Sabtu, 07 Januari 2017

FIQIH (Mu’amalat) - Hukum Shuluh (Perdamaian)



Pokok Bahasan     :  FIQIH (Mu’amalat)
Judul                    :  Hukum Shuluh (Perdamaian)
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

HUKUM SHULUH ( PERDAMAIAN )


Syarat dari Hukum Shuluh (Perdamaian):
1.    Shuluh sah bila ada Iqroor (Pengakuan) dari terdakwa.
2.    Tidak boleh ada syarat dalam aqad-nya.

Hukum Shuluh (Perdamaian) ada bermacam-macam, diantaranya:
1.    Shuluh (perdamaian) antara orang muslimin dengan orang kafir.
2.    Shuluh (perdamaian) antara Imam (kepala negara) dengan Bughot (Pemberontak)
3.    Shuluh (perdamaian) antara suami dengan istri bila ada perselisihan.  

Shuluh menurut lughot (bahasa) adalah memutuskan perselisihan/ pertengkaran. Sama saja dengan yang menggunakan aqad (Ijaab-Qobul) atau tidak, baik pada masalah harta ataupun yang bukan harta.
Adapun Shuluh menurut Syara (agama) adalah satu aqad Ijaab-Qobul yang terjadi dengan sebab Ijaab-Qobul tadi penyelesaian dari permasalahan/ perselisihan. 

Syaratnya Shuluh juga didahului dengan adanya pertengkaran/ perselisihan  antara kedua kelompok atau kedua belah pihak.  Syarat sahnya Shuluh adalah dengan adanya Iqroor (pengakuan) dari mud’da ‘alayh (terdakwa). Misalkan si-terdakwa mengakui bahwa ia telah berhutang kepada si-fulan sebanyak 10 juta, sedangkan hutang atau uang 10 jutanya disebut muda’abih. Pengakuan dari terdakwa itulah yang disebut Iqroor, setelah ada Iqroor baru kemudian ada Shuluh, bila tidak ada Iqroor maka tidak ada Shuluh. Pengakuan (Iqroor)  dari si-terdakwa (mud’da ‘alayh)  bahwa ia mempunyai hutang kepada si-fulan sebesar 10 juta dalam hal harta.

Shuluh ada 2 bagian, yaitu:
1.  Shuluh dengan Iqroor (pengakuan)
Adanya pengakuan dari terdakwa (mud’da ‘alayh) bahwa ia mempunyai hutang kepada si-fulan.
2.  Shuluh dengan Bay’yinah (ada bukti) Ba’da Inkar  (Menyangkal)
Pada awalnya terdakwa menyangkal bahwa ia mempunyai hutang, maka disuruh si-terdakwa bersumpah, tetapi ia tidak mau bersumpah. Sumpah dikemblaikan kepada pemilik uang, dan pemilik uang berani untuk bersumpah, atau si-pemilik uang mempunyai bukti bahwa si-terdakwa mempunyai hutang kepadanya, maka disitu dapat berjalan Shuluh, karena itu termasuk Iqroor. 

Demikian juga sah apa-apa yang dapat membawa pada harta/ menjadikan pada harta/ mendatangkan harta/ menyebabkan jadi harta, bukan dengan harta tetapi sesuatu yang dapat menyebabkan/ menjadikan harta.
Seperti misalnya sudah tetap hukumnya seorang harus menjalankan hukum Qishosh, maka bagi keluarga yang dibunuh, yaitu ahli waris mempunyai haq untuk tidak memaafkan si-pembunuh, atau dapat pula ahli warisnya memaafkan si-pembunuh tentunya dengan membayar diyat. Maka yang mempunyai haq (ahli waris) dapat men-Shuluh si-pembunuh, yang seharusnya si-pembunuh menjalani  hukum Qishosh, maka diganti dengan harta, yaitu dengan membayar diyat. Si-ahli waris berucap: “Aku Shuluh (berdamai) kepada kamu dari pada Qishosh dengan kewajiban atas kamu membayar diyat.”   Maka Shuluh-nya sah dan si-pembunuh tidak jadi terkena hukum Qishosh.

Pada asalnya tidak ada uangnya, tetapi setelah terjadi Shuluh, maka dapat menjadi sah dengan sesuatu yang dapat menjadikan uang dengan jalan men-Shuluh Qishosh.
Adapun Shuluh tidak sah bila menggunakan lafadz: bii’.  Maka dengan mengunakna lafadz: “bii’ tuka…”, maka tidak sah, sedangkan bila menggunakan lafadz: “Shuluh tuka….”,  maka baru sah.

Shuluh ada 2 macam, yaitu:
1.  Shuluh Ibroo
Dibebaskan sebagian hutangnya. Shuluh Ibroo’  adalah: si-pemilik uang mengurangi haq-nya, misalkan seharusnya si-penghutang harus membayar 10 juta, maka dikurangi hanya membayar 5 juta saja. Shuluh Ibroo’  yaitu menguranginya si-Shohibul haq (yang mempunyai haq atau pemilik uang)dari haq-nya berupa uang.
Pada zaman Nabi pernah terjadi hal semacam ini, Ka’ab bin Maalik  meminjamkan uang kepada Abdullah bin Haroth. Keduanya bertengkar di masjid, hingga suara keduanya terdengar oleh Nabi, maka Nabi memanggil keduanya. Nabi berkata kepada Kaab bin Maliq: “Hai Kaab…” kemudian Nabi memberikan isyarat, yang maksudnya adalah meminta agar Kaab bin Maliq memberikan keringanan/ potongan hutang. Maknanya/ maksudnya taruh yang sebagian dan lepaskan yang sebagian. Kaab mengerti apa yang diperintahkan Nabi, maka Kaab bin Maliq berkata: “Aku laksanakan perintahmu ya Rasul.”  Kemudian Nabi berkata kepada Abdullah bin Haroth: “Bangunlah kamu, dan tunaikan kamu punya kewajiban, membayar separuh dari hutangmu.”  Nabi sangat tanggap terhadap perselisihan diantara kedua sohabatnya, bila tidak cepat ditangani maka perselisihan diantara mereka dikhawatirkan akan menjadi besar.
Jika mereka sudah Shuluh, maka tidak sah men-ta’liiq (menggantung) Shuluh Ibroo-nya dengan syarat, dalam aqad tidak boleh ada syarat, bila diluar aqad boleh memakai syarat. Misalnya: “Manakala datang awal bulan, maka aku Shuluh kamu tentang hutan-piutang saya kepada kamu.”
Maka hal itu tidak boleh, karena ada ta’liiq  (menggantung).

2.  Shuluh Mu’awadhoh
Shuluh Mu’awadhoh adalah berpalingnya Shohibul haq dari pada haq-nya. Shohibul haq  menukar haq-nya dengan yang lainnya. Misalnya haq-nya berupa uang atau rumah, tetapi dia berpaling/ menukar haqnya dengan barang lainnya. Shuluh terbitnya/ datangnya dari pemilik uang, sedangkan Iqroor terbitnya/ datangnya dari yang mempunyai hutang. Orang yang memiliki uang men-shuluh kepada orang yang berhutang, ia berkata: “Rumah ini sebagian adalah milik saya.” Dan si-penghutang (yang menempati rumah) berkata (ber-Iqroor): “Ya, sebagian rumah ini adalah milik kamu.” Maka yang mempunyai uang men-shuluh kepada orang yang memanfaatkan rumahnya/ sebagian rumahnya atas suatu benda tertentu. Orang yang men-shuluh berkata: “Sebagian rumah kamu aku bayar dengan pakaian sebanyak 1 konteiner (misalnya) dengan harga sekian.” Bila orang yang di shuluh menerima, maka jadilah shuluhnya, itulah yang dinamakan Shuluh Mu’awadhoh. Dari benda berbentuk rumah diganti (barter) dengan benda berbentuk lainnya, berupa pakaian. Shohibul haq  orang yang mempunyai haq men-shuluh dia atas sesuatu barang yang tertentu berupa pakaian, motor, mobil atau lainnya. Cara seperti itu disebut Shuluh Mu’awadhoh  dan itu sah.
Setelahnya maka berlaku/ berjalanlah atas ini shuluh (perdamaian), Hukum Bii’ (Hukum Jual-Beli). Seakan-akan dengan contoh yang telah disebutkan diatas, dia menjual rumahnya dengan pakaian (barter). Setelah berlaku hukum bii’  dengan terjadinya kesepakatan barter antara rumah dengan pakaian, maka tetaplah pada barangnya berupa pakaian. Maka berlakulah hukum-hukum bii’  seperti ada Khiyaar Majlis, Khiyaar Syarath,Khiyaar ‘Aiib.
Khiyaar ‘Aiib  yaitu bila ada pakaian yang cacat, maka boleh dipulangkan dan pemilik pakaian wajib menggantinya. Sebelum di Qobedh, sebelum diterima itu pakaian, maka belum boleh dijual. Setelah diterima itu pakaian baru boleh dijual.

Andaikata ia shuluh (damai) dengan seseorang atas  sebagian benda yang terlihat yang di dakwa. Misalkan si-A men-shuluh bahwa tanah yang ditempati oleh si-B seluas 200 M2 adalah miliknya. Dan si-A  menyerahkan sebagian tanah tadi yang seluas 100 M2 kepada si-B, dan sisanya yang seluas 100 M2 lagi akan digunakan oleh si-A untuk dibangun rumah. Transaksi di atas disebut hibah, bukan disebut bii’ (jual-beli), karena tidak ada tsaman-nya (harganya/ imbalannya). Karena yang disebut bii’ (jual-beli) bila si-A menyerahkan tanah, maka si-B menyerahkan uang atau lainnya sebagai bentuk pembayarannya. Hal di atas disebut hibah tanah (muda’abih)  dari mud’daii (yang men-shuluh/ pemilik  tanah) kepada mud’da ‘alayh (yang dishuluh/ yang menempati tanah) atas sebagian tanah yang ditempati. Transaksi hibah bilamana sudah ada Ijaab-Qobul, maka tidak dapat dibatalkan lagi. Kecuali hibah seorang bapak kepada anaknya, boleh dibatalkan. Untuk lebih jelasnya nanti akan dibahas lebih luas pada bab tentang hibah, yang disebut dengan Shuluhul Hathiithoh. Shuluh dengan Hathiithoh yaitu sebagian/ mengurangi/ menggugurkan haq-nya. Tidak sah dengan lafadz bii’ bagi sebagian yang ditinggalkan atau tidak diambil atau dihibahkan, karena tidak ada tsaman-nya, maka yang dibolehkan adalah dengan lafadz hibah.

Dibolehkan bagi orang muslim mengeluarkan rausyaan (jendela) yang menjorok ke luar, disebut juga sebagai janaah (sayap)dari rumah. Rausyaan (jendela), yaitu mengeluarkan kayu di atas jidaar  (dinding) tembok pada syaari’ (jalan) tembus/ jalan umum. Jadi dibolehkan seorang muslim membangun jendela (rausyaan) atau semacam sayap (janaah) dengan jalan mengeluarkan khosyab (kayu) di atas jidaar (dinding) di jalan yang tembus/ umum, dengan catatan tidak membahayakan/ mengganggu orang yang lewat. Akan tetapi jendela (rausyaan) di angkat/ di pasang lebih tinggi sekira-kira dapat lewat orang yang sempurna ketinggiannya (tingginya normal) yang berjalan di bawahnya.
Syaratnya ditambahkan lagi oleh Imam Mawardi  bahwa di andaikan di atas kepala orang yang lewat tersebut ada “junjungan”  (barang bawaan di atas kepala) yang ghoolib (biasa). Jadi ketinggian jendelanya tidak hanya setinggi orang yang normal, tetapi ditambah lagi ketinggian jendelanya agar orang yang membawa junjungan yang ghoolib (biasa/ umum) tidak mentok bila melewati itu jendela. 

Andaikata jalan yang tembus tadi tempat berlalunya pengendara kuda dan tempat berlalunya rombongan unta, maka rausyaan (jendela)-nya dipasang lebih tinggi lagi sekira-kira dapat lewat dibawahnya al mahmal alal ba’iir, yaitu rumah-rumahan yang ada di atas punggung unta serta kayu-kayu yang memayungi mahmal pada unta.   

Adapun kafir dzimi, kafir yang mendapat jaminan dari Negara Islam karena ia membayar pajak dan mengikuti aturan dari Negara Islam. Kafir dzimi dilarang membuat bangunan yang menjulur ke luar atau rausyaan (jendela), saabaath (jembatan), sekalipun ia dibolehkan jalan/lewat di situ pada thorriqin naafidz (jalan yang tembus/ tidak buntu).

Tidak dibolehkan membuat rausyaan (jendela) atau membuat banguan keluar dari batas rumah/ tanahnya pada jalan yang menjadi milik bersama tetapi buntu, kecuali dengan izin syurokaa’ (izin pemilik/pengembang). Seperti sekarang ini banyak orang membangun rumah semacam rumah “type cluster”, dan biasanya disiapkan jalan yang dimanfaatkan bersama (umum). Tidak dibenarkan membangun rausyaan (jendela)pada jalan yang dimiliki bersama, kecuali dengan izin dari syurokaa’ (izin pemilik/pengembang). Asalnya tanah yang digunakan sebagai jalan bersama adalah kepunyaan dari pemilik/ pengembang, tetapi sudah dibebaskan dan digunakan untuk kepentingan bersama, apabila mereka menyetujui, maka baru boleh dibangun rausyaan (jendela), jika tidak diizinkan maka tidak dibolehkan.

Yang dimaksud dengan syurokaa’  adalah orang yang tembus pintu rumahnya ke jalan. Bukan yang dimaksud dengan syurokaa’, yaitu orang yang menempel temboknya ke jalan artinya dia membangun rumah tanpa mensisakan/ jarak tanah kosong antara rumahnya dengan jalan. Orang yang menempel jidaar  (dindingnya/ temboknya) pada jalan tanpa ada tembusan jalan. Jadi tidak hanya menempel jidaar (dindingnya/ temboknya) pada jalan, tetapi ada yang menembus berupa pintunya ke jalan, sehingga ia boleh membuat rausyaan (jendela). Jika tertutup semua jidaar (dindingnya/ temboknya) tanpa ada pintu, maka ia tidak boleh membuat rausyaan (jendela).

Tiap-tiap satu dari pada syurokaa’ (semua syurokaa’),  berhaq mengambil manfaat dari itu darb  (jalan). Semua pemilik rumah yang ada dalam satu lingkungan di jalan yang tidak tembus, berhaq mengambil manfaat dari pintu rumahnya ke ujung jalan.

Jika diandaikan di jalan ini ada 3 rumah, pertama rumah Zeid, letak rumah Zeid berada di paling belakang, di ujung jalan yang buntu. Rumah yang kedua adalah rumah ‘Amr, berada di tengah-tengah. Dan rumah yang ketiga yang paling depan adalah rumah Bakar, yang berada di depan jalan.
-        Bakar berhaq  memanfaatkan jalan sampai ke ujung jalan, dia dapat membuat rausyaan (jendela), dan dia juga dapat membuka pintu.
-        Sedangkan ‘Amr berhaq memanfaatkan jalan dari pintu rumahnya sampai ke ujung jalan dan dia tidak boleh memanfaatkan jalan ke arah jalan belakang rumah Zeid, karena itu merupakan bagian dari Zeid.
-        Sedangkan Zeid boleh memanfaatkan seluruh jalan karena pintu rumahnya berada di paling belakang sekali. Misalkan si-Zeid ingin membuat pintu di tengah-tengah dari rumahnya, maka masih dibolehkan. 

Rumah yang berada di tengah tidak dibolehkan membuat pintu di ujung jalan ke arah rumah yang paling belakang, kecuali ada izin dari syurokaa’, bila tidak dizinkan maka tidak dibolehkan. Sedangakan membuat pintu ke arah depan dibolehkan mendekati arah depan pintu gerbang, karena disitu merupakan haq-nya. Bila pemilik rumah yang berada di tengah tidak diizinkan membuat pintu ke arah bagian belakang rumahnya, maka dia dapat shuluh (berdamai) dengan pemilik tanah (syurokaa’)  yang merupakan milik bersama dengan harta (sejumlah uang), maka hal itu dibolehkan (sah).


---ooo000O000ooo---

CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

1 komentar:

  1. The Casino Roll
    The Casino Roll. Casino Roll. Casino Roll is 라이브스코어 사이트 the 꽁머니 토토 online gambling destination where you can indulge in the action, 블랙 잭 애니 winning big on prizes and a lot 룰렛 게임 more. 먹튀 검증 먹튀 랭크 Roll Casino

    BalasHapus