Pokok
Bahasan : FIQIH ( Mu’amalat )
Judul : Hukum Khiyaar
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
HUKUM KHIYAAR
Hukum
Khiyaar adalah memilih apakah akan diteruskan atau dihentikan
jual-belinya. Mau tidak mau pihak
penjual atau pembeli ada haq untuk khiyaar, setelah terjadi Ijaab Qobuul pembeli ataupun penjual ada haq untuk
membatalkan transaksi/ aqad. Andaikata kedua belah pihak bersepakat untuk
memastikan aqad terjadi tanpa adanya khiyaar, maka tidak sah aqad jual-belinya.
Agar tidak terjadi penyesalan dikemudian hari, maka agama mengatur agar ada
khiyaar dalam aqad jual-beli.
Ada
sekitar 7 macam khiyaar, akan tetapi yang dikenal secara umum dalam kitab-kitab
Fiqih ada 3 macam, yaitu:
1. Khiyaar Majlis: Selama masih ada di majlis
aqad (majlis jual-beli) dan belum berpisah menurut public opini/ pendapat umum/
adat kebiasaan, maka penjual atau pembeli boleh membatalkan aqad jual-belinya.
Meskipun keduanya berada berjam-jam atau berhari-hari dalam satu majlis aqad,
asalkan melum berpisah, maka salah satu atau keduanya dapat membatalkan aqad
jual-belinya. Bahkan andaikata kedua belah pihak menafikan, sepakat untuk tidak mengunakan haq Khiyar Majlis, maka
batal/ tidak sah aqad jual-belinya.
2. Khiyaar Syarath: Sudah terjadi transaksi,
tetapi salah satu pihak (penjual atau pembeli) meminta diberikan kesempatan
untuk berfikir saat Ijaab Qobuul,
misalnya selama 3 hari, apabila dalam jangka waktu sebelum 3 hari salah satu
pihak berubah fikiran maka transaksi dapat dibatalkan. Baik transaksi sudah
dibayar atau belum dibayar, bila transaksi sudah dibayar dan salah satu pihak
membatalkan transaksi, maka pihak penjual harus mengembalikan uang kepada
si-pembeli secara utuh/ apa adanya, tanpa ada potongan sama sekali.
3. Khiyaar ‘Aiib: Manakala sudah terjadi
transaksi jual-beli, tetapi ternyata barang yang kita beli ternyata ada cacat/
aib-nya yang kita tidak lihat pada saat transaksi, maka kita dapat segera
melaporkannya kepada si-penjual, kita dapat menukar barang atau kita dapat
membatalkan transaksi jual-belinya.
Dua
orang (penjual dan pembeli) yang melaksanakan transaksi jual-beli, keduanya
mempunyai haq untuk Khiyaar, keduanya mempuyai haq untuk dapat melanjutkan atau
membatalkan transaksi aqad jual-beli selama keduanya masih dalam majlis aqad.
Andaikata
salah satu pihak, misalkan penjual menyatakan bahwa ia ingin melanjutkan
transaksi jual-beli, sedangkan pihak yang lain, yaitu pembeli menyatakan bahwa
ia akan membatalkan transaksi jual-beli, maka yang dimenangkan adalah yang fasakh (membatalkan) transaksi, agar tidak terjadi penyesalan di kemudian
hari.
Tujuan
utama dibuat ketentuan Hukum Khiyaar adalah semata-mata untuk memungkinkan/
membolehkan seseorang untuk fasakh (membatalkan) transaksi jual-belinya.
Jadi tujuan utama khiyaar adalah bukan untuk melanggengkan/ melanjutkan
jual-beli, tetapi malah memberikan kesempatan orang untuk fasakh (membatalkan)
transaksi jual-beli dari salah satu pihak.
Khiyaar
Majlis
Tetap
ada bagi keduanya Khiyaar Majlis, boleh “mikir-mikir”, boleh “milih-milih”
selama keduanya belum berpisah dari majlis aqad. Seluruh jenis jual-beli sudah
boleh ada ketentuan khiyaar dari bermacam-macam transaksi jual-beli, seperti bii’ salam atau bii’
indent (membayar terlebih dahulu
barang diserahkan belakangan). Bii’ untuk barang-barang yang mengandung ribawi,
seperti bii’ math’umaat (makanan pokok), bii’ naqdain.
Khiyaar
Majlis berlaku selama keduanya (penjual atau pembeli) belum tafaruq (berpisah) dari majlis aqad,
selama tidak berpisah keduanya dalam ukuran
public opini/ pendapat umum/ adat kebiasaan. Selama tidak ada batasan
yang pasti menurut syara (agama), maka ukurannya dikembalikan kepada pendapat
umum/ adat kebiasaan.
Terputusnya
Khiyaar Majlis adakalanya karena berpisahnya antara penjual dan pembeli.
Misalkan penjual dan pembeli
berkumpul di satu ruangan (misalkan ruang tamu), apabila salah satu pihak
keluar ruang tamu tersebut (majlis aqad), maka dihukumkan ia telah berpisah dan
haq Khiyaar Majlisnya hilang. Aqad jual-beli antara keduanya sudah dilaksanakan
di majlis aqad (misalkan di ruang tamu), selama keduanya belum keluar dari
majlis aqad, maka transaksi jual-belinya masih dapat dibatalkan, akan tetapi jika
salah satu dari keduanya sudah keluar dari majlis aqad, misalkan pindah ke
ruang makan, maka sudah terputus haq-nya untuk membatalkan aqad
jual-belinya.
Berpisahnya
ia punya badan keduanya dari majlis aqad, dikatakan berpisahnya keduanya dari
majlis adalah menurut pendapat public opini/ pendapat umum/ adat kebiasaan.
Jika pendapat umum menganggap/ menyatakan bahwa
hal ini dianggap berpisah, maka gugur haq untuk mematalkan transaksi
jual-belinya. Akan tetapi apabila menurut pendapat umum dianggap belum berpisah,
maka ia masih memiliki haq untuk membatalkan transaksi jual-belinya.
Bila
transaksi jual-belinya dilakukan di jalanan atau di tanah lapang yang luas,
maka dikatakan berpisah adalah jalannya salah satu dari kedua belah pihak
dengan cara membelakangi dari yang lainnya, maka sejak saat itu gugur haq
Khiyaar Majlis-nya.
Jika
transaksi jual-belinya dilakukan di satu rumah yang besar dan banyak kamarnya,
dikatakan berpisah bagi keduanya apabila berpindah salah satu dari keduanya
(penjual atau pembeli) ke kamar yang lainnya, maka gugur haq Khiyaar Majlisnya.
Apabila ia hanya berjalan pada ruang tersebut dan belum masuk ke kamar yang
lain atau keluar dari ruang majlis aqad, maka dihukumkan belum berpisah.
Atau
dapat batal pula haq Khiyaar-nya, bahwa keduanya (penjual dan pembeli) memilih
sepakat untuk tidak menggunakan haq Khiyaar Majlis. Maka Haq Khiyaar-nya habis/
hilang karena keduanya sudah memilih luzuumal
‘aqad (tidak menggunakan Haq
Khiyaar Majlis).
Andaikata
salah satu dari keduanya memilih untuk tidak menggunakan haq Khiyaar-nya, baik
pembelinya saja atau penjualnya saja. Sedangkan pihak yang lainnya tidak segera
memilih/ diam saja/ tidak segera merespont, apakah ia akan melanjutkan aqad
jual-belinya atau akan memakai Khiyaar Syarath. Setelah beberapa lama dia baru
menyatakan akan membatalkan transaksi jual-belinya, maka haq-nya untuk
membatalkan transaksinya sudah hilang, karena dia tidak segera merespont
keinginan dari pihak yang satunya. Gugur haq-nya bagi yang memilih fasakh (membatalkan) aqad jual-beli kerena dia tidak fawroon (segera) merespon, jika ia segera merespon maka yang akan
didahulukan adalah yang fasakh (membatalkan), karena asalnya tidak adanya jual-beli. Batasan lama atau tidaknya
waktu merespon adalah menurut ukuran public opini/ pendapat umum/ adat
kebiasaan, apabila masyarakat umum menganggapnya lama, maka haq fasakh-nya
(membatalkan) transaksi menjadi hilang.
Khiyaar
Majlis biasanya dibayar terlebih dahulu, jika transaksinya batal maka uangnya
harus segera dipulangkan. Pada umumnya meskipun dibolehkan untuk “mikir-mikir”,
tetapi transaksinya dibayar terlebih dulu. Jika ada kesepakatan dibayar
belakangan dibolehkan asalkan bukan merupakan barang yang termasuk kedalam
ribaawiyat, seperti barang math’umaat (makanan pokok), emas dan perak.
Khiyaar
Syarath
Salah
satu dari keduanya (penjual atau pembeli) meminta adanya Khiyaar Syarath dan
disetujui oleh pihak yang lain, maka diboleh memilih/ berfikir selama 3 hari,
jika baru 2 hari ternyata ia membatalkan aqad jual-belinya, baik dari pihak
penjual ataupun dari pihak pembeli, maka dibolehkan untuk membatalkan aqad
jual-belinya apabila ada kesepakatan antara keduanya memasukan Khiyaar Syarath
dalam aqad jual-beli.
Dalam
hal ini Khiyaar Syarath sifatnya tidak ghohron,
lain halnya dengan Khiyaar Majlis, mau tidak mau tidak boleh dibatalkan
transaksinya bila sudah keluar dari majlis aqad. Khiyaar Majlis mutlaq melekat
pada kedua belah pihak, jadi tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak.
Sedangkan Khiyaar Syarath harus ada persetujuan dari pihak yang lainnya.
Bermacam-macam
bii’ juga dibolehkan menggunakan Khiyaar Syarath. Jika pada Khiyaar Majils
tanpa persetujuan sudah mutlaq melekat dan menjadi haq pada diri masing-masing
keduanya (penjual dan pembeli). Sedangkan jika Khiyaar Syarath harus ada
kesepakatan antara kedua belah pihak, atau ada keinginan dari satu pihak yang
disetujui oleh pihak lainnya.
Setelah
transaksi terjadi, kemudian diberikan kesempatan untuk “mikir-mikir” selama 3
hari, dihitung sejak aqadnya . Misalkan aqad-nya pada hari ini, dan antara
penjual dan pembeli jalan bersama selama beberapa hari, maka aqad-nya belum
putus/ berakhir. Akan tetapi Khiyaar Syarath tidak mulai dihitung saat mereka
(penjual-pembeli) berpisah atau mereka sampai di tempat tujuan. Khiyaar
Syarath-nya berlaku selama 3 hari dihitung sejak aqad jual-beli (Ijaab-Qobuul)
diucapkan. Misalkan antara penjual dan pembeli jalan bersama selama seminggu,
kemudian mereka baru berpisah, maka Khiyaar Syarath-nya tidak dihitung mulai
saat mereka berpisah, tetapi dihitung sejak aqad jual-beli disepakati. Lain
halnya dengan Khiyaar Majlis, terputus setelah adanya perpisahan antara penjual
dan pembeli.
Khiyaar
Syarath yang diatur oleh agama hanya 3 hari, apabila salah satu pihak meminta
waktu lebih dari 3 hari (misalkan 1 minggu), maka batallah aqad jual-belinya.
Jika
barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang akan rusak pada waktu yang
dijanjian, yaitu 3 hari, maka hal itu tidak dibolehkan adanya Khiyaar Syarath
atau batal aqad-nya. Misalkan barangnya berupa kue atau buah yang akan
basi/busuk dalam waktu 3 hari, maka batallah aqad-nya. Untuk barang yang tidak
rusak dalam jangka waktu 3 hari maka dibolehkan adanya Khiyaar Syarath, seperti
jual-beli mobil, motor, rumah dll.
Khiyaar ‘Aiib
Haq
memilih bilamana ada ‘aiib (cedera/ cacat) pada barang atau uang yang diterima.
Bila didapati/ ada ‘aiib pada barang yang kita beli, adanya cacat itu kita
yaqini sebelum kita terima (qobadh) itu barang, hanya saja kita kurang teliti
melihatnya, cacatnya bukan karena perbuatan kita seperti terjatuh, terbentur
ataupun lainnya, setelah sampai di rumah ternyata kita baru melihat bahwa
barang yang kita beli ternyata ada cacat/ retak/pecah atau lainnya. Dengan
sebab ada ‘aiib (cacat) tadi nilai/ harga
(qiimah)-nya atau ‘aiin(barang)-nya
menjadi berkurang,.Dengan satu cacat/ kekurangan tadi, maka akan hilang/ luput
dengan sebab cacat tadi tujuan yang benar. Tujuan orang membeli sesuatu adalah
untuk bersenang-senang/ menikmati itu barang, dengan sebab cacat maka menjadi tidak
nyaman lagi.
Pada
umumnya/ biasanya pada jenis barang yang dijualnya itu tidak ada ‘aiib-nya
(mulus saja), tetapi setelah sampai di rumah ternyata ada ‘aiib-nya, lain
halnya bila barang bekas (seken) pasti ada ‘aiib-nya. Misalkan kita membeli
barang baru, biasanya tidak ada ‘aiib-nya, ternyata ini ada ‘aiib-nya. Contoh
misalkan seseorang membeli budaq, si-penjual budaq tidak secara jujur
mengatakan sifat dan tingkah laku dari si-budaq, ternyata kemudian dapat
diketahui bahwa budaq yang dibelinya tersebut sering berbuat zina atau suka
mencuri atau sering melarikan diri, hal ini merupakan ‘aiib, maka pembelian
budaq tersebut dapat dibatalkan. Karena ada ‘aiib-nya tersebut maka jadi
berkurang nilai/ harga dari itu budaq.
Jika
ada ‘aiib yang dapat mengurangi nila dari itu barang, maka musytari (si-pembeli) dapat
memulangkan itu barang. Dengan syarat jika terjadinya itu ‘aiib qoblal qobadh (sebelum diterima) itu
barang, artinya cacatnya tersebut bukan disebabkan karena perbuatan dari
si-pembeli, misalkan karena akibat terjatuh atau terbentur atau lainya. Misalnya
terlihatnya ‘aiib (cacat-nya) tersebut setelah sampai di rumah, atau setelah
satu hari atau setelah satu minggu atau kapan saja, maka si-pembeli dapat
mengembalikan barang yang dibelinya tersebut, jika diyakini bahwa adanya itu
‘aiib (cacat-nya) qoblal qobadh (sebelum diterimanya) itu barang.
Apabila
barang yang dibeli diketahui ada ‘aiib-nya, maka syaratnya si-pembeli harus
segera/ secepat mungkin mengembalikan itu barang, tidak boleh ditunda-tunda,
misalkan diketahui ada cacatnya itu barang setelah seminggu/ dua minggu/
sebulan/ dua bulan, yang terpenting setelah diketahui ada cacat itu barang maka
dengan segera dipulangkan. Jika tidak ada udzur
(alasan) apa-apa, maka tidak boleh
menunda-nunda untuk mengembalikan itu barang yang ‘aiib (cacat). Misalkan sudah
diketahui ada cacat pada barang yang dibeli, ternyata si-pembeli menunda-nunda
mengembalikan barang yang cacat tadi dan baru memulangkan setelah seminggu/
sebulan kemudian tanpa ada udzur (alasan) yang dapat diterima, maka ia sudah kehilangan
haq-nya (batal haq-nya) untuk dapat mengembalikan barang yang cacat tadi.
Tidak
hanya pada barang yang dibeli, tsaman
(uang pembayarannya) demikian juga, bila ada cacatnya karena misalnya ada yang
robek atau ada uangnya yang palsu, sehingga tidak dapat dimanfaatkan, maka
si-penjual dapat memulangkan itu uang kepada si-pembeli.
Tidak
dibolehkan juga membeli/ menjual buah yang terpisah dari pohon, artinya membeli
buahnya saja tidak sekaligus membeli pohonnya secara mutlaq, tanpa ada persyaratan
qotho’ (potong). Kecuali bila sudah nampak sholaah (kebaikannya), misalnya buahnya
sudah mulai menguning. Jadi tidak boleh menjual buah yang masih di pohon dan
masih dalam bentuk kembang ataupun masih berbentuk “pentil” (bakal buah). Bila
menjual buah yang sudah nampak sholaah
(kebaikannya), maka dibolehkan dengan
syarat qotho’ (potong) ataupun dengan syarat dibiarkan/
tidak dipotong itu pohon.
Untuk
membuktikan bahwa buah ini sudah nampaknya sholaah
(kebaikannya) untuk dijual dari buah
yang tidak berwarna adalah bila sampai hal keadaan buah tersebut kepada yang
kita tuju dari itu buah pada ghoolib (umum)-nya. Misalkan orang membeli qoshob (tebu) apabila sudah manis, bila
tebu tersebut sudah manis maka disitu menunjukkan bahwa tebu tersebut sudah
menunjukkan sholaah (kebaikannya). Bila rum’maan (delima) sudah ada rasa asamnya, maka berarti delima
tersabut sudah menunjukkan sholaah (kebaikannya),
karena pada awalnya rasanya “sepet,” bila rasanya masih sepet maka belum boleh
dijual. Kebaikannya dari buah tin adalah bila sudah lembek, maka baru boleh dijual.
Pada
buah yang berwarna, kebaikannya dapat dilihat dari perubahan warnanya misalnya
dari hijau menjadi merah, maka disitu baru dibolehkan dijual. Atau ada buah
yang berubah dari hijau menjadi hitam, seperti buah jamblang. Atau ada buah
yang berubah warna dari hijau menjadi kuning seperti buah mangga.
Adapun
buah yang belum menunjukkan sholaah-nya
(kebaikannya), jika dijual tersendiri dari pohon, artinya buah tidak dijual
bersama pohonnya, maka tidak sah jual-belinya secara mutlaq. Karena
dikhawatirkan akan rontok atau terkena serangan hama, sehingga tidak boleh
dijual-belikan, kecuali dengan syarat qotho’
(potong/ tebang) itu pohon. Misalkan
orang membeli pisang yang masih muda dengan tujuan untuk obat atau lainnya.
Sama
saja berlaku kebiasaan dengan memotong pohon buah itu atau tidak memotong itu
pohon, bila buahnya belum menunjukkan sholaah-nya
(kebaikannya), maka pohon itu harus dipotong. Andaikata dipotong itu pohon, dan
di atasnya pohonnya tadi ada buahnya, maka boleh dijual itu buah tanpa syarat qotho’ (potong) lagi, karena memang pohon tersebut
sudah dipotong/ ditebang.
Tidak
dibolehkan menjual tanaman yang masih hijau di tanah, kecuali dengan syarat di
potong atau di cabut. Karena tanaman yang masih hijau belum tampak sholaah
(kebaikannyanya), masih ada kemungkinan tidak akan menjadi buah atau
menjadi padi. Andaikata dijual tanaman beserta tanahnya atau di jual tanamannya
saja tidak dengan tanahnya, dengan catatan setelah mengerasnya biji-bijian pada
tanaman itu atau sudah mengerasnya gabah dari padinya, baru dibolehkan di jual
dengan tanpa syarat potong atau cabut.
Siapa
yang menjual buah atau tanaman, tetapi belum tampak sholaah (kebaikannya)
seluruhnya, misalnya sebagian buahnya masih ‘pentil’ (kecil) atau jika padi
gabahnya belum keras seluruhnya, ada kemungkinan tanaman tersebut akan gagal
atau rontok. Akan tetapi sebagian tanaman sudah nampak sholaah (kebaikannya),
artinya sebagian tanaman sudah mulai nampak menguning dan sebagiannya lagi
masih hijau, misalkan semacam pisang sebagiannya sudah mulai menguning dan
sebagian lagi masih hijau, maka yang belum nampak sholaah (kebaikannya) mengikuti
kepada yang sudah nampak sholaah (kebaikannya), artinya jual-belinya untuk
tanaman tersebut sah atau dibolehkan menjual seluruhnya/ sekaligus. Apabila
si-penjual menjual tanaman yang belum nampak sholaah (kebaikannya)
seluruhnya, maka setelah transaksi jual-beli si-penjual masih ada kewajiban
untuk menyiram tanaman itu sekedar agar tanaman itu dapat tumbuh buah dan
selamat dari kebinasaan atau matinya itu tanaman. Hal ini berlaku untuk tanaman
yang biasa di siram.
Sama
saja baa’i (si-penjual) telah
menyerahkan atau belum menyerahkan itu tanaman kepada musytarii (si-pembeli), maka
si-penjual tetap mempunyai kewajiban untuk menyiram itu tanaman sekedar agar
dapat tumbuh itu buah dan selamat dari kebinasaan atau matinya itu tanaman.
Tidak
boleh menjual sesuatu yang mengandung ribaawiyat, seperti math’umaat (makanan pokok)
dengan yang sama jenisnya dalam keadaan basah. Bila keadaannya sudah sempurna
atau kering baru boleh diperjual-belikan, seperti padi bila sudah menguning,
anggur bila sudah menjadi kismis. Tidak dibolehkan menjual (barter) anggur
dengan anggur (masih segar/basah), yang dibolehkan bila sudah berupa kismis
(anggur kering). Bila masih dalam kondisi basah, meskipun ditukar dengan berat
yang sama (1 kg. dengan 1 kg.), tetap tidak dibolehkan.
Sebelumnya
telah disebutkan bahwa tidak dibolehkan menjual barang yang termasuk barang
ribaawiyat yang belum kering, akant tetapi tuan Syech Musonif (pengarang kitab)
mengecualikan laban (susu), meskipun susu juga termasuk math’umaat,
yaitu barang ribaawiyat juga. Dibolehkan menjual sebagian dengan
sebagiannya, sebagian berupa susu (basah) dan sebagian lagi berupa keju
(kering). Menjual susu dengan susu dibolehkan (sama jenisnya), akan tetapi
syaratnya harus sama takarannya, transaksinya harus kontan/ tunai, barangnya harus diterima langsung. Bila
ditukar susu dengan anggur atau kismis, maka syaratnya harus mu’maatsalah.
Tuan
Syech Musonif, menyebutkan al-labana
(susu yang masih encer), termasuk juga dalam katagori labana yaitu susu yang sudah
mulai kental, susu yang asam/ yogurt,
dijualnya dengan cara ditimbang bukan di takar. Hingga sah jual susu yang sudah
mulai kental dengan haliim, sekalipun
berbeda timbangannya.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan
permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum,
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar