Jumat, 02 September 2016

FIQIH ( Mu’amalat ) - Hukum Tentang Bii’ Salam (Indent)



Pokok Bahasan     :  FIQIH ( Mu’amalat )
Judul                    :  Hukum Tentang Bii’ Salam (Indent)
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Hukum Tentang Bii’ Salam (Indent)



Membeli barang dengan cara memesan (indent). Salam menurut lughot (bahasa), yaitu menjual dengan cara indent. Persyaratan untuk dibolehkannya Bii’ Salam:
1.  Menjual suatu barang yang sifatnya dalam tanggungan
Mensifatkan/ menerangkan  barang yang akan dijual dalam tanggungan. Contoh perkataannya dari si-pembeli: “Aku pesan kepada kamu barang ini dengan harga sekian.” Si-penjual menjawab: “Aku terima.”
Bii’ Salam sah/ dibolehkan dilakukan secara tunai (cash) ataupun indent, pada umumnya Bii’ Salam dilakukan secara indent, uangnya tunai (cash) sedangkan barangnya diterima belakangan, hal tersebut sah dilakukan. Menurut Qoul yang Shoheh: “Bila dalam Ijaab Qobul-nya tidak disebutkan apakah penyerahan barangnya dilakukan secara tunai ataukan indent, maka penyerahan barangnya dilakukan secara tunai atau segera. Akan tetapi uang pembayarannya harus dibayar secara kontan (cash), sedangkan barangnya dapat dilakukan segera atau dikemudian hari sesuai kesepakatan. Jadi dalam Bii’ Salam, uangnya harus diserahkan terlebih dahulu sedangkan barangnya dapat diserahkan segera ataupun diserahkan dikemudian hari sesuai kesepataan diantara keduanya. Jadi penjual berhutang kepada pembeli, karena pembeli telah menyerahkan uang kepada si-penjual, sedangakan si-penjual belum menyerahkan barang kepada si-pembeli. Sah-nya Bii’ Salam ini pada suatu barang yang kondisi barang tersebut sempurna. Diantaranya salah satunya, barang yang dijual dicatat dengan di-sifat-kan/ diterangkan dengan sifat-sifat tertentu.
Sebagai contoh misalkan kita menjual kue lapis, maka harus disebutkan komposisi dan banyaknya bahan yang digunakan untuk membuat kue lapis tersebut, seperti: terigunya berapa banyak, gulanya berapa banyak, menteganya berapa banyak. Karena bila tidak disebutkan dikhawatirkan kue yang dipesan tidak sesuai dengan keinginan dari si-pembeli. Bila barang yang dipesan oleh pembeli tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya, maka pembeli dapat menolak atau membatalkan jual-belinya.
Contoh kedua misalkan kita akan membeli nasi kebuli dengan harga yang telah ditentukan oleh penjual, maka si-penjual harus menyebutkan: berapa kilo daging kambing yang digunakan, menggunakan beras dengan kwalitas yang bagaimana, agar jangan sampai si-pembeli merasa tertipu, tujuannya membeli nasi kebuli tetapi yang diterima rasanya seperti nasi goreng.
Dengan sebab disebutkan sifat dari isi barang yang dijual tadi, maka si-pembeli menjadi tahu bahan-bahan apa saja yang digunakan untuk membuat barang tersebut. Manakala barang yang dijual tidak sesuai dengan sifat-sifat atau komposisi yang disebutkan, maka si-pembeli dapat membatalkan jual-belinya.
Tidak boleh mensifatkan barang yang dipesan dengan sifat yang membuat menjadi jarangnya itu barang. Jadi si-pembeli mensifatkan/ menjelaskan barang yang dipesan dengan terlalu detail (sekecil-kecilnya), sehingga menjadi sulit bagi si-penjual untuk memenuhi apa yang diinginkan si-pembeli. Misalkan si-pembeli memesan lu’lu’ (mutiara)  yang besar, karena jarang sekali ada mutiara yang besar, maka hal itu tidak dibolehkan. Contoh lainnya, misalkan seseorang mencari pembantu dengan menyebutkan sifat-sifat dari pembantu yang diinginkannya, sifat-sifat yang disebutkannya tersebut sangat jarang ada pada diri seseorang, maka hal itu tidak dibolehkan.

2.  Barangnya satu jenis yang tidak bercampur dengan barang lainnya.
Maksudnya barangnya satu jenis dan tidak bercampur dengan barang lainnya. Dengan satu percampuran yang tidak tercatat/ tidak terukur maksud atau sasaran utama dari pembelian itu barang. Maka tidak sah Bii’ Salam pada barang yang bercampur, yang sudah bercampur kepada percampuran yang dari masing-masing bagian barang yang bercampur tadi menjadi berubah maksud sasaran utama dari pemesan atau pembeli. Contohnya seperti kue lapis, maka bahan-bahan apa saja dan berapa banyak bahan tersebut digunakan untuk membuat kue lapis harus disebutkan secara rinci, misalkan terigunya berapa kilo, telornya berapa butir, menteganya berapa banyak, bila tidak dirinci bahan-bahannya maka bii’ salam-nya tidak sah. Jadi kue lapis yang kita beli dengan harga sekian, maka harus dirinci bahan yang digunakan apa saja dan berapa banyak, sehingga antara rasa dari kue lapis tersebut sesuai dengan harga yang ditawarkan/ dijual.
Bila barang dari hasil percampuran yang tidak diketahui dari barang apa saja (tidak tercatat) yang digunakan untuk membuat barang tersebut, maka bii’ salam-nya tidak sah. Bila seseorang membeli kue dengan cara bii’ salam (indent), artinya uangnya dibayar duluan barangnya diberikan belakangan, maka apabila rasa dari kue tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah disifatkan (diterangkan) sebelum Ijaab-Qobul, maka pembelian kue tersebut dapat dibatalkan.
Contoh lainnya seperti harisah (bubur daging), karena bubur harisah merupakan barang yang bercampur (tidak satu jenis), maka jika akan menjual bubur harisah harus disebutkan/ dirincikan/ tercatat  berapa banyak tepung gandum yang digunakan, tepung gandum yang digunakan dari kwalitas yang bagaimana, berapa kilo daging yang digunakan, dari daging bagian mana yang digunakan. Bila bahan yang digunakan tidak  terrinci/ tercatat  maka jual-belinya tidak sah. Yang wajib dirinci adalah bahan-bahan yang pokok-pokoknya saja, sedangkan bahan pelengkapnya tidak harus disebutkan, misalkan warnanya, kemasan/ bungkusnya. Karena yang menjadi sasaran/ tujuan utamanya adalah rasanya. 
Contoh lainnya seperti nasi kebuli, karena nasi kebuli merupakan barang yang bercampur (tidak satu jenis), maka harus  tercatat/ terrinci, berapa kilo beras yang digunakan dan dari kulitas yang bagaimana, berapa kilo daging yang digunakan, sehingga antara rasa dengan harganya sesuai.
Bila ingin berkah dalam berdagang atau berusaha, maka harus dijalankan hal-hal seperti itu yang sesuai dengan tuntunan agama.
Contoh lainnya seperti jamu, karena merupakan barang yang bercampur (tidak satu jenis), maka harus dirinci/ tercatat  bahan apa saja yang digunakan dan berapa banyak. Bila tidak dirinci/ tercatat, maka tidak sah bii’ salam-nya.
Jika bagian-bagian yang digunakan dalam campuran untuk membuat suatu barang itu tercatat, jenis dan ukuran/ banyak-nya, maka bii’ salam-nya sah.
3.  Barang tersebut tidak dimasak
Untuk merubah barang tersebut dari mentah menjadi matang, seperti merubah daging menjadi sop, gulai, marak, semur atau lainnya. Artinya jika menurut tuntunan Nabi, barang tersebut syaratnya tidak tersentuh oleh api. Jika memang barang itu dimasak, tetapi tujuan dimasak itu barang bukan untuk merubah dari daging menjadi sop, gulai, marak, semur  atau lainnya, tetapi tujuannya untuk memisahkan antara daging dan lemak/ minyak-nya. Atau seperti membakar sarang madu untuk memisahkan antara madu dengan lilinnya.
4.  Barangnya harus tidak ada ditempat transaksi
Barang yang dijual tidak boleh ada ditempat transaksi, bila barang yang dipesan ada di tempat, maka transaksinya bukan disebut sebagai bii’ salam, melainkan bii’ biasa saja. Menurut qoul yang shoheh, maka bii’-nya tidak sah dan salam-nya juga tidak sah. Karena yang dimaksud bii’ salam adalah uangnya diberikan terlebih dahulu sedangkan barangnya indent (kemudian) atau daynan (hutang). Jadi dalam bii’ salam pemilik barang berhutang kepada pemilik uang, karena uang sudah diberikan sedangkan barangnya belum diberikan (indent).
Contoh jika terjadi transaksi: “aku beli salam kepada kamu hamba sahaya (budaq) ini dengan tsaman (pembayaran) berupa baju ini.” Maka bii’ salam-nya tidak sah, karena yang akan dibeli (budaq-nya) ada disitu. Tsaman (pembayarannya) harus dibayar di muka (tunai), tetapi yang tidak dibolehkan ada disitu yaitu barangnya(berupa budaq). Dalam hal ini bii’-nya tidak sah dan salam-nya tidak sah. Bii’-nya tidak sah, karena Shighot Ijaab-Qobuul-nya: “aslamtu…” bukan “bii’ tuka…”  Sedangkan Salam-nya tidak sah, karena barang-nya (budaq) tunai (ada disitu), tidak daynan (hutang/ indent).

Untuk sahnya barang yang kita beli secara Bii’ Salam (indent), maka ada 8 Persyaratan Yang Harus Terpenuhi Untuk Sahnya Bii’ Salam (Jual-Beli Secara Indent), yaitu:
1.  Barangnya Harus Disifatkan (Dijelaskan/ Diterangkan) Jenisnya
Misalnya kita membeli hewan ternak, maka disebutkan jenisnya seperti: ‘iibil (unta), baqor (sapi), ghonam (kambing), bighool (peranakan antara kuda dengan keledai), himaar (keledai), dll. Dan bila kita akan membeli sapi, maka kemudian disebutkan juga naw’-nya (macamnya), seperti: sapi Madura, sapi Bali, sapi NTT, sapi Australi dll. Sedangkan untuk kambing, disebutkan naw’-nya, seperti: kambing qibas, domba, etawa, jawa, garut dll. Jika tidak disebutkan jenis dan naw’-nya, maka tidak sah, karena nantinya akan timbul perselisihan. Kita sebutkan jenis dan naw’-nya, dengan sebab disebutkan sifat-sifat yang berbeda tadi, maka akan berbeda pula tsaman (harganya). Sapi Madura dengan sapi Australi beda harganya, umumnya sapi lokal lebih mahal dari pada sapi import.
Dalam Jual-Beli Salam (Bii’ Salam) harus disebutkan:
1.    Jenisnya dan naw’-nya. Maka salah satu dari keduanya, yaitu penjual-nya atau pembeli-nya harus menyebutkan, tentunya pembeli lebih dominan, karena dia adalah pihak yang butuh akan itu barang. Misalnya kita akan membeli budaq (jenisnya) dan disebutkan pula naw’-nya, yaitu seperti budaq dari Turky, India, Sudan, dll. Bila tidak disebutkan naw’-nya, maka pada akhirnya tidak sesuai dengan keinginan dari pembeli.
2.    Jenis kelaminnya juga harus dijelaskan, jantan atau betina.
3.    Disebutkan pula umur/ usia-nya, jika umur disebutkan taqriban (perkiraan/ kurang-lebih) bukan taqdidan. Bila kita membeli kambing untuk aqiqah atau qurban maka ada ketentuan syara yang mensyaratkan batas minimal umur yang akan dijadikan kambing untuk aqiqah atau qurban.
4.    Disebutkan pula tingginya (panjangnya), ukuran besar badannya.
5.    Disebutkan pula warna dari barang yang diinginkan, seperti warnanya putih, putih-nya masih perlu dijelaskan lagi, apakah putih yang kecoklatan? Atau putih yang bercampur warna hitam? Atau seluruh bulunya berwarna putih? 

Disebutkan juga jika ingin memesan burung, maka disebutkan jenisnya, karena burung banyak jenisnya dan juga macamnya (naw’-nya). Disebutkan pula ukuran dari burungnya ( besar atau kecil ), sebutkan juga apakah ingin memesan yang jantan atau betina, sebutkan juga umurnya, jika ia tahu, umumnya bila ia ahli dalam masalah burung, maka ia akan tahu berapa umur dari burung tersebut.
Si-pembeli menyebutkan jenis barang dan macam barang apa yang ingin dipesan atau dibelinya, bila si-pembeli tidak mengerti akan barang yang akan dibelinya, maka si-penjual yang menjelaskan tentang barang yang dijualnya, kemudian si-pembeli menjatuhkan pilihan pada barang yang ditawarkan oleh si-penjual.
Misalkan si-pembeli ingin membeli baju, maka disebutkan baju dari bahan jenis apa?, apakah baju dari bahan kapas, rami, sutra. Kapas, rami ataupun sutra adalah jenis, maka sebutkan pula naw’-nya (macamnya) dari jenis yang bahan yang kita pilih. Sebutkan ukuran panjang dan lebar dari baju yang akan dibeli, kehalusan/ kelembutannya atau kekasaran dari bahan bajunya.
Di qiyas dari gambaran-gambaran di atas, dalam hal jual-beli salam (indent) untuk jenis barang-barang yang lainnya, seperti jual-beli salam untuk beras, gandum, hewan ternak atau hewan peliharaan yang lainnya.
Jika kita membeli baju secara mutlaq dalam jual-beli salam, tanpa menyebutkan jenis, macam, warna, ukuran atau lainya, maka si-penjual tidak salah bila mendatangkan/ memberikan kepada si-pembeli baju yang belum dipotong (masih berupa bahan). 
2.  Penjual atau Pembeli Harus Menjelaskan Kadar/ Ukuran Barangnya
Dengan menyebutkan ukuran yang dapat menghilangkan ketidaktahuan si-pembeli akan itu barang.
Barang yang akan dijual secara indent harus diketahui ukurannya, baik dengan cara di meter, di taker, di timbang atau di hitung. Untuk barang yang di meter, maka disebutkan berapa meter barang yang akan dijual tersebut. Untuk barang yang di taker, maka disebutkan berapa liter barang yang akan dijual tersebut. Untuk barang yang di timbang, maka di sebutkan ukuran berat dari barang yang akan di jual tersebut. Untuk barang yang di hitung, maka disebutkan berapa banyak jumlah barang yang akan dijual tersebut. Harus disebutkan ukuran dari barang yang akan dijual secara indent tersebut dengan jelas.

3.  Barang Yang Diserahkan Membutuhkan Tempo/ Waktu Yang Cukup Lama.
Penjual atau Pembeli harus menyebutkan dengan jelas waktu penyerahan dari itu barang, misalkan seminggu, dua minggu, sebulan atau dua bulan sesuai kesepakatan dari kedua belah pihak. Bila tidak jelas disebutkan waktu penyerahan barangnya, maka dikhawatirkan pihak penjual tidak segera menyerahkan itu barang yang telah dibayar oleh pihak pembeli.
Andaikata si-penjual menyebutkan, bahwa ia akan menyerahkan barangnya setelah si-Zeid sudah datang, sedangkan si-Zeid tidak jelas kapan ia akan datang (bisa seminggu atau bisa juga sebulan), maka transaksinya tidak sah. Karena tidak diketahui dengan pasti kapan waktu penyerahan itu barang.

4.  Barangnya Harus Ada Pada Waktu Penyerahan Pada Gholib-nya.
Jadi barangnya harus ada pada saat barang itu diserahkan pada gholib-nya. Jika akan diberikan barang yang pada gholibnya tidak ada, misalnya tidak sedang musim, maka tidak sah. Andaikata dia Bii’ Salam (indent), pada masa yang tidak dapat diserahkan itu barang yang dipesan pada waktu jatuh tempo, maka tidak sah jual-belinya. Misalkan: “Saya jual kepada kamu ruthob (korma yang sudah matang) pada musim hujan.”  Maka transaksinya tidah sah, karena korma akan panen pada musim panas, sehingga pada saatnya jatuh tempo dia tidak dapat menyerahkan korma yang dijual secara salam (indent) tersebut.

5.  Menyebutkan Tempat Penyerahan Barangnya
Pada waktu transaksi Bii’ Salam, maka harus disebutkan tempat penyerahan barang pada waktu jatuh tempo. Misalkan terjadi transaksinya di pesawat, di kapal laut atau di atas mobil dan tidak mungkin diserahkan barangnya di tempat terjadinya transaki tersebut, maka harus disebutkan tempat untuk penyerahan barangnya, misalkan di rumah, di pasar, di gudang atau tempat lainnya. Misalkan untuk membawa itu barang ke tempat penyerahan membutuhkan biaya, maka biaya atau ongkos juga harus disepakati oleh kedua belah pihak. Apakah biayanya akan di tanggung oleh si-penjual atau oleh si-pembeli atau biayanya ditanggung bersama oleh keduanya, sehingga tidak terjadi perselisihan diantara keduanya.

6.  Tsaman (Harganya) Dapat Berupa Uang Ataupun Berupa Barang Juga 
Tsaman tidak harus berupa uang, meskipun pada umumnya kita membayar barang yang kita beli dengan menggunakan uang. Tsaman-nya dapat pula berupa barang, misalkan kita membeli mobil dengan harga 10 ton beras, atau dikenal dengan istilah: barter, yaitu menukar barang dengan barang lainnya. Tsaman-nya baik berupa uang atau barang, maka harus diketahui kadar-nya  (nilai-nya).  

7.  Saling Menerima Antara Penjual dan Pembeli
Saat transaksi si-penjual berkata: “Aku jual salam (indent) kepada kamu barang dengan harga ….” si-pembeli menjawab: “Qobiltu/ Isytaraytu (aku terima)” Maka hal itu sah, karena keduanya sudah saling terima. Pada majlis aqad jual-beli harus ada Ijaab-Qobuul.  Ijaab-Qobuul -nya diucapkan sebelum keduanya berpisah. Andaikata keduanya berpisah dan si-penjual belum menerima tsaman-nya (harga/ pembayarannya), maka batal-lah aqad-nya. Karena dalam trasaksi salam, tsaman (harganya) harus diserahkan terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian. Atau misalkan tsaman-nya diterima sebagian, maka dalam hal ini ada 2 pendapat. Pendapat yang pertama: “Tsaman yang sudah diterima pada saat sebelum berpisah, maka sah. Sedangkan tsaman yang di terima setelah berpisah, maka tidak sah.”  Sedangkan pendapat yang kedua: “Transaksinya tidak sah (batal) secara keseluruhannya.”
Andaikata si-pembeli salam (indent) memalingkan/ mengalihkan/ meng-over tsaman-nya (harga-nya), artinya tidak dibayar tunai (cash) kepada si-penjual. Misalkan si-Ahmad membeli mobil kepada si-Zeid, si-Ahmad  tidak menyerahkan uangnya secara tunai (kontan) kepada si-Zeid untuk membayar harga mobil yang dibelinya, akan tetapi ia menyuruh si-Zeid untuk meminta pembayaran mobil yang ia beli kepada si-Ali, karena Ali mempunyai hutang kepada si-Ahmad. Maka dalam hal ini transaksi salam-nya tidak sah, meskipun bila si-Zeid menyetujuinya. Karena dalam bii’ salam  uangnya harus naqdan (kontan) di terima.

8.  Transaksi Bii’ Salam (Indent) Aqad-nya Harus Kontan (Langsung) dan Tidak Boleh Ada Khiyaar Syarath dan Khiyaar ‘Aiib
Dalam transaksi Jual-Beli yang berlaku secara umum, ada 3 Khiyaar, yaitu: Khiyaar Majlis, Khiyaar Syarath, dan Khiyaar ‘Aiib. Tetapi dalam Bii’ Salam, yang ada hanya Khiyaar Majlis saja, sedangkan Khiyaar Syarath dan Khiyaar ‘Aiib tidak ada. Misalkan sudah terjadi transaski Bii’ Salam, keduan sudah melakukan Ijaab-Qobuul, tetapi sejam atau dua jam kemudian si-pembeli atau si-penjual berubah fikiran dan membatalkan transaksi yang sudah terjadi, maka hal itu di bolehkan asalkan keduanya (Penjual dan Pembeli) belum berpisah dari Majlis Aqad (tempat terjadinya transaksi Jual-Beli).

---oooOooo---


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar