Pokok
Bahasan : FIQIH (HAJI & UMROH)
Judul : Hukum Tertinggal/Meninggalkan Salah Satu
Rukun Haji
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
A.
Hukum Tertinggal/
Keluputan Wuquf di Padang Arafah
Siapa orang yang sedang melaksanakan
ihrom haji, dan dia keluputan/ ketinggalan/ kehilangan kesempatan untuk Wuquf
di Padang Arafah, padahal sentral dari peribadatan haji adalah Wuquf di Padang
Arafah. Ketinggalan wuqufnya ini bukan karena di tawan musuh, sakit atau lainnya.
Tetapi karena sebab terbitnya fajar di hari ke-10 Dzulhijah (hari penyembelihan
hewan qurban), dia baru sampai di padang Arafah setelah masuk waktu Shubuh
tanggal 10 Dzulhijah.
Waktu Wuquf di Padang Arafah adalah
sejak tergelincirnya matahari (masuk Waktu Dzuhur) pada tanggal 9 Dzulhijah
hingga sebelum masuk waktu Shubuh tanggal 10 Dzulhijah. Syarat untuk Wuquf
sebenarnya cukup ringan, sekedar ada (sambil lewat pun jadi, tidak perlu
lama-lama), asalkan kita sudah berada di Padang Arafah beberapa menit sebelum
masuk waktu Shubuh tanggal 10 Dzulhijah, maka sudah sah Wuquf kita. Hanya
sunnahnya dari Imam Syafi’i adalah men-jama’ (menghimpun) antara waktu, yaitu
waktu siang dan waktu malam. Bagi yang meninggalkan men-jama’ antara waktu
siang dan malam, maka disunnahkan baginya untuk membayar dam.
Jadi jika setelah terbit fajar (waktu
Shubuh) tanggal 10 Dzulhijah dia baru masuk ke Padang Arafah, maka dia sudah
ketinggalan kesempatan untuk Wuquf di Padang Arafah. Maka bila ia tidak
mendapatkan kesempatan untuk Wuquf di Padang Arafah, maka berarti hajinya gagal
atau tidak mendapatkan predikat haji.
Bagian dari wilayah Padang Arafah
cukup luas (ada tanda-tanda batasan wilayahnya), asalkan dia sampai di ujung
pinggir Padang Arafah sebelum terbit fajar (masuk waktu Shubuh tanggal 10
Dzulhijah), maka dia masih terhitung mendapatkan kesempatan Wuquf di Padang
Arafah.
Jika ketinggalan Wuquf di Padang
Arafah, baik dengan sebab ada udzur
ataupun tidak ada udzur, maka jalan keluar dia untuk membebaskannya dari
ihrom hajinya, yaitu dia wajib segera tahalul, jangan ditunda-tunda lagi. Saat
tahalul dia harus niat huruj’ (niat keluar
dari peribadatan hajinya). “Aku tahalul
untuk membebaskan (menghalalkan) diri, keluar dari pada ibadah haji.” Jika masih dalam ihrom haji, maka belum dapat
melakukan beberapa hal yang merupakan larangan saat sedang ihrom haji. Mutlaq
harus diniatkan, tanpa ada niat, maka tidak sah kerjaan/ amalannya.
Cara tahalulnya adalah dengan
mengerjakan amalan-amalan (rukun-rukun) umroh, yaitu Thawaf, Sa’ii dan cukur
ditambah niat, niat bukan niat umroh, tetapi niatnya niat tahalul untuk
membebaskan/ melepaskan/ menghalalkan diri dari ihrom haji. Niatnya pada
tiap-tiap satu dari amalan/ rukun umroh, Thawaf niat tahalul umroh, Sa’ii niat
tahalul umroh dan Halaq (bercukur) juga niat tahalul umroh.
Dia harus datangkan/ mengerjakan
kerjaan/ amalan yang belum dilakukannya dari pada amalan-amalan umroh, amalan
umroh adalah Thawaf, Sa’ii dan Halaq (Cukur).
Misalkan dia melaksanakan Haji
Ifrood, maka pada saat datang ke Makkkah dia melaksanakan Thawaf Quduum. Dan
setelah Thawaf Quduum dia boleh melaksanakan Sa’ii dan boleh juga tidak
melaksanakan Sa’ii. Bila ia melakukan Sa’ii setelah Thawaf Quduum, maka nanti
setelah Thawaf Ifadhoh dia tidak perlu Sa’ii lagi, bahkan makruh hukumnya bila
mengulang Sa’ii lagi. Tetapi Thawaf Quduum tidak termasuk kedalam rukun haji, maka yang
dihitung hanya Sa’ii nya saja. Jadi dia tinggal melaksanakan Thawaf dan
bercukur. Tetapi bila setelah Thawaf Quduum dia tidak mengerjakan Sa’ii, maka
dia harus mendatangkan/ mengerjakan ketiga amalan umroh, yaitu Thawaf, Sa’ii
dan Halaq (bercukur).
Jika saat haji niatnya cukup satu di
awal, yaitu saat mulai ihrom, begitu juga dengan shalat, niatnya hanya satu,
yaitu di awal shalat, sedangkan di saat ruku, I’tidal, sujud dll. tidak perlu
niat lagi. Pindah dari satu rukun ke rukun yang lainnya tidak perlu niat lagi.
Tetapi untuk tahalul yang disebabkan oleh ketinggalan Wuquf di Padang Arafah,
maka tiap-tiap mengerjakan amalan/ rukun umroh harus diniatkan.
Maka wajib atas orang yang
ketinggalan/ keluputan Wuquf di Padang Arafah, niat Tahalul pada tiap-tiap
seluruh kerjaan-kerjaan umrohnya, Thawaf niat Tahalul, Sa’ii niat Tahalul, dan
Halaq/ cukur) niat Tahalul. Dan tidak diisyaratkan untuk tertib (berurutan)
dalam mengerjakan amalan-amalan umroh tadi. Buktinya adalah misalkan dia
setelah Thawaf Quduum dia Sa’ii, padahal dia belum mengerjakan Thawaf Rukun
(Thawaf Ifadhoh). Berarti dia telah mendahulukan Sa’ii dari Thawaf Rukun
(Thawaf Ifadhoh). Dan diapun tidak wajib
niat umroh, yang diperlukan adalah niat tahalul dari tiap-tiap amalan umroh
yang tiga (Thawaf, Sa’ii dan Halaq/ Bercukur). Karena tujuan dari ini
amalan-amalan yang tiga tadi, adalah tahalul dari ihrom haji.
Umroh yang telah kita lakukan tadi
dalam rangka tahalul dari pada haji kita dengan jalan mengerjakan amalan-amalan
umroh, tetapi umroh tadi tidak memadai/ menggugurkan kewajiban dari pada
‘Umrotul Islam’. Artinya kita masih dituntut untuk mengerjakan umroh lagi, karena
kita ada kewajiban untuk melaksanakan haji 1 kali dan umroh 1 kali seumur hidup
kita (jika mampu), adapun selebihnya adalah sunnah saja.
Apabila kita melaksanakan Haji
Tamattu, maka Umroh Islam (Umroh yang wajib) telah kita laksanakan, karena
pelaksanaan umroh untuk Haji Tamattu adalah jauh sebelum kita Wuquf di Padang
Arafah. Jadi kewajiban umroh sekali seumur hidup kita telah gugur/ terlaksana.
Dan apa yang sudah ia lakukankan dari
pada amalan-amalan umroh (Thawaf, Sa’ii dan Halaq), maka terjadilah/ hasillah
Tahalul Tsani. Sehingga dia sudah keluar dari Ihrom haji, maka Muharamatul
Ihrom Haji dan Muharamatul Ihrom Umroh sudah halal, termasuk jimaa’ sudah halal
dilakuan. Karena amalan umroh sudah dilakukan semuanya.
Untuk Tahalul Awal, dapat dihasilkan
dari mengerjakan satu kerjaan/ amalan umroh saja, yaitu Halaq (bercukur) saja
atau ia Thawaf & Sa’ii (dua kerjaan dihitung satu). Karena untuk Umroh
tidak ada kerjaan/ amalan melontar. Hukum kewajiban melontar (rom’yi) menjadi
gugur dengan sebab ia keluputan/ kehilangan kesempatan Wuquf di Padang Arafah.
Meskipun dia tidak mengerjakan kerjaan/ amalan melontar, tetapi seolah-olah ia
telah mengerjakan melontar (rom’yi). Dalam Umroh tidak ada amalan melontar,
Mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mabit (bermalam) di Minna.
Kenapa orang yang tertahan/ tidak
mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan Wuquf di Padang Arafah, diwajibkan
untuk segera melepaskan/ membebaskan diri dari ibadah hajinya dengan mewajibkan
ia segera tahalul. Tujuannya agar dia tidak menjadi ‘Muhrim bil Haji’ (terus
melaksanakan Ihrom Haji) bukan pada bulan-bulan haji. Bulan Haji adalah 2 bulan
10 hari, pada bulan-bulan tertentu, yaitu dari tanggal 1 Syawal sampai tanggal
10 Dzulhijah. Sejak tanggal 1 Syawal sudah boleh untuk niat haji.
Jika dia berkekalan/ tetap dalam
Ihromnya, tidak mau melepaskan/ membebaskan diri dengan cara tahalul, padahal
dia tidak mendapatkan kesempatan melaksanakan Wuquf di Padang Arafah. Maka sama
seperti dia baru mulai lagi mengerjakan Ihrom Haji, padahal bukan pada bulan
Haji. Jadi orang yang tidak mau melakukan Tahalul sama seperti orang yang baru
memulai Ihrom Hajinya bukan pada bulan haji, maka hal itu tidak dibolehkan.
Karena masih tersisa sebagian amal haji atas orang itu yang belum
dikerjakannya.
Andaikata ia terus berkekalan dan
tidak mau keluar (melepaskan diri) dari ibadah haji dengan melakukan tahalul.
Terus menerus melaksanakan haji yang sudah ‘faasad’ (rusak), karena dia
tertinggal Wuquf di Padang Arafah. Dia terus meneruskan Ibadah Hajinya, hingga
pada saatnya nanti pada haji tahun yang akan datang dia tinggal meneruskan
ibadah hajinya, dia terus dalam keadaan berpakaian Ihrom, maka hal itu tidak
memadai (tidak dibolehkan). Karena Ihromnya sudah keluar dari bulan haji, sama
seperti orang yang baru mulai Ihrom di luar bulan-bulan haji.
Manakala dia tertinggal Wuquf di
Padang Arafah, maka dia wajib segera tahalul, untuk membebaskan diri/ keluar
dari Ihrom Haji dengan jalan mengerjakan Umroh. Dia tidak boleh melanjutkan
Ihrom Hajinya sampai tahun yang akan datang, karena ada sebagian ibadah haji
yang belum ia laksanakan/ kerjakan.
Lain halnya bagi orang yang sudah
Wuquf di Padang Arafah, dia boleh saja tidak segera menuntaskan untuk
mengerjakan tahalul (bila ia kuat/ sanggup), dia boleh terus tetap berpakaian
ihrom untuk jangka waktu berbulan-bulan, akan tetapi selama itu pula dia belum
halal untuk bercampur dengan istrinya,
karena dia belum melakukan tahalul tsani.
Wuquf di Padang Arafah merupakan
sentral peribadatan haji, dan Wuquf juga merupakan sentral dari rukun ibadah
haji yang terbesar. Kita tidak boleh lalai, harus menyiapkan diri pada saat
menjelang Wuquf di Padang Arafah, kita harus mengurangi aktivitas yang bukan
merupakan rukun haji. Karena sangat pentingnya, sampai-sampai orang yang dalam
perawatan di rumah sakit, meskipun ia dalam keadaan menggunakan oksigen ataupun
infus dan mengunakan mobil ambulance tetap harus disempatkan di hadirkan/
didatangkan di Padang Arafah, meskipun dalam keadaan tidak sadar sekalipun.
Karena bila sampai tidak di hadirkan di saat waktu Wuquf di Padang Arafah walau
hanya sebentar/ sesaat, maka tidak jadi atau tidak sah hajinya.
Dan wajib atas orang yang keluputan/
ketinggalan Wuquf di Padang Arafah, harus meng-kodho hajinya dengan segera,
tidak dapat ditunda-tunda lagi, tahun depan harus segera meng-kodho hajinya.
Keluputan/ ketinggalan Wuqufnya itu disebabkan bukan karena ‘Ishoor’ (terjadi peperangan, ditahan oleh
penguasa, penyamun, dll.) sehingga tidak dapat masuk ke Padang Arafah. Keluputan/
ketinggalan wuqufnya karena adanya udzur, tapi bukan udzur yang Ishoor, maka
dia wajib kodho haji fawroon (segera). Karena keluputan/ ketinggalan Wuquf di
Padang Arafahnya karena keteledoran/ kelalaiannya, dapat disebabkan macet atau
hambatan lain seperti kendaraannya mogok, hujan deras dll. Mampu atau tidak
mampu, tetap tahun depan ia harus meng-kodho hajinya. Sama saja, baik hajinya yang fardhu (haji Islam/ haji yang
pertama kali), ataupun ia melaksanakan haji yang kedua atau ketiga dan seterusnya.
Haji yang pertama adalah haji fardhu (haji Islam), sedangkan haji yang kedua
dan seterusnya hanya merupakan sunnah saja. Tetapi manakala ia sudah
melaksanakan/ masuk dalam peribadatan
haji, maka yang tadinya haji sunnah menjadi haji wajib, tidak dapat
diputuskan.
Yang keluar dari kata-kata ‘kodho’
disini adalah kodho menurut bahasa (lughot). Kodho adalah di luar waktu,
sedangkan ad’da adalah pada waktunya. Disini sebutannya kodho, tetapi
sesungguhnya ad’da. Kodho pada lughot, menurut syariat/ menurut istilah ad’da
namanya. Meskipun sudah di luar waktu, bukan waktunya, waktunya sudah luput,
tetapi dia ad’da. Ada ulama yang mengatakan ini bukan kodho lughotan, tetapi
kodho hajian.
Ibadah haji yang dilakukannya pada
tahun yang rusak hajinya karena ketinggalan Wuquf di Padang Arafah adalah haji
ad’da-an. Dan haji yang dilakukannya pada tahun yang akan datang disebut haji
kodho-an. Itulah alasan mengapa disebut kodhoan hajian, bukan kodhoan lughotan.
Dan wajib bagi orang yang keluputan/
tertinggal Wuquf di Padang Arafah baik dengan udzur ataupun tanpa udzur, wajib
baginya menunaikan Umrotul Islam. Ada kewajiban bagi kita untuk melaksanakan
Haji 1 kali dan Umroh 1 kali dalam seumur hidup kita.
Setelah ia mengerjakan amalan-amalan
Umroh untuk membebaskan diri dari Ihrom Haji karena ketinggalan Wuquf di Padang
Arafah, tetapi bukan berarti dia sudah tidak ada tuntutan untuk mengerjakan
Umrohul Islam. Karena umroh tahalul yang dikerjakannya saat dia keluputan Wuquf
di Padang Arafah tidak memadai, karena umroh itu hanya sebagai alat untuk
membebaskannya dari Ihrom Haji. Sehingga pada saat nanti dia pergi haji
kembali, maka dia tetap ada kewajiban untuk melaksanakan Umrotul Islam.
Mengapa dia tetap wajib mengerjakan
Umrotul Islam? Karena Umroh tahalul yang dikerjakannya tidak memadai, tidak
dapat menambal Umroh Wajib (Umroh Islam). Umroh Tahalul tadi hanya sebagai alat
untuk membebaskan diri dari Ihrom Haji, karena dia ketinggalan untuk Wuquf di
Padang Arafah.
Dan sesungguhnya yang wajib qodho
fawroon bagi orang yang keluputan Wuquf di Padang Arafah, karena tertinggalnya
dia Wuquf di Padang Arafah, bukan disebabkan oleh tidak dapatnya ia masuk ke
Padang Arafah karena Hashrin (sakit atau karena ada rampok/ begal, dihalangi
oleh orang kufar, tertinggal rombongan dan kita tidak arah menuju ke Padang
Arafah, dll.). Tahalul karena Hashrin tidak wajib kodho. Jadi yang wajib kodho
adalah tahalul bukan karena Hashrin.
Manakala seorang tercegah untuk dapat
menyempurnakan melakasanakan/ melanjutkan manasik hajinya dan ia masih
mengetahui ada jalan lain baginya yang tidak terhalang untuk menuntaskan
perjalanannya menuju Wuquf di Padang Arafah, maka wajib baginya menempuh jalan
lain tersebut. Sekalipun dia yakin benar apabila dia melalui jalan lain
tersebut dia tidak akan sampai di Padang Arafah tepat pada waktunya, artinya ia
sampai di Padang Arafah setelah melewati waktu fajar di hari ke-10 Dzulhijah,
akan tetapi dia tetap ada kewajiban menjalankan/ melaksanakannya.
Jika ada orang yang terjegah/
terhalang untuk dapat melanjutkan ibadah hajinya karena meninggal dunia, dan
dia telah berupayanya mengerahkan segala kemampuan dan tenaganya untuk
melaksanakan Wuquf di Padang Arafah, maka baginyaa tidak perlu dikodhokan lagi
atas orang tadi menurut Qoul yang Ashoh,
tetapi menurut qoul yang lebih mu’tamat (Ashoh Ashohi) ia tetap wajib untuk dikodhokan.
Dia tidak wajib kodho dengan alasan
karena dia telah berupaya mengerahkan segala kemampuannya untuk mencapai Padang
Arafah. Tetapi tidak wajib kodhonya apabila hajinya bukan haji yang pertama
(Haji Islam), apabila hajinya tadi merupakan haji yang pertama (Haji Islam),
maka ia tetap wajib untuk segera kodho apabila ia telah memiliki uang lagi
untuk ongkos pergi haji.
Apabila ada peluang baginya dengan
hilangnya Hashor (tidak adanya halangan untuk dia dapat menuju ke Padang
Ararah), maka wajib baginya segera menjalankan perjalanan menuju Padang Arafah.
Atas orang yang keluputan/
ketinggalan Wuquf di Padang Arafah
karena ada halangan Hashrin, tetapi dia tidak berusaha untuk mencari jalan
lain, maka baginya wajib kodho fawroon (tahun depan).
Sedangkan orang yang keluputan/
ketinggalan Wuquf di Padang Arafah bukan karena halangan yang Hashrin, maka
atasnya wajib kodho fawroon (tahun depan) dan ia juga terkena sangsi membayar
dam 1 ekor kambing.
B.
Hukum
Meninggalkan Salah Satu Rukun Haji Selain Wuquf
Didapati dalam sebagian salinan
kitab, siapa orang yang meninggalkan salah satu rukun haji dari pada yang
tergantung atasnya haji, sah atau tidak sahnya haji dilihat dari rukunnya.
Misalkan dia meninggalkan/ tidak mengerjakan salah satu rukun haji, seperti ia
tidak melaksanakan Thawaf Ifadhoh, sa’ii ataupun belum melaksanakan halaq
(bercukur), selain Wuquf di Padang Arafah.
Rukun haji tidak dapat di dibadalkan/
digantikan, sedangkan wajib haji dapat digantikan dengan dam berupa kambing.
Orang yang meninggalkan salah satu
rukun haji yang mana rukun haji tadi bergantung sah atau tidaknya ia punya
haji, maka baginya tidak boleh untuk
melakukan/ mengerjakan tahalul (melepaskan diri) dari ihromnya, sampai ia
datangkan/ kerjakan rukun haji yang belum dikerjakannya tersebut. Rukun haji
yang belum dikerjakannya bagaimanapun juga harus tetap dikerjakan. Dan rukun
tersebut tidak dapat digantikan dengan dam berupa kambing ataupun onta
sekalipun.
Dan didapat disebagian naskah kitab
Fiqih ada tambahan: “Siapa orang meninggalkan salah satu rukun haji (selain
Wuquf), seperti Thawaf Ifadhoh, Sa’ii ataupun Halaq (bercukur), dari pada rukun
yang terhenti/ tergantung atasnya haji, belum selesai haji seseorang manakala
ia belum menyelesaikan semua rukun haji. Rukun haji tidak dapat ditambal/
diganti dengan kambing ataupun onta ataupun lainnya, harus langsung dikerjakan
sendiri.
Manakala dia meninggalkan salah satu
rukun haji (selain Wuquf), maka dia tidak dibolehkan Tahalul (melepaskan diri
dari Ihromnya). Lain halnya dengan meninggalkan Wuquf, bila yang tertinggal
adalah Wuquf, maka dia harus segera mengerjakan Tahalul (mengerjakan amalan Umroh).
Dia tidak boleh Tahalul dari Hajinya
(manakala dia haji) dan dia tidak boleh Tahalul dari Umrohnya (manakala dia
hanya mengerjakan umroh saja). Sampai kapan dia tidak boleh Tahalul? Sampai dia
datangkan/ kerjakan rukun haji yang ia tinggal itu. Selama dia belum
mengerjakan rukun haji yang dia tinggalkannya, maka belum selesai ia punya
hajinya. Maka dia terus dalam keadaan Ihrom, karena belum tuntasnya kerjaan/
rukun yang menyebabkan dia tahalul dari haji, meskipun bertahun-tahun. Karena
Thawaf, Sa’ii dan Halaq tidak ada batas waktu, lain halnya dengan Wuquf yang
ada batas waktunya, yaitu sampai terbit fajar di hari yang ke-10. Selama dia
belum melakukan Tahalul, maka selama itu pula Muharamatul Ihrom masih berlaku
atas dirinya, seperti dia tidak boleh bercampur dengan istrinya atau suaminya,
tidak boleh memakai pakaian yang berjahit, tidak boleh menggunting kuku, tidak
boleh memakai minyak wangi, dll.
Wuquf di Padang Arafah, Mabit di
Mina, Mabit di Muzdalifah ada batas waktunya, sedangkan Thawaf, Sa’ii dan Halaq
tidak ada batas waktu. Jadi selama dia belum melakukan/ mengerjakan Tahalul,
maka selama itu pula dia belum dapat melepaskan pakaian Ihromnya. Dan tidak ada
bedanya, bagi orang yang meninggalkan rukun haji tersebut, baik karena dia
sengaja, atau karena dia lupa, atau karena kebodohannya atau karena udzur haid.
Misalkan belum sempat ia mengerjakan
Thawaf Ifadhoh dia haid, sedangkan Thawaf Ifadhoh harus suci dari segala hadats
(baik hadats besar ataupun hadats kecil). Karena Thawaf itu dihukumkan sama
seperti Shalat yang lima waktu. Haid adalah hadats yang lebih besar/ berat dari
pada hadats karena jannabah. Pada umumnya sebelum pergi haji, biasanya kaum
perempuan suka suntik untuk menahan haid, akan tetapi terkadang karena cuaca
disana berbeda, maka haid tetap datang juga.
Bagi perempuan yang belum
melaksanakan/ mengerjakan Thawaf Ifadhoh, tetapi sudah terlanjur datang haid,
maka wajib baginya untuk bersabar menjalankan ihromnya sampai haidnya berhenti/
selesai dan setelah suci kembali baru kemudian dia mengerjakan Thawaf
Ifadhohnya. Jangan bimbang, sebaiknya menghubungi biro perjalanan hajinya agar
kepulangannya ke tanah air dapat ditunda, untuk menyelesaikan Thawaf Ifadhoh
dan rukun-rukun haji yang lainnya hingga selesai/ tuntas. Meskipun masa haidnya
lama, masa haid yang paling lama adalah 15 hari. Bila masa haidnya lebih dari
15 hari, maka itu bukan lagi disebut darah haid, tetapi darah istihadhoh (darah
penyakit), maka wajib baginya untuk segera mandi dan bersuci.
Dan haram bagi wanita yang belum
Thawaf Ifadhoh dan sudah terlanjur datang haid, maka segala sesuatu yang
diharamkan dikerjakan/ dilakukannya selama ia berihrom (Muharamatul Ihrom),
tetap berlaku baginya, seperti dilarang memakai minyak wangi, bercukur,
bercampur dengan suami dll.
Jika perempuan yang haid padahal dia
belum mengerjakan Thawaf Ifadhohnya dan dia berasal dari negeri/ tempat yang
jauh (semacam Indonesia), ia khawatir akan keselamatan dirinya karena terpisah
dari rombongannya, jika dia menunggu sampai selesai masa haidnya, maka silahkan
dia meninggalkan kota Makkah (dengan meninggalkan/ tidak mengerjakan Thawaf
Ifadhohnya), sampai jauh dan tidak lagi memungkinkan baginya untuk kembali ke
kota Makkah (misalnya: keluar dari kota Makkah menuju Jeddah), maka silahkan
baginya melakukan Tahalul. Hukumnya sama seperti orang yang Muhshor, yaitu
orang yang tercegah karena sesuatu seperti penyakit, ada musuh/ begal yang
menghalangi keselamatan jiwanya dan halangan lainnya. “Keselamatan jiwa/ nyawa kita lebih utama
dari pada keselamatan agama kita.” Masih
ada kesempatan di waktu yang lain untuk mengerjakannya rukun haji yang belum
dikerjakan.
Dengan cara apa melakukan Tahalulnya?
Jika yang biasa kita lakukan, adalah mengerjakan 2 dari 3 rukun haji maka
disebut Tahalul Awal dan bila selesai mengerjakan ke-3 rukun haji maka disebut
Tahalul Tsani. Wuquf - Halaq (Cukur)- Thawaf & Saa’ii. Dia tahalulnya sama
dengan orang yang Muhshor, yaitu dengan menyembelih kambing, kemudian mencukur
rambutnya, minimal 3 helai rambut, sedangkan untuk laki-laki disunnahkan
mencukur habis. Cara bercukurnya dapat dilakukan dengan cara dicabut,
digunting, dibakar, dikerok ataupun dengan cara apa saja. Sehingga ia dapat
lepas dari Muharamatul Ihrom, padahal ia belum Thawaf dan Sa’ii. Sewaktu dia menyembelih kambing dia
harus niatkan tahalul, dan saat mencukur (halaq) dia harus niatkan tahalul
pula.
Untuk itu sebelum berangkat haji,
kita harus mengerti dan menguasai ilmu tentang manasik haji, sehingga ibadah
kita tidak hanya sekedar ikut-ikutan saja. Karena dalam kenyataannya banyak
para pembimbing haji yang tidak mengerti ilmunya bila menghadapi
masalah-masalah seperti ini. Cara seperti ini yang harus dilakukan bagi wanita
yang terlanjur datang haid padahal ia belum Thawaf Ifadhoh dan Sa’ii, ini
berdasarkan tuntunan dari Mahzab Imam Syafi’i, bila menurut pendapat dari
Mahzab yang lain akan berbeda pula caranya.
Meski ia sudah menjalankan tuntunan
Tahalul seperti yang telah disebutkan diatas, baginya tetap ada kewajiban untuk
mengerjakan Thawaf pada saat yang akan datang untuk melaksanakan ihrom muthlaq. Yaitu dengan niat: “Nawaitu Ihroma lillahi taala” atau dengan niat: “Nawaitu Ihroma liiajril thawafi” Bukan dengan niat: “Nawaitul hajja wa ahromtu bihi lillahi taala.” Atau bukan dengan niat: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha lillahi taala.”
Setelah ia menjalankan Tahalul
seperti tuntunan dari Mahzab Imam Safi’i dan ia telah kembali ke negaranya
(misalnya Indonesia), akan tetapi sampai saatnya nanti memungkinkan, maka ia
mesti balik lagi untuk melaksanakan Thawaf yang dahulu ia tinggalkan, karena
belum tuntas ibadah hajinya.
Pada saatnya nanti dia mesti niat
lagi, karena niat ihromnya yang sebelumnya telah batal karena dia telah
mengerjakan tahalul. Dengan mengerjakan tahalul, maka putus ihromnya sampai
disitu dan ia terbebas dari Muharamatul Ihrom (hal-hal yang diharamkan selama
sedang ber-Ihrom).
Bila menurut Mahzab Imam Hanafi,
dipersilakan/ dibolehkan tetap melaksanakan Thawaf bagi wanita yang dalam
kondisi masih haid, akan tetapi ada kewajiban baginya untuk membayar dam berupa
1 ekor onta.
Dalam Mahzab Imam Safi’i, kambing
yang disembelih dalam rangka tahalul tadi tidak membebaskan dirinya ataupun
sebagai pengganti dari Thawaf dan Sa’ii yang belum dikerjakannya. Karena rukun
haji/ umroh tidak dapat ditambal/ diganti dengan menyembelih kambing ataupun
lainnya dan berapapun banyaknya. Kambing tadi hanya sebagai sarana bagi dirinya
untuk terbebas dari Muharamatul Ihrom.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar