dia belum mengerjakan Thawaf Rukun (Thawaf Ifadhoh). Berarti dia telah mendahulukan Sa’ii dari Thawaf Rukun (Thawaf Ifadhoh). Dan diapun  tidak wajib niat umroh, yang diperlukan adalah niat tahalul dari tiap-tiap amalan umroh yang tiga (Thawaf, Sa’ii dan Halaq/ Bercukur). Karena tujuan dari ini amalan-amalan yang tiga tadi, adalah tahalul dari ihrom haji.

Umroh yang telah kita lakukan tadi dalam rangka tahalul dari pada haji kita dengan jalan mengerjakan amalan-amalan umroh, tetapi umroh tadi tidak memadai/ menggugurkan kewajiban dari pada ‘Umrotul Islam’. Artinya kita masih dituntut untuk mengerjakan umroh lagi, karena kita ada kewajiban untuk melaksanakan haji 1 kali dan umroh 1 kali seumur hidup kita (jika mampu), adapun selebihnya adalah sunnah saja.

Apabila kita melaksanakan Haji Tamattu, maka Umroh Islam (Umroh yang wajib) telah kita laksanakan, karena pelaksanaan umroh untuk Haji Tamattu adalah jauh sebelum kita Wuquf di Padang Arafah. Jadi kewajiban umroh sekali seumur hidup kita telah gugur/ terlaksana.

Dan apa yang sudah ia lakukankan dari pada amalan-amalan umroh (Thawaf, Sa’ii dan Halaq), maka terjadilah/ hasillah Tahalul Tsani. Sehingga dia sudah keluar dari Ihrom haji, maka Muharamatul Ihrom Haji dan Muharamatul Ihrom Umroh sudah halal, termasuk jimaa’ sudah halal dilakuan. Karena amalan umroh sudah dilakukan semuanya.

Untuk Tahalul Awal, dapat dihasilkan dari mengerjakan satu kerjaan/ amalan umroh saja, yaitu Halaq (bercukur) saja atau ia Thawaf & Sa’ii (dua kerjaan dihitung satu). Karena untuk Umroh tidak ada kerjaan/ amalan melontar. Hukum kewajiban melontar (rom’yi) menjadi gugur dengan sebab ia keluputan/ kehilangan kesempatan Wuquf di Padang Arafah. Meskipun dia tidak mengerjakan kerjaan/ amalan melontar, tetapi seolah-olah ia telah mengerjakan melontar (rom’yi). Dalam Umroh tidak ada amalan melontar, Mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mabit (bermalam) di Minna.

Kenapa orang yang tertahan/ tidak mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan Wuquf di Padang Arafah, diwajibkan untuk segera melepaskan/ membebaskan diri dari ibadah hajinya dengan mewajibkan ia segera tahalul. Tujuannya agar dia tidak menjadi ‘Muhrim bil Haji’ (terus melaksanakan Ihrom Haji) bukan pada bulan-bulan haji. Bulan Haji adalah 2 bulan 10 hari, pada bulan-bulan tertentu, yaitu dari tanggal 1 Syawal sampai tanggal 10 Dzulhijah. Sejak tanggal 1 Syawal sudah boleh untuk niat haji.

Jika dia berkekalan/ tetap dalam Ihromnya, tidak mau melepaskan/ membebaskan diri dengan cara tahalul, padahal dia tidak mendapatkan kesempatan melaksanakan Wuquf di Padang Arafah. Maka sama seperti dia baru mulai lagi mengerjakan Ihrom Haji, padahal bukan pada bulan Haji. Jadi orang yang tidak mau melakukan Tahalul sama seperti orang yang baru memulai Ihrom Hajinya bukan pada bulan haji, maka hal itu tidak dibolehkan. Karena masih tersisa sebagian amal haji atas orang itu yang belum dikerjakannya.

Andaikata ia terus berkekalan dan tidak mau keluar (melepaskan diri) dari ibadah haji dengan melakukan tahalul. Terus menerus melaksanakan haji yang sudah ‘faasad’ (rusak), karena dia tertinggal Wuquf di Padang Arafah. Dia terus meneruskan Ibadah Hajinya, hingga pada saatnya nanti pada haji tahun yang akan datang dia tinggal meneruskan ibadah hajinya, dia terus dalam keadaan berpakaian Ihrom, maka hal itu tidak memadai (tidak dibolehkan). Karena Ihromnya sudah keluar dari bulan haji, sama seperti orang yang baru mulai Ihrom di luar bulan-bulan haji.

Manakala dia tertinggal Wuquf di Padang Arafah, maka dia wajib segera tahalul, untuk membebaskan diri/ keluar dari Ihrom Haji dengan jalan mengerjakan Umroh. Dia tidak boleh melanjutkan Ihrom Hajinya sampai tahun yang akan datang, karena ada sebagian ibadah haji yang belum ia laksanakan/ kerjakan.

Lain halnya bagi orang yang sudah Wuquf di Padang Arafah, dia boleh saja tidak segera menuntaskan untuk mengerjakan tahalul (bila ia kuat/ sanggup), dia boleh terus tetap berpakaian ihrom untuk jangka waktu berbulan-bulan, akan tetapi selama itu pula dia belum halal untuk  bercampur dengan istrinya, karena dia belum melakukan tahalul tsani.

Wuquf di Padang Arafah merupakan sentral peribadatan haji, dan Wuquf juga merupakan sentral dari rukun ibadah haji yang terbesar. Kita tidak boleh lalai, harus menyiapkan diri pada saat menjelang Wuquf di Padang Arafah, kita harus mengurangi aktivitas yang bukan merupakan rukun haji. Karena sangat pentingnya, sampai-sampai orang yang dalam perawatan di rumah sakit, meskipun ia dalam keadaan menggunakan oksigen ataupun infus dan mengunakan mobil ambulance tetap harus disempatkan di hadirkan/ didatangkan di Padang Arafah, meskipun dalam keadaan tidak sadar sekalipun. Karena bila sampai tidak di hadirkan di saat waktu Wuquf di Padang Arafah walau hanya sebentar/ sesaat, maka tidak jadi atau tidak sah hajinya.

Dan wajib atas orang yang keluputan/ ketinggalan Wuquf di Padang Arafah, harus meng-kodho hajinya dengan segera, tidak dapat ditunda-tunda lagi, tahun depan harus segera meng-kodho hajinya. Keluputan/ ketinggalan Wuqufnya itu disebabkan bukan karena ‘Ishoor’ (terjadi peperangan, ditahan oleh penguasa, penyamun, dll.) sehingga tidak dapat masuk ke Padang Arafah. Keluputan/ ketinggalan wuqufnya karena adanya udzur, tapi bukan udzur yang Ishoor, maka dia wajib kodho haji fawroon (segera). Karena keluputan/ ketinggalan Wuquf di Padang Arafahnya karena keteledoran/ kelalaiannya, dapat disebabkan macet atau hambatan lain seperti kendaraannya mogok, hujan deras dll. Mampu atau tidak mampu, tetap tahun depan ia harus meng-kodho hajinya. Sama saja, baik  hajinya yang fardhu (haji Islam/ haji yang pertama kali), ataupun ia melaksanakan haji yang kedua atau ketiga dan seterusnya. Haji yang pertama adalah haji fardhu (haji Islam), sedangkan haji yang kedua dan seterusnya hanya merupakan sunnah saja. Tetapi manakala ia sudah melaksanakan/ masuk dalam peribadatan  haji, maka yang tadinya haji sunnah menjadi haji wajib, tidak dapat diputuskan.

Yang keluar dari kata-kata ‘kodho’ disini adalah kodho menurut bahasa (lughot). Kodho adalah di luar waktu, sedangkan ad’da adalah pada waktunya. Disini sebutannya kodho, tetapi sesungguhnya ad’da. Kodho pada lughot, menurut syariat/ menurut istilah ad’da namanya. Meskipun sudah di luar waktu, bukan waktunya, waktunya sudah luput, tetapi dia ad’da. Ada ulama yang mengatakan ini bukan kodho lughotan, tetapi kodho hajian.  

Ibadah haji yang dilakukannya pada tahun yang rusak hajinya karena ketinggalan Wuquf di Padang Arafah adalah haji ad’da-an. Dan haji yang dilakukannya pada tahun yang akan datang disebut haji kodho-an. Itulah alasan mengapa disebut kodhoan hajian, bukan kodhoan lughotan.

Dan wajib bagi orang yang keluputan/ tertinggal Wuquf di Padang Arafah baik dengan udzur ataupun tanpa udzur, wajib baginya menunaikan Umrotul Islam. Ada kewajiban bagi kita untuk melaksanakan Haji 1 kali dan Umroh 1 kali dalam seumur hidup kita. 

Setelah ia mengerjakan amalan-amalan Umroh untuk membebaskan diri dari Ihrom Haji karena ketinggalan Wuquf di Padang Arafah, tetapi bukan berarti dia sudah tidak ada tuntutan untuk mengerjakan Umrohul Islam. Karena umroh tahalul yang dikerjakannya saat dia keluputan Wuquf di Padang Arafah tidak memadai, karena umroh itu hanya sebagai alat untuk membebaskannya dari Ihrom Haji. Sehingga pada saat nanti dia pergi haji kembali, maka dia tetap ada kewajiban untuk melaksanakan Umrotul Islam.

Mengapa dia tetap wajib mengerjakan Umrotul Islam? Karena Umroh tahalul yang dikerjakannya tidak memadai, tidak dapat menambal Umroh Wajib (Umroh Islam). Umroh Tahalul tadi hanya sebagai alat untuk membebaskan diri dari Ihrom Haji, karena dia ketinggalan untuk Wuquf di Padang Arafah.

Dan sesungguhnya yang wajib qodho fawroon bagi orang yang keluputan Wuquf di Padang Arafah, karena tertinggalnya dia Wuquf di Padang Arafah, bukan disebabkan oleh tidak dapatnya ia masuk ke Padang Arafah karena Hashrin (sakit atau karena ada rampok/ begal, dihalangi oleh orang kufar, tertinggal rombongan dan kita tidak arah menuju ke Padang Arafah, dll.). Tahalul karena Hashrin tidak wajib kodho. Jadi yang wajib kodho adalah tahalul bukan karena Hashrin.

Manakala seorang tercegah untuk dapat menyempurnakan melakasanakan/ melanjutkan manasik hajinya dan ia masih mengetahui ada jalan lain baginya yang tidak terhalang untuk menuntaskan perjalanannya menuju Wuquf di Padang Arafah, maka wajib baginya menempuh jalan lain tersebut. Sekalipun dia yakin benar apabila dia melalui jalan lain tersebut dia tidak akan sampai di Padang Arafah tepat pada waktunya, artinya ia sampai di Padang Arafah setelah melewati waktu fajar di hari ke-10 Dzulhijah, akan tetapi dia tetap ada kewajiban menjalankan/ melaksanakannya.

Jika ada orang yang terjegah/ terhalang untuk dapat melanjutkan ibadah hajinya karena meninggal dunia, dan dia telah berupayanya mengerahkan segala kemampuan dan tenaganya untuk melaksanakan Wuquf di Padang Arafah, maka baginyaa tidak perlu dikodhokan lagi atas orang tadi menurut Qoul yang Ashoh, tetapi menurut qoul yang lebih mu’tamat (Ashoh Ashohi) ia tetap wajib untuk dikodhokan.

Dia tidak wajib kodho dengan alasan karena dia telah berupaya mengerahkan segala kemampuannya untuk mencapai Padang Arafah. Tetapi tidak wajib kodhonya apabila hajinya bukan haji yang pertama (Haji Islam), apabila hajinya tadi merupakan haji yang pertama (Haji Islam), maka ia tetap wajib untuk segera kodho apabila ia telah memiliki uang lagi untuk ongkos pergi haji.

Apabila ada peluang baginya dengan hilangnya Hashor (tidak adanya halangan untuk dia dapat menuju ke Padang Ararah), maka wajib baginya segera menjalankan perjalanan menuju Padang Arafah.

Atas orang yang keluputan/ ketinggalan Wuquf  di Padang Arafah karena ada halangan Hashrin, tetapi dia tidak berusaha untuk mencari jalan lain, maka baginya wajib kodho fawroon (tahun depan).

Sedangkan orang yang keluputan/ ketinggalan Wuquf di Padang Arafah bukan karena halangan yang Hashrin, maka atasnya wajib kodho fawroon (tahun depan) dan ia juga terkena sangsi membayar dam 1 ekor kambing.

B.    Hukum Meninggalkan Salah Satu Rukun Haji Selain Wuquf

Didapati dalam sebagian salinan kitab, siapa orang yang meninggalkan salah satu rukun haji dari pada yang tergantung atasnya haji, sah atau tidak sahnya haji dilihat dari rukunnya. Misalkan dia meninggalkan/ tidak mengerjakan salah satu rukun haji, seperti ia tidak melaksanakan Thawaf Ifadhoh, sa’ii ataupun belum melaksanakan halaq (bercukur), selain Wuquf di Padang Arafah.
Rukun haji tidak dapat di dibadalkan/ digantikan, sedangkan wajib haji dapat digantikan dengan dam berupa kambing.

Orang yang meninggalkan salah satu rukun haji yang mana rukun haji tadi bergantung sah atau tidaknya ia punya haji, maka baginya tidak  boleh untuk melakukan/ mengerjakan tahalul (melepaskan diri) dari ihromnya, sampai ia datangkan/ kerjakan rukun haji yang belum dikerjakannya tersebut. Rukun haji yang belum dikerjakannya bagaimanapun juga harus tetap dikerjakan. Dan rukun tersebut tidak dapat digantikan dengan dam berupa kambing ataupun onta sekalipun.

Dan didapat disebagian naskah kitab Fiqih ada tambahan: “Siapa orang meninggalkan salah satu rukun haji (selain Wuquf), seperti Thawaf Ifadhoh, Sa’ii ataupun Halaq (bercukur), dari pada rukun yang terhenti/ tergantung atasnya haji, belum selesai haji seseorang manakala ia belum menyelesaikan semua rukun haji. Rukun haji tidak dapat ditambal/ diganti dengan kambing ataupun onta ataupun lainnya, harus langsung dikerjakan sendiri.

Manakala dia meninggalkan salah satu rukun haji (selain Wuquf), maka dia tidak dibolehkan Tahalul (melepaskan diri dari Ihromnya). Lain halnya dengan meninggalkan Wuquf, bila yang tertinggal adalah Wuquf, maka dia harus segera mengerjakan Tahalul (mengerjakan amalan Umroh).

Dia tidak boleh Tahalul dari Hajinya (manakala dia haji) dan dia tidak boleh Tahalul dari Umrohnya (manakala dia hanya mengerjakan umroh saja). Sampai kapan dia tidak boleh Tahalul? Sampai dia datangkan/ kerjakan rukun haji yang ia tinggal itu. Selama dia belum mengerjakan rukun haji yang dia tinggalkannya, maka belum selesai ia punya hajinya. Maka dia terus dalam keadaan Ihrom, karena belum tuntasnya kerjaan/ rukun yang menyebabkan dia tahalul dari haji, meskipun bertahun-tahun. Karena Thawaf, Sa’ii dan Halaq tidak ada batas waktu, lain halnya dengan Wuquf yang ada batas waktunya, yaitu sampai terbit fajar di hari yang ke-10. Selama dia belum melakukan Tahalul, maka selama itu pula Muharamatul Ihrom masih berlaku atas dirinya, seperti dia tidak boleh bercampur dengan istrinya atau suaminya, tidak boleh memakai pakaian yang berjahit, tidak boleh menggunting kuku, tidak boleh memakai minyak wangi, dll.

Wuquf di Padang Arafah, Mabit di Mina, Mabit di Muzdalifah ada batas waktunya, sedangkan Thawaf, Sa’ii dan Halaq tidak ada batas waktu. Jadi selama dia belum melakukan/ mengerjakan Tahalul, maka selama itu pula dia belum dapat melepaskan pakaian Ihromnya. Dan tidak ada bedanya, bagi orang yang meninggalkan rukun haji tersebut, baik karena dia sengaja, atau karena dia lupa, atau karena kebodohannya atau karena udzur haid. Misalkan belum sempat ia  mengerjakan Thawaf Ifadhoh dia haid, sedangkan Thawaf Ifadhoh harus suci dari segala hadats (baik hadats besar ataupun hadats kecil). Karena Thawaf itu dihukumkan sama seperti Shalat yang lima waktu. Haid adalah hadats yang lebih besar/ berat dari pada hadats karena jannabah. Pada umumnya sebelum pergi haji, biasanya kaum perempuan suka suntik untuk menahan haid, akan tetapi terkadang karena cuaca disana berbeda, maka haid tetap datang juga.

Bagi perempuan yang belum melaksanakan/ mengerjakan Thawaf Ifadhoh, tetapi sudah terlanjur datang haid, maka wajib baginya untuk bersabar menjalankan ihromnya sampai haidnya berhenti/ selesai dan setelah suci kembali baru kemudian dia mengerjakan Thawaf Ifadhohnya. Jangan bimbang, sebaiknya menghubungi biro perjalanan hajinya agar kepulangannya ke tanah air dapat ditunda, untuk menyelesaikan Thawaf Ifadhoh dan rukun-rukun haji yang lainnya hingga selesai/ tuntas. Meskipun masa haidnya lama, masa haid yang paling lama adalah 15 hari. Bila masa haidnya lebih dari 15 hari, maka itu bukan lagi disebut darah haid, tetapi darah istihadhoh (darah penyakit), maka wajib baginya untuk segera mandi dan bersuci.

Dan haram bagi wanita yang belum Thawaf Ifadhoh dan sudah terlanjur datang haid, maka segala sesuatu yang diharamkan dikerjakan/ dilakukannya selama ia berihrom (Muharamatul Ihrom), tetap berlaku baginya, seperti dilarang memakai minyak wangi, bercukur, bercampur dengan suami dll.

Jika perempuan yang haid padahal dia belum mengerjakan Thawaf Ifadhohnya dan dia berasal dari negeri/ tempat yang jauh (semacam Indonesia), ia khawatir akan keselamatan dirinya karena terpisah dari rombongannya, jika dia menunggu sampai selesai masa haidnya, maka silahkan dia meninggalkan kota Makkah (dengan meninggalkan/ tidak mengerjakan Thawaf Ifadhohnya), sampai jauh dan tidak lagi memungkinkan baginya untuk kembali ke kota Makkah (misalnya: keluar dari kota Makkah menuju Jeddah), maka silahkan baginya melakukan Tahalul. Hukumnya sama seperti orang yang Muhshor, yaitu orang yang tercegah karena sesuatu seperti penyakit, ada musuh/ begal yang menghalangi keselamatan jiwanya dan halangan lainnya.  “Keselamatan jiwa/ nyawa kita lebih utama dari pada keselamatan agama kita.”  Masih ada kesempatan di waktu yang lain untuk mengerjakannya rukun haji yang belum dikerjakan.

Dengan cara apa melakukan Tahalulnya? Jika yang biasa kita lakukan, adalah mengerjakan 2 dari 3 rukun haji maka disebut Tahalul Awal dan bila selesai mengerjakan ke-3 rukun haji maka disebut Tahalul Tsani. Wuquf - Halaq (Cukur)- Thawaf & Saa’ii. Dia tahalulnya sama dengan orang yang Muhshor, yaitu dengan menyembelih kambing, kemudian mencukur rambutnya, minimal 3 helai rambut, sedangkan untuk laki-laki disunnahkan mencukur habis. Cara bercukurnya dapat dilakukan dengan cara dicabut, digunting, dibakar, dikerok ataupun dengan cara apa saja. Sehingga ia dapat lepas dari Muharamatul Ihrom, padahal ia belum Thawaf dan Sa’ii. Sewaktu dia menyembelih kambing dia harus niatkan tahalul, dan saat mencukur (halaq) dia harus niatkan tahalul pula.

Untuk itu sebelum berangkat haji, kita harus mengerti dan menguasai ilmu tentang manasik haji, sehingga ibadah kita tidak hanya sekedar ikut-ikutan saja. Karena dalam kenyataannya banyak para pembimbing haji yang tidak mengerti ilmunya bila menghadapi masalah-masalah seperti ini. Cara seperti ini yang harus dilakukan bagi wanita yang terlanjur datang haid padahal ia belum Thawaf Ifadhoh dan Sa’ii, ini berdasarkan tuntunan dari Mahzab Imam Syafi’i, bila menurut pendapat dari Mahzab yang lain akan berbeda pula caranya.

Meski ia sudah menjalankan tuntunan Tahalul seperti yang telah disebutkan diatas, baginya tetap ada kewajiban untuk mengerjakan Thawaf pada saat yang akan datang untuk melaksanakan ihrom muthlaq. Yaitu dengan niat: “Nawaitu Ihroma lillahi taala” atau dengan niat: “Nawaitu Ihroma liiajril thawafi”  Bukan dengan niat: “Nawaitul hajja wa ahromtu bihi lillahi taala.” Atau  bukan dengan niat: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha lillahi taala.”

Setelah ia menjalankan Tahalul seperti tuntunan dari Mahzab Imam Safi’i dan ia telah kembali ke negaranya (misalnya Indonesia), akan tetapi sampai saatnya nanti memungkinkan, maka ia mesti balik lagi untuk melaksanakan Thawaf yang dahulu ia tinggalkan, karena belum tuntas ibadah hajinya.  

Pada saatnya nanti dia mesti niat lagi, karena niat ihromnya yang sebelumnya telah batal karena dia telah mengerjakan tahalul. Dengan mengerjakan tahalul, maka putus ihromnya sampai disitu dan ia terbebas dari Muharamatul Ihrom (hal-hal yang diharamkan selama sedang ber-Ihrom).

Bila menurut Mahzab Imam Hanafi, dipersilakan/ dibolehkan tetap melaksanakan Thawaf bagi wanita yang dalam kondisi masih haid, akan tetapi ada kewajiban baginya untuk membayar dam berupa 1 ekor onta.

Dalam Mahzab Imam Safi’i, kambing yang disembelih dalam rangka tahalul tadi tidak membebaskan dirinya ataupun sebagai pengganti dari Thawaf dan Sa’ii yang belum dikerjakannya. Karena rukun haji/ umroh tidak dapat ditambal/ diganti dengan menyembelih kambing ataupun lainnya dan berapapun banyaknya. Kambing tadi hanya sebagai sarana bagi dirinya untuk terbebas dari Muharamatul Ihrom. 



CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar