Sabtu, 15 Oktober 2016

FIQIH (Mu’amalat) - Hukum Gadai ( Rohn )




Pokok Bahasan     :  FIQIH (Mu’amalat)
Judul                    :  Hukum Gadai ( Rohn )
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

HUKUM GADAI ( ROHN )



Gadai (rohn) bila menurut lughot artinya tsubuut (tetap), tidak dapat dirubah lagi. Gadai (rohn)  bila sudah qobadh, maka tidak dapat diganggu-gugat atau dibatalkan.

Gadai (rohn)  bila menurut Syara: Menjadikan benda/ harta yang berharga/ bernilai sebagai jaminan hutang. Misalkan kita berhutang kepada seseorang, maka agar orang yang meminjamkan uang kepada kita merasa tenang, maka kita perlu memberikan jaminan kepada si pemberi pinjaman. Jaminannya dapat berupa: Surat Tanah (Sertifikat), Kendaraan ataupun benda lainnya yang berharga atau bernilai. Benda/ barang yang dijadikan jaminan, harga/ nilainya dapat lebih besar atau lebih kecil dari nilai pinjaman. Tidak ada ketentuan dalam agama bahwa barang yang dijadikan jaminan nilainya harus lebih tinggi dari pada pinjaman atau hutangnya. Peminjam (yang menggadaikan barang) disebut: rohin, pemberi pinjaman (penerima barang gadai)disebut: murtahin, sedangkan transaksinya/ pekerjaannya disebut rohn.

Apabila kita akan meminjam uang kepada seseorang, maka agama memberikan tuntunan/ persyaratannya, yaitu: harus ada saksi, harus ada yang mencatat, harus ada ketentuan kapan akan di tunaikan atau di lunasi hutangnya, dan untuk ketenangan/ kenyamanan pemberi pinjaman maka si-peminjam perlu menyiapkan jaminan berupa benda atau barang berharga. 

Rohn (barang jaminan/ gadai) tidak disebutkan dalam aqad pinjaman, adanya rohn tidak ada di dalam aqad, karena dalam aqad tidak boleh adanya syarat. Setelah rohin  dan murtahin  selesai melakukan aqad pinjaman, baru kemudian si-rohin menyerahkan benda/ barang berharganya sebagai jaminan hutangnya. Di tunaikan atau di bayar dari itu jaminan, manakala suatu saat si-peminjam tidak ada kemampuan untuk membayar hutangnya. Apabila sudah jatuh tempo waktu pembayaran hutang, tetapi ternyata si-peminjam tidak ada  kemampuan untuk melunasi hutangnya, maka benda/ barang jaminan itu dapat dijual sebagai pembayaran hutangnya. Dalam hal ini si-rohin mengajak si-murtahin untuk menjual barang jaminan yang dipegang oleh si-murtahin. Apabila ada kelebihan penjualan barang jaminan (rohn), maka uang kelebihannya menjadi milik si-rohin. Akan tetapi apabila ternyata hasil penjualan barang jaminannya (rohn) kurang dari nilai hutangnya, maka si-rohin harus segera menambahkan kekurangan pembayaran hutangnya.   

Tidak sah rohn itu kecuali dengan Ijaab-Qobuul. Si-Rohin mengucapkan: “Rohn tuuka” (“Aku gadaikan kepadamu ini barang”). Si-Murtahin menjawab: “Qobiltu.” (“Aku terima.”) 

Syarat dari tiap-tiap satu dari yang dua, yaitu rohin dan murtahin:
1.    Rohin atau Murtahin harus Muthlaqon Tasharuf  (orang yang bebas mendayagunakan uangnya atau barangnya), tidak terhambat/ terhalang  oleh apapun juga.
2.    Keduanya harus sudah baligh (dewasa, maka anak kecil tidak sah)
3.    Aqilan  (berakal atau tidak gila).
4.    Harta atau barangnya tidak Mahjuur ‘alaiih (tidak bebas/ leluasa menggunakan hartanya). Mahjurin alaih dapat disebabkan:
a.     Karena hutangnya melebihi dari jumlah asset/ hartanya, sehingga hartanya di beslah (di sita). Dia punya utang banyak dan hartanya (asetnya) tidak dapat menutupi seluruh hutangnya.
b.     Kebodohan (bi-safah), karena kebodohannya maka dia tidak tahu nilai uang, maka dia tidak sah melakukan transaksi rohn (gadai), transaksi jual-beli ataupun transaki lainnya. Misalkan orang yang bodoh memberikan bantuan pembangunan masjid, maka tidak sah dan apabila ada dari keluarganya yang meminta kembali uang sumbangannya tersebut kepada panitia, maka harus dipulangkan kembali itu sumbangan.
c.     Tidak dalam kondisi mukroh (di paksa), bila dalam kondisi di paksa maka tidak sah transaksinya. Tidak boleh terjadinya Ijaab-Qobuul dalam kondisi mukroh (di paksa). Proses perceraian yang terjadi karena dipaksa juga tidak sah.

Tuan Syech Musonif (pengarang kitab) menyebutkan Ghobith  (catatan/ ketentuan) marhuun (barang yang gadai) yang boleh digadai:
“Semua barang yang boleh dijual, maka boleh juga digadaikan.”  Barang yang sah diperjual-belikan menurut aturan agama, maka boleh pula digadaikan (di-rohn-kan). Yang tidak sah diperjualbelikan maka tidak sah pula di-rohn-kan. Najis tidak sah diperjual-belikan, meskipun itu najis ada harganya, maka tidah sah pula untuk digadaikan. Najis jual-belinya tidak diperbolehkan, akan tetapi untuk kondisi dorurot sebagai pupuk maka dibolehkan. Bila bukan untuk tujuan sebagai pupuk, maka tidak diperbolehkan.

Jika sudah mantap/ resmi, istaqor’ro  (tetapnya) itu hutang dalam tanggungan, artinya si-rohin sudah menerima itu uang, maka baru boleh ada rohn (jaminan). Misalkan si-A meminjam uang 100 juta kepada si-B, dan si-B telah menyerahkan uangnya kepada si-A. si-A memberikan jaminan berupa mobilnya yang hilang, bila mobil itu diketemukan maka baru diserahkan itu jaminannya kepada si-B, maka hal itu belum istaqor’ro  fii dzim’mah, bila belum istaqoro’ maka belum sah rohn-nya.


Segala sesuatu barang yang boleh dijualnya, maka boleh dijadikan jaminan (gadai) atas hutang/ pinjaman, seperti tanah, rumah, mobil ataupun barang lainnya. Dalam qoidah-nya seperti itu, akan tetapi dalam pelaksanaannya ada pengecualiannya. Tidak semua yang dapat dijual dapat pula dijadikan jaminan (gadai). Ada barang yang dapat dijual, tetapi tidak boleh dijadikan jaminan. Contohnya semacam meletakkan kayu-kayu di atas tembok rumah kita, dan menjual haq agar orang dapat melewati tanah kita, dalam hal ini yang kita jual adalah manfaat dari tembok ataupun manfaat dari tanah yang kita miliki, bukan temboknya atau tanahnya yang kita jual. Jadi kita boleh menjual manfaat dari tembok atau tanah tersebut, tetapi kita tidak dapat menggadaikan itu tembok ataupun tanah tersebut.   

Gadai (rohn) dibolekan yang ada sangkut pautnya dengan hutang, bila tidak ada sangkut pautnya dengan hutang, maka tidak dibolehkan. Misalkan kita mau pinjam mobil kepada si-A, si-A mau meminjamkan mobilnya bila kita memberikan jaminan berupa barang atau uang kepadanya, maka dalam hal ini tidak dibolehkan atau tidak sah. Meminjamkan pada dasarnya adalah amanah, maka bila yang meminjamkannya yakin/ percaya dengan orang yang dipinjamkan, maka silahkan dipinjamkan, bila ia tidak yakin, maka boleh ia tidak meminjamkan. Dalam hal ini yang meminjamkan barang (mobil) tidak boleh meminta uang ataupun barang sebagai jaminan kepada si-peminjam.

Gadai (rohn) adanya dalam masalah hutang-piutang, bila dalam pinjam-meminjam tidak ada jaminan (rohn). Pinjam-meminjam pada dasarnya amanah, maka bila barang yang kita pinjam itu rusak atau hilang, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Misalkan barang yang kita pinjam sudah kita jaga (di kunci), tetapi ternyata tetap hilang, maka tidak ada kewajiban bagi kita untuk menggantinya dan yang meminjamkan tidak dapat menuntut, karena pinjam-meminjam dasarnya adalah amanah.

Jika sudah Istaqor’ro fi Jim’ah,  sudah tetap adanya hutang dalam tanggungan, artinya sudah pasti terjadinya hutang, maka baru boleh ada aqad gadai (rohn). Si-Rohin mengucapkan: “Rohn tuuka” (“Aku gadaikan kepadamu ini barang”). Si-Murtahin menjawab: “Qobiltu.” (“Aku terima.”)  Aqad gadai (rohn) di luar aqad jual-beli ataupun pinjam-meminjam.

Tuan Syech Mushonif  (pengarang kitab) mengeluarkan/ mengecualikan kata-kata: “bi duyuun”  (hutang-piutang) yang menjadi tanggung jawab kita dari pada ‘ayn  (barang). Jika pinjam-meminjam barang, maka tidak dibolehkan atau tidak sah ada jaminan/ gadai (rohn). Maka tidak sah menggadai (rohn) atas hutang tadi semacam ‘ayn maghshuubah, yaitu semacam benda/ barang yang dirampas, benda yang dipinjam, atau benda yang seumpama dengan keduanya dari pada benda-benda yang berada dalam tanggungan.

Andaikata si-Zeid  merampas barang si-Ali, sampai saatnya si-Ali menuntut agar si-Zeid mengembalikan barangnya. Si-Zeid meminta kepada si-Ali untuk memberikan jaminan berupa jam tangan kepadanya sebelum si-Zeid mengembalikan barang milik dari si-Ali. Maka dalam hal ini tidak sah menjadikan ‘ayn (berupa jam) tadi sebagai jaminan (rohn), karena hal ini bukan hutang-piutang  ataupun pinjam-meminjam, tetapi merampas barang.   

Dalam hal barang pinjaman seperti itu juga, misalkan si-Zeid meminjam suatu barang berupa kitab kepada si-Ali dan si-Ali meminta kepada Zeid untuk menyerahkan sesuatu barang berupa jam tangan sebagai jaminan (rohn), maka dalam hal ini jaminannya (rohn) tidah sah. Rohn (jaminan) ada kaitannya dengan hutang-piutang, maka pinjam-meminjam benda/ barang tidak sah bila ada jaminan. Bila percaya silahkan dipinjamkan, bila tidak percaya maka tidak usah dipinjamkan.
Jika sekedar untuk jaminan saja, dan tidak ada kaitannya dengan hukum syara (agama), maka jaminan (rohn) dibolehkan. 

Dikecualikan/ dikeluarkan juga dari kata-kata: “istaqor’ro”   dari pada duyuun (hutang). Hutang yang belum istaqor’ro  (tetap), maka belum mantap hutangnya. Misalkan kita “bii’ salam” dengan seseorang dan kita sudah menyerahkan uang pembayarannya, maka si-penjual tadi mempunyai hutang kepada kita karena ia belum menyerahkan barang yang kita pesan. Dalam hal ini transaksi bii’ salam-nya belum istaqor’ro, karena kita dapat saja membatalkan pesanan kita.
Tsaman (harga/ pembayarannya) demikian juga, misalkan kita membeli barang dan kita meminta kesempatan untuk berfikir selama 3 hari, maka sebelum waktu 3 hari selesai, maka tsaman-nya tadi belum dapat dijadikan jaminan, karena ada kemungkinan transaksi jual-belinya batal sebelum waktu 3 hari.

Si-rohin (orang yang berhutang/ menggadaikan barang) boleh membatalkan Ijaab-Qobuul-nya dalam hal menggadaikan barangnya: “Rohn tuuka” (“Aku gadaikan kepadamu ini barang”), selama uang (pinjamannya) belum diterima. Atau si-rohin dapat pula membatalkan Ijaab-Qobuul-nya apabila ia belum menyerahkan barang gadaiannya kepada si-murtahin (pemberi hutang/ penerima barang gadaian), padahal ia sudah menerima uang pinjamannya dari si-murtahin.

Jika ‘ayn (barang) yang digunakan sebagai jaminan hutang sudah diterima oleh orang yang sah menerimannya (si-murtahin atau wakilnya), maka Ijaab-Qobuul pinjamannya tidak dapat dibatalkan. Apabila si-murtahin sudah menerima barang jaminan/ barang gadaiannya, maka si-rohin tidak boleh membatalkan transaksi pinjamannya.    

Rohn (barang gadai) kedudukannya atas dasar amanah, jadi manakala barang yang digadaikan (yang dipegang oleh si-murtahin) hilang, maka hutang si-rohin tidak dapat dikurangi atau dihapuskan. Misalkan si-rohin menggadaikan mobilnya kepada si-murtahin, kemudian mobil yang berada di tangan si-murtahin hilang/ rusak, maka hutang si-rohin tetap harus dibayarkan sesuai besarnya pinjaman kepada si-murtahin dan tidak boleh dikurangi. Si-rohin tidak dapat menuntut kepada si-murtahin untuk mengganti barang jaminan yang hilang/ rusak tadi, karena rohn tersebut dasarnya adalah amanah. Dengan catatan tidak terjadi kelalaian atau kesengajaan dari si-murtahin yang mengakibatkan hilangnya/ rusaknya barang jaminan tadi, bila terjadi kelalaian atau kesengajaan dari si-murtahin, maka barang yang hilang/ rusak tadi wajib diganti. Misalkan si-murtahin sudah menaruh mobil (jaminan) tadi di dalam garasi dan mobil serta garasinya sudah di kunci, apabila mobil tersebut tetap hilang, maka tidak ada kewajiban dari si-murtahin untuk mengganti mobil yang hilang tadi. Dan si-rohin tetap harus mengganti uang yang dipinjamnya secara penuh, tanpa dikurangi oleh harga mobil yang hilang tadi. Terkecuali bila si-rohin sudah membayar lunas hutangnya dan ia bermaksud menarik mobil yang berada di tangan si-murtahin, tetapi si-murtahin mencegah agar barang jaminannya jangan diambil terlebih dahulu, tetapi pada akhirnya mobil yang digunakan sebagai jaminan tersebut rusak atau hilang, maka si-murtahin wajib mengganti. Terkecuali juga bila barang jaminan berupa mobil atau binatang tadi digunakan melebihi kapasitas daya angkutnya sehingga mengakibatkan menjadi rusak, maka si-murtahin wajib mengganti.

Si-murtahin (pemilik uang/ penerima barang gadaian) boleh memanfaatkan barang gadaian yang ada padanya dengan catatan tidak mengurangi nilai/ harga  dari barang gadaian tadi. Misalkan si-rohin menggadaikan mobil atau motor, maka si-murtahin boleh menggunakan mobil atau motor tadi. Bila yang digadaikan rumah, maka si-murtahin dapat menempati rumah yang digadaikan tadi, tetapi tidak boleh dibangun/ dirubah yang kemungkinan dapat mengurangi nilai rumah tadi. Apabila si-rohin menggadaikan sawah, maka si-murtahin tidak boleh memanfaatkan itu sawah untuk ditanami, karena akan mengurangi manfaat atau merusak itu tanah, seperti digali, dibajak atau lainnya.

Si-rohin (pemilik barang gadai/ peminjam uang) wajib membiayai barang yang digadaikannya tadi, seperti misalkan si-rohin menggadaikan kudanya kepada si-murtahin, maka biaya makan sehari-hari dari kuda tadi menjadi tanggungan si-rohin (pemilik kuda), sedangkan si-murtahin tidak ada kewajiban memberi makan dari kuda tadi. Atau misalkan si-rohin mengadaikan tanaman, maka yang wajib merawat itu tanaman seperti menyiram atau memberikan pupuk adalah si-rohin.

Karena dasarnya amanah, maka si-murtahin tidak wajib mengganti/ menanggung atas kerusakan atau kehilangan barang milik si-rohin yang berada di tangannya kecuali bila ada kelalaian (ta’adii).  Tidak menjadi gugur atau berkurang hutang dari si-rohin dengan sebab binasa/ hilang/ rusak itu barang jaminan.

Andaikata si-murtahin mengaku bahwa barang gadaian yang ada padanya hilang atau mati atau lainnya, tetapi si-murtahin tidak menyebutkan sebab binasa/ hilang/ matinya, maka apabila hakim menyuruhnya untuk bersumpah atas nama Alloh dan si-murtahin ini mengucapkan: “Wallohi bahwa barang yang dititipkan kepada saya sebagai jaminan (rohn) sudah hilang/ binasa”, maka sumpahnya tersebut dapat dibenarkan atau dapat dipercaya dan tidak dapat dibantah lagi.

Jika si-murtahin menyebutkan sebab yang nyata dari binasa/ hilang/ matinya barang titipan, maka hal itu tidak dapat diterima kecuali dengan adanya bayinnah (saksi). Jika ada saksi maka perkataannya dibenarkan dan apabila tidak ada saksi maka perkataannya dikalahkan.

Jika si-murtahin mengaku bahwa ia sudah mengembalikan barang gadaian milik dari si-rohin, tetapi si-rohin merasa belum menerima barang gadaian miliknya, maka tidak dapat diterima pengakuan dari si-murtahin kecuali dengan adanya bayinnah (saksi).

Jika si-murtahin sudah menerima barang gadaian sebagiannya, misalnya dari 2 motor, ia sudah menerima 1 motor dari si-rohin yang merupakan kewajiban dari si-rohin untuk menyerahkan barang sebagai jaminan atas hutangnya, maka si-murtahin tidak dapat melepas/ membatalkan hutangnya dan tidak dapat ditarik kembali, meskipun jaminan yang sudah diterima oleh si-murtahin baru sebagian saja sampai si-rohin menunaikan semua kewajiban menyerahkan seluruh barang gadaiannya.
 


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar