Pokok
Bahasan : FIQIH (Mu’amalat)
Judul : Dicegahnya Orang Safiih & Muflis Dalam
Bertasaruf Atas Hartanya
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
DICEGAHNYA
ORANG SAFIIH & MUFLIS
DALAM
BERTASARUF ATAS HARTANYA
Ini
satu pasal yang membahas tentang Hajar
(dicegahnya/ dilarangnya) orang yang Safiih (tidak pandai/ bodoh/ tidak mengetahui nilai
uang), dan orang yang Muflis (pailit/
bangkrut) hartanya dalam mempergunakan/ membelanjakan ia punya harta.
Hajar bermakna juga aqal, karena aqal mencegah kita
untuk melakukan sesuatu yang tidak terpuji/ tercela. Hajar menurut lughot
artinya mencegah. Mencegah orang untuk tasharuf
(menggunakan/ mendayagunakan) hartanya
bila ia Safiih atau ia Muflis. Sedangkan Hajar menurut Syara adalah
dicegahnya ia dalam membelanjakan/ mendayagunakan hartanya bila ia dalam
keadaan Safiih atau Muflis.
Bersalahan/
tidak sama hukumnya bila ia tasharuf (mendayagunakan/ tindakan) dia pada selain
mall (harta), maka hal itu tidak tercegah. Contohnya semacam orang yang Safiih
atau muflis men-thalaq istrinya, maka hal itu tidak tercegah atau dibolehkan
atau sah/ berlaku thalaq yang dijatuhkan kepada istrinya. Demikian juga bila
orang Safiih atau muflis ini mengakui bahwa dia telah berbuat zina atau
membunuh orang, maka pengakuannya dapat diterima dan hukum tetap berjalan
atasnya.
Tuan
Syech Musonif menjadikan hajar (dicegahnya) seseorang untuk bertasaruf atas
hartanya kepada 6 kelompok orang, yaitu:
1. Ashoby (anak kecil)
Anak kecil tercegah dalam
mendayagunakan hartanya, misalnya anak kecil akan menjual harta warisan
peninggalan orang tuanya, maka tidak boleh. Jual-beli atau transaksi yang
dilakukan anak kecil tidak sah, meskipun ia telah tamyiz. Sampai kapan anak kecil ini tercegah mendayagunakan
hartanya? Sampai ia menjadi dewasa, maka secara
otomatis ia lepas dari hajar tanpa perlu pengesahan dari hakim.
2. Majnuun (orang
gila)
Misalkan orang gila menyerahkan
sumbangan kepada masjid atau lainya, maka tidak boleh diterima, karena apa yang
dilakukannya tidak sah tasharuf-nya. Akan tetapi bila ia sudah kembali waras
(sembuh dari gilanya), maka secara otomatis berjalan kembali tasharuf-nya.
Hajar (dicegahnya) seseorang
mempunyai 2 macam kemashlahatan, yaitu:
a. Dihukumkan
untuk kemashlahatan mahjuur ‘alaiih, orang yang bersangkutan, yaitu orang yang
dicegah dalam mendayagunakan hartanya, seperti anak kecil dilarang untuk
melakukan jual-beli, maka kemashlahatannya untuk si-anak itu sendiri, karena
dia tidak tahu harga maka dikhawatirkan akan menghabiskan hartanya. Demikian
juga dengan orang gila meskipun ia sudah dewasa, tetap tercegah dirinya untuk
ber-tasharuf atas harta miliknya.
b. Dihukumkan
untuk kemashlahatan orang lain, untuk orang yang pailit/ bangkrut meskipun dia
sudah dewasa dan tidak gila tetap tercegah untuk mendayagunakan hartanya,
karena harta yang dimilikinya tidak dapat menutupi jumlah hutangnya. Orang yang
pailit/ bangkrut dicegah mendayagunakan hartanya, tujuannya untuk kemashlahatan
orang lain, karena bila ia dibebaskan mendayagunakan hartanya, maka
dikhawatirkan hutangnya kepada orang lain tidak terbayar.
3. Safiih (orang bodoh)
Tuan Syech Musonif mentafsirkan/
menjelaskan bahwa orang yang Safiih
adalah: orang yang menghambur-hamburkan hartanya. Dia belanjakan hartanya bukan
pada tempat yang layak. Maksud dari “bukan pada tempatnya”, yaitu: Segala sesuatu yang dilakukannya tidak
kembali manfaatnya kepada dirinya, baik segera/ langsung ataupun nanti/
dikemudian hari. Semacam dia belanjakan hartanya untuk membeli barang-barang
yang haram dan yang makruh, karena keduanya tidak mempunyai manfaat bagi
dirinya. Hal yang haram seperti dia membeli khomer (minuman keras), atau dia pergi ke
tempat-tempat perzinahan. Sedangkan untuk hal yang makruh, seperti dia
belanjakan hartanya untuk membeli rokok. Hal semacam itu semuanya tidak ada
manfaat baginya. Seorang Auliya mengatakan: “Orang
yang 40 hari sebelum meninggal dunia ia belum tobat dari merokok, maka dikhawatirkan
matinya Su’ul Khotimah.”
4. Muflis (Pailit/ Bangkrut)
Menurut Lughot adalah orang yang
hartanya menjadi recehan (uang kecil). Dinamakan dengan kata “muflis”
ini yaitu: orang yang sedikit hartanya. Semacam orang yang dulunya kaya,
karena selalu berbuat ma’shiyat atau salah dalam mengelola hartanya sehingga
habislah ia punya harta. Muflis dapat disebabkan karena jumlah hartanya
menurun atau ia tidak mempunyai harta sama sekali. Sedangkan muflis
menurut Syara: Orang yang “ditunggangi” atau “terlilit” oleh hutang. Hutangnya banyak sekali, seluruh
asetnya sudah disita tetapi belum dapat menutupi hutangnya. Hartanya tidak
memadai/ mencukupi untuk menutup semua hutangnya. Maka dia mahjuur ‘alaiih untuk kepentingan orang lain. Jika hakim
mengetahui ia mempunyai banyak hutang, maka akan dibekukan ia punya asset untuk
menjaga kepentingan orang lain, jangan sampai tidak terbayar hutangnya.
5. Mariidh (Orang yang Sakit)
Orang yang sakit juga tercegah untuk
men-tasharuf-kan ia punya hartanya,
orang yang sakit yang ditakutkan dari sakitnya itu dapat menyebabkan
kematiannya. Jika hanya pusing, demam, flu biasa tidak dikhawatikan menyebabkan
kematian, akan tetapi dapat saja menjadi penyebab kematian, karena tanpa
sakitpun orang dapat saja mati. Misalkan penyakit yang dapat menyebabkan
kematian seperti kanker, jantung atau penyakit berat lainnya. Orang yang sakit
terhalang untuk mendayagunakan hartanya yang lebih dari 1/3 (sepertiga) dari
hartanya, sedangkan yang 2/3 (dua pertiga) tidak boleh digunakan/ dibelanjakan,
karena untuk haq ahli waris. Uang yang 1/3 dari hartanya yang boleh
digunakannya dengan catatan ia tidak mempunyai hutang. Jika dia mempunyai
hutang, maka bukan hanya hartanya yang 2/3 -nya saja yang tidak boleh
digunakan, akan tetapi hartanya yang 1/3 –nya pun tidak boleh dibelanjakan/ digunakan,
karena untuk kepentingan membayar hutangnya. Akan tetapi jika harta warisan
yang ditinggalkan hanya cukup untuk membayar hutangnya, maka dicegah ia
mendayagunakan seluruh hartanya.
6. Budaq (Hamba Sahaya)
Budaq (Hamba Sahaya) yang tidak
diizinkan oleh tuannya untuk berniaga, maka tidak sah tasaruf-nya
(berdayagunanya) tanpa seizin tuannya (majikannya/ pemiliknya). Karena sebanyak
apapun harta yang ada ditangan si-budaq,
maka itu adalah milik tuannya. Hamba yang tidak diizinkan untuk berdagang oleh
tuannya, maka ia mahjuur ‘alaiih, maka tidak sah
tasaruf-nya dalam membelanjakan hartanya. Harta yang ada padanya tidak sah
untuk diberdayagunakan tanpa seizin tuannya. Dalam hal Mu’amalat, si-budaq
perlu izin tuannya, tetapi dalam hal mengerjakan ibadah tidak perlu izin kepada
tuannya dan tetap sah ibadahnya meskipun tanpa izin dari tuannya.
Tuan
Syekh Musonif tidak membicarakan tentang sesuatu yang banyak lagi dari pada Hajar (larangan), pembahasan lebih luas tentang
hajar ada di kitab-kitab besar. Diantaranya yang tidak dibahas disini, yaitu:
1. Hajar (larangan) bagi orang yang murtad
Yaitu: Orang yang keluar dari agama
Islam dan pindah ke agama lain. Harta orang yang murtad tidak boleh digunakan/
dibelanjakan untuk kepentingan pribadi dari si-murtad. Harta yang dimiliki oleh
si-murtad akan di sita oleh pemerintah Islam dan tidak diturunkan kepada ahli
warisnya, tetapi menjadi haq dari kaum muslimin melalui baitul mall. Terkecuali
apabila ia tobat dan kembali memeluk Islam, maka harta yang disita dapat dikembalikan.
2. Hajar (larangan) bagi Peminjam Uang (Rohin)
Yaitu: Orang yang menggadaikan
barangnya kepada murtahin sebagai jaminan karena ia mempunyai hutang. Barang yang digunakan sebagai
jaminan, tidak dapat di dayagunakan oleh si-rohin, karena disitu ada haq dari
si-murtahin (pemilik uang atau orang yang meminjamkan). Apabila nilai jaminan
barangnya yang dipegang oleh si-murtahin kurang dari jumlah uang yang
dipinjamnya, maka si-rohin tercegah untuk mendayagunakan hartanya untuk
kepentingan pribadinya.
Anak
kecil (Ashoby), orang gila (Majnun) dan orang bodoh (Safiih) tercegah untuk mendayagunakan
hartanya. Untuk anak kecil tercegah untuk mendayagunakan hartanya hingga ia
dewasa. Sedangkan untuk orang gila sampai ia sembuh dari gilanya. Keduanya
tercegah untuk menggunakan hartanya dalam hal: Jual-Beli, Hibah, Qiradh (Menanamkan Modal/ Bagi Hasil), Syirkah (Kerja Sama) dan dalam hal
lainnya.
Dalam
system bagi hasil (Qiradh) pada
umumnya, pemilik modal 60% dan pengelola modal 40% dari hasil keuntungan usaha,
bukan dari modal yang ditanamkan/ dititipkan. Bila bagi hasilnya berdasarkan
modal yang ditanam bukan berdasarkan keuntungan usaha, maka menjadi haram
karena masuk ke dalam katagori ribaa.
Orang
yang bodoh (Safiih) yang tidak
mengetahui nilai uang, apabila ia ingin menikah maka sah dengan seizin dari
walinya.
Tasarufnya
orang yang Pailit/ Bangkrut (Muflis) sah dalam harga yang ada dalam
tanggunannya, artinya tidak boleh menggunakan harta yang ada padanya. Dia boleh
melakukan jual-beli asalkan tidak menggunakan harta yang ada ditangannya. Jadi
dia melakukan jual-beli dengan tanpa menggunakan modal/ harta/ asset yang ada
padanya atau dengan kata lain hanya
sebagai makelar/ perantara saja. Modal atau uang yang ada pada dia tidak boleh
digunakan, karena disitu ada haq ghuromaa
, yaitu haq dari orang yang meminjamkan uang kepadanya.
Andaikata
ia jual secara salam (Bii’ Salam) atau
indent, misalkan berupa makanan atau lainnya, maka sah bii’ salam-nya, karena dalam bii’ salam tidak memerlukan modal,
uang diterima terlebih dahulu baru barangnya diserahkan dikemudian hari. Yang
tidak boleh digunakan adalah harta/ asset yang ada padanya, sedangkan bila ia
membeli barang dengan cara berhutang dibolehkan.
Andaikan
uang/ asset-nya yang ada ia gunakan untuk menikah atau untuk talaq, maka sah.
Akan tetapi dalam kitab yang lain tidak boleh mengunakan hartanya untuk
menikah. Karena sebelum menikah harus dipersiapkan mas kawin, biaya menikah,
tempat tinggal (meskipun dengan cara mengontrak rumah), dan biaya lainnya yang
kesemuanya memerlukan uang. Padahal dia dicegah dalam hal menggunakan harta/
asset miliknya. Dia dibolehkan nikah dengan syarat mas kawinnya, biaya nikahnya
dan biaya lainnya dilakukannya secara hutang.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar