Pokok
Bahasan : FIQIH ( Mu’amalat )
Judul : Hukum Tentang Bii’ Salam (Indent)
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Hukum Tentang Bii’ Salam (Indent)
Membeli
barang dengan cara memesan (indent). Salam menurut lughot (bahasa), yaitu
menjual dengan cara indent. Persyaratan untuk dibolehkannya Bii’ Salam:
1. Menjual suatu barang yang sifatnya dalam
tanggungan
Mensifatkan/ menerangkan barang yang akan dijual dalam tanggungan.
Contoh perkataannya dari si-pembeli: “Aku pesan kepada kamu barang ini dengan
harga sekian.” Si-penjual menjawab: “Aku terima.”
Bii’ Salam sah/ dibolehkan dilakukan
secara tunai (cash) ataupun indent, pada umumnya Bii’ Salam dilakukan secara
indent, uangnya tunai (cash) sedangkan barangnya diterima belakangan, hal
tersebut sah dilakukan. Menurut Qoul yang Shoheh: “Bila dalam Ijaab Qobul-nya
tidak disebutkan apakah penyerahan barangnya dilakukan secara tunai ataukan indent, maka penyerahan barangnya
dilakukan secara tunai atau segera. Akan tetapi uang pembayarannya harus
dibayar secara kontan (cash), sedangkan barangnya dapat dilakukan segera atau
dikemudian hari sesuai kesepakatan. Jadi dalam Bii’ Salam, uangnya harus diserahkan
terlebih dahulu sedangkan barangnya dapat diserahkan segera ataupun diserahkan
dikemudian hari sesuai kesepataan diantara keduanya. Jadi penjual berhutang
kepada pembeli, karena pembeli telah menyerahkan uang kepada si-penjual,
sedangakan si-penjual belum menyerahkan barang kepada si-pembeli. Sah-nya Bii’
Salam ini pada suatu barang yang kondisi barang tersebut sempurna. Diantaranya
salah satunya, barang yang dijual dicatat dengan di-sifat-kan/ diterangkan
dengan sifat-sifat tertentu.
Sebagai contoh misalkan kita menjual
kue lapis, maka harus disebutkan komposisi dan banyaknya bahan yang digunakan
untuk membuat kue lapis tersebut, seperti: terigunya berapa banyak, gulanya
berapa banyak, menteganya berapa banyak. Karena bila tidak disebutkan dikhawatirkan
kue yang dipesan tidak sesuai dengan keinginan dari si-pembeli. Bila barang
yang dipesan oleh pembeli tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya, maka
pembeli dapat menolak atau membatalkan jual-belinya.
Contoh kedua misalkan kita akan
membeli nasi kebuli dengan harga yang telah ditentukan oleh penjual, maka
si-penjual harus menyebutkan: berapa kilo daging kambing yang digunakan,
menggunakan beras dengan kwalitas yang bagaimana, agar jangan sampai si-pembeli
merasa tertipu, tujuannya membeli nasi kebuli tetapi yang diterima rasanya
seperti nasi goreng.
Dengan sebab disebutkan sifat dari
isi barang yang dijual tadi, maka si-pembeli menjadi tahu bahan-bahan apa saja
yang digunakan untuk membuat barang tersebut. Manakala barang yang dijual tidak
sesuai dengan sifat-sifat atau komposisi yang disebutkan, maka si-pembeli dapat
membatalkan jual-belinya.
Tidak boleh mensifatkan barang yang
dipesan dengan sifat yang membuat menjadi jarangnya itu barang. Jadi si-pembeli
mensifatkan/ menjelaskan barang yang dipesan dengan terlalu detail
(sekecil-kecilnya), sehingga menjadi sulit bagi si-penjual untuk memenuhi apa
yang diinginkan si-pembeli. Misalkan si-pembeli memesan lu’lu’ (mutiara) yang besar,
karena jarang sekali ada mutiara yang besar, maka hal itu tidak dibolehkan.
Contoh lainnya, misalkan seseorang mencari pembantu dengan menyebutkan
sifat-sifat dari pembantu yang diinginkannya, sifat-sifat yang disebutkannya
tersebut sangat jarang ada pada diri seseorang, maka hal itu tidak dibolehkan.
2. Barangnya satu jenis yang tidak bercampur dengan
barang lainnya.
Maksudnya barangnya satu jenis dan
tidak bercampur dengan barang lainnya. Dengan satu percampuran yang tidak
tercatat/ tidak terukur maksud atau sasaran utama dari pembelian itu barang.
Maka tidak sah Bii’ Salam pada barang yang bercampur, yang sudah bercampur
kepada percampuran yang dari masing-masing bagian barang yang bercampur tadi
menjadi berubah maksud sasaran utama dari pemesan atau pembeli. Contohnya
seperti kue lapis, maka bahan-bahan apa saja dan berapa banyak bahan tersebut
digunakan untuk membuat kue lapis harus disebutkan secara rinci, misalkan
terigunya berapa kilo, telornya berapa butir, menteganya berapa banyak, bila
tidak dirinci bahan-bahannya maka bii’ salam-nya tidak sah. Jadi kue lapis yang
kita beli dengan harga sekian, maka harus dirinci bahan yang digunakan apa saja
dan berapa banyak, sehingga antara rasa dari kue lapis tersebut sesuai dengan
harga yang ditawarkan/ dijual.
Bila barang dari hasil percampuran
yang tidak diketahui dari barang apa saja (tidak tercatat) yang digunakan untuk
membuat barang tersebut, maka bii’ salam-nya tidak sah. Bila seseorang membeli
kue dengan cara bii’ salam (indent), artinya uangnya dibayar duluan barangnya
diberikan belakangan, maka apabila rasa dari kue tersebut tidak sesuai dengan
apa yang telah disifatkan (diterangkan) sebelum Ijaab-Qobul, maka pembelian kue
tersebut dapat dibatalkan.
Contoh lainnya seperti harisah (bubur daging), karena bubur
harisah merupakan barang yang bercampur (tidak satu jenis), maka jika akan
menjual bubur harisah harus disebutkan/ dirincikan/ tercatat berapa banyak tepung gandum yang digunakan,
tepung gandum yang digunakan dari kwalitas yang bagaimana, berapa kilo daging
yang digunakan, dari daging bagian mana yang digunakan. Bila bahan yang
digunakan tidak terrinci/ tercatat maka jual-belinya tidak sah. Yang wajib
dirinci adalah bahan-bahan yang pokok-pokoknya saja, sedangkan bahan pelengkapnya
tidak harus disebutkan, misalkan warnanya, kemasan/ bungkusnya. Karena yang
menjadi sasaran/ tujuan utamanya adalah rasanya.
Contoh lainnya seperti nasi kebuli,
karena nasi kebuli merupakan barang yang bercampur (tidak satu jenis), maka
harus tercatat/ terrinci, berapa kilo
beras yang digunakan dan dari kulitas yang bagaimana, berapa kilo daging yang
digunakan, sehingga antara rasa dengan harganya sesuai.
Bila ingin berkah dalam berdagang
atau berusaha, maka harus dijalankan hal-hal seperti itu yang sesuai dengan
tuntunan agama.
Contoh lainnya seperti jamu, karena
merupakan barang yang bercampur (tidak satu jenis), maka harus dirinci/
tercatat bahan apa saja yang digunakan
dan berapa banyak. Bila tidak dirinci/ tercatat, maka tidak sah bii’ salam-nya.
Jika bagian-bagian yang digunakan
dalam campuran untuk membuat suatu barang itu tercatat, jenis dan ukuran/
banyak-nya, maka bii’ salam-nya sah.
3. Barang tersebut tidak dimasak
Untuk merubah barang tersebut dari
mentah menjadi matang, seperti merubah daging menjadi sop, gulai, marak, semur
atau lainnya. Artinya jika menurut tuntunan Nabi, barang tersebut syaratnya
tidak tersentuh oleh api. Jika memang barang itu dimasak, tetapi tujuan dimasak
itu barang bukan untuk merubah dari daging menjadi sop, gulai, marak,
semur atau lainnya, tetapi tujuannya
untuk memisahkan antara daging dan lemak/ minyak-nya. Atau seperti membakar
sarang madu untuk memisahkan antara madu dengan lilinnya.
4. Barangnya harus tidak ada ditempat transaksi
Barang yang dijual tidak boleh ada
ditempat transaksi, bila barang yang dipesan ada di tempat, maka transaksinya
bukan disebut sebagai bii’ salam, melainkan bii’ biasa saja. Menurut qoul yang
shoheh, maka bii’-nya tidak sah dan salam-nya juga tidak sah. Karena yang
dimaksud bii’ salam adalah uangnya diberikan terlebih dahulu sedangkan
barangnya indent (kemudian) atau daynan
(hutang). Jadi dalam bii’ salam pemilik barang berhutang kepada pemilik uang,
karena uang sudah diberikan sedangkan barangnya belum diberikan (indent).
Contoh jika terjadi transaksi: “aku
beli salam kepada kamu hamba sahaya (budaq) ini dengan tsaman (pembayaran)
berupa baju ini.” Maka bii’ salam-nya tidak sah, karena yang akan dibeli
(budaq-nya) ada disitu. Tsaman
(pembayarannya) harus dibayar di muka (tunai), tetapi yang tidak dibolehkan ada
disitu yaitu barangnya(berupa budaq). Dalam hal ini bii’-nya tidak sah dan
salam-nya tidak sah. Bii’-nya tidak sah, karena Shighot Ijaab-Qobuul-nya: “aslamtu…”
bukan “bii’ tuka…” Sedangkan Salam-nya tidak sah, karena
barang-nya (budaq) tunai (ada disitu), tidak daynan (hutang/ indent).
Untuk
sahnya barang yang kita beli secara Bii’ Salam (indent), maka ada 8 Persyaratan Yang Harus Terpenuhi Untuk Sahnya
Bii’ Salam (Jual-Beli Secara Indent), yaitu:
1. Barangnya Harus Disifatkan (Dijelaskan/ Diterangkan)
Jenisnya
Misalnya kita membeli hewan ternak,
maka disebutkan jenisnya seperti: ‘iibil
(unta), baqor (sapi), ghonam (kambing), bighool (peranakan antara kuda dengan keledai), himaar (keledai), dll. Dan bila kita
akan membeli sapi, maka kemudian disebutkan juga naw’-nya (macamnya), seperti: sapi Madura, sapi Bali, sapi
NTT, sapi Australi dll. Sedangkan untuk kambing, disebutkan naw’-nya, seperti: kambing qibas, domba, etawa, jawa, garut dll. Jika tidak
disebutkan jenis dan naw’-nya, maka tidak sah, karena nantinya akan timbul
perselisihan. Kita sebutkan jenis dan naw’-nya, dengan sebab disebutkan sifat-sifat
yang berbeda tadi, maka akan berbeda pula tsaman
(harganya). Sapi Madura dengan sapi Australi beda harganya, umumnya sapi lokal
lebih mahal dari pada sapi import.
Dalam
Jual-Beli Salam (Bii’ Salam) harus disebutkan:
1. Jenisnya dan naw’-nya. Maka salah satu dari keduanya,
yaitu penjual-nya atau pembeli-nya harus menyebutkan, tentunya pembeli lebih
dominan, karena dia adalah pihak yang butuh akan itu barang. Misalnya kita akan
membeli budaq (jenisnya) dan disebutkan pula naw’-nya, yaitu seperti
budaq dari Turky, India, Sudan, dll. Bila tidak disebutkan naw’-nya, maka pada akhirnya tidak sesuai dengan keinginan dari
pembeli.
2. Jenis
kelaminnya juga harus dijelaskan, jantan atau betina.
3. Disebutkan
pula umur/ usia-nya, jika umur disebutkan taqriban
(perkiraan/ kurang-lebih) bukan taqdidan.
Bila kita membeli kambing untuk aqiqah atau qurban maka ada ketentuan syara
yang mensyaratkan batas minimal umur yang akan dijadikan kambing untuk aqiqah
atau qurban.
4. Disebutkan
pula tingginya (panjangnya), ukuran besar badannya.
5. Disebutkan
pula warna dari barang yang diinginkan, seperti warnanya putih, putih-nya masih
perlu dijelaskan lagi, apakah putih yang kecoklatan? Atau putih yang bercampur
warna hitam? Atau seluruh bulunya berwarna putih?
Disebutkan juga jika ingin memesan
burung, maka disebutkan jenisnya, karena burung banyak jenisnya dan juga
macamnya (naw’-nya). Disebutkan pula
ukuran dari burungnya ( besar atau kecil ), sebutkan juga apakah ingin memesan
yang jantan atau betina, sebutkan juga umurnya, jika ia tahu, umumnya bila ia
ahli dalam masalah burung, maka ia akan tahu berapa umur dari burung tersebut.
Si-pembeli menyebutkan jenis barang
dan macam barang apa yang ingin dipesan atau dibelinya, bila si-pembeli tidak
mengerti akan barang yang akan dibelinya, maka si-penjual yang menjelaskan
tentang barang yang dijualnya, kemudian si-pembeli menjatuhkan pilihan pada
barang yang ditawarkan oleh si-penjual.
Misalkan si-pembeli ingin membeli
baju, maka disebutkan baju dari bahan jenis apa?, apakah baju dari bahan kapas,
rami, sutra. Kapas, rami ataupun sutra adalah jenis, maka sebutkan pula naw’-nya (macamnya) dari jenis
yang bahan yang kita pilih. Sebutkan ukuran panjang dan lebar dari baju yang
akan dibeli, kehalusan/ kelembutannya atau kekasaran dari bahan bajunya.
Di qiyas dari gambaran-gambaran di
atas, dalam hal jual-beli salam (indent) untuk jenis barang-barang yang
lainnya, seperti jual-beli salam untuk beras, gandum, hewan ternak atau hewan
peliharaan yang lainnya.
Jika kita membeli baju secara mutlaq
dalam jual-beli salam, tanpa menyebutkan jenis, macam, warna, ukuran atau
lainya, maka si-penjual tidak salah bila mendatangkan/ memberikan kepada
si-pembeli baju yang belum dipotong (masih berupa bahan).
2. Penjual atau Pembeli Harus Menjelaskan Kadar/ Ukuran
Barangnya
Dengan menyebutkan ukuran yang dapat
menghilangkan ketidaktahuan si-pembeli akan itu barang.
Barang yang akan dijual secara indent
harus diketahui ukurannya, baik dengan cara di meter, di taker, di timbang atau
di hitung. Untuk barang yang di meter, maka disebutkan berapa meter barang yang
akan dijual tersebut. Untuk barang yang di taker, maka disebutkan berapa liter
barang yang akan dijual tersebut. Untuk barang yang di timbang, maka di
sebutkan ukuran berat dari barang yang akan di jual tersebut. Untuk barang yang
di hitung, maka disebutkan berapa banyak jumlah barang yang akan dijual tersebut.
Harus disebutkan ukuran dari barang yang akan dijual secara indent tersebut
dengan jelas.
3. Barang Yang Diserahkan Membutuhkan Tempo/ Waktu
Yang Cukup Lama.
Penjual atau Pembeli harus
menyebutkan dengan jelas waktu penyerahan dari itu barang, misalkan seminggu,
dua minggu, sebulan atau dua bulan sesuai kesepakatan dari kedua belah pihak.
Bila tidak jelas disebutkan waktu penyerahan barangnya, maka dikhawatirkan
pihak penjual tidak segera menyerahkan itu barang yang telah dibayar oleh pihak
pembeli.
Andaikata si-penjual menyebutkan,
bahwa ia akan menyerahkan barangnya setelah si-Zeid sudah datang, sedangkan
si-Zeid tidak jelas kapan ia akan datang (bisa seminggu atau bisa juga
sebulan), maka transaksinya tidak sah. Karena tidak diketahui dengan pasti
kapan waktu penyerahan itu barang.
4. Barangnya Harus Ada Pada Waktu Penyerahan Pada
Gholib-nya.
Jadi barangnya harus ada pada saat
barang itu diserahkan pada gholib-nya. Jika akan diberikan barang yang pada
gholibnya tidak ada, misalnya tidak sedang musim, maka tidak sah. Andaikata dia
Bii’ Salam (indent), pada masa yang tidak dapat diserahkan itu barang
yang dipesan pada waktu jatuh tempo, maka tidak sah jual-belinya. Misalkan:
“Saya jual kepada kamu ruthob (korma
yang sudah matang) pada musim hujan.”
Maka transaksinya tidah sah, karena korma akan panen pada musim panas,
sehingga pada saatnya jatuh tempo dia tidak dapat menyerahkan korma yang dijual
secara salam (indent) tersebut.
5. Menyebutkan Tempat Penyerahan Barangnya
Pada waktu transaksi Bii’ Salam, maka harus disebutkan tempat
penyerahan barang pada waktu jatuh tempo. Misalkan terjadi transaksinya di
pesawat, di kapal laut atau di atas mobil dan tidak mungkin diserahkan
barangnya di tempat terjadinya transaki tersebut, maka harus disebutkan tempat
untuk penyerahan barangnya, misalkan di rumah, di pasar, di gudang atau tempat
lainnya. Misalkan untuk membawa itu barang ke tempat penyerahan membutuhkan
biaya, maka biaya atau ongkos juga harus disepakati oleh kedua belah pihak.
Apakah biayanya akan di tanggung oleh si-penjual atau oleh si-pembeli atau
biayanya ditanggung bersama oleh keduanya, sehingga tidak terjadi perselisihan
diantara keduanya.
6. Tsaman (Harganya) Dapat Berupa Uang Ataupun
Berupa Barang Juga
Tsaman tidak harus berupa uang, meskipun
pada umumnya kita membayar barang yang kita beli dengan menggunakan uang.
Tsaman-nya dapat pula berupa barang, misalkan kita membeli mobil dengan harga
10 ton beras, atau dikenal dengan istilah: barter,
yaitu menukar barang dengan barang lainnya. Tsaman-nya baik berupa uang atau
barang, maka harus diketahui kadar-nya
(nilai-nya).
7. Saling Menerima Antara Penjual dan Pembeli
Saat transaksi si-penjual berkata:
“Aku jual salam (indent) kepada kamu barang dengan harga ….” si-pembeli
menjawab: “Qobiltu/ Isytaraytu (aku terima)” Maka hal itu sah, karena
keduanya sudah saling terima. Pada majlis aqad jual-beli harus ada Ijaab-Qobuul. Ijaab-Qobuul -nya diucapkan sebelum keduanya berpisah. Andaikata
keduanya berpisah dan si-penjual belum menerima tsaman-nya (harga/
pembayarannya), maka batal-lah aqad-nya. Karena dalam trasaksi salam, tsaman
(harganya) harus diserahkan terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan
kemudian. Atau misalkan tsaman-nya diterima sebagian, maka dalam hal ini ada 2
pendapat. Pendapat yang pertama: “Tsaman
yang sudah diterima pada saat sebelum berpisah, maka sah. Sedangkan tsaman yang
di terima setelah berpisah, maka tidak sah.” Sedangkan pendapat yang kedua: “Transaksinya tidak sah (batal) secara
keseluruhannya.”
Andaikata si-pembeli salam (indent)
memalingkan/ mengalihkan/ meng-over tsaman-nya (harga-nya), artinya tidak
dibayar tunai (cash) kepada si-penjual. Misalkan si-Ahmad membeli mobil kepada
si-Zeid, si-Ahmad tidak menyerahkan
uangnya secara tunai (kontan) kepada si-Zeid untuk membayar harga mobil yang
dibelinya, akan tetapi ia menyuruh si-Zeid untuk meminta pembayaran mobil yang
ia beli kepada si-Ali, karena Ali mempunyai hutang kepada si-Ahmad. Maka dalam
hal ini transaksi salam-nya tidak sah, meskipun bila si-Zeid menyetujuinya.
Karena dalam bii’ salam uangnya harus naqdan (kontan) di terima.
8. Transaksi Bii’ Salam (Indent) Aqad-nya Harus
Kontan (Langsung) dan Tidak Boleh Ada Khiyaar
Syarath dan Khiyaar ‘Aiib
Dalam transaksi Jual-Beli yang
berlaku secara umum, ada 3 Khiyaar, yaitu: Khiyaar
Majlis, Khiyaar Syarath, dan Khiyaar ‘Aiib. Tetapi dalam Bii’ Salam, yang
ada hanya Khiyaar Majlis saja, sedangkan Khiyaar Syarath dan Khiyaar ‘Aiib
tidak ada. Misalkan sudah terjadi transaski Bii’
Salam, keduan sudah melakukan Ijaab-Qobuul, tetapi sejam atau dua jam
kemudian si-pembeli atau si-penjual berubah fikiran dan membatalkan transaksi
yang sudah terjadi, maka hal itu di bolehkan asalkan keduanya (Penjual dan
Pembeli) belum berpisah dari Majlis Aqad (tempat terjadinya transaksi
Jual-Beli).
---oooOooo---
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang
al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar