Pokok
Bahasan : FIQIH (Mu’amalat)
Judul : Hukum Gadai ( Rohn )
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
HUKUM GADAI (
ROHN )
Gadai
(rohn) bila menurut lughot artinya tsubuut (tetap), tidak dapat dirubah
lagi. Gadai (rohn) bila sudah qobadh, maka tidak dapat
diganggu-gugat atau dibatalkan.
Gadai
(rohn) bila menurut Syara: Menjadikan benda/ harta
yang berharga/ bernilai sebagai jaminan hutang. Misalkan kita berhutang kepada
seseorang, maka agar orang yang meminjamkan uang kepada kita merasa tenang,
maka kita perlu memberikan jaminan kepada si pemberi pinjaman. Jaminannya dapat
berupa: Surat Tanah (Sertifikat), Kendaraan ataupun benda lainnya yang berharga
atau bernilai. Benda/ barang yang dijadikan jaminan, harga/ nilainya dapat
lebih besar atau lebih kecil dari nilai pinjaman. Tidak ada ketentuan dalam
agama bahwa barang yang dijadikan jaminan nilainya harus lebih tinggi dari pada
pinjaman atau hutangnya. Peminjam (yang menggadaikan barang) disebut: rohin, pemberi pinjaman (penerima barang gadai)disebut: murtahin, sedangkan transaksinya/
pekerjaannya disebut rohn.
Apabila
kita akan meminjam uang kepada seseorang, maka agama memberikan tuntunan/
persyaratannya, yaitu: harus ada saksi, harus ada yang mencatat, harus ada
ketentuan kapan akan di tunaikan atau di lunasi hutangnya, dan untuk
ketenangan/ kenyamanan pemberi pinjaman maka si-peminjam perlu menyiapkan
jaminan berupa benda atau barang berharga.
Rohn (barang
jaminan/ gadai) tidak disebutkan dalam aqad pinjaman, adanya rohn tidak ada di dalam aqad, karena
dalam aqad tidak boleh adanya syarat. Setelah rohin dan murtahin
selesai melakukan aqad pinjaman, baru kemudian si-rohin menyerahkan benda/ barang berharganya sebagai jaminan
hutangnya. Di tunaikan atau di bayar dari itu jaminan, manakala suatu saat
si-peminjam tidak ada kemampuan untuk membayar hutangnya. Apabila sudah jatuh
tempo waktu pembayaran hutang, tetapi ternyata si-peminjam tidak ada kemampuan untuk melunasi hutangnya, maka
benda/ barang jaminan itu dapat dijual sebagai pembayaran hutangnya. Dalam hal
ini si-rohin mengajak si-murtahin untuk menjual barang jaminan yang dipegang
oleh si-murtahin. Apabila ada kelebihan penjualan barang jaminan (rohn), maka
uang kelebihannya menjadi milik si-rohin. Akan tetapi apabila ternyata hasil
penjualan barang jaminannya (rohn) kurang dari nilai hutangnya, maka si-rohin
harus segera menambahkan kekurangan pembayaran hutangnya.
Tidak
sah rohn itu kecuali dengan Ijaab-Qobuul.
Si-Rohin mengucapkan: “Rohn tuuka” (“Aku gadaikan kepadamu
ini barang”). Si-Murtahin menjawab: “Qobiltu.” (“Aku terima.”)
Syarat
dari tiap-tiap satu dari yang dua, yaitu rohin dan murtahin:
1. Rohin atau
Murtahin harus Muthlaqon Tasharuf (orang yang bebas mendayagunakan uangnya atau
barangnya), tidak terhambat/ terhalang
oleh apapun juga.
2. Keduanya
harus sudah baligh (dewasa, maka anak kecil tidak sah)
3. Aqilan
(berakal atau tidak gila).
4. Harta atau
barangnya tidak Mahjuur ‘alaiih
(tidak bebas/ leluasa menggunakan hartanya). Mahjurin alaih dapat disebabkan:
a. Karena
hutangnya melebihi dari jumlah asset/ hartanya, sehingga hartanya di beslah (di
sita). Dia punya utang banyak dan hartanya (asetnya) tidak dapat menutupi
seluruh hutangnya.
b. Kebodohan (bi-safah), karena kebodohannya maka dia
tidak tahu nilai uang, maka dia tidak sah melakukan transaksi rohn (gadai),
transaksi jual-beli ataupun transaki lainnya. Misalkan orang yang bodoh
memberikan bantuan pembangunan masjid, maka tidak sah dan apabila ada dari
keluarganya yang meminta kembali uang sumbangannya tersebut kepada panitia,
maka harus dipulangkan kembali itu sumbangan.
c. Tidak dalam
kondisi mukroh (di paksa), bila dalam
kondisi di paksa maka tidak sah transaksinya. Tidak boleh terjadinya
Ijaab-Qobuul dalam kondisi mukroh (di
paksa). Proses perceraian yang terjadi karena dipaksa juga tidak sah.
Tuan
Syech Musonif (pengarang kitab) menyebutkan Ghobith
(catatan/ ketentuan) marhuun (barang yang gadai) yang boleh
digadai:
“Semua barang
yang boleh dijual, maka boleh juga digadaikan.” Barang yang sah diperjual-belikan menurut
aturan agama, maka boleh pula digadaikan (di-rohn-kan). Yang tidak sah
diperjualbelikan maka tidak sah pula di-rohn-kan. Najis tidak sah
diperjual-belikan, meskipun itu najis ada harganya, maka tidah sah pula untuk
digadaikan. Najis jual-belinya tidak diperbolehkan, akan tetapi untuk kondisi
dorurot sebagai pupuk maka dibolehkan. Bila bukan untuk tujuan sebagai pupuk,
maka tidak diperbolehkan.
Jika
sudah mantap/ resmi, istaqor’ro (tetapnya) itu hutang dalam tanggungan,
artinya si-rohin sudah menerima itu uang, maka baru boleh ada rohn (jaminan).
Misalkan si-A meminjam uang 100 juta kepada si-B, dan si-B telah menyerahkan
uangnya kepada si-A. si-A memberikan jaminan berupa mobilnya yang hilang, bila
mobil itu diketemukan maka baru diserahkan itu jaminannya kepada si-B, maka hal
itu belum istaqor’ro fii dzim’mah,
bila belum istaqoro’ maka belum sah rohn-nya.
Segala
sesuatu barang yang boleh dijualnya, maka boleh dijadikan jaminan (gadai) atas
hutang/ pinjaman, seperti tanah, rumah, mobil ataupun barang lainnya. Dalam qoidah-nya seperti itu, akan tetapi dalam
pelaksanaannya ada pengecualiannya. Tidak semua yang dapat dijual dapat pula
dijadikan jaminan (gadai). Ada barang yang dapat dijual, tetapi tidak boleh
dijadikan jaminan. Contohnya semacam meletakkan kayu-kayu di atas tembok rumah
kita, dan menjual haq agar orang dapat melewati tanah kita, dalam hal ini yang
kita jual adalah manfaat dari tembok ataupun manfaat dari tanah yang kita
miliki, bukan temboknya atau tanahnya yang kita jual. Jadi kita boleh menjual
manfaat dari tembok atau tanah tersebut, tetapi kita tidak dapat menggadaikan
itu tembok ataupun tanah tersebut.
Gadai
(rohn) dibolekan yang ada sangkut pautnya dengan hutang, bila tidak ada sangkut
pautnya dengan hutang, maka tidak dibolehkan. Misalkan kita mau pinjam mobil
kepada si-A, si-A mau meminjamkan mobilnya bila kita memberikan jaminan berupa
barang atau uang kepadanya, maka dalam hal ini tidak dibolehkan atau tidak sah.
Meminjamkan pada dasarnya adalah amanah, maka bila yang meminjamkannya yakin/
percaya dengan orang yang dipinjamkan, maka silahkan dipinjamkan, bila ia tidak
yakin, maka boleh ia tidak meminjamkan. Dalam hal ini yang meminjamkan barang
(mobil) tidak boleh meminta uang ataupun barang sebagai jaminan kepada
si-peminjam.
Gadai
(rohn) adanya dalam masalah hutang-piutang, bila dalam pinjam-meminjam tidak
ada jaminan (rohn). Pinjam-meminjam pada dasarnya amanah, maka bila barang yang
kita pinjam itu rusak atau hilang, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya.
Misalkan barang yang kita pinjam sudah kita jaga (di kunci), tetapi ternyata tetap
hilang, maka tidak ada kewajiban bagi kita untuk menggantinya dan yang
meminjamkan tidak dapat menuntut, karena pinjam-meminjam dasarnya adalah amanah.
Jika
sudah Istaqor’ro fi Jim’ah, sudah tetap adanya hutang dalam tanggungan,
artinya sudah pasti terjadinya hutang, maka baru boleh ada aqad gadai (rohn). Si-Rohin mengucapkan: “Rohn tuuka” (“Aku
gadaikan kepadamu ini barang”). Si-Murtahin menjawab: “Qobiltu.” (“Aku terima.”) Aqad gadai (rohn) di luar aqad jual-beli
ataupun pinjam-meminjam.
Tuan
Syech Mushonif (pengarang kitab) mengeluarkan/ mengecualikan
kata-kata: “bi duyuun” (hutang-piutang) yang menjadi tanggung jawab
kita dari pada ‘ayn (barang). Jika pinjam-meminjam barang, maka
tidak dibolehkan atau tidak sah ada jaminan/ gadai (rohn). Maka tidak sah
menggadai (rohn) atas hutang tadi semacam ‘ayn
maghshuubah, yaitu semacam
benda/ barang yang dirampas, benda yang dipinjam, atau benda yang seumpama
dengan keduanya dari pada benda-benda yang berada dalam tanggungan.
Andaikata
si-Zeid merampas barang si-Ali, sampai
saatnya si-Ali menuntut agar si-Zeid mengembalikan barangnya. Si-Zeid meminta
kepada si-Ali untuk memberikan jaminan berupa jam tangan kepadanya sebelum
si-Zeid mengembalikan barang milik dari si-Ali. Maka dalam hal ini tidak sah
menjadikan ‘ayn (berupa jam) tadi sebagai jaminan (rohn), karena hal ini bukan hutang-piutang
ataupun pinjam-meminjam, tetapi merampas
barang.
Dalam
hal barang pinjaman seperti itu juga, misalkan si-Zeid meminjam suatu barang
berupa kitab kepada si-Ali dan si-Ali meminta kepada Zeid untuk menyerahkan
sesuatu barang berupa jam tangan sebagai jaminan (rohn), maka dalam hal ini
jaminannya (rohn) tidah sah. Rohn (jaminan) ada kaitannya dengan
hutang-piutang, maka pinjam-meminjam benda/ barang tidak sah bila ada jaminan. Bila
percaya silahkan dipinjamkan, bila tidak percaya maka tidak usah dipinjamkan.
Jika
sekedar untuk jaminan saja, dan tidak ada kaitannya dengan hukum syara (agama),
maka jaminan (rohn) dibolehkan.
Dikecualikan/
dikeluarkan juga dari kata-kata: “istaqor’ro” dari pada duyuun
(hutang). Hutang yang belum istaqor’ro (tetap), maka belum mantap hutangnya.
Misalkan kita “bii’ salam” dengan seseorang dan kita sudah menyerahkan uang
pembayarannya, maka si-penjual tadi mempunyai hutang kepada kita karena ia belum
menyerahkan barang yang kita pesan. Dalam hal ini transaksi bii’ salam-nya
belum istaqor’ro, karena kita dapat
saja membatalkan pesanan kita.
Tsaman
(harga/ pembayarannya) demikian juga, misalkan kita membeli barang dan kita
meminta kesempatan untuk berfikir selama 3 hari, maka sebelum waktu 3 hari
selesai, maka tsaman-nya tadi belum dapat dijadikan jaminan, karena ada
kemungkinan transaksi jual-belinya batal sebelum waktu 3 hari.
Si-rohin (orang yang berhutang/
menggadaikan barang) boleh membatalkan Ijaab-Qobuul-nya
dalam hal menggadaikan barangnya: “Rohn
tuuka” (“Aku gadaikan kepadamu ini barang”), selama uang (pinjamannya)
belum diterima. Atau si-rohin dapat pula membatalkan Ijaab-Qobuul-nya apabila ia belum menyerahkan barang gadaiannya
kepada si-murtahin (pemberi hutang/
penerima barang gadaian), padahal ia sudah menerima uang pinjamannya dari
si-murtahin.
Jika
‘ayn (barang) yang digunakan sebagai jaminan hutang sudah diterima oleh orang
yang sah menerimannya (si-murtahin atau wakilnya), maka Ijaab-Qobuul
pinjamannya tidak dapat dibatalkan. Apabila si-murtahin sudah menerima barang
jaminan/ barang gadaiannya, maka si-rohin tidak boleh membatalkan transaksi
pinjamannya.
Rohn
(barang gadai) kedudukannya atas dasar amanah, jadi manakala barang yang
digadaikan (yang dipegang oleh si-murtahin) hilang, maka hutang si-rohin tidak
dapat dikurangi atau dihapuskan. Misalkan si-rohin menggadaikan mobilnya kepada
si-murtahin, kemudian mobil yang berada di tangan si-murtahin hilang/ rusak,
maka hutang si-rohin tetap harus dibayarkan sesuai besarnya pinjaman kepada
si-murtahin dan tidak boleh dikurangi. Si-rohin tidak dapat menuntut kepada
si-murtahin untuk mengganti barang jaminan yang hilang/ rusak tadi, karena rohn
tersebut dasarnya adalah amanah. Dengan catatan tidak terjadi kelalaian atau
kesengajaan dari si-murtahin yang mengakibatkan hilangnya/ rusaknya barang
jaminan tadi, bila terjadi kelalaian atau kesengajaan dari si-murtahin, maka
barang yang hilang/ rusak tadi wajib diganti. Misalkan si-murtahin sudah
menaruh mobil (jaminan) tadi di dalam garasi dan mobil serta garasinya sudah di
kunci, apabila mobil tersebut tetap hilang, maka tidak ada kewajiban dari
si-murtahin untuk mengganti mobil yang hilang tadi. Dan si-rohin tetap harus
mengganti uang yang dipinjamnya secara penuh, tanpa dikurangi oleh harga mobil
yang hilang tadi. Terkecuali bila si-rohin sudah membayar lunas hutangnya dan
ia bermaksud menarik mobil yang berada di tangan si-murtahin, tetapi si-murtahin
mencegah agar barang jaminannya jangan diambil terlebih dahulu, tetapi pada
akhirnya mobil yang digunakan sebagai jaminan tersebut rusak atau hilang, maka
si-murtahin wajib mengganti. Terkecuali juga bila barang jaminan berupa mobil
atau binatang tadi digunakan melebihi kapasitas daya angkutnya sehingga
mengakibatkan menjadi rusak, maka si-murtahin wajib mengganti.
Si-murtahin
(pemilik uang/ penerima barang gadaian) boleh memanfaatkan barang gadaian yang
ada padanya dengan catatan tidak mengurangi nilai/ harga dari barang gadaian tadi. Misalkan si-rohin
menggadaikan mobil atau motor, maka si-murtahin boleh menggunakan mobil atau
motor tadi. Bila yang digadaikan rumah, maka si-murtahin dapat menempati rumah
yang digadaikan tadi, tetapi tidak boleh dibangun/ dirubah yang kemungkinan
dapat mengurangi nilai rumah tadi. Apabila si-rohin menggadaikan sawah, maka
si-murtahin tidak boleh memanfaatkan itu sawah untuk ditanami, karena akan
mengurangi manfaat atau merusak itu tanah, seperti digali, dibajak atau lainnya.
Si-rohin
(pemilik barang gadai/ peminjam uang) wajib membiayai barang yang digadaikannya
tadi, seperti misalkan si-rohin menggadaikan kudanya kepada si-murtahin, maka
biaya makan sehari-hari dari kuda tadi menjadi tanggungan si-rohin (pemilik
kuda), sedangkan si-murtahin tidak ada kewajiban memberi makan dari kuda tadi.
Atau misalkan si-rohin mengadaikan tanaman, maka yang wajib merawat itu tanaman
seperti menyiram atau memberikan pupuk adalah si-rohin.
Karena
dasarnya amanah, maka si-murtahin tidak wajib mengganti/ menanggung atas kerusakan
atau kehilangan barang milik si-rohin yang berada di tangannya kecuali bila ada
kelalaian (ta’adii). Tidak menjadi gugur atau berkurang hutang dari
si-rohin dengan sebab binasa/ hilang/ rusak itu barang jaminan.
Andaikata
si-murtahin mengaku bahwa barang gadaian yang ada padanya hilang atau mati atau
lainnya, tetapi si-murtahin tidak menyebutkan sebab binasa/ hilang/ matinya,
maka apabila hakim menyuruhnya untuk bersumpah atas nama Alloh dan si-murtahin
ini mengucapkan: “Wallohi bahwa barang yang dititipkan kepada saya sebagai
jaminan (rohn) sudah hilang/ binasa”, maka sumpahnya tersebut dapat dibenarkan
atau dapat dipercaya dan tidak dapat dibantah lagi.
Jika
si-murtahin menyebutkan sebab yang nyata dari binasa/ hilang/ matinya barang
titipan, maka hal itu tidak dapat diterima kecuali dengan adanya bayinnah (saksi). Jika ada saksi maka
perkataannya dibenarkan dan apabila tidak ada saksi maka perkataannya dikalahkan.
Jika
si-murtahin mengaku bahwa ia sudah mengembalikan barang gadaian milik dari
si-rohin, tetapi si-rohin merasa belum menerima barang gadaian miliknya, maka
tidak dapat diterima pengakuan dari si-murtahin kecuali dengan adanya bayinnah (saksi).
Jika
si-murtahin sudah menerima barang gadaian sebagiannya, misalnya dari 2 motor,
ia sudah menerima 1 motor dari si-rohin yang merupakan kewajiban dari si-rohin
untuk menyerahkan barang sebagai jaminan atas hutangnya, maka si-murtahin tidak
dapat melepas/ membatalkan hutangnya dan tidak dapat ditarik kembali, meskipun
jaminan yang sudah diterima oleh si-murtahin baru sebagian saja sampai si-rohin
menunaikan semua kewajiban menyerahkan seluruh barang gadaiannya.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar