Pokok
Bahasan : FIQIH (Mu’amalat)
Judul : Hiwaalah (Memindah/ Mengalihkan Hutang)
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
HIWAALAH (MEMINDAHKAN/ MENGALIHKAN
HUTANG)
Hiwaalah menurut
lughot (bahasa): memindahkan hutang. Misalkan si-A meminjamkan/ memberikan
hutang sebesar Rp. 1.000.000,- kepada si-B dan si-B memberikan pinjaman hutang
kepada si-C dalam jumlah yang sama, yaitu sebesar Rp. 1.000.000,-. Maka si-B
mengatakan kepada si-A: “Apabila antum ridho dan dan tidak keberatan, maka saya
bermaksud meng-hiwaalah-kan (mengalihkan) hutang saya kepada si-C. Karena
si-C mempunyai hutang kepada saya sebesar Rp. 1.000.000,- Jika si-A setuju, maka dibolehkan dan si-B
bebas dari kewajiban membayar hutang kepada si-A. Dalam hal ini si-B disebut: muhiil, yang mengalihkan hutang. Si-A
disebut: muhtaal, yang menerima pengalihan hutang atau yang mempunyai haq atas
hutang dari si-muhiil. Dan si-C
disebut: muhaal ‘alayh, yang diberikan hutang atasnya.
Sedangkan
Hiwaalah menurut Syara (agama):
memindahkan hutang dari tanggungan si-muhiil kepada tanggungan muhaal alayh. Pengalihan hutangnya harus seizin dari si-muhtaal, bila si-muhtaal tidak setuju,
maka penghalihan hutangnya tidak dibolehkan.
Dan si-muhtaal pun tidak dapat
memaksa si-muhiil untuk mengalihkan
hutangnya kepada si- muhaal alayh.
Syarat
Hiwaalah ada 4, yaitu:
1. Adanya keridhoan dari si-muhiil
Tidak boleh ada pemaksaan kepada si-muhiil
untuk mengalihkan hutangnya, maka harus ada Ijaab-Qobul dari si-muhiil.
Contoh Ijaab-Qobulnya, si-B (muhiil) berkata kepada si-A (muhtaal) : “Aku Hiwaalah-kan (pindahkan) kepada kamu
atas tanggungan si-fulan (si-C) dengan hutang yang menjadi milik kamu.” Bila
si-A (muhtaal) menjawab: “Qobiltu.” maka sah Hiwaalah-nya.
Sedangkan si-C (muhaal alayh) tidak
perlu ditanya keridhoannya, karena ia tetap mempunyai kewajiban untuk membayar
hutangnya. Sama halnya dengan budaq yang akan dijual, pemilik budaq tidak perlu
menanyakan kepada si-budaq apakah ia ridho bila dijual kepada si-fulan, karena
budaq tersebut sepenuhnya merupakan haq dari pemiliknya.
2. Menerimanya si-muhtaal
Bila si-muhtaal (si-A) mengucapkan: “Qobiltu atau Rodhitu (aku ridho).” Atas ijaab-Qobul dari si-muhiil (si-B), maka
sah Hiwaalah-nya dan si-muhiil terbebas dari kewajiban membayar
hutang kepada si-muhtaal, karena kewajiban membayar hutangnya sudah dialihkan
kepada si-muhaal alayh (si-C).
Apabila sampai saatnya si- muhaal alayh (si-C)
tidak membayar hutannya kepada si-A, maka si-A tidak dapat menuntut si-B.
3. Hutangnya (muhiil
biih) harus sudah tetap dalam tanggungan
Hutangnya itu harus sudah positif
dalam tanggungan, jadi sudah benar-benar terjadi hutang antara si-muhiil (si-B) dengan si-muhtaal (si-A) dan sudah ada
Ijaab-Qobul dari si-muhiil..
Bila sudah terjadi hutang-piutang
baru dapat terjadi hiwaalah. Dikaitkan/
disyaratkan hutang itu harus sudah Istiqroor (sudah positif/ terjadi). Dapat
terjadi hiwaalah (memindahkan) hutang
dengan catatan bahwa hutang itu sudah tetap, sesuai dengan perkataan dari Imam Roofi’i yang pendapatnya juga
sama dengan pendapat dari Imam Suja’i.
Akan tetapi Imam Nawawi mengkritik/ tidak sependapat dengan Imam Roofi’i yang mensyaratkan hutangnya harus sudah Istiqroor. Menurut pendapat Imam Nawawi,
tidak tepat bila harus sudah Istiqroor,
karena yang dipandang/ diperhitungkan dengan itu hiwaalah tidak hanya Istiqroor
saja, Istiqroor memang menjadi
suatu keharusan, tetapi laazim sama dengan Istiqroor dan yang dapat menjadi positif. Hutang yang pada awalnya
belum laazim/ Istiqroor, tetapi pada akhirnya dapat menjadi laazim/ menjadi
wajib/ menjadi positif. Semacam tsaman (harga), setelah Ba’da Mudatil Khiyaar, ada
Khiyaar Majlis, Khiyaar ‘Aiib, Khiyaar
Syarath. Tsaman (harga) yang
harus dibayar, misalkan ada khiyaar Syarath akan berpikir-pikir dahulu selama 3
hari. Sudah terjadi transaksi jual-beli, tetapi menunggu selama 3 hari (Khiyaar Syarath), setelah lewat masa 3
hari maka sampai saatnya jual-belinya terjadi dan ia wajib membayar, hal inilah
yang disebut jual-belinya positif atau yang disebut dengan Tsaman Ba’da Mudatil Khiyaar. Atau pada akhirnya menjadi laazim, apabila Tsaman fi’ Mudatil Khiyaar (harga/
imbalan/ pembayarannya) terjadi pada masa Khiyaar (sehari atau dua hari). Jadi
tidak harus laazim (Tsaman Ba’da Mudatil
Khiyaar) harga/ imbalan/
pembayarannya setelah lewat masa 3 hari, tetapi dapat pula terjadi apabila
pembayarannya dilakukan pada masa Khiyaar-nya(Tsaman fi’ Mudatil Khiyaar). Jika
hanya laazim saja, maka hal ini
ditolak oleh Imam Nawawi, biarpun
belum laazim tetapi pada saatnya akan postif menjadi hutang.
4. Hutangnya Harus Sesuai/ Sama Jumlahnya
Jumlah hutangnya harus sama yang
berada dalam tanggungan si-muhiil (si-B). si-B (muhiil) mempunyai hutang kepada si-A (muhtaal) sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu juta), si-B kemudian
mengalihkan kewajiban membayar hutangnya kepada si-C(muhaal ‘alayh), karena si-C mempuyai hutang kepada si-B (muhiil) sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta) juga. Pada saat si-B meng-hiwaalah-kan
(mengalihkan) kewajiban membayar hutangnya, maka ia memberitahukan kepada si-C
apabila hutang kepadanya telah jatuh tempo, maka kewajiban membayar hutangnya
dialihkan kepada si-A, yaitu sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta) juga, sama jumlahnya dengan hutang B kepada si-A.
Hutangnya harus ditimbang sesuai pada
Jinis (jenis), Qadar (jumlah/ bilangan), Naw’
(macam), Huluul (kontan) dan Ta’jiil (tempo), Shihah (uang bulat/ pecahan besar) dan Taksiir (uang receh).
Jinis (Jenis)
Hutang si-B kepada si-A berupa uang
dirham (perak), sedangkan si-C berhutang kepada si-B berupa uang dinnar (emas),
maka hal itu tidak dibolehkan. Hutangnya harus satu jenis, dinnar dengan dinnar
dan diriham dengan dirham.
Qadar
(Jumlah/ Bilangan)
Harus sesuai hutang si-B (muhiil) kepada si-A (muhtaal) sebesar Rp.1.000.000 (satu juta) dan si-C (muhaal
‘alayh) pun mempunyai hutang yang sama kepada si-B sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta). Bila si-B mempunyai hutang
kepada si-A sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta), sedangkan si-C mempunyai
hutang kepada si-B sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta), maka hal itu tidak
dibolehkan, karena hutangnya tidak sama jumlah/ bilangannya.
Lain halnya bila dirinci, misalkan
si-B bicara kepada si-C bahwa kewajiban si-C membayar hutang kepadanya cukup
sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta) saja dan sisanya yang sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta) lagi dibayarkan kepada si-A. Bersalahan hukumnya 5 juta
dari 10 juta, dipisah diambil yang 5 juta dan sisanya yang 5 juta dibayarkan
kepada si-A, hal itu dibolehkan.
Huluul (kontan) & Ta’jiil (tempo/ jangka waktu)
Jika tempo harus dijelaskan, misalkan
si-B hutang kepada si-A temponya selama 5 bulan dan si-C hutang kepada si-B
temponya juga sama yaitu selama 5 bulan. Jangan sampai pinjaman si-B kepada
si-A sudah jatuh tempo, karena temponya selama 3 bulan, sedangkan pinjaman si-C
kepada si-B belum jatuh tempo, karena temponya selama 5 bulan, maka hal itu
tidak dibolehkan.
Shihah (uang bulat/ pecahan besar) & Taksiir
(uang recehan)
Ada ulama yang berpendapat yang
dimaksud dengan Shihah dan Taksiir
adalah: Bila hutangnya misalkan berupa uang seratus ribuan atau limapuluh
ribuan, maka di ganti juga dengan uang seratus ribuan atau limapuluh ribuan,
dan bila hutangnya berupa uang recehan, maka diganti juga dengan uang recehan.
Jika dahulu uang pecahan yang besar tidak sama nilainya dengan uang recehan,
meskipun jumlanya sama tetapi nilainya tidak sama.
Akan tetapi ada juga ulama yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Shihah dan Taksiir adalah: uang yang bagus dengan uang yang
rusak. Hal semacam ini dapat terjadi seperti pada uang US Dollar, bila uang
dollar ada sedikit cacat saja maka nilainya tidak sama dengan uang dollar yang
masih mulus/ tidak ada cacat, nilai kurs keduanya akan berbeda nilainya.
Sewaktu berhutang dengan uang yang
bagus, maka ganti dengan uang yang bagus juga, demikian juga sebaliknya.
Dengan
sebab Hiwaalah tadi maka bebaslah/
lepaslah kewajiban dari si-muhiil (si-B), si-B tidak mempunyai kewajiban lagi
membayar hutang kepada si- muhtaal (si-A), karena sudah ada hiwaalah. Si-B bertanya kepada si-A: “Hutang saya kepada antum
sebesar 1 juta mau tidak di-hiwaalah-kan/
dipindahkan kepada si-C ? yang mempunyai hutang yang sama kepada ana yaitu
sebesar 1 juta. Bila si-A menjawab: “Ana terima atau qobiltu .” Maka setelah si-A menyetujui untuk di-hiwaalah-kan
hutangnya kepada si-C, maka si-B (si-muhiil)
tidak ada sangkut paut hutang lagi dengan si-A (si-muhtaal) dan si-C (muhaal
‘alayh) tidak mempunyai kewajiban lagi untuk membayar hutang kepada si-B. Tinggal hubungan hutangnya antara si-A
dengan si-C, yaitu kewajiban si-C untuk membayar hutangnya kepada si-A.
Andaikata
si-muhtaal (si-A) tidak dapat mengambil uangnya/ menagih
hutangnya kepada si-muhaal ‘alayh
(si-C), misalkan si-C pailit/ bangkrut, maka tidak boleh si-A menuntut kepada si-muhiil (si-B) untuk membayar hutangnya. Atau
kemungkinan pada saat jatuh tempo si-C ingkar bahwa ia mempunyai hutang kepada
si-A, tetapi ia mengakui bahwa ia mempunyai hutang kepada si-B, atau lainnya
misalkan si-C meninggal dunia. Maka si-A tidak dapat menuntut kepada si-B,
semua itu sudah menjadi resiko dari si-A. Misalkan pada saat terjadi Hiwaalah, si-A mengucapkan: “qobiltu” , si-A kurang teliti sehingga
ia tidak mengetahui bahwa pada saat itu juga si-C dalam keadaan pailit
(bangkrut), maka tetap si-A tidak dapat menuntut kepada si-B. Oleh karena itu
sebelum terjadi Hiwaalah, maka perlu
di teliti terlebih dahulu bagaimana kondisi keuangan dari si-muhaal ‘alayh (si-C).
---oooOooo---
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar