Pokok
Bahasan : FIQIH ( Mu’amalat )
Judul : Ribaa
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
RIBAA
Ribaa adalah sesuatu yang Alloh haramkan, tidak
hanya kepada umat Nabi Muhammad SAW. saja, tetapi juga pada umat-umat dari
Nabi-Nabi yang terdahulu. Ribaa sangat besar dosanya. Rasululloh mengutuk orang
yang memakan ribaa, yang memberi makan dengan ribaa (anak dan istrinya), yang
menulis/ mencatat transaksi ribaa, dan 2 saksi yang menyaksikan terjadinya
transaksi ribaa.
Ribaa
meliputi barang yang kelihatan, ada di depan/ di hadapan kita, dan barang yang
ada dalam tanggungan kita. Barang-barang yang menjadi ribaa terbatas pada
makanan-makanan pokok, emas (dzahab),
dan perak (fidhoh). Dalam masalah ribaaawiyat ini, maka makanan pokok atau emas dan perak tidak terjadi pada bee’/bii’ Salam. Karena pada bee’/bii’
Salam (indent), yaitu menyerahkan uang
terlebih dahulu baru diberikan barang. Bii’/ Bee’ Salam tidak boleh dilakukan
untuk transaksi jual-beli emas, perak dan makanan pokok. Contoh kita
menyerahkan uang terlebih dahulu, kemudian emas atau peraknya diserahkan
kemudian, hal itu tidak dibolehkan/ haram bila dikerjakan. Jual-beli emas dan
perak harus langsung (naqdan),
artinya waktu diserahkan uang maka disitu juga harus diserahkan emas atau
peraknya, tidak boleh ditunda-tunda.
Ribaa
menurut Lughot (bahasa): lebih atau
bertambah. Seperti menyimpan uang di bank, uang kita menjadi bertambah. Atau
meminjamkan uang dengan disertai bunga dan bunga tersebut akan bertambah bila
‘menungak’ atau telat membayarnya, maka hal ini termasuk ribaa juga.
Ribaa
menurut Syara (agama): Menghadapkan
suatu imbalan yang tertentu (berupa emas, perak dan makanan pokok) yang
disertai dengan aqad yaitu
dengan adanya Ijaab Qobuul.
Menghadapkan
emas dengan emas, atau perak dengan perak, atau emas dengan perak, atau beras
dengan beras, atau beras dengan gandum, hal ini termasuk ribaa, bila tidak
diketahui persamaannya.
Ribaa terjadi
manakala:
1. Tidak Diketahui Persamaannya Menurut Ukuran Syara
Jika tidak diketahui beratnya atau
ukurannya, maka hal itu tidak dibolehkan. Misalkan menukarkan emas 10 gram
dengan emas 10 gram, kontan/ langsung, itu tidak menjadi ribaa. Bila tidak
diketahui persamaannya (beratnya/ ukurannya), maka tidak dibolehkan, misalkan
menukar satu gundukan beras dengan gundukan beras lainnya, maka tidak
dibolehkan (haram), karena tidak jelas berapa takeran/ ukuran literannya?
Sesuai dengan aturan syara, maka
barang yang harusnya di taker/ di liter maka tidak boleh di timbang/ di kilo
dan demikian pula sebaliknya barang yang harusnya di timbang/ di kilo maka
tidak boleh di taker/ di liter, dan barang yang mesti dihitung maka harus
dihitung.
2. Tidak Sama Takaran/ Ukurannya (Ribaa Fadhol)
Diketahui lebih kurangnya, jadi harus
sama 5 liter dengan 5 liter atau 5 gram dengan 5 gram, jadi tidak dipandang
perbedaan kadar atau kwalitas dari barang tersebut. Misalkan menukarkan 5 liter
beras Cianjur dengan 10 liter beras Vietnam, maka hal itu diharamkan, karena
jumlah liternya tidak sama, meskipun beras Cianjur diketahui harganya lebih
mahal dibandingkan beras Vietnam. Atau misalkan emas 24 karat seberat 5 gram
ditukar dengan emas 22 karat seberat 10 gram, maka hal itu tidak dibolehkan/
haram. Jika ditukar maka harus sama takarannya/ ukurannya/ beratnya, misalkan 1
gram dengan 1 gram atau 1 liter dengan 1 liter.
Jalan keluar untuk menghindari ribaa,
maka kita harus menjual barang yang kita miliki terlebih dan baru kemudian kita
membeli barang yang kita inginkan. Misalnya kita mempunyai 20 Kg beras Vietnam
dan kita menginginkan beras Cianjur, maka caranya kita menjual terlebih dahulu
beras Vietnam yang kita miliki dan uang hasil penjualan beras Vietnam tersebut baru
kita belikan beras Cianjur.
3. Penyerahan Barangnya Tidak Pada Waktu Yang Sama
(Ribaa Nisob)
Barang yang ditukar sama beratnya,
misalkan sama-sama 5 gram atau sama-sama 5 liter, hanya yang seorang telah
menyerahkan barangnya dan yang seorang lagi menunda menyerahkan barangnya,
artinya barang tidak diserahkan pada waktu yang sama, maka hal ini termasuk
ribaawiyat juga, meskipun perbedaan waktunya hanya sekedar 5 menit saja.
4. Transaksi Yang Terjadi Yang Tidak Sesuai Dengan
Aturan Syara (Agama)
Transaksi yang tidak sesuai dengan
syara juga dianggap sebagai ribaa, misalkan yang harusnya di takar maka harus
di takar, dan yang harusnya ditimbang maka harus ditimbang, serta yang harusnya
dihitung maka harus dihitung.
Ribaa
hukumnya haram, banyak nash Qur’an yang menjelaskan masalah ribaa. “Alloh halalkan jual-beli dan Alloh haramkan
ribaa.” Ribaa hanya meliputi
barang-barang berupa: dzahab, fidhoh dan
makanan pokok, jadi mestinya dapat
kita hindari, akan tetapi dalam kenyataannya transaksi yang kita lakukan masih
keliru dan salah sehingga tidak sesuai dengan aturan agama.
Termasuk
rubawiyat juga transaksi yang tidak sesuai dengan ukuran/ aturan syara, seperti
menjual setumpuk barang tanpa ditaker atau ditimbang sesuai aturan syara. Ribaa
terjadi apabila:
-
Haalatul aqad: Disaat transaksi Ijaab-Qobuul tidak diketahui
persamaannya, misalnya 5 gram dengan 5 gram atau 5 liter dengan 5 liter.
-
Ma’luumuut tafaadhol:
Diketahui saat aqad menukar barang dengan jenis yang sama tetapi terjadi
perbedaan dalam ukuran atau beratnya, misalnya menukar 5 liter beras Cianjur
dengan 10 liter beras Vietnam, hal semacam ini diharamkan.
-
Majhuul tamaatsul:
Sama dalam ukuran dan beratnya, tetapi tidak dilakukan secara kontan
pada saat itu juga, maka hal ini termasuk ribaawiyat juga. Terjadinya
penerimaan barang itu di akhir, sudah Ijaab-Qobuul tetapi penerimaannya
belakangan, baik keduanya atau salah satunya, hukumnya sama saja. Keduanya
harus menyerahkan barang secara bersamaan pada saat terjadinya Ijaab-Qobuul.
Transaksi-transaksi yang banyak kita
lakukan saat ini adalah transaksi dengan cara-cara Yahudi, umat Islam banyak terkecoh oleh
transaksi dengan cara Yahudi. Semacam Multi Level Marketing adalah salah satu
cara transaksi Yahudi. Cara seperti ini disebut dengan Ribaa Nisob, yaitu
ditunda. Ijaab-Qobuulnya sudah terjadi, tetapi barangnya ditunda, baik keduanya
atau salah satunya. Diberikan tempo (waktu), aqadnya sudah tetapi
pelaksanaannya nanti, sekalipun penerimaan barang yang ditundanya hanya sesaat
saja, misalkan 10 menit masih tidak boleh.
Keluar
dari kata-kata: Haalatul aqad, bila terjadinya transaksi tidak dengan
Aqad, yaitu dengan cara Mu’aqod.
Artinya transaksi jual-beli emas dengan emas atau emas dengan perak hanya
dengan saling menyerahkan saja tanpa adanya Ijaab-Qobuul. Transaksi semacam ini
yang banyak terjadi pada umat Islam saat ini. Bagusnya ada Qoul (Pendapat) dari
Imam
Nawawi yang membolehkannya kita bertransaki
tanpa adanya Ijaab-Qobuul, sehingga kita dapat ber-taqlid dengan pendapat
beliau. Akan tetapi ada sebagian Ulama yang menafsirkan, untuk barang-barang
yang nilainya kurang berharga (nilainya rendah/ murah) silahkan transaksi tanpa
Ijaab-Qobuul, tetapi untuk barang-barang yang nilainya mahal, maka tidak boleh
transaksinya tanpa Ijaab-Qobuul.
Bila
terjadinya transaksi jual-beli emasnya tidak dengan Aqad (tanpa Ijaab-Qobuul),
maka tidak menjadi ribaa, sekalipun transaksinya haram, tetapi keharamannya
lebih ringan dibandingkan dengan haramnya ribaa.
Hubungannya
dengan Syara, yang harusnya di taker/ di liter maka harus di taker/ di liter,
yang harusnya di timbang maka harus di timbang, yang harusnya di ukur/ di meter
maka harus di ukur/ di meter. Ikuti aturan agama, tidak perlu dibantah ataupun
kita ber-Ij’tihad lagi, karena bukan bagian kita ber-Ij’tihad. Sudah menjadi Ijmaa’ (consensus/ kesepakatan) dari
para Ulama bahwa ribaa hukumnya haram, termasuk di dalamnya bunga dari
bank-bank konfensional, maka itu haram hukumnya.
Membeli bahan pakaian seharusnya
dengan di ukur, maka tidak boleh membelinya dengan cara di timbang, ada
sebagian orang membeli bahan pakaian atau pakaian jadi dengan cara di timbang,
maka hukumnya telah melakukan/ mengerjakan ribaa. Bila kita sudah tahu
hukumnya, maka hendaknya kita tinggalkan praktek-praktek transaksi seperti itu.
Sudah
menjadi consensus (kesepakatan) dari para Ulama Fuqoha bahwa ribaa itu haram
dan tidak ada khilaf diantara mereka tentang keharaman dari ribaa, dan ada pula
ayat Al Qur’an yang mempertegas keharaman dari ribaa: “Alloh halalkan jual-beli dan Alloh haramkan ribaa.” Ribaa itu terdapat pada emas (dzahab), dan perak (fidhoh), sedangkan pada bahan tambang lainnya seperti: nekel,
besi, tembaga dan lainnya tidak termasuk ribaa. Emas yang dimaksud disini
adalah emas kuning, sedangkan emas putih tidak termasuk ribaa, emas putih pun
halal bila dipakai oleh laki-laki. Emas dan perak termasuk ribaawiyat sekalipun
keduanya tidak dicetak sebagai mata uang, atau semacam dibuat dalam bentuk
perhiasan seperti kalung, liontin, cincin, gelang dan lainnya, termasuk juga
emas batangan.
Makanan-makanan
pokok (math’umaat) termasuk ribaawiyat juga, yang pada umumnya
untuk dimakan. Dan yang dimaksud makanan pokok disini adalah makanan pokok yang
dimakan untuk manusia.
Bersalahan hukumnya/ tidak termasuk
ribaawiyat adalah makanan pokok untuk binatang.
Yang
dimaksud makanan pokok disini adalah:
-
makanan pokok yang mengenyangkan, semacam
jagung, beras, gandum dan seumpamanya.
-
Atau
bukan sebagai makanan pokok, tetapi sebagai makanan ringan untuk senang-senang
(ngemil).
-
Atau
sebagai lauk-pauk, seperti kurma (tamar),
lobak (fijil) dan timun (khiyaar).
-
Atau
makanan yang digunakan sebagai pengobatan semacam garam, biji kopi dll. Termasuk makanan pokok yang masuk
kedalam ribaawiyat juga adalah air tawar (air putih biasa).
Tidak
berlaku ribaa pada selain emas (dzahab),
perak (fidhoh), dan makanan pokok (math’umaat) baik sebagai makanan pokok, sebagai makanan
ringan (ngemil), sebagai lauk-pauk ataupun untuk pengobatan.
Jerami
(Kaltibni), adalah termasuk sebagai
makanan hewan, jadi tidak termasuk ribaawiyat. Tulang (wal’adzhmi ), ujung-ujung ranting yang hina, itu semua tidak
termasuk ribaawiyat karena termasuk makanan hewan.
Tidak
ada ribaa dalam jual-beli hewan, karena hewan tidak disiapkan untuk dimakan
dalam keadaan seperti itu (masih dalam keadaan hidup). Bersalahan dengan
pendapat dari Syech Al Mutawaly,
dimana dia mengatakan: “Adapun menjual
ikan dan sepertinya, jika dibolehkan kita memakan ikan dengan jalan ditelan
dalam keadaan hidup-hidup, maka tidak dibolehkan dijual dengan cara-cara yang
bertentangan dengan hukum-hukum syara. Jika tidak dibolehkan kita memakan ikan
dengan cara ditelan hidup-hidup, maka dibolehkan dijual-belikan tanpa memenuhi
cara-cara hukum syara. Artinya
dibolehkan dijual-belikan dengan cara-cara ribaawiyat. Pendapat ini diikuti
oleh Abdul Qosyim Arruqba.
Tidak
dibolehkan menjual emas dengan emas apabila ada perbedaan dalam timbangannya,
misalkan emas yang sudah dibentuk (misalnya berbentuk liontin atau cincin)
seberat 5 gram akan ditukar dengan emas batangan seberat 10 gram, maka hal itu
tidak dibolehkan karena ada unsur ribaawiyat disitu, tidak dipandang bahwa
untuk membuat menjadi berbentuk cincin ataupun liontin maka ada ongkos atau
biaya yang harus dikeluarkan dan cukup besar. Jadi apapun bentuknya bila
jenisnya sama (misalkan sama-sama emas), maka ukuran/ timbangannyapun harus
sama untuk keduanya. Demikian pula hukum/ ketentuannya dengan perak. Bila
barang yang akan ditukar tidak sama jenisnya, misalkan akan menukar emas dengan
perak, maka hal itu dibolehkan. Misalkan menukar 100 gram perak dengan 5 gram
emas, maka hal tersebut dibolehkan, karena berbeda jenis, jadi dibolehkan lebih
kurang atau terjadi perbedaan dalam timbangan untuk keduanya. Sama saja
keduanya (emas dan perak) sudah dicetak sebagai mata uang ataupun belum dicetak
(masih berbentuk batangan), bila masih satu jenis, maka tidak dibolehkan lebih
kurang, harus sama beratnya, lain halnya bila berbeda jenis keduanya.
Untuk
menukar barang yang sejenis, misalkan emas dengan emas atau perak dengan perak
harus memenuhi 3 syarat:
1. Mitslan bi Mitslin atau Mutamaatsilan (Barangnya harus yakin sama timbangannya
atau sama takarannya)
5 gram emas ditukar dengan 5 gram
emas, tidak dipandang kadarnya ataupun bentuknya, apakah dalam bentuk masih
batangan ataupun sudah berbentuk perhiasan, yang diutamakan adalah beratnya
harus sama. Maka tidak sah menjual sesuatu yang sudah disebutkan (emas ataupun
perak), yang sama jenisnya dalam jumlah lebih/kurang (tidak sama timbangannya).
Bila berbeda jenisnya, misalkan emas ditukar dengan perak, maka dibolehkan ada
perbedaan timbangannya (lebih/ kurang).
2. Ma’quud ‘alaiih (barangnya) harus naqad ayhaalan (kontan)
Saat Ijaab-Qobuul terjadi, maka
barang atau uang yang diperjual-belikan harus ada di tempat pada saat transaksi
terjadi, tidak boleh ditunda penyerahannya (tempo) untuk keduanya ataupun salah
satunya barangnya, meskipun penundaannya hanya dalam waktu sesaat, apalagi
perbedaan waktunya dalam jangka yang cukup lama.
3. Harus Yadan bi Yadin (Kontan/ Tunai dan Diterima
Barangnya).
Sebelum berpisah dari majlis aqad (tempat) terjadinya
transaksi jual-beli, maka barangnya atau uangnya sudah harus diterima, tidak
boleh hanya dengan ucapan saja, barangnya harus dipegang saat terjadi
Ijaab-Qobuul, sebelum habis masa khiyaar
majlis/ khiyaar syarath/ khiyaar ‘aiib.
Maka tidak bolehkan menjual dengan
cara dibebaskan dari kewajiban, misalkan kita menjual emas/ perak seberat 10
gram dan uang atau barang sebagai penukarnya sudah kita terima, tetapi barang
(emas/ perak) yang kita jual harus diambil terlebih dahulu dari si-fulan,
karena si-fulan mempunyai hutang kepada kita sebesar 10 gram juga, maka hal
tersebut tidak dibolehkan.
Meminjamkan
atau menyewakan emas dibolehkan, misalkan digunakan sebagai perhiasan, yang
tidak dibolehkan adalah mengutangkan/ mengkreditkan emas atau membeli dengan
cara mencicil, karena ada unsur ribaawiyat disitu.
Menukar
beras dengan beras, tetapi salah satunya tidak diserahkan pada saat itu juga,
meskipun berat atau takarannya sama, tetap tidak dibolehkan. Bila mengutang
beras dengan uang dibolehkan, misalkan kita membeli beras 1 karung seharga Rp.
500.000,- dan akan dibayar 1 bulan kemudian, maka hal itu dibolehkan, karena
berbeda jenisnya, yaitu beras dengan uang. Yang tidak dibolehkan mengutang
beras dibayar dengan beras, karena keduanya sama jenisnya. Meminjam beras
diganti dengan beras dibolehkan, karena tidak termasuk dalam aqad jual-beli,
misalkan kita ada hajatan dan meminjam beras sebanyak 1 karung kepada
seseorang, setelah selesai hajatan kita ganti lagi dengan 1 karung beras, maka
hal tersebut dibolehkan. Jadi kesimpulannya:
-
Menyewakan
emas sebagai perhiasan :
boleh
-
Menghutang/
Membeli emas dengan cara mencicil :
tidak boleh
-
Hutang
beras dibayar beras :
tidak boleh
-
Hutang
beras dibayar uang :
boleh
-
Pinjam
beras dibayar beras :
boleh
Syarat
menjual/ menukar barang dengan barang yang sejenis:
1. Timbangan
atau ukurannya harus sama, 3 gram dengan 3 gram.
2. Transaksinya
harus kontan/ tunai, tidak boleh dengan cara tempo.
3. Barang yang
dijual-belikan harus diterima/ dipegang saat itu juga.
“Tidak
sah menjual apa yang dibelinya oleh seseorang sebelum dipegang/ diterimanya itu
barang.”
Manakala kita membeli suatu barang,
kita belum boleh menjual kembali barang yang kita beli tadi sebelum barang
tersebut kita terima atau berada ditangan kita. Misalkan kita membeli mobil,
sebelum kita menerima mobil tersebut dari penjual, kita sudah menjualnya
kembali kepada orang lain, maka transaksi jual-belinya tidak sah. Setelah
barang yang kita beli sudah kita terima, maka baru sah bagi kita untuk
menjualnya, menghibahkannya atau lainnya.
Bila
kita menjual barang kepada penjual semula, membeli barang kepada si-A dan
menjualnya kembali kepada si-A, dengan harga dan barang yang sama/ tertentu,
dan jika masih ada barangnya, atau dengan barang yang serupa dengan itu barang,
jika barang sudah binasa/ rusak atau sudah tidak ada pada kita, seperti di curi
atau lainnya, atau kita membeli barang dalam tanggungan (bii’/ bee’ salam),
kita menyerahkan uangnya terlebih dahulu dan barangnya baru diserahkan
kemudian/ belakangan/ indent.
Jadi
bila kita menjual barang kepada penjual barang yang semula/ sama, maka sah
jual-belinya. Tujuannya kita menolong membeli barang dari si-A setelah adanya
kepastian berupa Ijaab-Qobuul. Ini bukan termasuk khiyaar majlis , karena kondisinya antara penjual dan pembeli sudah
berpisah dan transaksinya sudah tuntas/ selesai, lain halnya bila antara
penjual, pembeli dan barangnya masih ada di tempat transaksi, maka masih
dibolehkan membatalkan transaksi.
Apabila
si-pembeli membatalkan transaksi jual-beli setelah adanya kepastian berupa
Ijaab-Qobuul atau pembatalan transaksinya dari si-penjual, apabila salah
satunya tidak menyetujuinya/ tidak menerima pembatalan jual-beli tersebut, maka
hal itu tidak dapat dipaksakan/ tidak wajib/ tidak mengikat, tetapi bila
pembatalan transaksinya disetujui oleh pihak yang lainya maka disitu ada pahala
yang sangat besar. Kemungkinan terjadinya pembatalan transaksi dapat disebabkan
karena pembeli merasa barang yang dibelinya terlalu mahal atau tidak sesuai
dengan apa yang diinginkan, atau pembeli ada kebutuhan lain yang memerlukan
uang dengan segera, dll.
Apabila
pembeli dan penjual masih berada pada satu tempat transaksi (khiyaar majlis) dan barangnya juga masih ada ditempat
tersebut dan transaksinya belum tuntas/ selesai atau sah, maka apabila salah
satu pihak (penjual/ pembeli) bermaksud membatalkan transaksi jual-beli
tersebut, maka transaksinya masih dapat dibatalkan. Akan tetapi dalam transaksi
jual-beli sehari-hari, terkadang hukum ini tidak dipakai, meskipun kita belum
meninggalkan tempat transaksi/ toko, tetapi barang yang sudah tercatat dalam
nota sudah tidak dapat dikembalikan/ dibatalkan. Atau kita membeli barang
dengan menyerahkan dp/ uang muka, karena batal transaksinya maka hilang dp/
uang mukanya, hal tersebut haram hukumnya.
Dalam
sebuah Hadits Qudsy yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah, Rasululloh bersabda: “Siapa
orang yang membatalkan/ mengurungkan karena orang menyesal akan jual-belinya,
maka Alloh hapuskan ia punya kesalahannya (dosanya) di Hari Qiyaamat.”
Kesimpulan
dari Maqom Jual-Beli (Bee’/Bii’),
yaitu harta seseorang yang berada di tangan orang lain ada 3 bagian hukum:
1. Adakalanya
hartanya terkandung dalam jaminan aqad jual-beli, semacam barang yang masih
ditangan orang, tsaman (harganya)
masih ditangan orang, mas kawin yang masih ditangan suami. Jika kita melakukan
aqad jual-beli dan barangnya masih ada ditangan orang (belum di tangan kita),
sebelum barang tersebut kita terima, maka tidak boleh (tidak sah) bila kita
menjual itu barang kepada orang lain. Harganya (pembayarannya) begitu juga,
kita tidak dapat membeli barang kepada orang lain dan uang pembayarannya kita
perintahkan untuk diminta kepada si-fulan, karena si-fulan belum membayar
barang yang dibeli dari kita. Sebelum barang atau tsaman (pembayarannya) kita terima, maka kita tidak dibolehkan
mendayaguna (menyewakan atau menjual dll.) barang atau tsaman dari transaksi
jual-beli sebelum barang atau tsaman-nya
kita terima. Kecuali pada hal-hal yang dikecualikan, seperti dia membeli budaq
kepada seseorang, sebelum diterima itu budaq di sudah dapat mengawinkan budaq
yang dia beli kepada orang lain atau ia merdekakan itu budaq atau ia waqafkan
itu budaq kepada tempat ibadah atau lainnya. Hal seperti ini dibolehkan karena
bertujuan untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada Alloh, hal ini ada nilai
pahalanya.
2. Adakalanya
hartanya terkandung dalam jaminan dengan tanpa aqad, semacam barang yang
dirampas orang, atau barang yang sudah dalam penawaran/ transaksi kemudian di
bawa kabur, atau barang yang dipinjamkan. Dia dibolehkan ber-tasharuf (mendayaagunakan) atas itu
barang padahal barang belum ia terima. Orang yang membeli barangnya mengetahui
bahwa barang yang dijualnya masih ditangan orang yang merampasnya dan ia
mempunyai kemampuan untuk mengambil barang itu dari orang yang merampasnya,
atau burung yang terlepas dan ia mempunyai kemampuan untuk mendapatkan/ menyerahkan kembali burung yang terlepas
tadi.
3. Barang yang
tidak ada aqad, barang yang tidak ada kaitannya dengan haq orang, tidak ada
amal/ jasa orang disitu, dibolehkan kita ber-tasharuf (mendayaagunakan) itu barang sebelum
barangnya diterima, asalkan barangnya milik pribadi. Semacam harta yang di-syirkah-kan, ia
bekerjasama dengan seseorang, maka ia boleh menjual sahamnya, padahal ia
belum terima itu sahamnya. Misalkan ia membeli tanah/ rumah/ mobil secara
patungan (gabungan beberapa orang), ia dapat menjual bagian yang menjadi
miliknya. Atau harta yang berada di tangan ‘Aamil
(orang yang mengelola uangnya) semacam Qiradh,
yaitu kerja sama yang dilakukan antara orang yang mempunyai kemampuan
berdagang/ usaha dengan orang yang memiliki uang atau harta lainnya sebagai
pemilik modal. Atau barang/ benda yang digunakan sebagai jaminan (gadai) dapat
berupa mobil, motor ataupun sertifikat tanah, misalnya karena kita meminjam
uang kepadanya. Setelah uang pinjamannya dapat kita lunasi, maka meskipun
barang/ benda yang digunakan sebagai jaminan (gadainya) masih ditangan orang,
kita dibolehkan untuk menjual barang jaminannya tadi.
Ada seseorang yang menjual jasa
(tenaga), semacam orang yang kita sewa tenaganya untuk menjahit baju, andaikata
suatu saat kita akan menjual baju tersebut, maka kita belum boleh menjual
bajunya sebelum kita membayar uang jasa (upah/ gaji) dari penjahitnya. Demikian
juga halnya dengan uang jasa dari tukang
cuci baju (laundry), tukang celup (sablon), atau jasa untuk menggiling gandum,
dll. Sebelum kita membayar jasa/ upah mereka, maka kita belum boleh menjual
barangnya tersebut.
Tidak
dibolehkan menjual laham (daging) dan yang semakna dengan daging, seperti syahmi (gajih/ lemak), kabid (jantung), qolby (hati), kulyah
(ginjal), thihaal (limpa), dan li’ilyah (buntut/ ekornya) di jual/ di
barter dengan haiwaan (hewan/
binatang) yang masih hidup, semacam di barter daging 30 Kg. dengan seekor
kambing, maka hal itu tidak dibolehkan. Jika dibeli dengan uang semacam yang
umum terjadi di pasar maka dibolehkan.
Sama
saja daging tadi di jual dengan yang sama jenisnya dengan hewan yang akan
ditukar, seperti daging kambing dengan kambing. Atau bukan dengan jenisnya, tetapi
hewan yang dimakan dagingnya, misalnya 50 Kg. daging kambing di jual/ di barter
dengan 100 ekor ayam, atau daging sapi di jual/ di barter dengan daging
kambing, maka hal itu tidak dibolehkan. Demikian pula tidak dibolehkan menjual
daging dengan binatang yang tidak di makan dagingnya, maka tidak dibolehkan
menjual seumpama daging kambing dengan himaar
(keledai), keledai tidak di makan dagingnya. Hal seperti ini dilarang karena di
dalamnya terkandung praktek ribaawiyat.
Dibolehkan
dalam syara menjual dzahab (emas) dengan fidhoh (perak) lebih kurang, sedangkan emas dengan emas tidak
dibolehkan lebih kurang, meskipun nilai kedua emas tadi berbeda, berbeda dari bentuknya
atau jenisnya. Apabila menjual emas dangan emas, maka beratnya harus sama bagi
keduanya, tidak dipandang apakah salah satu dari emas tadi nilainya lebih
mahal.
Dibolehkan
pula menjual perak dengan emas dan dibolehkan adanya perbedaan (kurang lebih)
dalam timbangannya, misalkan menjual perak 50 gram dengan emas 10 gram, karena
nilai emas berbeda (lebih mahal) bila dibandingkan dengan perak.
Menjual
emas dengan perak atau sebaliknya dibolehkan, akan tetapi agar lepas dari
ribaawiyat maka harus memenuhi 2 syarat:
1. Bahwa
tiap-tiap satu dari keduanya (emas dan perak) harus naqdan (kontan), tidak dapat dihutang atau ditunda pembayaran tiap-tiap
satu dari keduanya. Sejak Ijaab Qobuul, maka
masing-masing dari keduanya harus sudah diserahkan.
2. Barang yang
sudah ada harus di terima/ di pegang (maqbuudho)
itu barang dengan tiap-tiap satu dari
keduanya (penjual dan pembeli). Diterima masing-masing barang qoblal tafaruqiin (sebelum berpisah), dan
sebelum memilih kepastian. Dalam aqad jual-beli ada bermacam-macam khiyaar, yang dikenal umum ada 3, yaitu:
a. Khiyaar Majlis: Selama masih ada di majlis
di sebut khiyar majlis, sudah transaksi tetapi sebelum berpisah dari majlis
(tempat transaksi) apabila salah satu pihak ingin membatalkan transaksi, maka
masih dibolehkan.
b. Khiyaar Syarath: Sudah terjadi transaksi,
tetapi salah satu pihak minta diberikan kesempatan untuk berfikir, misalnya
selama 3 hari, apabila dalam jangka waktu 3 hari ia berubah fikiran maka
transaksi menjadi batal.
c. Khiyaar ‘Aiib: Sudah terjadi transaksi,
tetapi ternyata barang yang kita beli/ terima ada cacat/ aib-nya, maka
transaksi dapat dibatalkan.
Ketentuan
Khiyar semacam di atas di benarkan dalam aqad jual-beli, karena di atur dalam
Syara, akan tetapi bila sekarang kita memperaktekan cara seperti ini, bukan
tidak mungkin akan menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli, atau
seperti yang umum terjadi bila transaksi batal maka uang muka/ panjar hilang
atau uang pengembaliannya dipotong, padahal haram melakukan cara-cara seperti
itu.
Demikianpula
dengan math’umaat (makanan pokok),
tidak dibolehkan menjual barang yang sejenis dengannya, semacam beras dengan
beras, gandum dengan gandum. Atau yang sama naw’ah-nya
(kwalitasnya) misalnya beras Cianjur dengan beras Cianjur atau yang berbeda
kwalitasnya seperti beras Cianjur dengan beras Siam. Dalam transaksi jual-beli
semacam ini tidak dibolehkan lebih-kurang, meskipun terjadi perbedaan kwalitas
atau harganya antara keduanya, harus tetap sama dari keduanya, 10 liter ditukar
dengan 10 liter, tidak boleh lebih-kurang, karena disitu ada unsur ribaawiyat.
Untuk membebaskan/ melepaskan diri dari praktek ribaawiyat dalam hal transaksi
jual-beli math’umaat (makanan pokok), maka harus memenuhi 3 syarat:
a. Tiap-tiap
satu dari keduanya, harus yaqin sama
(jumlah/ timbangan/ liter, dll.), tidak dipandang naw’ah-nya (kwalitasnya) ada perbedaan, yang terpenting jumlah/
literan/ kiloannya harus sama.
b. Transaksinya
harus naqdan (kontan), tidak boleh di
tunda penyerahannya dari tiap-tiap satu dari keduanya. Jika hutang beras di
bayar dengan uang maka dibolehkan, karena berbeda jenisnya.
c. Harus
diterima itu barang oleh tangan dari satu tiap-tiap satu diantara keduanya
(penjual dan pembeli) sebelum berpisah. Sebelum memastikan akan transaksi tadi,
maka barang sudah harus diterima.
Dalam
transaksi jual-beli yang sesuai dengan aturan syara khiyaar majlis, khiyaar syarath, khiyaar ‘aiib harus ada, senang tidak senang, suka atau
tidak suka 3 khiyaar tersebut harus ada dalam transaksi jual-beli.
Dalam
transaksi yang yang dipandang adalah yang berlaku secara umum/ adat/ kebiasaan,
maka yang harus di timbang ya di timbang, yang harus di liter ya di liter, yang
harus di meter ya di meter dan seterusnya. Ikuti seperti apa yang berlaku
sewaktu di zaman Nabi di Madinah. Apabila tidak diketahui di zaman Nabi (tidak
ada riwayat) barang yang diperjual-belikan ini apakah harus ditimbang, diliter
atau diukur, maka yang berlaku adalah kebiasaan dari yang berlaku di negeri
tersebut. Jika suatu barang yang ukurannya lebih besar dari tamar (kurma), maka
yang dipandang adalah dengan cara di timbang.
Ketentuan
tentang hal buah-buahan dan biji-bijian di hitung baik dengan cara di liter
ataupun dengan cara di timbang, yaitu setelah keduanya dalam kondisi kering,
dan telah dibersihkan dari kotoran-kotorannya, bila masih dalam keadaan basah
maka tidak dibenarkan/ tidak dipandang. Maksud yang dikehendaki dari
buah-buahan dan biji-bijian ini adalah bagian yang bisa dimakan, tetapi karena
masih dalam kondisi basah dan ada kotoran/ tanah yang melekat pada itu buah
atau biji-bijian tersebut, maka menjadi berat timbangannya dan tidak sama, maka
untuk itu perlu dibersihkan dari kotoran dan dikeringkan terlebih dahulu.
Tidak
cukup juga permasalahan persamaan antara daqiiq
(tepung) dan khubuz (roti), karena tidak dapat diketahui mumaatsalah-nya (persamaannya). Karena daqiiq (tepung) kwalitasnya
bermacam-macam, ada yang lembut, ada yang kasar, jadi tidak bisa disamakan
dengan cara ditukar sekilo dengan sekilo. Begitu juga dengan satuan khubuz (roti), karena pengaruh api, ada
yang rotinya hangus dan ada juga yang rotinya tidak hangus, dengan sebab
berbedanya roti karena adanya pengaruh api.
Dibolehkan
menjual jenis dari pada math’umaat (makanan pokok) dengan math’umaat (makanan pokok)
dari jenis lainnya, seperti menjual gandum dengan beras, dalam hal ini
dibolehkan lebih kurang, karena adanya perbedaan jenisnya, meskipun sama-sama
makan pokok. Sedangkan bila satu jenis (beras dengan beras) tetapi hanya
berbeda dalam naw’ah-nya
(kwalitasnya), maka tukar-menukar (barternya) tidak dibolehkan lebih kurang,
harus sama dalam timbangan atau literannya. Misalkan beras Cianjur dengan beras
Siam, maka bila di barter harus sama timbangan ataupun literannya, meskipun
keduanya berbeda kwalitas. Demikian halnya dengan gandum, gandum ada yang
bentuknya masih tepung-kasar dan ada pula gandum yang bentuknya sudah menjadi
tepung-halus, meskipun berbeda kwalitasnya tetapi karena masih satu jenis, maka
apabila dibarter antara keduanya maka tidak boleh lebih kurang (berbeda dalam
timbangan atau literannya).
Bila
sama-sama math’umaat (makanan pokok) tetapi beda jenis boleh lebih
kurang, akan tetapi ada syaratnya, yaitu:
1. Naqdan (kontan), tidak dapat dihutang atau
ditunda pembayaran tiap-tiap satu dari keduanya sebelum berpisah dan sebelum
memilih kepastian. Misalnya pada saat yang sama seseorang menyerahkan 1 liter
gandum dan yang seorang lainnya menyerahkan 2 liter beras. Jika berpisah antara
penjual dan pembeli sebelum menerima seluruhnya, maka batal aqad-nya. Jika
keduanya (penjual dan pembeli) berpisah setelah menerima sebagian dari barang
yang diperjual-belikan, maka ada 2 pendapat Ulama Fuqoha:
Pendapat yang pertama: Memisahkan/
membedakan aqad jual-belinya, yang sudah diterima barangnya sah dan yang belum
di terima barangnya tidak sah dan harus ada Ijaab-Qobuul jual-beli lagi. Yang
nyata dari padanya (pendapat yang shoheh):
jual-belinya yang sudah di terima barangnya sah hukumnya, sedangkan barang yang
belum diterima tidak sah hukumnya. Misalkan si-A menukar 1 kg. gandum dengan 2
kg. beras kepada si-B, tetapi si-A baru menerima ½ kg. gandum, sedangkan si-B
baru menerima 1 kg. beras. Maka barang yang sudah diterima sah hukum
jual-belinya, sedangkan kekuarangannya tidak sah dan harus ada aqad jual-beli
atau Ijaab-Qobuul lagi.
Pendapat yang kedua: batal semua
transaksi jika barang yang dijual-belikan hanya diterima sebagian saja. Yang
sudah diterima batal dan yang belum diterima juga batal. Akan tetapi ini
merupakan qoul yang dhoif, yang tidak boleh difatwakan.
2. Tidak sah
menjual suatu barang yang mengandung/ meliputi adanya ghoror
(resiko), karena akan merugikan salah satu pihak, yaitu pembeli. Barang yang
mengandung resiko/ bahaya yang akan merugikan bagi pembeli yaitu: barang yang
tidak diketahui, barang yang tidak jelas dan barang yang belum dilihat sebelum
aqad. Membeli suatu barang yang belum kita lihat, hal itu menimbulkan resiko,
belum tentu barang yang dibeli bagus, barang yang diterima tidak sesuai dengan
yang diharapkan oleh si-pembeli. Ada beberapa contoh transaksi yang mengandung
resiko, diantaranya:
-
Semacam
orang yang menjual budaq miliknya: “Aku jual salah satu budaq dari pada
budaq-budaqku kepadamu.” Padahal si-pemilik budaq ini memiliki banyak budaq,
sehingga tidak jelas budaq mana yang akan dijual, bisa jadi yang diberikan
adalah budaq yang tidak sehat/ cacat. Jual-belinya tidak dibolehkan, karena
mengandung resiko.
-
Atau
seseorang yang akan menikahkan putrinya tanpa menyebutkan nama dari putrinya
tersebut. “Aku kawinkan putriku kepadamu dengan mas kawin ….” Padahal ia
mempunyai banyak anak, sehingga tidak jelas anaknya yang mana yang akan
dikawinkan. Dalam hal ini perkawinannya tidak sah, karena tidak jelas anak yang
mana yang akan dikawinkan.
-
Orang
yang akan menjual ikan yang masih ada di empang/ tambak, transaksi ini
mengandung resiko, karena ikan yang dijual tidak kelihatan, bisa jadi setelah
ditanggkap ikan seluruhnya ternyata ikan yang diperoleh tidak sesuai dengan
harapan dari si-pembeli. Transaksi seperti ini juga tidak boleh, karena bisa
jadi akan merugikan pihak pemebeli.
-
Menjual
burung yang ada di udara, hal ini juga tidak dibolehkan, karena mengandung
resiko, belum tentu dapat ditangkap itu burung, belum tentu bagus itu burung.
Sedangkan lebah yang ada di udara dibolehkan untuk dijual, dengan syarat ratu
dari lebah tersebut ada di sarangnya, karena lebah yang lainnya akan mengikuti
dari ratunya.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari
isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib
Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi
motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar