Jumat, 25 Maret 2016

FIQIH ( Mu’amalat ) - Ribaa



Pokok Bahasan     :  FIQIH ( Mu’amalat )
Judul                    :  Ribaa
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

RIBAA



Ribaa  adalah sesuatu yang Alloh haramkan, tidak hanya kepada umat Nabi Muhammad SAW. saja, tetapi juga pada umat-umat dari Nabi-Nabi yang terdahulu. Ribaa sangat besar dosanya. Rasululloh mengutuk orang yang memakan ribaa, yang memberi makan dengan ribaa (anak dan istrinya), yang menulis/ mencatat transaksi ribaa, dan 2 saksi yang menyaksikan terjadinya transaksi ribaa.  

Ribaa meliputi barang yang kelihatan, ada di depan/ di hadapan kita, dan barang yang ada dalam tanggungan kita. Barang-barang yang menjadi ribaa terbatas pada makanan-makanan pokok, emas (dzahab), dan perak (fidhoh). Dalam masalah ribaaawiyat ini, maka makanan pokok atau emas dan perak tidak terjadi pada bee’/bii’ Salam. Karena pada bee’/bii’ Salam (indent), yaitu  menyerahkan uang terlebih dahulu baru diberikan barang. Bii’/ Bee’ Salam tidak boleh dilakukan untuk transaksi jual-beli emas, perak dan makanan pokok. Contoh kita menyerahkan uang terlebih dahulu, kemudian emas atau peraknya diserahkan kemudian, hal itu tidak dibolehkan/ haram bila dikerjakan. Jual-beli emas dan perak harus langsung (naqdan), artinya waktu diserahkan uang maka disitu juga harus diserahkan emas atau peraknya, tidak boleh ditunda-tunda.

Ribaa menurut Lughot (bahasa): lebih atau bertambah. Seperti menyimpan uang di bank, uang kita menjadi bertambah. Atau meminjamkan uang dengan disertai bunga dan bunga tersebut akan bertambah bila ‘menungak’ atau telat membayarnya, maka hal ini termasuk ribaa juga.

Ribaa menurut Syara (agama): Menghadapkan suatu imbalan yang tertentu (berupa emas, perak dan makanan pokok) yang disertai dengan aqad  yaitu dengan adanya Ijaab Qobuul.
Menghadapkan emas dengan emas, atau perak dengan perak, atau emas dengan perak, atau beras dengan beras, atau beras dengan gandum, hal ini termasuk ribaa, bila tidak diketahui persamaannya.

Ribaa terjadi manakala:
1.  Tidak Diketahui Persamaannya Menurut Ukuran Syara
Jika tidak diketahui beratnya atau ukurannya, maka hal itu tidak dibolehkan. Misalkan menukarkan emas 10 gram dengan emas 10 gram, kontan/ langsung, itu tidak menjadi ribaa. Bila tidak diketahui persamaannya (beratnya/ ukurannya), maka tidak dibolehkan, misalkan menukar satu gundukan beras dengan gundukan beras lainnya, maka tidak dibolehkan (haram), karena tidak jelas berapa takeran/ ukuran  literannya?
Sesuai dengan aturan syara, maka barang yang harusnya di taker/ di liter maka tidak boleh di timbang/ di kilo dan demikian pula sebaliknya barang yang harusnya di timbang/ di kilo maka tidak boleh di taker/ di liter, dan barang yang mesti dihitung maka harus dihitung.
2.  Tidak Sama Takaran/ Ukurannya (Ribaa Fadhol)
Diketahui lebih kurangnya, jadi harus sama 5 liter dengan 5 liter atau 5 gram dengan 5 gram, jadi tidak dipandang perbedaan kadar atau kwalitas dari barang tersebut. Misalkan menukarkan 5 liter beras Cianjur dengan 10 liter beras Vietnam, maka hal itu diharamkan, karena jumlah liternya tidak sama, meskipun beras Cianjur diketahui harganya lebih mahal dibandingkan beras Vietnam. Atau misalkan emas 24 karat seberat 5 gram ditukar dengan emas 22 karat seberat 10 gram, maka hal itu tidak dibolehkan/ haram. Jika ditukar maka harus sama takarannya/ ukurannya/ beratnya, misalkan 1 gram dengan 1 gram atau 1 liter dengan 1 liter.
Jalan keluar untuk menghindari ribaa, maka kita harus menjual barang yang kita miliki terlebih dan baru kemudian kita membeli barang yang kita inginkan. Misalnya kita mempunyai 20 Kg beras Vietnam dan kita menginginkan beras Cianjur, maka caranya kita menjual terlebih dahulu beras Vietnam yang kita miliki dan uang hasil penjualan beras Vietnam tersebut baru kita belikan beras Cianjur.
3.  Penyerahan Barangnya Tidak Pada Waktu Yang Sama (Ribaa Nisob)
Barang yang ditukar sama beratnya, misalkan sama-sama 5 gram atau sama-sama 5 liter, hanya yang seorang telah menyerahkan barangnya dan yang seorang lagi menunda menyerahkan barangnya, artinya barang tidak diserahkan pada waktu yang sama, maka hal ini termasuk ribaawiyat juga, meskipun perbedaan waktunya hanya sekedar 5 menit saja.
4.  Transaksi Yang Terjadi Yang Tidak Sesuai Dengan Aturan Syara (Agama)
Transaksi yang tidak sesuai dengan syara juga dianggap sebagai ribaa, misalkan yang harusnya di takar maka harus di takar, dan yang harusnya ditimbang maka harus ditimbang, serta yang harusnya dihitung maka harus dihitung.

Ribaa hukumnya haram, banyak nash Qur’an yang menjelaskan masalah ribaa. “Alloh halalkan jual-beli dan Alloh haramkan ribaa.”  Ribaa hanya meliputi barang-barang berupa: dzahab, fidhoh  dan makanan pokok,  jadi mestinya dapat kita hindari, akan tetapi dalam kenyataannya transaksi yang kita lakukan masih keliru dan salah sehingga tidak sesuai dengan aturan agama.

Termasuk rubawiyat juga transaksi yang tidak sesuai dengan ukuran/ aturan syara, seperti menjual setumpuk barang tanpa ditaker atau ditimbang sesuai aturan syara. Ribaa terjadi apabila:
-        Haalatul aqad:  Disaat transaksi Ijaab-Qobuul tidak diketahui persamaannya, misalnya 5 gram dengan 5 gram atau 5 liter dengan 5 liter.
-        Ma’luumuut tafaadhol:  Diketahui saat aqad menukar barang dengan jenis yang sama tetapi terjadi perbedaan dalam ukuran atau beratnya, misalnya menukar 5 liter beras Cianjur dengan 10 liter beras Vietnam, hal semacam ini diharamkan.
-        Majhuul tamaatsul:  Sama dalam ukuran dan beratnya, tetapi tidak dilakukan secara kontan pada saat itu juga, maka hal ini termasuk ribaawiyat juga. Terjadinya penerimaan barang itu di akhir, sudah Ijaab-Qobuul tetapi penerimaannya belakangan, baik keduanya atau salah satunya, hukumnya sama saja. Keduanya harus menyerahkan barang secara bersamaan pada saat terjadinya Ijaab-Qobuul.
Transaksi-transaksi yang banyak kita lakukan saat ini adalah transaksi dengan cara-cara  Yahudi, umat Islam banyak terkecoh oleh transaksi dengan cara Yahudi. Semacam Multi Level Marketing adalah salah satu cara transaksi Yahudi. Cara seperti ini disebut dengan Ribaa Nisob, yaitu ditunda. Ijaab-Qobuulnya sudah terjadi, tetapi barangnya ditunda, baik keduanya atau salah satunya. Diberikan tempo (waktu), aqadnya sudah tetapi pelaksanaannya nanti, sekalipun penerimaan barang yang ditundanya hanya sesaat saja, misalkan 10 menit masih tidak boleh.

Keluar dari kata-kata: Haalatul aqad, bila terjadinya transaksi tidak dengan Aqad, yaitu dengan cara Mu’aqod. Artinya transaksi jual-beli emas dengan emas atau emas dengan perak hanya dengan saling menyerahkan saja tanpa adanya Ijaab-Qobuul. Transaksi semacam ini yang banyak terjadi pada umat Islam saat ini. Bagusnya ada Qoul (Pendapat) dari Imam Nawawi  yang membolehkannya kita bertransaki tanpa adanya Ijaab-Qobuul, sehingga kita dapat ber-taqlid  dengan pendapat beliau. Akan tetapi ada sebagian Ulama yang menafsirkan, untuk barang-barang yang nilainya kurang berharga (nilainya rendah/ murah) silahkan transaksi tanpa Ijaab-Qobuul, tetapi untuk barang-barang yang nilainya mahal, maka tidak boleh transaksinya tanpa Ijaab-Qobuul.
Bila terjadinya transaksi jual-beli emasnya tidak dengan Aqad (tanpa Ijaab-Qobuul), maka tidak menjadi ribaa, sekalipun transaksinya haram, tetapi keharamannya lebih ringan dibandingkan dengan haramnya ribaa.

Hubungannya dengan Syara, yang harusnya di taker/ di liter maka harus di taker/ di liter, yang harusnya di timbang maka harus di timbang, yang harusnya di ukur/ di meter maka harus di ukur/ di meter. Ikuti aturan agama, tidak perlu dibantah ataupun kita ber-Ij’tihad lagi, karena bukan bagian kita ber-Ij’tihad. Sudah menjadi Ijmaa’ (consensus/ kesepakatan) dari para Ulama bahwa ribaa hukumnya haram, termasuk di dalamnya bunga dari bank-bank konfensional, maka itu haram hukumnya.
Membeli bahan pakaian seharusnya dengan di ukur, maka tidak boleh membelinya dengan cara di timbang, ada sebagian orang membeli bahan pakaian atau pakaian jadi dengan cara di timbang, maka hukumnya telah melakukan/ mengerjakan ribaa. Bila kita sudah tahu hukumnya, maka hendaknya kita tinggalkan praktek-praktek transaksi seperti itu.

Sudah menjadi consensus (kesepakatan) dari para Ulama Fuqoha bahwa ribaa itu haram dan tidak ada khilaf diantara mereka tentang keharaman dari ribaa, dan ada pula ayat Al Qur’an yang mempertegas keharaman dari ribaa: “Alloh halalkan jual-beli dan Alloh haramkan ribaa.”   Ribaa itu terdapat pada emas (dzahab), dan perak (fidhoh), sedangkan pada bahan tambang lainnya seperti: nekel, besi, tembaga dan lainnya tidak termasuk ribaa. Emas yang dimaksud disini adalah emas kuning, sedangkan emas putih tidak termasuk ribaa, emas putih pun halal bila dipakai oleh laki-laki. Emas dan perak termasuk ribaawiyat sekalipun keduanya tidak dicetak sebagai mata uang, atau semacam dibuat dalam bentuk perhiasan seperti kalung, liontin, cincin, gelang dan lainnya, termasuk juga emas batangan.   

Makanan-makanan pokok (math’umaat)  termasuk ribaawiyat juga, yang pada umumnya untuk dimakan. Dan yang dimaksud makanan pokok disini adalah makanan pokok yang dimakan untuk manusia.
Bersalahan hukumnya/ tidak termasuk ribaawiyat adalah makanan pokok untuk binatang.
Yang dimaksud makanan pokok disini adalah:
-         makanan pokok yang mengenyangkan, semacam jagung, beras, gandum dan seumpamanya.
-        Atau bukan sebagai makanan pokok, tetapi sebagai makanan ringan untuk senang-senang (ngemil).
-        Atau sebagai lauk-pauk, seperti kurma (tamar), lobak (fijil) dan timun (khiyaar).
-        Atau makanan yang digunakan sebagai pengobatan semacam garam, biji kopi dll. Termasuk makanan pokok yang masuk kedalam ribaawiyat juga adalah air tawar (air putih biasa).

Tidak berlaku ribaa pada selain emas (dzahab), perak (fidhoh), dan makanan pokok (math’umaat)  baik sebagai makanan pokok, sebagai makanan ringan (ngemil), sebagai lauk-pauk ataupun untuk pengobatan.
Jerami (Kaltibni), adalah termasuk sebagai makanan hewan, jadi tidak termasuk ribaawiyat. Tulang (wal’adzhmi ), ujung-ujung ranting yang hina, itu semua tidak termasuk ribaawiyat karena termasuk makanan hewan.

Tidak ada ribaa dalam jual-beli hewan, karena hewan tidak disiapkan untuk dimakan dalam keadaan seperti itu (masih dalam keadaan hidup). Bersalahan dengan pendapat dari Syech Al Mutawaly, dimana dia mengatakan: “Adapun menjual ikan dan sepertinya, jika dibolehkan kita memakan ikan dengan jalan ditelan dalam keadaan hidup-hidup, maka tidak dibolehkan dijual dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum-hukum syara. Jika tidak dibolehkan kita memakan ikan dengan cara ditelan hidup-hidup, maka dibolehkan dijual-belikan tanpa memenuhi cara-cara hukum syara.  Artinya dibolehkan dijual-belikan dengan cara-cara ribaawiyat. Pendapat ini diikuti oleh Abdul Qosyim Arruqba.

Tidak dibolehkan menjual emas dengan emas apabila ada perbedaan dalam timbangannya, misalkan emas yang sudah dibentuk (misalnya berbentuk liontin atau cincin) seberat 5 gram akan ditukar dengan emas batangan seberat 10 gram, maka hal itu tidak dibolehkan karena ada unsur ribaawiyat disitu, tidak dipandang bahwa untuk membuat menjadi berbentuk cincin ataupun liontin maka ada ongkos atau biaya yang harus dikeluarkan dan cukup besar. Jadi apapun bentuknya bila jenisnya sama (misalkan sama-sama emas), maka ukuran/ timbangannyapun harus sama untuk keduanya. Demikian pula hukum/ ketentuannya dengan perak. Bila barang yang akan ditukar tidak sama jenisnya, misalkan akan menukar emas dengan perak, maka hal itu dibolehkan. Misalkan menukar 100 gram perak dengan 5 gram emas, maka hal tersebut dibolehkan, karena berbeda jenis, jadi dibolehkan lebih kurang atau terjadi perbedaan dalam timbangan untuk keduanya. Sama saja keduanya (emas dan perak) sudah dicetak sebagai mata uang ataupun belum dicetak (masih berbentuk batangan), bila masih satu jenis, maka tidak dibolehkan lebih kurang, harus sama beratnya, lain halnya bila berbeda jenis keduanya.

Untuk menukar barang yang sejenis, misalkan emas dengan emas atau perak dengan perak harus memenuhi 3 syarat:
1.  Mitslan bi Mitslin atau Mutamaatsilan (Barangnya harus yakin sama timbangannya atau sama takarannya)
5 gram emas ditukar dengan 5 gram emas, tidak dipandang kadarnya ataupun bentuknya, apakah dalam bentuk masih batangan ataupun sudah berbentuk perhiasan, yang diutamakan adalah beratnya harus sama. Maka tidak sah menjual sesuatu yang sudah disebutkan (emas ataupun perak), yang sama jenisnya dalam jumlah lebih/kurang (tidak sama timbangannya). Bila berbeda jenisnya, misalkan emas ditukar dengan perak, maka dibolehkan ada perbedaan timbangannya (lebih/ kurang).
2.  Ma’quud ‘alaiih (barangnya) harus naqad  ayhaalan (kontan)
Saat Ijaab-Qobuul terjadi, maka barang atau uang yang diperjual-belikan harus ada di tempat pada saat transaksi terjadi, tidak boleh ditunda penyerahannya (tempo) untuk keduanya ataupun salah satunya barangnya, meskipun penundaannya hanya dalam waktu sesaat, apalagi perbedaan waktunya dalam jangka yang cukup lama. 
3.  Harus Yadan bi Yadin (Kontan/ Tunai dan Diterima Barangnya).
Sebelum berpisah dari majlis aqad (tempat) terjadinya transaksi jual-beli, maka barangnya atau uangnya sudah harus diterima, tidak boleh hanya dengan ucapan saja, barangnya harus dipegang saat terjadi Ijaab-Qobuul, sebelum habis masa khiyaar majlis/ khiyaar syarath/ khiyaar ‘aiib.
Maka tidak bolehkan menjual dengan cara dibebaskan dari kewajiban, misalkan kita menjual emas/ perak seberat 10 gram dan uang atau barang sebagai penukarnya sudah kita terima, tetapi barang (emas/ perak) yang kita jual harus diambil terlebih dahulu dari si-fulan, karena si-fulan mempunyai hutang kepada kita sebesar 10 gram juga, maka hal tersebut tidak dibolehkan.   

Meminjamkan atau menyewakan emas dibolehkan, misalkan digunakan sebagai perhiasan, yang tidak dibolehkan adalah mengutangkan/ mengkreditkan emas atau membeli dengan cara mencicil, karena ada unsur ribaawiyat disitu.
Menukar beras dengan beras, tetapi salah satunya tidak diserahkan pada saat itu juga, meskipun berat atau takarannya sama, tetap tidak dibolehkan. Bila mengutang beras dengan uang dibolehkan, misalkan kita membeli beras 1 karung seharga Rp. 500.000,- dan akan dibayar 1 bulan kemudian, maka hal itu dibolehkan, karena berbeda jenisnya, yaitu beras dengan uang. Yang tidak dibolehkan mengutang beras dibayar dengan beras, karena keduanya sama jenisnya. Meminjam beras diganti dengan beras dibolehkan, karena tidak termasuk dalam aqad jual-beli, misalkan kita ada hajatan dan meminjam beras sebanyak 1 karung kepada seseorang, setelah selesai hajatan kita ganti lagi dengan 1 karung beras, maka hal tersebut dibolehkan. Jadi kesimpulannya:
-        Menyewakan emas sebagai perhiasan                              :  boleh
-        Menghutang/ Membeli emas dengan cara mencicil :  tidak boleh
-        Hutang beras dibayar beras                                    :  tidak boleh
-        Hutang beras dibayar uang                                    :  boleh
-        Pinjam beras dibayar beras                                     :  boleh 

Syarat menjual/ menukar barang dengan barang yang sejenis:
1.    Timbangan atau ukurannya harus sama, 3 gram dengan 3 gram.
2.    Transaksinya harus kontan/ tunai, tidak boleh dengan cara tempo.
3.    Barang yang dijual-belikan harus diterima/ dipegang saat itu juga.

“Tidak sah menjual apa yang dibelinya oleh seseorang sebelum dipegang/ diterimanya itu barang.”
Manakala kita membeli suatu barang, kita belum boleh menjual kembali barang yang kita beli tadi sebelum barang tersebut kita terima atau berada ditangan kita. Misalkan kita membeli mobil, sebelum kita menerima mobil tersebut dari penjual, kita sudah menjualnya kembali kepada orang lain, maka transaksi jual-belinya tidak sah. Setelah barang yang kita beli sudah kita terima, maka baru sah bagi kita untuk menjualnya, menghibahkannya atau lainnya.

Bila kita menjual barang kepada penjual semula, membeli barang kepada si-A dan menjualnya kembali kepada si-A, dengan harga dan barang yang sama/ tertentu, dan jika masih ada barangnya, atau dengan barang yang serupa dengan itu barang, jika barang sudah binasa/ rusak atau sudah tidak ada pada kita, seperti di curi atau lainnya, atau kita membeli barang dalam tanggungan (bii’/ bee’ salam), kita menyerahkan uangnya terlebih dahulu dan barangnya baru diserahkan kemudian/ belakangan/ indent.
Jadi bila kita menjual barang kepada penjual barang yang semula/ sama, maka sah jual-belinya. Tujuannya kita menolong membeli barang dari si-A setelah adanya kepastian berupa Ijaab-Qobuul. Ini bukan termasuk khiyaar majlis , karena kondisinya antara penjual dan pembeli sudah berpisah dan transaksinya sudah tuntas/ selesai, lain halnya bila antara penjual, pembeli dan barangnya masih ada di tempat transaksi, maka masih dibolehkan membatalkan transaksi. 

Apabila si-pembeli membatalkan transaksi jual-beli setelah adanya kepastian berupa Ijaab-Qobuul atau pembatalan transaksinya dari si-penjual, apabila salah satunya tidak menyetujuinya/ tidak menerima pembatalan jual-beli tersebut, maka hal itu tidak dapat dipaksakan/ tidak wajib/ tidak mengikat, tetapi bila pembatalan transaksinya disetujui oleh pihak yang lainya maka disitu ada pahala yang sangat besar. Kemungkinan terjadinya pembatalan transaksi dapat disebabkan karena pembeli merasa barang yang dibelinya terlalu mahal atau tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, atau pembeli ada kebutuhan lain yang memerlukan uang dengan segera, dll. 

Apabila pembeli dan penjual masih berada pada satu tempat transaksi (khiyaar majlis)  dan barangnya juga masih ada ditempat tersebut dan transaksinya belum tuntas/ selesai atau sah, maka apabila salah satu pihak (penjual/ pembeli) bermaksud membatalkan transaksi jual-beli tersebut, maka transaksinya masih dapat dibatalkan. Akan tetapi dalam transaksi jual-beli sehari-hari, terkadang hukum ini tidak dipakai, meskipun kita belum meninggalkan tempat transaksi/ toko, tetapi barang yang sudah tercatat dalam nota sudah tidak dapat dikembalikan/ dibatalkan. Atau kita membeli barang dengan menyerahkan dp/ uang muka, karena batal transaksinya maka hilang dp/ uang mukanya, hal tersebut haram hukumnya.

Dalam sebuah Hadits Qudsy yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasululloh bersabda: “Siapa orang yang membatalkan/ mengurungkan karena orang menyesal akan jual-belinya, maka Alloh hapuskan ia punya kesalahannya (dosanya) di Hari Qiyaamat.” 

Kesimpulan dari Maqom Jual-Beli (Bee’/Bii’), yaitu harta seseorang yang berada di tangan orang lain ada 3 bagian hukum:
1.    Adakalanya hartanya terkandung dalam jaminan aqad jual-beli, semacam barang yang masih ditangan orang, tsaman (harganya) masih ditangan orang, mas kawin yang masih ditangan suami. Jika kita melakukan aqad jual-beli dan barangnya masih ada ditangan orang (belum di tangan kita), sebelum barang tersebut kita terima, maka tidak boleh (tidak sah) bila kita menjual itu barang kepada orang lain. Harganya (pembayarannya) begitu juga, kita tidak dapat membeli barang kepada orang lain dan uang pembayarannya kita perintahkan untuk diminta kepada si-fulan, karena si-fulan belum membayar barang yang dibeli dari kita. Sebelum barang atau tsaman (pembayarannya) kita terima, maka kita tidak dibolehkan mendayaguna (menyewakan atau menjual dll.) barang atau tsaman dari transaksi jual-beli sebelum barang atau tsaman-nya kita terima. Kecuali pada hal-hal yang dikecualikan, seperti dia membeli budaq kepada seseorang, sebelum diterima itu budaq di sudah dapat mengawinkan budaq yang dia beli kepada orang lain atau ia merdekakan itu budaq atau ia waqafkan itu budaq kepada tempat ibadah atau lainnya. Hal seperti ini dibolehkan karena bertujuan untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada Alloh, hal ini ada nilai pahalanya.
2.    Adakalanya hartanya terkandung dalam jaminan dengan tanpa aqad, semacam barang yang dirampas orang, atau barang yang sudah dalam penawaran/ transaksi kemudian di bawa kabur, atau barang yang dipinjamkan. Dia dibolehkan ber-tasharuf  (mendayaagunakan) atas itu barang padahal barang belum ia terima. Orang yang membeli barangnya mengetahui bahwa barang yang dijualnya masih ditangan orang yang merampasnya dan ia mempunyai kemampuan untuk mengambil barang itu dari orang yang merampasnya, atau burung yang terlepas dan ia mempunyai kemampuan untuk mendapatkan/  menyerahkan kembali burung yang terlepas tadi.
3.    Barang yang tidak ada aqad, barang yang tidak ada kaitannya dengan haq orang, tidak ada amal/ jasa orang disitu, dibolehkan kita ber-tasharuf  (mendayaagunakan) itu barang sebelum barangnya diterima, asalkan barangnya milik pribadi. Semacam harta  yang di-syirkah-kan,  ia  bekerjasama dengan seseorang, maka ia boleh menjual sahamnya, padahal ia belum terima itu sahamnya. Misalkan ia membeli tanah/ rumah/ mobil secara patungan (gabungan beberapa orang), ia dapat menjual bagian yang menjadi miliknya. Atau harta yang berada di tangan ‘Aamil (orang yang mengelola uangnya) semacam Qiradh, yaitu kerja sama yang dilakukan antara orang yang mempunyai kemampuan berdagang/ usaha dengan orang yang memiliki uang atau harta lainnya sebagai pemilik modal. Atau barang/ benda yang digunakan sebagai jaminan (gadai) dapat berupa mobil, motor ataupun sertifikat tanah, misalnya karena kita meminjam uang kepadanya. Setelah uang pinjamannya dapat kita lunasi, maka meskipun barang/ benda yang digunakan sebagai jaminan (gadainya) masih ditangan orang, kita dibolehkan untuk menjual barang jaminannya tadi.
Ada seseorang yang menjual jasa (tenaga), semacam orang yang kita sewa tenaganya untuk menjahit baju, andaikata suatu saat kita akan menjual baju tersebut, maka kita belum boleh menjual bajunya sebelum kita membayar uang jasa (upah/ gaji) dari penjahitnya. Demikian juga halnya dengan uang jasa dari  tukang cuci baju (laundry), tukang celup (sablon), atau jasa untuk menggiling gandum, dll. Sebelum kita membayar jasa/ upah mereka, maka kita belum boleh menjual barangnya tersebut.

Tidak dibolehkan menjual laham (daging)  dan yang semakna dengan daging, seperti syahmi (gajih/ lemak), kabid (jantung), qolby (hati), kulyah (ginjal), thihaal (limpa), dan li’ilyah (buntut/ ekornya) di jual/ di barter dengan haiwaan (hewan/ binatang) yang masih hidup, semacam di barter daging 30 Kg. dengan seekor kambing, maka hal itu tidak dibolehkan. Jika dibeli dengan uang semacam yang umum terjadi di pasar maka dibolehkan.

Sama saja daging tadi di jual dengan yang sama jenisnya dengan hewan yang akan ditukar, seperti daging kambing dengan kambing. Atau bukan dengan jenisnya, tetapi hewan yang dimakan dagingnya, misalnya 50 Kg. daging kambing di jual/ di barter dengan 100 ekor ayam, atau daging sapi di jual/ di barter dengan daging kambing, maka hal itu tidak dibolehkan. Demikian pula tidak dibolehkan menjual daging dengan binatang yang tidak di makan dagingnya, maka tidak dibolehkan menjual seumpama daging kambing dengan himaar (keledai), keledai tidak di makan dagingnya. Hal seperti ini dilarang karena di dalamnya terkandung praktek ribaawiyat.  

Dibolehkan dalam syara menjual dzahab (emas) dengan fidhoh (perak) lebih kurang, sedangkan emas dengan emas tidak dibolehkan lebih kurang, meskipun nilai kedua emas tadi berbeda, berbeda dari bentuknya atau jenisnya. Apabila menjual emas dangan emas, maka beratnya harus sama bagi keduanya, tidak dipandang apakah salah satu dari emas tadi nilainya lebih mahal.
Dibolehkan pula menjual perak dengan emas dan dibolehkan adanya perbedaan (kurang lebih) dalam timbangannya, misalkan menjual perak 50 gram dengan emas 10 gram, karena nilai emas berbeda (lebih mahal) bila dibandingkan dengan perak.

Menjual emas dengan perak atau sebaliknya dibolehkan, akan tetapi agar lepas dari ribaawiyat maka harus memenuhi 2 syarat:
1.    Bahwa tiap-tiap satu dari keduanya (emas dan perak) harus naqdan (kontan), tidak dapat dihutang atau ditunda pembayaran tiap-tiap satu dari keduanya. Sejak Ijaab Qobuul, maka masing-masing dari keduanya harus sudah diserahkan.
2.    Barang yang sudah ada harus di terima/ di pegang (maqbuudho)  itu barang dengan tiap-tiap satu dari keduanya (penjual dan pembeli). Diterima masing-masing barang qoblal tafaruqiin (sebelum berpisah), dan sebelum memilih kepastian. Dalam aqad jual-beli ada bermacam-macam khiyaar, yang dikenal umum ada 3, yaitu:
a.     Khiyaar Majlis: Selama masih ada di majlis di sebut khiyar majlis, sudah transaksi tetapi sebelum berpisah dari majlis (tempat transaksi) apabila salah satu pihak ingin membatalkan transaksi, maka masih dibolehkan.
b.     Khiyaar Syarath: Sudah terjadi transaksi, tetapi salah satu pihak minta diberikan kesempatan untuk berfikir, misalnya selama 3 hari, apabila dalam jangka waktu 3 hari ia berubah fikiran maka transaksi menjadi batal.
c.     Khiyaar ‘Aiib: Sudah terjadi transaksi, tetapi ternyata barang yang kita beli/ terima ada cacat/ aib-nya, maka transaksi dapat dibatalkan.

Ketentuan Khiyar semacam di atas di benarkan dalam aqad jual-beli, karena di atur dalam Syara, akan tetapi bila sekarang kita memperaktekan cara seperti ini, bukan tidak mungkin akan menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli, atau seperti yang umum terjadi bila transaksi batal maka uang muka/ panjar hilang atau uang pengembaliannya dipotong, padahal haram melakukan cara-cara seperti itu.

Demikianpula dengan  math’umaat  (makanan pokok), tidak dibolehkan menjual barang yang sejenis dengannya, semacam beras dengan beras, gandum dengan gandum. Atau yang sama naw’ah-nya (kwalitasnya) misalnya beras Cianjur dengan beras Cianjur atau yang berbeda kwalitasnya seperti beras Cianjur dengan beras Siam. Dalam transaksi jual-beli semacam ini tidak dibolehkan lebih-kurang, meskipun terjadi perbedaan kwalitas atau harganya antara keduanya, harus tetap sama dari keduanya, 10 liter ditukar dengan 10 liter, tidak boleh lebih-kurang, karena disitu ada unsur ribaawiyat. Untuk membebaskan/ melepaskan diri dari praktek ribaawiyat dalam hal transaksi jual-beli math’umaat  (makanan pokok), maka harus memenuhi 3 syarat:
a.     Tiap-tiap satu dari keduanya, harus  yaqin sama (jumlah/ timbangan/ liter, dll.), tidak dipandang naw’ah-nya (kwalitasnya) ada perbedaan, yang terpenting jumlah/ literan/ kiloannya harus sama.
b.     Transaksinya harus naqdan (kontan), tidak boleh di tunda penyerahannya dari tiap-tiap satu dari keduanya. Jika hutang beras di bayar dengan uang maka dibolehkan, karena berbeda jenisnya.
c.     Harus diterima itu barang oleh tangan dari satu tiap-tiap satu diantara keduanya (penjual dan pembeli) sebelum berpisah. Sebelum memastikan akan transaksi tadi, maka barang sudah harus diterima.  

Dalam transaksi jual-beli yang sesuai dengan aturan syara khiyaar majlis, khiyaar syarath, khiyaar ‘aiib  harus ada, senang tidak senang, suka atau tidak suka 3 khiyaar tersebut harus ada dalam transaksi jual-beli.

Dalam transaksi yang yang dipandang adalah yang berlaku secara umum/ adat/ kebiasaan, maka yang harus di timbang ya di timbang, yang harus di liter ya di liter, yang harus di meter ya di meter dan seterusnya. Ikuti seperti apa yang berlaku sewaktu di zaman Nabi di Madinah. Apabila tidak diketahui di zaman Nabi (tidak ada riwayat) barang yang diperjual-belikan ini apakah harus ditimbang, diliter atau diukur, maka yang berlaku adalah kebiasaan dari yang berlaku di negeri tersebut. Jika suatu barang yang ukurannya lebih besar dari tamar (kurma), maka yang dipandang adalah dengan cara di timbang.


Ketentuan tentang hal buah-buahan dan biji-bijian di hitung baik dengan cara di liter ataupun dengan cara di timbang, yaitu setelah keduanya dalam kondisi kering, dan telah dibersihkan dari kotoran-kotorannya, bila masih dalam keadaan basah maka tidak dibenarkan/ tidak dipandang. Maksud yang dikehendaki dari buah-buahan dan biji-bijian ini adalah bagian yang bisa dimakan, tetapi karena masih dalam kondisi basah dan ada kotoran/ tanah yang melekat pada itu buah atau biji-bijian tersebut, maka menjadi berat timbangannya dan tidak sama, maka untuk itu perlu dibersihkan dari kotoran dan dikeringkan terlebih dahulu.

Tidak cukup juga permasalahan persamaan antara daqiiq (tepung) dan khubuz  (roti), karena tidak dapat diketahui mumaatsalah-nya (persamaannya). Karena daqiiq (tepung) kwalitasnya bermacam-macam, ada yang lembut, ada yang kasar, jadi tidak bisa disamakan dengan cara ditukar sekilo dengan sekilo. Begitu juga dengan satuan khubuz (roti), karena pengaruh api, ada yang rotinya hangus dan ada juga yang rotinya tidak hangus, dengan sebab berbedanya roti karena adanya pengaruh api.

Dibolehkan menjual jenis dari pada math’umaat  (makanan pokok) dengan math’umaat  (makanan pokok) dari jenis lainnya, seperti menjual gandum dengan beras, dalam hal ini dibolehkan lebih kurang, karena adanya perbedaan jenisnya, meskipun sama-sama makan pokok. Sedangkan bila satu jenis (beras dengan beras) tetapi hanya berbeda dalam naw’ah-nya (kwalitasnya), maka tukar-menukar (barternya) tidak dibolehkan lebih kurang, harus sama dalam timbangan atau literannya. Misalkan beras Cianjur dengan beras Siam, maka bila di barter harus sama timbangan ataupun literannya, meskipun keduanya berbeda kwalitas. Demikian halnya dengan gandum, gandum ada yang bentuknya masih tepung-kasar dan ada pula gandum yang bentuknya sudah menjadi tepung-halus, meskipun berbeda kwalitasnya tetapi karena masih satu jenis, maka apabila dibarter antara keduanya maka tidak boleh lebih kurang (berbeda dalam timbangan atau literannya). 

Bila sama-sama math’umaat  (makanan pokok) tetapi beda jenis boleh lebih kurang, akan tetapi ada syaratnya, yaitu:
1.    Naqdan (kontan), tidak dapat dihutang atau ditunda pembayaran tiap-tiap satu dari keduanya sebelum berpisah dan sebelum memilih kepastian. Misalnya pada saat yang sama seseorang menyerahkan 1 liter gandum dan yang seorang lainnya menyerahkan 2 liter beras. Jika berpisah antara penjual dan pembeli sebelum menerima seluruhnya, maka batal aqad-nya. Jika keduanya (penjual dan pembeli) berpisah setelah menerima sebagian dari barang yang diperjual-belikan, maka ada 2 pendapat Ulama Fuqoha:
Pendapat yang pertama: Memisahkan/ membedakan aqad jual-belinya, yang sudah diterima barangnya sah dan yang belum di terima barangnya tidak sah dan harus ada Ijaab-Qobuul jual-beli lagi. Yang nyata dari padanya (pendapat yang shoheh): jual-belinya yang sudah di terima barangnya sah hukumnya, sedangkan barang yang belum diterima tidak sah hukumnya. Misalkan si-A menukar 1 kg. gandum dengan 2 kg. beras kepada si-B, tetapi si-A baru menerima ½ kg. gandum, sedangkan si-B baru menerima 1 kg. beras. Maka barang yang sudah diterima sah hukum jual-belinya, sedangkan kekuarangannya tidak sah dan harus ada aqad jual-beli atau Ijaab-Qobuul lagi.
Pendapat yang kedua: batal semua transaksi jika barang yang dijual-belikan hanya diterima sebagian saja. Yang sudah diterima batal dan yang belum diterima juga batal. Akan tetapi ini merupakan qoul yang dhoif, yang tidak boleh difatwakan.
2.    Tidak sah menjual suatu barang yang mengandung/ meliputi adanya  ghoror (resiko), karena akan merugikan salah satu pihak, yaitu pembeli. Barang yang mengandung resiko/ bahaya yang akan merugikan bagi pembeli yaitu: barang yang tidak diketahui, barang yang tidak jelas dan barang yang belum dilihat sebelum aqad. Membeli suatu barang yang belum kita lihat, hal itu menimbulkan resiko, belum tentu barang yang dibeli bagus, barang yang diterima tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh si-pembeli. Ada beberapa contoh transaksi yang mengandung resiko, diantaranya:
-        Semacam orang yang menjual budaq miliknya: “Aku jual salah satu budaq dari pada budaq-budaqku kepadamu.” Padahal si-pemilik budaq ini memiliki banyak budaq, sehingga tidak jelas budaq mana yang akan dijual, bisa jadi yang diberikan adalah budaq yang tidak sehat/ cacat. Jual-belinya tidak dibolehkan, karena mengandung resiko.
-        Atau seseorang yang akan menikahkan putrinya tanpa menyebutkan nama dari putrinya tersebut. “Aku kawinkan putriku kepadamu dengan mas kawin ….” Padahal ia mempunyai banyak anak, sehingga tidak jelas anaknya yang mana yang akan dikawinkan. Dalam hal ini perkawinannya tidak sah, karena tidak jelas anak yang mana yang akan dikawinkan.
-        Orang yang akan menjual ikan yang masih ada di empang/ tambak, transaksi ini mengandung resiko, karena ikan yang dijual tidak kelihatan, bisa jadi setelah ditanggkap ikan seluruhnya ternyata ikan yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan dari si-pembeli. Transaksi seperti ini juga tidak boleh, karena bisa jadi akan merugikan pihak pemebeli.
-        Menjual burung yang ada di udara, hal ini juga tidak dibolehkan, karena mengandung resiko, belum tentu dapat ditangkap itu burung, belum tentu bagus itu burung. Sedangkan lebah yang ada di udara dibolehkan untuk dijual, dengan syarat ratu dari lebah tersebut ada di sarangnya, karena lebah yang lainnya akan mengikuti dari ratunya.
 


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar