Senin, 30 Mei 2016

FIQIH ( Mu’amalat ) - Hukum Khiyaar



Pokok Bahasan     :  FIQIH ( Mu’amalat )
Judul                    :  Hukum Khiyaar
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

HUKUM KHIYAAR





Hukum Khiyaar adalah memilih apakah akan diteruskan atau dihentikan jual-belinya.  Mau tidak mau pihak penjual atau pembeli ada haq untuk khiyaar, setelah terjadi Ijaab Qobuul  pembeli ataupun penjual ada haq untuk membatalkan transaksi/ aqad. Andaikata kedua belah pihak bersepakat untuk memastikan aqad terjadi tanpa adanya khiyaar, maka tidak sah aqad jual-belinya. Agar tidak terjadi penyesalan dikemudian hari, maka agama mengatur agar ada khiyaar dalam aqad jual-beli.

Ada sekitar 7 macam khiyaar, akan tetapi yang dikenal secara umum dalam kitab-kitab Fiqih ada 3 macam, yaitu:
1.  Khiyaar Majlis: Selama masih ada di majlis aqad (majlis jual-beli) dan belum berpisah menurut public opini/ pendapat umum/ adat kebiasaan, maka penjual atau pembeli boleh membatalkan aqad jual-belinya. Meskipun keduanya berada berjam-jam atau berhari-hari dalam satu majlis aqad, asalkan melum berpisah, maka salah satu atau keduanya dapat membatalkan aqad jual-belinya. Bahkan andaikata kedua belah pihak menafikan, sepakat untuk tidak mengunakan haq Khiyar Majlis, maka batal/ tidak sah aqad jual-belinya.  
2.  Khiyaar Syarath: Sudah terjadi transaksi, tetapi salah satu pihak (penjual atau pembeli) meminta diberikan kesempatan untuk berfikir saat Ijaab Qobuul, misalnya selama 3 hari, apabila dalam jangka waktu sebelum 3 hari salah satu pihak berubah fikiran maka transaksi dapat dibatalkan. Baik transaksi sudah dibayar atau belum dibayar, bila transaksi sudah dibayar dan salah satu pihak membatalkan transaksi, maka pihak penjual harus mengembalikan uang kepada si-pembeli secara utuh/ apa adanya, tanpa ada potongan sama sekali.  
3.  Khiyaar ‘Aiib: Manakala sudah terjadi transaksi jual-beli, tetapi ternyata barang yang kita beli ternyata ada cacat/ aib-nya yang kita tidak lihat pada saat transaksi, maka kita dapat segera melaporkannya kepada si-penjual, kita dapat menukar barang atau kita dapat membatalkan transaksi jual-belinya.

Dua orang (penjual dan pembeli) yang melaksanakan transaksi jual-beli, keduanya mempunyai haq untuk Khiyaar, keduanya mempuyai haq untuk dapat melanjutkan atau membatalkan transaksi aqad jual-beli selama keduanya masih dalam majlis aqad.

Andaikata salah satu pihak, misalkan penjual menyatakan bahwa ia ingin melanjutkan transaksi jual-beli, sedangkan pihak yang lain, yaitu pembeli menyatakan bahwa ia akan membatalkan transaksi jual-beli, maka yang dimenangkan adalah yang fasakh (membatalkan) transaksi, agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.

Tujuan utama dibuat ketentuan Hukum Khiyaar adalah semata-mata untuk memungkinkan/ membolehkan seseorang untuk fasakh (membatalkan) transaksi jual-belinya. Jadi tujuan utama khiyaar adalah bukan untuk melanggengkan/ melanjutkan jual-beli, tetapi malah memberikan kesempatan orang untuk fasakh (membatalkan) transaksi jual-beli dari salah satu pihak.

Khiyaar Majlis
Tetap ada bagi keduanya Khiyaar Majlis, boleh “mikir-mikir”, boleh “milih-milih” selama keduanya belum berpisah dari majlis aqad. Seluruh jenis jual-beli sudah boleh ada ketentuan khiyaar dari bermacam-macam transaksi jual-beli, seperti bii’ salam  atau bii’ indent  (membayar terlebih dahulu barang diserahkan belakangan). Bii’ untuk barang-barang yang mengandung ribawi, seperti bii’ math’umaat  (makanan pokok), bii’ naqdain.

Khiyaar Majlis berlaku selama keduanya (penjual atau pembeli) belum tafaruq (berpisah) dari majlis aqad, selama tidak berpisah keduanya dalam ukuran  public opini/ pendapat umum/ adat kebiasaan. Selama tidak ada batasan yang pasti menurut syara (agama), maka ukurannya dikembalikan kepada pendapat umum/ adat kebiasaan.

Terputusnya Khiyaar Majlis adakalanya karena berpisahnya antara penjual dan pembeli.
Misalkan penjual dan pembeli berkumpul di satu ruangan (misalkan ruang tamu), apabila salah satu pihak keluar ruang tamu tersebut (majlis aqad), maka dihukumkan ia telah berpisah dan haq Khiyaar Majlisnya hilang. Aqad jual-beli antara keduanya sudah dilaksanakan di majlis aqad (misalkan di ruang tamu), selama keduanya belum keluar dari majlis aqad, maka transaksi jual-belinya masih dapat dibatalkan, akan tetapi jika salah satu dari keduanya sudah keluar dari majlis aqad, misalkan pindah ke ruang makan, maka sudah terputus haq-nya untuk membatalkan aqad jual-belinya. 
Berpisahnya ia punya badan keduanya dari majlis aqad, dikatakan berpisahnya keduanya dari majlis adalah menurut pendapat public opini/ pendapat umum/ adat kebiasaan. Jika pendapat umum menganggap/ menyatakan bahwa  hal ini dianggap berpisah, maka gugur haq untuk mematalkan transaksi jual-belinya. Akan tetapi apabila menurut pendapat umum dianggap belum berpisah, maka ia masih memiliki haq untuk membatalkan transaksi jual-belinya.

Bila transaksi jual-belinya dilakukan di jalanan atau di tanah lapang yang luas, maka dikatakan berpisah adalah jalannya salah satu dari kedua belah pihak dengan cara membelakangi dari yang lainnya, maka sejak saat itu gugur haq Khiyaar Majlis-nya.

Jika transaksi jual-belinya dilakukan di satu rumah yang besar dan banyak kamarnya, dikatakan berpisah bagi keduanya apabila berpindah salah satu dari keduanya (penjual atau pembeli) ke kamar yang lainnya, maka gugur haq Khiyaar Majlisnya. Apabila ia hanya berjalan pada ruang tersebut dan belum masuk ke kamar yang lain atau keluar dari ruang majlis aqad, maka dihukumkan belum berpisah.

Atau dapat batal pula haq Khiyaar-nya, bahwa keduanya (penjual dan pembeli) memilih sepakat untuk tidak menggunakan haq Khiyaar Majlis. Maka Haq Khiyaar-nya habis/ hilang karena keduanya sudah memilih luzuumal ‘aqad (tidak menggunakan Haq Khiyaar Majlis).

Andaikata salah satu dari keduanya memilih untuk tidak menggunakan haq Khiyaar-nya, baik pembelinya saja atau penjualnya saja. Sedangkan pihak yang lainnya tidak segera memilih/ diam saja/ tidak segera merespont, apakah ia akan melanjutkan aqad jual-belinya atau akan memakai Khiyaar Syarath. Setelah beberapa lama dia baru menyatakan akan membatalkan transaksi jual-belinya, maka haq-nya untuk membatalkan transaksinya sudah hilang, karena dia tidak segera merespont keinginan dari pihak yang satunya. Gugur haq-nya bagi yang memilih fasakh (membatalkan) aqad jual-beli kerena dia tidak fawroon (segera) merespon, jika ia segera merespon maka yang akan didahulukan adalah yang fasakh (membatalkan), karena asalnya tidak adanya jual-beli. Batasan lama atau tidaknya waktu merespon adalah menurut ukuran public opini/ pendapat umum/ adat kebiasaan, apabila masyarakat umum menganggapnya lama, maka haq fasakh-nya (membatalkan) transaksi menjadi hilang. 

Khiyaar Majlis biasanya dibayar terlebih dahulu, jika transaksinya batal maka uangnya harus segera dipulangkan. Pada umumnya meskipun dibolehkan untuk “mikir-mikir”, tetapi transaksinya dibayar terlebih dulu. Jika ada kesepakatan dibayar belakangan dibolehkan asalkan bukan merupakan barang yang termasuk kedalam ribaawiyat, seperti barang math’umaat  (makanan pokok), emas dan perak. 

Khiyaar Syarath
Salah satu dari keduanya (penjual atau pembeli) meminta adanya Khiyaar Syarath dan disetujui oleh pihak yang lain, maka diboleh memilih/ berfikir selama 3 hari, jika baru 2 hari ternyata ia membatalkan aqad jual-belinya, baik dari pihak penjual ataupun dari pihak pembeli, maka dibolehkan untuk membatalkan aqad jual-belinya apabila ada kesepakatan antara keduanya memasukan Khiyaar Syarath dalam aqad jual-beli.

Dalam hal ini Khiyaar Syarath sifatnya tidak ghohron, lain halnya dengan Khiyaar Majlis, mau tidak mau tidak boleh dibatalkan transaksinya bila sudah keluar dari majlis aqad. Khiyaar Majlis mutlaq melekat pada kedua belah pihak, jadi tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak. Sedangkan Khiyaar Syarath harus ada persetujuan dari pihak yang lainnya.

Bermacam-macam bii’ juga dibolehkan menggunakan Khiyaar Syarath. Jika pada Khiyaar Majils tanpa persetujuan sudah mutlaq melekat dan menjadi haq pada diri masing-masing keduanya (penjual dan pembeli). Sedangkan jika Khiyaar Syarath harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak, atau ada keinginan dari satu pihak yang disetujui oleh pihak lainnya.

Setelah transaksi terjadi, kemudian diberikan kesempatan untuk “mikir-mikir” selama 3 hari, dihitung sejak aqadnya . Misalkan aqad-nya pada hari ini, dan antara penjual dan pembeli jalan bersama selama beberapa hari, maka aqad-nya belum putus/ berakhir. Akan tetapi Khiyaar Syarath tidak mulai dihitung saat mereka (penjual-pembeli) berpisah atau mereka sampai di tempat tujuan. Khiyaar Syarath-nya berlaku selama 3 hari dihitung sejak aqad jual-beli (Ijaab-Qobuul) diucapkan. Misalkan antara penjual dan pembeli jalan bersama selama seminggu, kemudian mereka baru berpisah, maka Khiyaar Syarath-nya tidak dihitung mulai saat mereka berpisah, tetapi dihitung sejak aqad jual-beli disepakati. Lain halnya dengan Khiyaar Majlis, terputus setelah adanya perpisahan antara penjual dan pembeli.

Khiyaar Syarath yang diatur oleh agama hanya 3 hari, apabila salah satu pihak meminta waktu lebih dari 3 hari (misalkan 1 minggu), maka batallah aqad jual-belinya.

Jika barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang akan rusak pada waktu yang dijanjian, yaitu 3 hari, maka hal itu tidak dibolehkan adanya Khiyaar Syarath atau batal aqad-nya. Misalkan barangnya berupa kue atau buah yang akan basi/busuk dalam waktu 3 hari, maka batallah aqad-nya. Untuk barang yang tidak rusak dalam jangka waktu 3 hari maka dibolehkan adanya Khiyaar Syarath, seperti jual-beli mobil, motor, rumah dll.

Khiyaar ‘Aiib
Haq memilih bilamana ada ‘aiib (cedera/ cacat) pada barang atau uang yang diterima. Bila didapati/ ada ‘aiib pada barang yang kita beli, adanya cacat itu kita yaqini sebelum kita terima (qobadh)  itu barang, hanya saja kita kurang teliti melihatnya, cacatnya bukan karena perbuatan kita seperti terjatuh, terbentur ataupun lainnya, setelah sampai di rumah ternyata kita baru melihat bahwa barang yang kita beli ternyata ada cacat/ retak/pecah atau lainnya. Dengan sebab ada ‘aiib (cacat) tadi nilai/ harga  (qiimah)-nya atau ‘aiin(barang)-nya menjadi berkurang,.Dengan satu cacat/ kekurangan tadi, maka akan hilang/ luput dengan sebab cacat tadi tujuan yang benar. Tujuan orang membeli sesuatu adalah untuk bersenang-senang/ menikmati itu barang, dengan sebab cacat maka menjadi tidak nyaman lagi.

Pada umumnya/ biasanya pada jenis barang yang dijualnya itu tidak ada ‘aiib-nya (mulus saja), tetapi setelah sampai di rumah ternyata ada ‘aiib-nya, lain halnya bila barang bekas (seken) pasti ada ‘aiib-nya. Misalkan kita membeli barang baru, biasanya tidak ada ‘aiib-nya, ternyata ini ada ‘aiib-nya. Contoh misalkan seseorang membeli budaq, si-penjual budaq tidak secara jujur mengatakan sifat dan tingkah laku dari si-budaq, ternyata kemudian dapat diketahui bahwa budaq yang dibelinya tersebut sering berbuat zina atau suka mencuri atau sering melarikan diri, hal ini merupakan ‘aiib, maka pembelian budaq tersebut dapat dibatalkan. Karena ada ‘aiib-nya tersebut maka jadi berkurang nilai/ harga dari itu budaq.

Jika ada ‘aiib yang dapat mengurangi nila dari itu barang, maka musytari  (si-pembeli) dapat memulangkan itu barang. Dengan syarat jika terjadinya itu ‘aiib qoblal qobadh (sebelum diterima) itu barang, artinya cacatnya tersebut bukan disebabkan karena perbuatan dari si-pembeli, misalkan karena akibat terjatuh atau terbentur atau lainya. Misalnya terlihatnya ‘aiib (cacat-nya) tersebut setelah sampai di rumah, atau setelah satu hari atau setelah satu minggu atau kapan saja, maka si-pembeli dapat mengembalikan barang yang dibelinya tersebut, jika diyakini bahwa adanya itu ‘aiib (cacat-nya) qoblal qobadh  (sebelum diterimanya) itu barang.

Apabila barang yang dibeli diketahui ada ‘aiib-nya, maka syaratnya si-pembeli harus segera/ secepat mungkin mengembalikan itu barang, tidak boleh ditunda-tunda, misalkan diketahui ada cacatnya itu barang setelah seminggu/ dua minggu/ sebulan/ dua bulan, yang terpenting setelah diketahui ada cacat itu barang maka dengan segera dipulangkan. Jika tidak ada udzur  (alasan) apa-apa, maka tidak boleh menunda-nunda untuk mengembalikan itu barang yang ‘aiib (cacat). Misalkan sudah diketahui ada cacat pada barang yang dibeli, ternyata si-pembeli menunda-nunda mengembalikan barang yang cacat tadi dan baru memulangkan setelah seminggu/ sebulan kemudian tanpa ada udzur  (alasan) yang dapat diterima, maka ia sudah kehilangan haq-nya (batal haq-nya) untuk dapat mengembalikan barang yang cacat tadi.

Tidak hanya pada barang yang dibeli, tsaman (uang pembayarannya) demikian juga, bila ada cacatnya karena misalnya ada yang robek atau ada uangnya yang palsu, sehingga tidak dapat dimanfaatkan, maka si-penjual dapat memulangkan itu uang kepada si-pembeli.

Tidak dibolehkan juga membeli/ menjual buah yang terpisah dari pohon, artinya membeli buahnya saja tidak sekaligus membeli pohonnya secara mutlaq, tanpa ada persyaratan qotho’  (potong). Kecuali bila sudah nampak sholaah (kebaikannya), misalnya buahnya sudah mulai menguning. Jadi tidak boleh menjual buah yang masih di pohon dan masih dalam bentuk kembang ataupun masih berbentuk “pentil” (bakal buah). Bila menjual buah yang sudah nampak sholaah  (kebaikannya), maka dibolehkan dengan syarat qotho’  (potong) ataupun dengan syarat dibiarkan/ tidak dipotong itu pohon.

Untuk membuktikan bahwa buah ini sudah nampaknya sholaah  (kebaikannya) untuk dijual dari buah yang tidak berwarna adalah bila sampai hal keadaan buah tersebut kepada yang kita tuju dari itu buah pada ghoolib  (umum)-nya. Misalkan orang membeli qoshob (tebu) apabila sudah manis, bila tebu tersebut sudah manis maka disitu menunjukkan bahwa tebu tersebut sudah menunjukkan sholaah  (kebaikannya). Bila rum’maan (delima) sudah ada rasa asamnya, maka berarti delima tersabut sudah menunjukkan sholaah (kebaikannya), karena pada awalnya rasanya “sepet,” bila rasanya masih sepet maka belum boleh dijual. Kebaikannya dari buah tin adalah bila sudah lembek, maka baru boleh dijual.

Pada buah yang berwarna, kebaikannya dapat dilihat dari perubahan warnanya misalnya dari hijau menjadi merah, maka disitu baru dibolehkan dijual. Atau ada buah yang berubah dari hijau menjadi hitam, seperti buah jamblang. Atau ada buah yang berubah warna dari hijau menjadi kuning seperti buah mangga.

Adapun buah yang belum menunjukkan sholaah-nya (kebaikannya), jika dijual tersendiri dari pohon, artinya buah tidak dijual bersama pohonnya, maka tidak sah jual-belinya secara mutlaq. Karena dikhawatirkan akan rontok atau terkena serangan hama, sehingga tidak boleh dijual-belikan, kecuali dengan syarat qotho’  (potong/ tebang) itu pohon. Misalkan orang membeli pisang yang masih muda dengan tujuan untuk obat atau lainnya.

Sama saja berlaku kebiasaan dengan memotong pohon buah itu atau tidak memotong itu pohon, bila buahnya belum menunjukkan sholaah-nya (kebaikannya), maka pohon itu harus dipotong. Andaikata dipotong itu pohon, dan di atasnya pohonnya tadi ada buahnya, maka boleh dijual itu buah tanpa syarat qotho’  (potong) lagi, karena memang pohon tersebut sudah dipotong/ ditebang.   


Tidak dibolehkan menjual tanaman yang masih hijau di tanah, kecuali dengan syarat di potong atau di cabut. Karena tanaman yang masih hijau belum tampak sholaah  (kebaikannyanya), masih ada kemungkinan tidak akan menjadi buah atau menjadi padi. Andaikata dijual tanaman beserta tanahnya atau di jual tanamannya saja tidak dengan tanahnya, dengan catatan setelah mengerasnya biji-bijian pada tanaman itu atau sudah mengerasnya gabah dari padinya, baru dibolehkan di jual dengan tanpa syarat potong atau cabut.

Siapa yang menjual buah atau tanaman, tetapi belum tampak sholaah  (kebaikannya) seluruhnya, misalnya sebagian buahnya masih ‘pentil’ (kecil) atau jika padi gabahnya belum keras seluruhnya, ada kemungkinan tanaman tersebut akan gagal atau rontok. Akan tetapi sebagian tanaman sudah nampak sholaah  (kebaikannya), artinya sebagian tanaman sudah mulai nampak menguning dan sebagiannya lagi masih hijau, misalkan semacam pisang sebagiannya sudah mulai menguning dan sebagian lagi masih hijau, maka yang belum nampak sholaah  (kebaikannya) mengikuti kepada yang sudah nampak sholaah  (kebaikannya), artinya jual-belinya untuk tanaman tersebut sah atau dibolehkan menjual seluruhnya/ sekaligus. Apabila si-penjual menjual tanaman yang belum nampak sholaah  (kebaikannya) seluruhnya, maka setelah transaksi jual-beli si-penjual masih ada kewajiban untuk menyiram tanaman itu sekedar agar tanaman itu dapat tumbuh buah dan selamat dari kebinasaan atau matinya itu tanaman. Hal ini berlaku untuk tanaman yang biasa di siram.

Sama saja baa’i (si-penjual) telah menyerahkan atau belum menyerahkan itu tanaman kepada musytarii  (si-pembeli), maka si-penjual tetap mempunyai kewajiban untuk menyiram itu tanaman sekedar agar dapat tumbuh itu buah dan selamat dari kebinasaan atau matinya itu tanaman.

Tidak boleh menjual sesuatu yang mengandung ribaawiyat, seperti math’umaat  (makanan pokok) dengan yang sama jenisnya dalam keadaan basah. Bila keadaannya sudah sempurna atau kering baru boleh diperjual-belikan, seperti padi bila sudah menguning, anggur bila sudah menjadi kismis. Tidak dibolehkan menjual (barter) anggur dengan anggur (masih segar/basah), yang dibolehkan bila sudah berupa kismis (anggur kering). Bila masih dalam kondisi basah, meskipun ditukar dengan berat yang sama (1 kg. dengan 1 kg.), tetap tidak dibolehkan.

Sebelumnya telah disebutkan bahwa tidak dibolehkan menjual barang yang termasuk barang ribaawiyat yang belum kering, akant tetapi tuan Syech Musonif (pengarang kitab) mengecualikan laban  (susu), meskipun susu juga termasuk math’umaat,  yaitu barang ribaawiyat  juga. Dibolehkan menjual sebagian dengan sebagiannya, sebagian berupa susu (basah) dan sebagian lagi berupa keju (kering). Menjual susu dengan susu dibolehkan (sama jenisnya), akan tetapi syaratnya harus sama takarannya, transaksinya harus kontan/ tunai,  barangnya harus diterima langsung. Bila ditukar susu dengan anggur atau kismis, maka syaratnya harus mu’maatsalah.

Tuan Syech Musonif, menyebutkan al-labana (susu yang masih encer), termasuk juga dalam katagori labana yaitu susu yang sudah mulai kental, susu yang asam/  yogurt, dijualnya dengan cara ditimbang bukan di takar. Hingga sah jual susu yang sudah mulai kental dengan haliim, sekalipun berbeda timbangannya.
 


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar