Senin, 12 Oktober 2015

FIQIH (HAJI & UMROH) - Dam Yang Wajib Dalam Ihrom Haji dan Ihrom Umroh (Bag.2)


Pokok Bahasan     :  FIQIH (HAJI & UMROH)
Judul                    :  Dam Yang Wajib Dalam Ihrom Haji dan Ihrom Umroh (Bag.2)
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.


D. Dam Yang Wajib Dengan Sebab Kita Membunuh Hewan Liar/ Hewan Buruan
Yang dimaksud dengan hewan buruan adalah hewan darat yang liar dan dimakan dagingnya, serta bukan merupakan binatang peliharaan/ binatang ternak. Misalkan kita memelihara hewan seperti ayam atau kambing dan di saat kita sedang Ihrom, kita bermaksud memotongnya, maka hal itu dibolehkan, karena yang dilarang adalah hewan liar bukan hewan ternak. Dibolehkan juga bagi kita yang sedang ihrom membunuh binatang yang menggangu seperti lalat atau nyamuk, karena keduanya bukan termasuk binatang yang dimakan dagingnya.

Yang dilarang dibunuh juga adalah binatang darat yang boleh dimakan dagingnya dan salah satu induknya (bapak atau ibu dari si-binatang) berasal dari binatang liar. Hukumnya sama dengan kita memotong pohon atau tanaman yang ada di tanah haram. Yang termasuk dilarang dilakukan juga terhadap binatang liar adalah dengan jalan kita melumpuhkan binatang liar tersebut sehingga mereka menjadi tidak berdaya.

Dam-nya untuk membunuh hewan liar darat yang boleh dimakan dagingnya ini dapat berupa kambing atau dapat pula diganti menjadi puasa. Dengan syarat harga yang sama untuk membeli seekor kambing bila dibelikan makan pokok dapat berapa banyak? Dari makanan pokok tadi bila dibagi dapat menjadi berapa mud? Maka sebanyak bilangan mud tadi, maka sebanyak itu pula hari puasa yang mesti kita kerjakan. Misalkan harga kambing 3 juta, dari uang 3 juta bila dibelikan beras dapat berapa liter? Dari jumlah liter beras tadi dibagi lagi menjadi mud, maka dari tiap-tiap mud tadi kita harus menggantinya dengan puasa. 

Dam puasa ini dapat pula untuk menggantikan binatang liar yang kita bunuh, tetapi binatang tersebut tidak ada persamaan jenisnya.

Binatang buruan yang apabila bunuh atau kita ganggu, maka menyebabkan timbulnya fidyah atau dam, maka digolongkan menjadi 3 bagian:
1.  Binatang Yang Dibunuh Ada Yang Serupa Dengannya
a.   Binatang Yang Ada Sepertinnya/ Serupa Dengannya
Binatang liar yang kita bunuh atau dilumpuhkan, binatang itu ada yang serupa dengannya, serupa dalam bentuknya, bentuk kejadiannya, tidak mesti pas sama, kurang lebih bentuk kejadiannya hampir sama. Tidak mesti Taqdidan (sama), tetapi asal Taqriban (mirip).
b.   Binatang Yang Ada Riwayat/ Dicontohkan Oleh Nabi Muhammad SAW. Atau Salafus Sholeh.
Misalkan binatang liar yang seperti ini dibunuh, maka binatang apa yang mesti disembelih untuk membayar damnya?  Apabila ada yang telah dicontohkan oleh Nabi ataupun para Salafus Sholeh, maka tinggal diikuti saja. Binatang yang dibunuh/ dilumpuhkan/ disiksa ada riwayatnya dari Nabi, tetapi tidak ada binatang yang serupa dengannya, maka hukum damnya sama seperti binatang yang ada serupa dengannya.
c.   Binatang Yang Tidak Ada Riwayatnya Dari Nabi Atau Salafus Sholeh
Apabila ada binatang liar yang dibunuh dan tidak ada riwayat/ contohnya dari Nabi ataupun Salafus Sholeh. Maka untuk menghukumkannya bertanya kepada orang yang adil (orang yang tidak melakuan maksiat), artinya orang yang tidak fasiq, dan ia ahli ibadah, ahli ilmu fiqih dan cerdas (dapat menentukan pilihan yang tepat). Untuk binatang yang dibunuh/ dilumpuhkan dan tidak ada riwayatnya dari Nabi ataupun Salafus Sholeh, maka damnya seekor kambing. Hal ini sama saja dam-nya untuk binatang yang lebih besar daripadanya.
2.  Binatang Yang Dibunuh Tidak Ada Yang Serupa Dengannya
Binatang yang dibunuh, dilumpuhkan, dibuat susah sehingga tidak berdaya, dan tidak ada yang serupa/ sebanding dengan binatang tersebut. Manakala kita sakiti atau kita bunuh binatang yang tidak ada yang serupa dengannya, maka damnya adalah satu ekor kambing, karena ada ketentuan hukum dari Sohabat Nabi.
3.  Binatang Yang Dibunuh Ada Riwayatnya Dari Nabi Dan Ada Binatang Sepertinya
Binatang yang dibunuh atau diganggu ada riwayatnya/ contohnya dari Nabi dan ada binatang sepertinya. Contohnya adalah burung merpati, maka dapat/ mudah dicari yang serupa dengannya seperti burung tekukur. Dan semua burung yang dilehernya ada semacam pergelangan/ kalung. Pergelangannya yang berwarna putih, kuning, merah atau lainnya. Apabila ada satu dari burung tadi yang kita bunuh atau kita sakiti, maka dam-nya dengan satu ekor kambing.

Diberikan kesempatan untuk memilih salah satu dari 3 alternatif. Apabila ada orang yang sedang melaksanakan Ihrom Haji atau Ihrom Umroh dan ia membunuh binatang atau melumpuhkan dari pada binatang yang ada serupa dengannya, serupa dalam bentuk badannya dari binatang ternak. Yang dimaksud serupa dengan binatang buruan/ liar yang dibunuh tadi adalah yang hampir mendekati saja dalam bentuknya tidak harus pas sama dalam bentuknya. Serupanya Taqriban (kurang lebih), bukan Tahqiqan (sama persis). Maka wajib pada binatang buruan yang dibunuh besar dalam ukuran, maka dam-nya juga dengan binatang yang ukurannya besar pula. Dan apabila binatang yang dibunuh berukuran kecil, maka dam-nya juga dengan binatang yang ukurannya kecil pula. Apabila binatang yang dibunuh dengan jenis laki-laki, maka dam-nya juga dengan jenis laki-laki. Apabila yang dibunuh jenisnya perempuan, maka dam-nya juga jenis perempuan. Afdholnya binatang yang dibunuh laki-laki, maka damnya juga laki-laki, demikian juga dengan perempuan. Tetapi hal ini tidak wajib harus laki dengan laki dan perempuan dengan perempuan. Boleh saja dam yang laki untuk menggantikan yang perempuan atau sebaliknya. Bila yang dibunuh binatang yang sehat, maka sebagai dam-nya dengan binatang yang sehat juga. Bila binatang yang dibunuh gemuk, maka dam-nya juga dengan binatang yang gemuk. Tidak boleh yang sehat diganti dengan yang sakit, dan yang gemuk diganti dengan yang kurus. Apabila binatang yang kita bunuh sedang hamil, maka dam-nya dengan binatang yang hamil juga, tetapi bila sedang hamil dam-nya tidak boleh disembelih dan tidak boleh juga diberikan kepada orang. Maka sebagai gantinya di taksir dari harga binatang yang dibunuh dan sedang hamil tadi berapa harga pasarannya di Makkah? Dan dari harga taksiaran dari binatang tadi kita shodaqohkan dengan cara membeli makanan pokok dan dibagikan kepada kaum faqir-miskin. Apabila tidak ada uang atau sayang mengeluarkan uang untuk membeli makanan, maka dapat diganti dengan puasa, dari tiap-tiap 1 mud diganti dengan 1 hari puasa (3,5 liter = 4 mud).  

Tuan Syech Musonif (pengarang kitab) menyebutkan bahwa orang yang membunuh atau mengganggu binatang-binatang liar darat yang boleh/ dapat dimakan dagingnya di Tanah Haram, maka ada sangsi baginya. Dia harus mengeluarkan binatang yang serupa dengan binatang yang ia bunuh/ dilumpuhkan tadi. Dan ia wajib mengeluarkan dari binatang yang ada persamaannya, yaitu harganya bagi yang memiliki atau memelihara binatang seperti yang ia bunuh/ lumpuhkan. Misalkan ia mempunyai binatang peliharaan/ ternak di rumah yang serupa dengan kambing liar yang ia bunuh, maka silahkan ia potong kambing yang ada di rumahnya tersebut. Atau binatang yang serupa dengan ayam atau serupa dengan apa saja. Apabila ia tidak memilikinya, maka ia harus membeli untuk kemudian dia sembelih sebagai dam.

Cara membayar damnya, yaitu ia sembelih binatang ternak yang serupa dengan binatang liar yang ia bunuh atau ia ganggu di Tanah Haram. Dan binatang ternak yang kita sembelih tersebut dagingnya kita shodaqohkan kepada orang-orang faqir atau miskin yang ada di Tanah Haram.

Maka tidak cukup bila kita keluarkan itu binatang dalam keadaan hidup dan tidak cukup/ tidak memadai pula apabila kita hanya menyembelihnya saja dan meninggalkan atau tidak mengurus pembagian daging binatang yang kita sembelih tersebut kepada fuqoro wal masaqin.

Maka wajib atas orang yang membunuh burung unta (burung Kasuari) baik laki-laki ataupun perempuan, maka wajib baginya menyembelih seekor Unta, kemudian dagingnya dibagi-bagikan, tentunya hanya terbatas kepada fuqoro wal masaqin saja yang ada di tanah haram.

Dan apabila kita membunuh dari pada seekor sapi liar atau seekor keledai liar, maka yang kita sembelih adalah sapi ternak (hewan peliharaan) dan keledai ternak (hewan peliharaan) pula.

Apabila kita membunuh kijang atau anak kijang yang sudah keluar tanduknya, maka yang kita sembelih adalah kambing kecil yang usianya sudah genap satu tahun. Jika yang kita bunuh kijang yang perempuan, maka yang kita sembelih adalah anak kambing yang perempuan yang usianya sudah genap 1 tahun.

Dan sisa-sisa tentang gambaran-gambaran binatang buruan yang ada sepertinya (ada yang serupa dengannya), tersebut dalam kitab-kitab besar.

Apabila yang kita bunuh anak kelinci, maka sebagai penganti yang harus kita sembelih adalah anak kambing yang belum genap berusia satu tahun. Apabila kita membunuh “yarmu” (sejenis tikus), maka damnya kambing perempuan jika sudah mencapai usia 4 bulan.

 Jika membunuh rubah atau pelanduk betina, biawak, kancil, maka damnya “sattun”  (kambing). 
Nabi pernah diberi daging biawak oleh salah seseorang sohabat, tetapi Nabi tidak mau menerimanya, akan tetapi Nabi tidak melarang sohabat tersebut untuk memakannya, maka dihukumkan daging biawak tersebut adalah halal. 

Pada bagian yang kedua, Tuan Syech Musonif (pengarang kitab), menaksir harga  dari binatang buruan yang dibunuh yang dilakukan oleh orang yang adil, yaitu  orang yang menjauhkan diri dari mengerjakan dosa-dosa besar, dan tidak membiasakan diri untuk mengerjakan dosa-dosa kecil. Ditaksir oleh 2 orang yang adil dari penduduk tanah Harom dan dilakukan dimana saja yang merupakan bagian dari tanah harom, di hari kita mengeluarkan dam tersebut. Dari harga taksiran tadi, uangnya kita shodaqohkan kepada fuqoro wal masaqin. Hal ini dilakukan untuk binatang-binatang yang ada serupa dengan binatang yang dibunuh/ dilumpuhkan.

Adapun untuk binatang-binatang yang tidak ada serupanya, maka di pandang/ di taksir harganya di tempat dimana binatang tersebut dibinasakan/ dibunuh, bukan di tanah harom. Masa atau waktu It’laq saat binatang itu dibunuh, kemungkinan lain waktu lain pula harganya, jadi bukan waktu kita akan membayar damnya. Setelah di taksir harganya, kemudian dia belikan dari harga binatang tadi makanan yang memadai untuk zakat fitrah (makanan pokok). Jangan dibelikan sesuatu yang bukan makanan pokok, seperti pakaian ataupun semacam mie instant dan lain sebagainya.

Wajib ia shodaqohkan makanan pokok yang ia beli ataupun makanan pokok yang ada di rumahnya (bila ia mempunyai stock makanan) tersebut kepada fuqoro wal masaqin yang ada di tanah haram.

Ada pemikiran dari Ustdz-Ustdz muda yang ada di Indonesia, bahwa karena dalam pandangan mereka dam-dam yang dibayarkan di tanah haram dirasakan kurang manfaat bila dibayarkan disana, seperti jumlahnya yang dirasakan berlebihan, maka mereka bermaksud untuk memindahkan membayar dam tersebut di tanah air (Indonesia) saja, akan tetapi karena yang melandasi hukum membayar dam di tanah haram adalah Al Qur’an, maka tidak dapat kita seenaknya untuk merubah apa yang sudah menjadi ketentuan/ hukum Alloh yang tercantum di dalam Al Qur’an.

Tidak dibolehkan shodaqohnya tersebut berupa dirham ataupun berupa mata uang lainnya, jadi harus berupa makanan pokok yang sah untuk zakat fitrah.

Pada bagian yang ketiga, Tuan Syech Musonif (pengarang kitab) menyebutkan: bila tidak mau mengelurakan shodaqoh beruapa makanan, maka damnya dapat diganti dengan puasa sebanyak hari dari tiap-tiap mud yang wajib dikeluarkan. Misalkan dari binatang yang dibunuh ditaksir seharga 500 real, misalkan dari 500 real tadi bila dibelikan beras/ gandum dapat memperoleh 5 karung beras/ gandum, maka dari 5 karung tadi di bagi menjadi berapa mud, misalkan dari 5 karung beras/ gandum bila dibagi mendapatkan 200 mud, maka ia harus puasa sebanyak 200 hari. Untuk puasa dapat dikerjakan dimana saja atau di negerinya sendiri dibolehkan. Tetapi bila dam berupa binatang ataupun berupa makanan pokok, maka harus diberikan kepada fuqoro wal masaqin yang ada di tanah haram.

Misalkan setelah di bagi maka mendapatkan 200 mud ½ , maka setengah mudnya tadi bukan berarti hanya puasa ½ hari saja, tetapi digenapkan menjadi 1 hari. Jadi bila ada sisa kurang dari 1 mud, maka digenapkan menjadi 1 hari puasa untuk menyempurnakan puasanya. Hitungan puasa adalah dari terbit fajar sampai terbenam matahari, tidak dapat hanya dilakukan setengah hari saja.

Jika binatang buruan yang dibunuh oleh orang yang sedang melaksanakan Haji atau Umroh, dan binatang yang dibunuh tersebut tidak ada yang serupa/ sebanding dengannya, dan juga tidak ada riwayat dari para Sohabat, semacam belalang kayu dan burung-burung kecil. Maka dia mempunyai 2 alternatif/ pilihan, maka Tuan Syech Musonif (pengarang kitab) mengatakan:
1.    Silahkan dia keluarkan harga dari binatang yang dibunuh tersebut menurut pendapat dari 2 orang yang di pandang adil dan yang mempunyai pengalaman tentang binatang-binatang. Ditaksir dari binatang yang dibunuh tersebut berapa harganya saat masih hidup? Tidak mesti harus sama persis, tetapi yang mendekati dari harga binatang tadi. Setelah di taksir harganya, kemudian dibelikan makanan pokok yang sah untuk dijadikan zakat fitrah, selanjutnya makan pokok tadi di shodaqohkan. Ditaksir/ diperkirakan harga binatang tersebut di tempat di mana binatang itu dibunuh/ dibinasakan dan pada zaman/ waktu binatang itu dibunuh (Waqtul Wujub, yaitu waktu kita melakukan pelanggaran)  juga. Sedangkan waktu untuk membayar damnya bisa dilakukan kapan saja, tetapi waktu untuk menaksir/ memperkirakan harga binatang yang dibunuh adalah saat itu juga/ saat kejadian. Saat waktu kita membunuh/ membinasakan binatang buruan tersebut, karena disaat itu sudah ada kewajiban untuk kita membayar dam.
2.    Misalkan dia tidak memiliki uang untuk membeli makanan untuk di shodaqohkan, maka dia melaksanakan puasa dari tiap-tiap mud makanan yang wajib dikeluarkan/ di shodaqohkan. 1 mud makanan diganti dengan 1 hari puasa. Misalkan ada uang hanya sebagian saja, maka keluarkan uang yang ada untuk membeli makanan pokok untuk di shodaqohkan dan sisanya diganti dengan berpuasa. Jadi apabila ada uang sebagian, maka tidak boleh sangsi/damnya diganti dengan puasa seluruhnya. Untuk melaksanakan puasanya dapat dilaksanakan dimana saja, tidak harus di tanah Haram, tapi dapat juga dilaksanakan di negerinya sendiri. Jika setelah dibagi menjadi mud, ternyata masih tertinggal/ tersisa waktu kurang dari 1 hari, maka genapkan puasa tadi menjadi 1 hari, karena yang disebut puasa adalah menahan makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

D. Dam Yang Wajib Dengan Sebab Wathi’ (Hubungan Suami-Istri)
Hubugan Suami-Istri dapat merusak  Manasik Haji atau Umroh kita (Jimaa’ Mufsid), yaitu hubungan yang dilakukan sebelum melakukan Tahalul Awal. Ada kewajiban bagi yang melanggarnya untuk Wajib mengkodho ibdah Haji atau Umrohnya di tahun depan. Sangsi ini diberikan kepada orang yang telah terpenuhi atasnya 4 syarat sebagai berikut:
-        Sempurna aqalnya, tidak gila (aqilan)
-        Tahu hukumnya (aliman)
-        Sengaja melakukannya, bukan karena lupa (amidan)
-        Berdasarkan keinginannya sendiri, tidak ada unsur paksaan (mukhtaron)

Sama saja jimaa’-nya tadi dilakukan dalam Haji ataupun Umroh, baik dilakukan melalui qubul  (kemaluan depan) ataupun dubul  (kemaluan belakang), baik dilakukan dengan perempuan ataupun dilakukan sesama laki-laki (sodomi), dilakukan bersama istrinya ataupun dengan budaq sahayanya ataupun dengan wanita lain (zina). Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan yang telah lalu pada Muharamatul Ihrom Haji dan Umroh.

Dam yang wajib ini akibat melakukan Jimaa’ sebelum tahalul awal karena akan merusak haji/ umroh kita, tetapi apabila jimaa’ dilakukan setelah kita selesai melakukan/ mengerjakan tahalul awal, maka hal tersebut tidak merusak haji/ umroh kita, silahkan meneruskan haji/ umrohnya, akan tetapi akibat dari perbuatan jimaa’ tersebut akan terkena sangsi/ dam. Cara membayar dam yang wajib dengan sebab Wathi’  (berhubungan badan) ini, sama dengan cara membayar dam yang wajib dengan sebab Ihshor (karena kita tertahan tidak dapat melanjutkan haji/ umroh kita), yaitu selama dapat melakukan dengan cara yang pertama, maka tidak boleh dilakukan dengan cara yang kedua, apabila tidak dapat mengerjakan dengan cara yang pertama baru boleh mengerjakan dengan cara yang kedua dan seterusnya. 

Maka wajib dengan sebab Wathi’ yang mufsid (jimaa’ sebelum tahalul awal), yaitu yang pertama kita wajib membayar dengan 1 ekor unta (boleh unta laki atau unta perempuan) dengan ketentuan persyaratan binatang yang sah untuk dijadikan hewan qurban, seperti binatangnya tidak cacat, dsb.

Dam Tartib adalah: sesuatu yang tidak boleh pindah pada suatu sifat/ suatu perkara/ suatu hal, kecuali bila ia tidak mampu mengerjakan suatu hal yang sebelumnya. Selama ada unta tidak boleh diganti dengan sapi, bila tidak ada unta baru boleh diganti dengan 1 ekor sapi atau 1 ekor kerbau yang memenuhi persyaratan untuk dijadikan binatang qurban. Apabila tidak ada sapi/ kerbau baru beralih kepada 7 ekor kambing, boleh kambing qibas atau kambing jawa, atau gabungan dari keduanya, misalnya sebagian kambing qibas dan sebagian lagi kambing jawa, yang memadai untuk dijadikan hewan qurban.

Dam Taqdir adalah: adanya suatu ketentuan/ syarat yang ditentukan oleh Alloh dan Rasulnya yang membolehkan kita berpidah/ berpaling dari ketentuan yang sebelumnya kepada ketentuan berikutnya/ selanjutnya. Apabila dia tidak dapatkan itu kambing, baik karena kambingnya yang tidak ada, uangnya ada atau kambingnya ada, uangnya yang tidak ada, maka dia taksir harga 1 ekor unta dengan uang, sesuai dengan harga di negeri Makkah di Waqtul Wujub  (waktu terjadinya Itlaq tadi, yaitu waktu terjadinya jimaa’ yang mufsid). Dari taksiran harga 1 ekor unta atau 1 ekor sapi/ kerbau atau 7 ekor kambing tadi kemudian dia belikan berupa makanan pokok yang sah untuk dijadikan zakat fitrah dengan kadar harga yang berlaku di tahan haram. Apabila dia mempunyai stock makanan pokok di rumahnya, maka boleh dikeluarkan dari stock makanan tersebut untuk digunakan membayar dam.

Makanan pokok yang diperoleh dari membeli atau yang ada di rumahnya tadi ia shodaqohkan kepada fuqoro wal masakin (faqir dan miskin) yang ada di tanah haram, sekalipun ia perantau, yang terpenting faqir-miskin yang ada di tanah haram.
Ada keberanian dari umat di akhir zaman, yang berpendapat dan memberikan fatwa, bahwa dam sebaiknya di keluarkan di Indonesia saja, karena di tanah haram sudah sangat berlebihan, sedangkan di Indonesia masih banyak yang membutuhkan. Jangan sembarangan memberanikan diri untuk memberikan fatwa yang bertentangan/ berlawanan dengan pendapat dari ulama-ulama terdahulu.

Andaikata orang faqir dan miskin yang ada ditanah haram hanya sedikit, sehingga makan pokok (beras/gandum) yang akan kita bagi belum habis untuk dibagikan (masih tersisa), maka itu pun tidak dapat di bawa ke luar dari tanah haram (Indonesia atau Negara lainnya), tetap harus di tunggu sisanya agar dapat dibagikan kepada faqir dan miskin di tanah haram. Misalkan kita akan membayar dam untuk 100 orang, ternyata fuqoro wal masakin yang ada di tanah haram hanya 50 orang, maka sisa yang 50 tidak dibolehkan di bagikan di luar tanah haram, tunggu/ tunda sampai ada fuqoro wal masaqin yang lain lagi.

Tidak ada ketentuannya yang mengatur, berapa banyak jumlah yang harus dibagikan/ diberikan kepada tiap masing-masing ‘fuqoro wal masakin’. Jadi tidak ada ketentuan bahwa tiap masing-masing fuqoro wal masakin harus diberikan sebesar 1 mud, jadi berikan sesuai kebutuhannya. Bila masih berlebih, maka tunggu sampai ada ‘fuqoro wal masakin’ yang lainnya, jangan di bagikan di luar tanah haram.

Bagi orang yang melakukan Wathi’ yang Mufsid (Jimaa’ yang merusak Ibadah Haji/ Umroh karena dilakukan sebelum Tahalul Awal), maka dia harus membayar dam berupa ‘badanah’  (onta), bila tidak ada onta, maka diganti dengan ‘baqoroh’  (sapi), dan bila tidak ada sapi, maka diganti dengan 7 ekor ‘syattun’  (kambing). Apabila tidak ada juga 7 ekor kambing, maka dia taksir itu harga dari ‘badanah’  tadi dengan uang, dengan harga Makkah pada waktu Wujub (waktu terjadinya pelanggaran). Kemudian dia beli dengan uang tadi makanan pokok yang memadai untuk zakat fitrah. Misalkan uang dari taksiran harga tadi tidak dibelikan makan pokok, malainkan ia shodaqohkan saja uang tadi kepada fuqoro wal masaqin yang ada di Makkah dengan asumi/ menurut pendapatnya bahwa uang lebih bermanfaat dari pada makanan pokok, karena uang dapat digunakan untuk membeli lauk-pauknya dan lainnya. Maka uang yang dishodaqohkannya tadi tidak memadai atau tidak sah dan ia dianggap belum membayar dam.

Jika memang tidak ada makanan pokok, maka dia ganti dengan puasa untuk tiap 1 mud sama dengan 1 hari puasa. Puasanya dapat dilakukan dimana saja tidak harus di Tanah Haram, jadi puasanya dapat dikerjakan di Tanah Haram atau di negerinya sendiri. Jika setelah dibagi, masih tersisa kurang dari 1 mud, maka puasanya digenapkan menjadi 1 hari puasa.

Ada pendapat (pendapat yang dhoif), yang mengatakan bahwa tidak wajib membayar dam berupa seekor onta apabila rusaknya umroh kita karena Wathi’ (hubungan badan), melainkan damnya hanya 1 ekor kambing saja. Dam berupa 1 ekor onta atau 1 ekor sapi atau 7 ekor kambing, apabila yang rusak adalah Ibadah Haji kita. Sedangkan bila yang rusak karena Wathi’ (hubungan badan) adalah Ibadah Umroh kita, maka tidak wajib atasnya untuk membayar dam kecuali hanya 1 ekor kambing saja. Tetapi pendapat ini adalah pendapat yang dhoif, pendapat yang dhoif tidak boleh difatwakan.

Ketahui oleh kamu bahwa dam ini ada 2 bagian, yaitu:
1.  Dam Yang Disebabkan Oleh Ihshor
Kita tertahan tidak dapat melanjutkan perjalanan Ibadah Haji karena sakit, karena ditahan oleh musuh, karena kehilangan teman, sehingga tidak dapat melanjutkan perjalan Ibadah Haji kita. Dam Ihshor tidak wajib kita kirim dagingnya ke tanah Haram, tetapi kita potong/ sembelih damnya di tempat kita Muhshor (tertahan) dan disitu kita melakukan Tahalul. Qoul yang lebih nyata/ lebih jelas (Qoul yang Shohih), pendapat yang menyatakan: “Dam ini ada ganti/ badal-nya, dari satu sifat ke sifat yang lain, bila tidak ada onta boleh diganti sapi, bila tidak ada sapi boleh diganti  7 ekor kambing, bila tidak ada kambing boleh diganti shodaqoh berupa makanan pokok. Jika tidak ada kambing, maka dia taksir harga dari kambing dengan uang yang ‘ghoolib’  yang berlaku umum di situ (misalnya uang real), dengan patokan harga Makkah di Waktu Wujub, sedangkan waktu pelaksanaannya dapat dikerjakan kapan saja. Kemudian dari harga taksiran tadi dibelikan makanan untuk di shodaqohkan kepada fuqoro wal masaqin yang ada di tanah harom. Jika dia tidak mampu untuk shodaqoh, maka baru boleh ia ganti dengan puasa untuk tiap-tiap 1 mud diganti dengan puasa 1 hari, pada saat itu juga. Dan sebagai Tahalul dari Umroh/ Hajinya dengan jalan ‘Halaq’  (bercukur), pada saat bercukur kita niat tahalul, berbarengan waktu bercukur dengan niat tahalul.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada badal/ penganti dari satu kepada yang lainnya, tetapi ini merupakan Qoul yang Dhoif, dengan alasan karena tidak ada riwayat dari Nabi. Jadi bila damnya beruapa onta dan tidak ada onta pada saat itu, maka tunggu sampai ada ontanya. Bila tidak ada uangnya, maka tunggu sampai ada uangnya. Tetapi tuntutan tetap ada dalam tanggungannya, sampai ia mampu menunaikannya.

Ada pendapat ( Pendapat yang Dhoif ) yang menyatakan bahwa gantinya hanya puasa saja, puasanya 10 hari semacam puasa Haji Tamattu, atau puasanya selama 3 hari semacam orang yang mencukur rambut padahal ia belum Tahalul

2.  Dam Yang Wajib Dengan Sebab Meninggalkan Yang Wajib Atau Mengerjakan Yang Haram
Manakala kita meninggalkan Wajib Haji atau Wajib Umroh atau melakukan/ mengerjakan yang harom di saat Haji/ Umroh, maka damnya wajib disembelih di Tanah Haram. Demikian pula wajib di Tanah Haram dalam hal membagi-bagi daging dari damnya kepada fuqoro wal masaqin yang ada di tanah harom, meskipun ia orang asing/ pendatang, tetapi terpenting ia termasuk dalam golongan fuqoro wal masaqin.
Tuan Syech Musonif, mengatakan: “Tidak memadai ini dam, yaitu menyembelih kambing dan membagi-bagi dagingnya dan seluruh bagian dari dagingnya. Dan tidak boleh juga memberikan shodaqoh berupa makan, kecuali kepada penduduk Makkah yang miskin.”

Dan sekurang-kurangnya yang memadai, bahwa diserahkan/ disalurkannya  dam berupa kambing atau lainnya ( sapi/ onta), setelah disembelih dam tadi, kemudian di bagi minimal kepada 3 orang misqin/ faqir yang ada di tanah haram, sekalipun ia bukan penduduk asli, asalkan dia ada di tanah haram.

Memadai dan sah pula orang-orang yang wajib membayar ‘Dam Jabroon’, untuk penambal kekurangan hajinya. Seperti dia tidak menjalankan ‘Mabiit’  di Minna selama 3 malam, untuk melakukan ‘Nafar Tsani’.  Maka bagi yang tidak menjalankannya terkena ‘Dam Jabroon’. Tidak mengerjakan Mabit bukan berarti tidak sah haji kita, tetapi hanya kurang sempurna dalam haji kita.

Ia boleh puasa apabila damnya ‘Dam Mukhoyar’ , damnya boleh dipilih-pilih atau ‘Dam Tartib’ (bila yang satu tidak mampu, maka baru boleh menjalankan yang kedua dan seterusnya).

Bagi orang yang menjalankan ‘Dam Jabroon’  silahkan ia puasa dengan catatan dam yang Mukhoyar atau dam yang ‘Murotab’.  Silahkan ia puasa dimana saja yang ia kehendaki, baik di tanah haram ataupun di luar tanah haram.
Lain halnya dengan dam berupa menyembelih hewan semacam onta, maka harus di lakukan di tanah haram.
Alasan dibolehkannya puasa di luar tanah haram, karena puasa orang tersebut tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap penduduk Makkah ataupun orang yang berada di Makkah. Lain halnya bila ia bayar dam berupa daging onta, sapi, ataupun kambing, karena penduduk Makkah dapat memperoleh manfaat dari daging yang dibagikannya. Akan tetapi bila ia melakukan puasa di tanah haram itu jauh lebih utama, lebih bagus dan lebih mulya, karena kemulyaan tanah haram, pahlanya akan berlipat ganda sampai 100.000 kali lipat bila dibandingkan ia puasa di tempat lain.

Tidak dibolehkan bagi orang yang Ihrom Haji/ Ihrom Umroh ataupun orang yang halal, yaitu orang yang tidak sedang melaksanakan Manasik Haji/ Manasik Umroh, di haramkan bagi mereka membunuh binatang buruan/ liar yang ada di tanah haram. Akan tetapi bukan sembarang binatang, melainkan binatang dengan ketentuan yaitu: binatang liar (bukan binatang ternak) yang hidup di darat serta binatang tersebut boleh/ dapat dimakan dagingnya.
Sedangkan binatang ternak/ piaraan boleh di potong, seperti kambing, ayam dll. Dan binatang yang tidak dimakan dagingnya pun boleh dibunuh, seperti ular, macan/ singa ataupun binatang buas lainnya,  karena binatang tersebut tidak dimakan dagingnya. Dan serangga semacam lalat ataupun nyamuk pun boleh kita bunuh, karena juga tidak dimakan dagingnya.
Baik di tanah haram Makkah ataupun di tanah haram Madinah, demikian pula binatang darat yang liar dan yang dimakan dagingnya yang berada di Wajjutthooif , yang berada dilembah ataupun padang saharanya. Padahal Wajjutthooif sudah berada di luar tanah haram.

Membunuh binatang liar di Wajjutthooif dan di Madinnah, sama tidak dibolehkannya, akan tetapi yang selain/ di luar tanah haram Makkah, maka tidak ada ketentuan untuk mengantinya dengan dam. Jadi tidak ada ketentuan untuk membayar dam bagi selain tanah haram Makkah. Apabila membunuh binatang liar, yang hidup di darat dan boleh dimakan dagingnya yang berada di Madinah dan Wajjutthooif, maka hukumnya haram dan dosa saja, tetapi tidak ada sangsi untuk membayar damnya. Sedangkan bila membunuhnya di Makkah, maka hukumnya haram, berdosa dan terkena sangsi membayar dam.

Ada perbedaan ketentuan antara membunuh hewan liar di Makkah dengan di Madinnah dan Wajjutthooif, adalah karena di kedua tempat tersebut bukan tempat untuk melaksanakan manasik haji. Aktivitas/ manasik haji hanya ada di Makkah saja, di luar Makkah tidak ada. Di Madinnah hanya ziarah qubur dan ziarah ke Maqam Rasululloh.

Orang yang di paksa untuk membunuh binatang buruan/ liar, dihukumkan  tidak haram dan tidak berdosa. Apabila orang yang membunuh binatang buruan tadi di paksa untuk membunuh, maka tidak ada haram atau tidak dosa baginya, dan ketentuan sangsi untuk menganti binatang buruan/ liar tadi atas orang yang memaksanya untuk membunuh dan atas orang yang memaksa tadi juga ada dosanya.

Andaikata ia sudah niat Ihrom Haji/ Umroh, kemudian dia gila/ pingsan/ ayan/ tidur,  atau orang yang Ihrom Haji/ Umroh tadi belum ‘tamyiz’ (masih anak-anak) atau belum ‘baligh’, dan ia membunuh binatang buruan/liar darat yang dimakan dagingnya, maka baginya tidak ada ketentuan untuk mengganti binatang yang dibunuhnya tadi, karena baginya ‘Ghoyir mukallaf’, hal ini berdasarkan ‘Qoul Adzhhar’  (Qoul yang nyata).

Bersalahan halnya/ ketentuannya/ hukumnya/ sangsinya dengan orang yang bodoh yang tidak tahu sangsi hukumnya,  dan orang yang lupa (dia tahu hukumnya tetapi dia lupa). Maka bagi keduanya ada kewajibab untuk menganti. Akan tetapi biasaya Jahilnya (kebodohannya) ini dilihat terlebih dahulu, apakah ia jahil karena baru masuk Islam? Atau karena ia jauh dari Ulama? Maka jahil semacam ini tidak ada sangsinya.
Untuk orang yang pergi haji, biasanya diharuskan mempelajari Ilmu Manasik Haji terlebih dahulu, bukan sekedar hanya punya uang, tetapi ia juga harus mempelajari ilmu manasik hajinya terlebih dahulu, sehingga dapat sempurna dalam menjalankan ibadahnya.

Dan tidak dibolehkan juga untuk memotong pohon yang ada di tanah haram, baik di tanah haram Makkah maupun di tanah haram Madinnah dan demikian pula dengan pohon yang ada di lembah di Wajjutthooif. Tetapi yang ada sangsi untuk mengantinya adalah khusus yang berlaku di tanah haram Makkah saja. Sedangkan apabila memotong/ mencabut pohon yang ada di Madinah dan Wajjutthooif tidak ada sangsinya, hanya dosa saja. Sama seperti ketentuan binatang buruan, karena tanah haram Makkah adalah tempat untuk melaksanakan Manasik Haji/ Umroh.

Sekalipun sebagian ‘pongkol’/ batangnya atau akarnya dari pohon tersebut ada di tanah halal. Jadi sebagian pohon ada di tanah halal dan sebagian lagi ada di tanah haram, maka tidak dibolehkan bagi kita untuk menebang/ mencabut pohon tersebut.

Dan tidak ada bedanya, baik pohon yang tumbuh sendiri ataupun pohon yang sengaja di tanam oleh pemilik rumah ataupun siapa saja yang menanam, maka tidak dibolehkan untuk dipotong/ ditebang. Pohon yang sudah kering/ mati, pohon yang mengganggu ‘lalu-lalang’ orang, tidak haram di potong/ di tebang ataupun di cabut, dengan catatan tidak ada gantinya atau tidak ada harapan dari pohon tersebut untuk dapat tumbuh lagi.

Manakala kita potong/ tebang/ cabut pohon yang besar (besarnya disini berdasarkan pendapat umum) yang ada di tanah haram Makkah, maka sangsi/ damnya yaitu seekor baqoroh (sapi) atau badannah (onta) atau 7 ekor kambing. Untuk pohon yang besar ini sama saja, apakah dapat tumbuh lagi atau tidak, maka apabila di potong terkena sangsi berupa sapi/ onta/ 7 ekor kambing.

Pohon yang kecil yang ukurannya menghampiri/ mendekati ‘sepertujuhnya’ dari yang besar, maka sangsinya cukup hanya seekor kambing saja atau hewan yang mendekati dari seekor kambing. Untuk pohon yang ukurannya kurang dari ‘sepertujuh’ dari ukuran pohon yang besar (misalnya semacam pohon singkong) atau pohon yang kecil sekali, maka sangsinya ‘qiimah’, yaitu diganti dengan cara ditaksir harganya. 

Tiap-tiap satu dari keduanya, yaitu berupa sapi atau kambing, ketentuannya yang sesuai atau sah untuk dijadikan hewan qurban. Ketentuan/ syarat untuk membayar dam karena memotong/ mencabut tanaman ini sama dengan ketentuan/ syaratnya dari hewan yang akan dijadikan hewan qurban, seperti tidak cacat dll.

Dan tidak dibolehkan juga mencabut tumbuh-tumbuhan (pohon kecil) yang ada di tanah haram Makkah, tanah haram Madinah dan lembah yang ada di Wajjutthooif. Dan tidak dibolehkan juga mencabut tanaman yang ada di tanah haram,  yang tidak di tanam oleh orang, tumbuhan yang tumbuh sendiri (tanaman liar, semacam ilalang/ rumput dll.).

Tanaman yang sengaja di tanam oleh orang boleh dicabut/ di potong secara mutlak, seperti tanaman yang di tanam di halaman atau tanaman semacam sayuran: seperti kangkung, sawi, bayam, padi/ gandum, ubi, singkong  dan tumbuhan lainnya yang memang sengaja di tanam oleh orang. Apabila tumbuh semacam tumbuhan gandum, tumbuhan gandum tersebut tumbuh sendiri, tanpa sengaja di tanam oleh orang, maka boleh juga dicabut/ dipotong, karena memandang keadaan asalnya tanaman ini biasa di tanam oleh orang.

Adapun rumput yang sudah kering, boleh dipotong, tetapi tidak boleh dicabut dengan akarnya, jika rumput tersebut masih ada harapan untuk tumbuh lagi. Bila akarnya masih tumbuh dan ada harapan untuk tumbuh lagi, maka boleh dipotong, tetapi tidak boleh dicabut. Sedangkan bila akarnya sudah mati dan tidak ada harapan untuk dapat tumbuh lagi, maka baru boleh dicabut.

Sama saja untuk orang yang halal, yaitu orang tidak sedang melaksanakan Ihrom Haji/ Ihrom Umroh, atau orang yang sedang Ihrom baik Haji ataupun Ihrom Umroh, dalam hal hukumnya sama saja, berlaku hukum-hukum seperti yang sudah lalu, yaitu seperti halnya diharamkannya membunuh binatang buruan/ liar, diharamkannya mencabut/ memotong tumbuh-tumbuhan, karena dipandang larangannya berlaku secara umum.

Ringkasan tentang Dam-dam yang wajib dalam Ihrom Haji & Umroh oleh sebagian Ulama Fiqih telah disusun menjadi bentuk syairan sebagai berikut:

“Pelanggaran yang semata-mata membinasakan/ tidak tergantikan  (‘Itlaq), semacam menggunting kuku/ rambut, maka ada fidyah/ damnya, meskipun kita dalam kondisi lupa atau tidak sengaja.”

“Jika pelanggaran yang sifatnya bersenang-senang (Tarofuh), seperti memakai pakaian yang berjahit, memakai minyak wangi, memakai peci, bila tidak sengaja/ lupa, maka tidak ada sangsinya, sedangkan bila sengaja maka ada sangsinya.”

“Bila terjadinya Wathi’/ Jimaa’  (hubungan badan dengan istri) karena lupa/ tidak sengaja, maka tidak terkena sangsi/ dam berupa kambing, karena hal ini termasuk dalam katagori Tarofuh (bersenang-senang).”


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar