Rabu, 16 November 2016

FIQIH (Mu’amalat) - Dicegahnya Orang Safiih & Muflis Dalam Bertasaruf Atas Hartanya




Pokok Bahasan     :  FIQIH (Mu’amalat)
Judul                    :  Dicegahnya Orang Safiih & Muflis Dalam
   Bertasaruf Atas Hartanya
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

DICEGAHNYA ORANG SAFIIH & MUFLIS
DALAM BERTASARUF ATAS HARTANYA



Ini satu pasal yang membahas tentang Hajar (dicegahnya/ dilarangnya) orang yang Safiih  (tidak pandai/ bodoh/ tidak mengetahui nilai uang), dan orang yang Muflis (pailit/ bangkrut) hartanya dalam mempergunakan/ membelanjakan ia punya harta. 

Hajar  bermakna juga aqal, karena aqal mencegah kita untuk melakukan sesuatu yang tidak terpuji/ tercela. Hajar menurut lughot artinya mencegah. Mencegah orang untuk tasharuf  (menggunakan/ mendayagunakan) hartanya bila ia Safiih  atau ia Muflis.  Sedangkan Hajar menurut Syara adalah dicegahnya ia dalam membelanjakan/ mendayagunakan hartanya bila ia dalam keadaan Safiih atau Muflis.

Bersalahan/ tidak sama hukumnya bila ia tasharuf  (mendayagunakan/ tindakan) dia pada selain mall (harta), maka hal itu tidak tercegah. Contohnya semacam orang yang Safiih atau muflis men-thalaq istrinya, maka hal itu tidak tercegah atau dibolehkan atau sah/ berlaku thalaq yang dijatuhkan kepada istrinya. Demikian juga bila orang Safiih atau muflis ini mengakui bahwa dia telah berbuat zina atau membunuh orang, maka pengakuannya dapat diterima dan hukum tetap berjalan atasnya. 

Tuan Syech Musonif menjadikan hajar (dicegahnya) seseorang untuk bertasaruf atas hartanya kepada 6 kelompok orang, yaitu:
1.    Ashoby (anak kecil)
Anak kecil tercegah dalam mendayagunakan hartanya, misalnya anak kecil akan menjual harta warisan peninggalan orang tuanya, maka tidak boleh. Jual-beli atau transaksi yang dilakukan anak kecil tidak sah, meskipun ia telah tamyiz. Sampai kapan anak kecil ini tercegah mendayagunakan hartanya? Sampai ia menjadi dewasa, maka secara  otomatis ia lepas dari hajar tanpa perlu pengesahan dari hakim.

2.    Majnuun  (orang gila)
Misalkan orang gila menyerahkan sumbangan kepada masjid atau lainya, maka tidak boleh diterima, karena apa yang dilakukannya tidak sah tasharuf-nya. Akan tetapi bila ia sudah kembali waras (sembuh dari gilanya), maka secara otomatis berjalan kembali tasharuf-nya.

Hajar (dicegahnya) seseorang mempunyai 2 macam kemashlahatan, yaitu:
a.     Dihukumkan untuk kemashlahatan mahjuur ‘alaiih,  orang yang bersangkutan, yaitu orang yang dicegah dalam mendayagunakan hartanya, seperti anak kecil dilarang untuk melakukan jual-beli, maka kemashlahatannya untuk si-anak itu sendiri, karena dia tidak tahu harga maka dikhawatirkan akan menghabiskan hartanya. Demikian juga dengan orang gila meskipun ia sudah dewasa, tetap tercegah dirinya untuk ber-tasharuf atas harta miliknya.
b.     Dihukumkan untuk kemashlahatan orang lain, untuk orang yang pailit/ bangkrut meskipun dia sudah dewasa dan tidak gila tetap tercegah untuk mendayagunakan hartanya, karena harta yang dimilikinya tidak dapat menutupi jumlah hutangnya. Orang yang pailit/ bangkrut dicegah mendayagunakan hartanya, tujuannya untuk kemashlahatan orang lain, karena bila ia dibebaskan mendayagunakan hartanya, maka dikhawatirkan hutangnya kepada orang lain tidak terbayar.

3.    Safiih (orang bodoh)
Tuan Syech Musonif mentafsirkan/ menjelaskan bahwa  orang yang Safiih adalah: orang yang menghambur-hamburkan hartanya. Dia belanjakan hartanya bukan pada tempat yang layak. Maksud dari “bukan pada tempatnya”, yaitu:  Segala sesuatu yang dilakukannya tidak kembali manfaatnya kepada dirinya, baik segera/ langsung ataupun nanti/ dikemudian hari. Semacam dia belanjakan hartanya untuk membeli barang-barang yang haram dan yang makruh, karena keduanya tidak mempunyai manfaat bagi dirinya. Hal yang haram seperti dia membeli khomer  (minuman keras), atau dia pergi ke tempat-tempat perzinahan. Sedangkan untuk hal yang makruh, seperti dia belanjakan hartanya untuk membeli rokok. Hal semacam itu semuanya tidak ada manfaat baginya. Seorang Auliya mengatakan: “Orang yang 40 hari sebelum meninggal dunia ia belum tobat dari merokok, maka dikhawatirkan matinya Su’ul Khotimah.”  

4.    Muflis (Pailit/ Bangkrut)
Menurut Lughot adalah orang yang hartanya menjadi recehan (uang kecil). Dinamakan dengan kata “muflis”  ini yaitu: orang yang sedikit hartanya. Semacam orang yang dulunya kaya, karena selalu berbuat ma’shiyat atau salah dalam mengelola hartanya sehingga habislah ia punya harta. Muflis  dapat disebabkan karena jumlah hartanya menurun atau ia tidak mempunyai harta sama sekali. Sedangkan muflis  menurut Syara: Orang yang “ditunggangi”  atau “terlilit”  oleh hutang. Hutangnya banyak sekali, seluruh asetnya sudah disita tetapi belum dapat menutupi hutangnya. Hartanya tidak memadai/ mencukupi untuk menutup semua hutangnya. Maka dia mahjuur ‘alaiih  untuk kepentingan orang lain. Jika hakim mengetahui ia mempunyai banyak hutang, maka akan dibekukan ia punya asset untuk menjaga kepentingan orang lain, jangan sampai tidak terbayar hutangnya. 

5.    Mariidh (Orang yang Sakit)
Orang yang sakit juga tercegah untuk men-tasharuf-kan ia punya  hartanya, orang yang sakit yang ditakutkan dari sakitnya itu dapat menyebabkan kematiannya. Jika hanya pusing, demam, flu biasa tidak dikhawatikan menyebabkan kematian, akan tetapi dapat saja menjadi penyebab kematian, karena tanpa sakitpun orang dapat saja mati. Misalkan penyakit yang dapat menyebabkan kematian seperti kanker, jantung atau penyakit berat lainnya. Orang yang sakit terhalang untuk mendayagunakan hartanya yang lebih dari 1/3 (sepertiga) dari hartanya, sedangkan yang 2/3 (dua pertiga) tidak boleh digunakan/ dibelanjakan, karena untuk haq ahli waris. Uang yang 1/3 dari hartanya yang boleh digunakannya dengan catatan ia tidak mempunyai hutang. Jika dia mempunyai hutang, maka bukan hanya hartanya yang 2/3 -nya saja yang tidak boleh digunakan, akan tetapi hartanya yang 1/3 –nya pun tidak boleh dibelanjakan/ digunakan, karena untuk kepentingan membayar hutangnya. Akan tetapi jika harta warisan yang ditinggalkan hanya cukup untuk membayar hutangnya, maka dicegah ia mendayagunakan seluruh hartanya.

6.    Budaq (Hamba Sahaya)
Budaq (Hamba Sahaya) yang tidak diizinkan oleh tuannya untuk berniaga, maka tidak sah tasaruf-nya (berdayagunanya) tanpa seizin tuannya (majikannya/ pemiliknya). Karena sebanyak apapun harta yang ada  ditangan si-budaq, maka itu adalah milik tuannya. Hamba yang tidak diizinkan untuk berdagang oleh tuannya, maka ia mahjuur ‘alaiih, maka tidak sah tasaruf-nya dalam membelanjakan hartanya. Harta yang ada padanya tidak sah untuk diberdayagunakan tanpa seizin tuannya. Dalam hal Mu’amalat, si-budaq perlu izin tuannya, tetapi dalam hal mengerjakan ibadah tidak perlu izin kepada tuannya dan tetap sah ibadahnya meskipun tanpa izin dari tuannya.

Tuan Syekh Musonif tidak membicarakan tentang sesuatu yang banyak lagi dari pada Hajar  (larangan), pembahasan lebih luas tentang hajar ada di kitab-kitab besar. Diantaranya yang tidak dibahas disini, yaitu:
1.  Hajar (larangan) bagi orang yang murtad 
Yaitu: Orang yang keluar dari agama Islam dan pindah ke agama lain. Harta orang yang murtad tidak boleh digunakan/ dibelanjakan untuk kepentingan pribadi dari si-murtad. Harta yang dimiliki oleh si-murtad akan di sita oleh pemerintah Islam dan tidak diturunkan kepada ahli warisnya, tetapi menjadi haq dari kaum muslimin melalui baitul mall. Terkecuali apabila ia tobat dan kembali memeluk Islam, maka harta yang disita dapat dikembalikan.
2.  Hajar (larangan) bagi Peminjam Uang (Rohin)
Yaitu: Orang yang menggadaikan barangnya kepada murtahin sebagai jaminan karena ia mempunyai  hutang. Barang yang digunakan sebagai jaminan, tidak dapat di dayagunakan oleh si-rohin, karena disitu ada haq dari si-murtahin (pemilik uang atau orang yang meminjamkan). Apabila nilai jaminan barangnya yang dipegang oleh si-murtahin kurang dari jumlah uang yang dipinjamnya, maka si-rohin tercegah untuk mendayagunakan hartanya untuk kepentingan pribadinya. 

Anak kecil (Ashoby), orang gila (Majnun) dan orang bodoh (Safiih) tercegah untuk mendayagunakan hartanya. Untuk anak kecil tercegah untuk mendayagunakan hartanya hingga ia dewasa. Sedangkan untuk orang gila sampai ia sembuh dari gilanya. Keduanya tercegah untuk menggunakan hartanya dalam hal: Jual-Beli, Hibah, Qiradh (Menanamkan Modal/ Bagi Hasil), Syirkah (Kerja Sama) dan dalam hal lainnya.

Dalam system bagi hasil (Qiradh) pada umumnya, pemilik modal 60% dan pengelola modal 40% dari hasil keuntungan usaha, bukan dari modal yang ditanamkan/ dititipkan. Bila bagi hasilnya berdasarkan modal yang ditanam bukan berdasarkan keuntungan usaha, maka menjadi haram karena masuk ke dalam katagori ribaa. 

Orang yang bodoh (Safiih) yang tidak mengetahui nilai uang, apabila ia ingin menikah maka sah dengan seizin dari walinya.
Tasarufnya orang yang Pailit/ Bangkrut (Muflis)  sah dalam harga yang ada dalam tanggunannya, artinya tidak boleh menggunakan harta yang ada padanya. Dia boleh melakukan jual-beli asalkan tidak menggunakan harta yang ada ditangannya. Jadi dia melakukan jual-beli dengan tanpa menggunakan modal/ harta/ asset yang ada padanya  atau dengan kata lain hanya sebagai makelar/ perantara saja. Modal atau uang yang ada pada dia tidak boleh digunakan, karena disitu ada haq ghuromaa , yaitu haq dari orang yang meminjamkan uang kepadanya.

Andaikata ia jual secara salam (Bii’ Salam) atau indent, misalkan berupa makanan atau lainnya, maka sah bii’ salam-nya, karena dalam bii’ salam tidak memerlukan modal, uang diterima terlebih dahulu baru barangnya diserahkan dikemudian hari. Yang tidak boleh digunakan adalah harta/ asset yang ada padanya, sedangkan bila ia membeli barang dengan cara berhutang dibolehkan.

Andaikan uang/ asset-nya yang ada ia gunakan untuk menikah atau untuk talaq, maka sah. Akan tetapi dalam kitab yang lain tidak boleh mengunakan hartanya untuk menikah. Karena sebelum menikah harus dipersiapkan mas kawin, biaya menikah, tempat tinggal (meskipun dengan cara mengontrak rumah), dan biaya lainnya yang kesemuanya memerlukan uang. Padahal dia dicegah dalam hal menggunakan harta/ asset miliknya. Dia dibolehkan nikah dengan syarat mas kawinnya, biaya nikahnya dan biaya lainnya dilakukannya secara hutang.


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar