Pokok
Bahasan : FIQIH (HAJI & UMROH)
Judul : Dam Yang Wajib Dalam Ihrom Haji dan
Ihrom Umroh (Bag.2)
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
D. Dam Yang
Wajib Dengan Sebab Kita Membunuh Hewan Liar/ Hewan Buruan
Yang dimaksud dengan hewan buruan
adalah hewan darat yang liar dan dimakan dagingnya, serta bukan merupakan
binatang peliharaan/ binatang ternak. Misalkan kita memelihara hewan seperti
ayam atau kambing dan di saat kita sedang Ihrom, kita bermaksud memotongnya,
maka hal itu dibolehkan, karena yang dilarang adalah hewan liar bukan hewan
ternak. Dibolehkan juga bagi kita yang sedang ihrom membunuh binatang yang
menggangu seperti lalat atau nyamuk, karena keduanya bukan termasuk binatang
yang dimakan dagingnya.
Yang dilarang dibunuh juga adalah
binatang darat yang boleh dimakan dagingnya dan salah satu induknya (bapak atau
ibu dari si-binatang) berasal dari binatang liar. Hukumnya sama dengan kita
memotong pohon atau tanaman yang ada di tanah haram. Yang termasuk dilarang
dilakukan juga terhadap binatang liar adalah dengan jalan kita melumpuhkan
binatang liar tersebut sehingga mereka menjadi tidak berdaya.
Dam-nya untuk membunuh hewan liar
darat yang boleh dimakan dagingnya ini dapat berupa kambing atau dapat pula
diganti menjadi puasa. Dengan syarat harga yang sama untuk membeli seekor
kambing bila dibelikan makan pokok dapat berapa banyak? Dari makanan pokok tadi
bila dibagi dapat menjadi berapa mud? Maka sebanyak bilangan mud tadi, maka
sebanyak itu pula hari puasa yang mesti kita kerjakan. Misalkan harga kambing 3
juta, dari uang 3 juta bila dibelikan beras dapat berapa liter? Dari jumlah
liter beras tadi dibagi lagi menjadi mud, maka dari tiap-tiap mud tadi kita
harus menggantinya dengan puasa.
Dam puasa ini dapat pula untuk
menggantikan binatang liar yang kita bunuh, tetapi binatang tersebut tidak ada
persamaan jenisnya.
Binatang buruan yang apabila bunuh
atau kita ganggu, maka menyebabkan timbulnya fidyah atau dam, maka digolongkan
menjadi 3 bagian:
1. Binatang Yang Dibunuh Ada Yang Serupa Dengannya
a. Binatang Yang
Ada Sepertinnya/ Serupa Dengannya
Binatang liar yang kita bunuh atau
dilumpuhkan, binatang itu ada yang serupa dengannya, serupa dalam bentuknya,
bentuk kejadiannya, tidak mesti pas sama, kurang lebih bentuk kejadiannya
hampir sama. Tidak mesti Taqdidan (sama),
tetapi asal Taqriban (mirip).
b. Binatang Yang
Ada Riwayat/ Dicontohkan Oleh Nabi Muhammad SAW. Atau Salafus Sholeh.
Misalkan binatang liar yang seperti
ini dibunuh, maka binatang apa yang mesti disembelih untuk membayar
damnya? Apabila ada yang telah
dicontohkan oleh Nabi ataupun para Salafus Sholeh, maka tinggal diikuti saja.
Binatang yang dibunuh/ dilumpuhkan/ disiksa ada riwayatnya dari Nabi, tetapi
tidak ada binatang yang serupa dengannya, maka hukum damnya sama seperti
binatang yang ada serupa dengannya.
c. Binatang Yang
Tidak Ada Riwayatnya Dari Nabi Atau Salafus Sholeh
Apabila ada binatang liar yang
dibunuh dan tidak ada riwayat/ contohnya dari Nabi ataupun Salafus Sholeh. Maka
untuk menghukumkannya bertanya kepada orang yang adil (orang yang tidak
melakuan maksiat), artinya orang yang tidak fasiq, dan ia ahli ibadah, ahli
ilmu fiqih dan cerdas (dapat menentukan pilihan yang tepat). Untuk binatang
yang dibunuh/ dilumpuhkan dan tidak ada riwayatnya dari Nabi ataupun Salafus
Sholeh, maka damnya seekor kambing. Hal ini sama saja dam-nya untuk binatang
yang lebih besar daripadanya.
2. Binatang Yang Dibunuh Tidak Ada Yang Serupa
Dengannya
Binatang yang dibunuh, dilumpuhkan,
dibuat susah sehingga tidak berdaya, dan tidak ada yang serupa/ sebanding
dengan binatang tersebut. Manakala kita sakiti atau kita bunuh binatang yang
tidak ada yang serupa dengannya, maka damnya adalah satu ekor kambing, karena
ada ketentuan hukum dari Sohabat Nabi.
3. Binatang Yang Dibunuh Ada Riwayatnya Dari Nabi
Dan Ada Binatang Sepertinya
Binatang yang dibunuh atau diganggu
ada riwayatnya/ contohnya dari Nabi dan ada binatang sepertinya. Contohnya
adalah burung merpati, maka dapat/ mudah dicari yang serupa dengannya seperti
burung tekukur. Dan semua burung yang dilehernya ada semacam pergelangan/
kalung. Pergelangannya yang berwarna putih, kuning, merah atau lainnya. Apabila
ada satu dari burung tadi yang kita bunuh atau kita sakiti, maka dam-nya dengan
satu ekor kambing.
Diberikan kesempatan untuk memilih
salah satu dari 3 alternatif. Apabila ada orang yang sedang melaksanakan Ihrom
Haji atau Ihrom Umroh dan ia membunuh binatang atau melumpuhkan dari pada
binatang yang ada serupa dengannya, serupa dalam bentuk badannya dari binatang
ternak. Yang dimaksud serupa dengan binatang buruan/ liar yang dibunuh tadi
adalah yang hampir mendekati saja dalam bentuknya tidak harus pas sama dalam
bentuknya. Serupanya Taqriban (kurang lebih), bukan Tahqiqan (sama persis).
Maka wajib pada binatang buruan yang dibunuh besar dalam ukuran, maka dam-nya
juga dengan binatang yang ukurannya besar pula. Dan apabila binatang yang dibunuh
berukuran kecil, maka dam-nya juga dengan binatang yang ukurannya kecil pula.
Apabila binatang yang dibunuh dengan jenis laki-laki, maka dam-nya juga dengan
jenis laki-laki. Apabila yang dibunuh jenisnya perempuan, maka dam-nya juga
jenis perempuan. Afdholnya binatang yang dibunuh laki-laki, maka damnya juga
laki-laki, demikian juga dengan perempuan. Tetapi hal ini tidak wajib harus
laki dengan laki dan perempuan dengan perempuan. Boleh saja dam yang laki untuk
menggantikan yang perempuan atau sebaliknya. Bila yang dibunuh binatang yang
sehat, maka sebagai dam-nya dengan binatang yang sehat juga. Bila binatang yang
dibunuh gemuk, maka dam-nya juga dengan binatang yang gemuk. Tidak boleh yang
sehat diganti dengan yang sakit, dan yang gemuk diganti dengan yang kurus.
Apabila binatang yang kita bunuh sedang hamil, maka dam-nya dengan binatang
yang hamil juga, tetapi bila sedang hamil dam-nya tidak boleh disembelih dan
tidak boleh juga diberikan kepada orang. Maka sebagai gantinya di taksir dari
harga binatang yang dibunuh dan sedang hamil tadi berapa harga pasarannya di
Makkah? Dan dari harga taksiaran dari binatang tadi kita shodaqohkan dengan
cara membeli makanan pokok dan dibagikan kepada kaum faqir-miskin. Apabila
tidak ada uang atau sayang mengeluarkan uang untuk membeli makanan, maka dapat
diganti dengan puasa, dari tiap-tiap 1 mud diganti dengan 1 hari puasa (3,5
liter = 4 mud).
Tuan
Syech Musonif (pengarang kitab) menyebutkan bahwa orang yang membunuh atau
mengganggu binatang-binatang liar darat yang boleh/ dapat dimakan dagingnya di
Tanah Haram, maka ada sangsi baginya. Dia harus mengeluarkan binatang yang
serupa dengan binatang yang ia bunuh/ dilumpuhkan tadi. Dan ia wajib
mengeluarkan dari binatang yang ada persamaannya, yaitu harganya bagi yang memiliki
atau memelihara binatang seperti yang ia bunuh/ lumpuhkan. Misalkan ia
mempunyai binatang peliharaan/ ternak di rumah yang serupa dengan kambing liar
yang ia bunuh, maka silahkan ia potong kambing yang ada di rumahnya tersebut.
Atau binatang yang serupa dengan ayam atau serupa dengan apa saja. Apabila ia
tidak memilikinya, maka ia harus membeli untuk kemudian dia sembelih sebagai
dam.
Cara
membayar damnya, yaitu ia sembelih binatang ternak yang serupa dengan binatang
liar yang ia bunuh atau ia ganggu di Tanah Haram. Dan binatang ternak yang kita
sembelih tersebut dagingnya kita shodaqohkan kepada orang-orang faqir atau
miskin yang ada di Tanah Haram.
Maka
tidak cukup bila kita keluarkan itu binatang dalam keadaan hidup dan tidak
cukup/ tidak memadai pula apabila kita hanya menyembelihnya saja dan
meninggalkan atau tidak mengurus pembagian daging binatang yang kita sembelih
tersebut kepada fuqoro wal masaqin.
Maka
wajib atas orang yang membunuh burung unta (burung Kasuari) baik laki-laki
ataupun perempuan, maka wajib baginya menyembelih seekor Unta, kemudian
dagingnya dibagi-bagikan, tentunya hanya terbatas kepada fuqoro wal masaqin
saja yang ada di tanah haram.
Dan
apabila kita membunuh dari pada seekor sapi liar atau seekor keledai liar, maka
yang kita sembelih adalah sapi ternak (hewan peliharaan) dan keledai ternak
(hewan peliharaan) pula.
Apabila
kita membunuh kijang atau anak kijang yang sudah keluar tanduknya, maka yang
kita sembelih adalah kambing kecil yang usianya sudah genap satu tahun. Jika
yang kita bunuh kijang yang perempuan, maka yang kita sembelih adalah anak
kambing yang perempuan yang usianya sudah genap 1 tahun.
Dan
sisa-sisa tentang gambaran-gambaran binatang buruan yang ada sepertinya (ada
yang serupa dengannya), tersebut dalam kitab-kitab besar.
Apabila
yang kita bunuh anak kelinci, maka sebagai penganti yang harus kita sembelih
adalah anak kambing yang belum genap berusia satu tahun. Apabila kita membunuh “yarmu”
(sejenis tikus), maka damnya kambing perempuan jika sudah mencapai usia 4
bulan.
Jika membunuh rubah atau pelanduk betina,
biawak, kancil, maka damnya “sattun” (kambing).
Nabi pernah diberi daging biawak oleh
salah seseorang sohabat, tetapi Nabi tidak mau menerimanya, akan tetapi Nabi
tidak melarang sohabat tersebut untuk memakannya, maka dihukumkan daging biawak
tersebut adalah halal.
Pada
bagian yang kedua, Tuan Syech Musonif (pengarang kitab), menaksir harga dari binatang buruan yang dibunuh yang
dilakukan oleh orang yang adil, yaitu
orang yang menjauhkan diri dari mengerjakan dosa-dosa besar, dan tidak
membiasakan diri untuk mengerjakan dosa-dosa kecil. Ditaksir oleh 2 orang yang
adil dari penduduk tanah Harom dan dilakukan dimana saja yang merupakan bagian
dari tanah harom, di hari kita mengeluarkan dam tersebut. Dari harga taksiran
tadi, uangnya kita shodaqohkan kepada fuqoro wal masaqin. Hal ini dilakukan
untuk binatang-binatang yang ada serupa dengan binatang yang dibunuh/
dilumpuhkan.
Adapun
untuk binatang-binatang yang tidak ada serupanya, maka di pandang/ di taksir
harganya di tempat dimana binatang tersebut dibinasakan/ dibunuh, bukan di
tanah harom. Masa atau waktu It’laq saat binatang itu dibunuh, kemungkinan lain
waktu lain pula harganya, jadi bukan waktu kita akan membayar damnya. Setelah
di taksir harganya, kemudian dia belikan dari harga binatang tadi makanan yang
memadai untuk zakat fitrah (makanan pokok). Jangan dibelikan sesuatu yang bukan
makanan pokok, seperti pakaian ataupun semacam mie instant dan lain sebagainya.
Wajib
ia shodaqohkan makanan pokok yang ia beli ataupun makanan pokok yang ada di
rumahnya (bila ia mempunyai stock makanan) tersebut kepada fuqoro wal masaqin
yang ada di tanah haram.
Ada
pemikiran dari Ustdz-Ustdz muda yang ada di Indonesia, bahwa karena dalam
pandangan mereka dam-dam yang dibayarkan di tanah haram dirasakan kurang
manfaat bila dibayarkan disana, seperti jumlahnya yang dirasakan berlebihan,
maka mereka bermaksud untuk memindahkan membayar dam tersebut di tanah air
(Indonesia) saja, akan tetapi karena yang melandasi hukum membayar dam di tanah
haram adalah Al Qur’an, maka tidak dapat kita seenaknya untuk merubah apa yang
sudah menjadi ketentuan/ hukum Alloh yang tercantum di dalam Al Qur’an.
Tidak
dibolehkan shodaqohnya tersebut berupa dirham ataupun berupa mata uang lainnya,
jadi harus berupa makanan pokok yang sah untuk zakat fitrah.
Pada
bagian yang ketiga, Tuan Syech Musonif (pengarang kitab) menyebutkan: bila
tidak mau mengelurakan shodaqoh beruapa makanan, maka damnya dapat diganti
dengan puasa sebanyak hari dari tiap-tiap mud yang wajib dikeluarkan. Misalkan
dari binatang yang dibunuh ditaksir seharga 500 real, misalkan dari 500 real
tadi bila dibelikan beras/ gandum dapat memperoleh 5 karung beras/ gandum, maka
dari 5 karung tadi di bagi menjadi berapa mud, misalkan dari 5 karung beras/
gandum bila dibagi mendapatkan 200 mud, maka ia harus puasa sebanyak 200 hari.
Untuk puasa dapat dikerjakan dimana saja atau di negerinya sendiri dibolehkan.
Tetapi bila dam berupa binatang ataupun berupa makanan pokok, maka harus
diberikan kepada fuqoro wal masaqin yang ada di tanah haram.
Misalkan
setelah di bagi maka mendapatkan 200 mud ½ , maka setengah mudnya tadi bukan
berarti hanya puasa ½ hari saja, tetapi digenapkan menjadi 1 hari. Jadi bila
ada sisa kurang dari 1 mud, maka digenapkan menjadi 1 hari puasa untuk
menyempurnakan puasanya. Hitungan puasa adalah dari terbit fajar sampai
terbenam matahari, tidak dapat hanya dilakukan setengah hari saja.
Jika
binatang buruan yang dibunuh oleh orang yang sedang melaksanakan Haji atau
Umroh, dan binatang yang dibunuh tersebut tidak ada yang serupa/ sebanding
dengannya, dan juga tidak ada riwayat dari para Sohabat, semacam belalang kayu
dan burung-burung kecil. Maka dia mempunyai 2 alternatif/ pilihan, maka Tuan
Syech Musonif (pengarang kitab) mengatakan:
1.
Silahkan
dia keluarkan harga dari binatang yang dibunuh tersebut menurut pendapat dari 2
orang yang di pandang adil dan yang mempunyai pengalaman tentang
binatang-binatang. Ditaksir dari binatang yang dibunuh tersebut berapa harganya
saat masih hidup? Tidak mesti harus sama persis, tetapi yang mendekati dari
harga binatang tadi. Setelah di taksir harganya, kemudian dibelikan makanan
pokok yang sah untuk dijadikan zakat fitrah, selanjutnya makan pokok tadi di
shodaqohkan. Ditaksir/ diperkirakan harga binatang tersebut di tempat di mana
binatang itu dibunuh/ dibinasakan dan pada zaman/ waktu binatang itu dibunuh (Waqtul Wujub, yaitu waktu kita melakukan
pelanggaran) juga. Sedangkan waktu untuk membayar damnya
bisa dilakukan kapan saja, tetapi waktu untuk menaksir/ memperkirakan harga
binatang yang dibunuh adalah saat itu juga/ saat kejadian. Saat waktu kita
membunuh/ membinasakan binatang buruan tersebut, karena disaat itu sudah ada
kewajiban untuk kita membayar dam.
2.
Misalkan
dia tidak memiliki uang untuk membeli makanan untuk di shodaqohkan, maka dia
melaksanakan puasa dari tiap-tiap mud makanan yang wajib dikeluarkan/ di
shodaqohkan. 1 mud makanan diganti dengan 1 hari puasa. Misalkan ada uang hanya
sebagian saja, maka keluarkan uang yang ada untuk membeli makanan pokok untuk
di shodaqohkan dan sisanya diganti dengan berpuasa. Jadi apabila ada uang
sebagian, maka tidak boleh sangsi/damnya diganti dengan puasa seluruhnya. Untuk
melaksanakan puasanya dapat dilaksanakan dimana saja, tidak harus di tanah
Haram, tapi dapat juga dilaksanakan di negerinya sendiri. Jika setelah dibagi
menjadi mud, ternyata masih tertinggal/ tersisa waktu kurang dari 1 hari, maka
genapkan puasa tadi menjadi 1 hari, karena yang disebut puasa adalah menahan
makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
D. Dam Yang
Wajib Dengan Sebab Wathi’ (Hubungan Suami-Istri)
Hubugan Suami-Istri dapat
merusak Manasik Haji atau Umroh kita
(Jimaa’ Mufsid), yaitu hubungan yang dilakukan sebelum melakukan Tahalul Awal.
Ada kewajiban bagi yang melanggarnya untuk Wajib mengkodho ibdah Haji atau
Umrohnya di tahun depan. Sangsi ini diberikan kepada orang yang telah terpenuhi
atasnya 4 syarat sebagai berikut:
-
Sempurna
aqalnya, tidak gila (aqilan)
-
Tahu
hukumnya (aliman)
-
Sengaja
melakukannya, bukan karena lupa (amidan)
-
Berdasarkan
keinginannya sendiri, tidak ada unsur paksaan (mukhtaron)
Sama saja jimaa’-nya tadi dilakukan
dalam Haji ataupun Umroh, baik dilakukan melalui qubul (kemaluan depan)
ataupun dubul (kemaluan belakang), baik dilakukan dengan
perempuan ataupun dilakukan sesama laki-laki (sodomi), dilakukan bersama
istrinya ataupun dengan budaq sahayanya ataupun dengan wanita lain (zina). Sebagaimana yang telah dijelaskan
pada pembahasan yang telah lalu pada Muharamatul Ihrom Haji dan Umroh.
Dam yang wajib ini akibat melakukan
Jimaa’ sebelum tahalul awal karena akan merusak haji/ umroh kita, tetapi
apabila jimaa’ dilakukan setelah kita selesai melakukan/ mengerjakan tahalul
awal, maka hal tersebut tidak merusak haji/ umroh kita, silahkan meneruskan
haji/ umrohnya, akan tetapi akibat dari perbuatan jimaa’ tersebut akan terkena
sangsi/ dam. Cara membayar dam yang wajib dengan sebab Wathi’ (berhubungan badan)
ini, sama dengan cara membayar dam yang wajib dengan sebab Ihshor (karena kita
tertahan tidak dapat melanjutkan haji/ umroh kita), yaitu selama dapat melakukan
dengan cara yang pertama, maka tidak boleh dilakukan dengan cara yang kedua,
apabila tidak dapat mengerjakan dengan cara yang pertama baru boleh mengerjakan
dengan cara yang kedua dan seterusnya.
Maka wajib dengan sebab Wathi’ yang
mufsid (jimaa’ sebelum tahalul awal), yaitu yang pertama kita wajib membayar
dengan 1 ekor unta (boleh unta laki atau unta perempuan) dengan ketentuan
persyaratan binatang yang sah untuk dijadikan hewan qurban, seperti binatangnya
tidak cacat, dsb.
Dam Tartib adalah: sesuatu yang tidak
boleh pindah pada suatu sifat/ suatu perkara/ suatu hal, kecuali bila ia tidak
mampu mengerjakan suatu hal yang sebelumnya. Selama ada unta tidak boleh
diganti dengan sapi, bila tidak ada unta baru boleh diganti dengan 1 ekor sapi
atau 1 ekor kerbau yang memenuhi persyaratan untuk dijadikan binatang qurban.
Apabila tidak ada sapi/ kerbau baru beralih kepada 7 ekor kambing, boleh
kambing qibas atau kambing jawa, atau gabungan dari keduanya, misalnya sebagian
kambing qibas dan sebagian lagi kambing jawa, yang memadai untuk dijadikan
hewan qurban.
Dam Taqdir adalah: adanya suatu
ketentuan/ syarat yang ditentukan oleh Alloh dan Rasulnya yang membolehkan kita
berpidah/ berpaling dari ketentuan yang sebelumnya kepada ketentuan berikutnya/
selanjutnya. Apabila dia tidak dapatkan itu kambing, baik karena kambingnya
yang tidak ada, uangnya ada atau kambingnya ada, uangnya yang tidak ada, maka
dia taksir harga 1 ekor unta dengan uang, sesuai dengan harga di negeri Makkah
di Waqtul Wujub (waktu terjadinya Itlaq
tadi, yaitu waktu terjadinya jimaa’ yang mufsid). Dari taksiran harga 1 ekor
unta atau 1 ekor sapi/ kerbau atau 7 ekor kambing tadi kemudian dia belikan
berupa makanan pokok yang sah untuk dijadikan zakat fitrah dengan kadar harga
yang berlaku di tahan haram. Apabila dia mempunyai stock makanan pokok di
rumahnya, maka boleh dikeluarkan dari stock makanan tersebut untuk digunakan
membayar dam.
Makanan pokok yang diperoleh dari
membeli atau yang ada di rumahnya tadi ia shodaqohkan kepada fuqoro wal masakin
(faqir dan miskin) yang ada di tanah haram, sekalipun ia perantau, yang
terpenting faqir-miskin yang ada di tanah haram.
Ada keberanian dari umat di akhir
zaman, yang berpendapat dan memberikan fatwa, bahwa dam sebaiknya di keluarkan
di Indonesia saja, karena di tanah haram sudah sangat berlebihan, sedangkan di
Indonesia masih banyak yang membutuhkan. Jangan
sembarangan memberanikan diri untuk memberikan fatwa yang bertentangan/
berlawanan dengan pendapat dari ulama-ulama terdahulu.
Andaikata orang faqir dan miskin yang
ada ditanah haram hanya sedikit, sehingga makan pokok (beras/gandum) yang akan
kita bagi belum habis untuk dibagikan (masih tersisa), maka itu pun tidak dapat
di bawa ke luar dari tanah haram (Indonesia atau Negara lainnya), tetap harus
di tunggu sisanya agar dapat dibagikan kepada faqir dan miskin di tanah haram.
Misalkan kita akan membayar dam untuk 100 orang, ternyata fuqoro wal masakin
yang ada di tanah haram hanya 50 orang, maka sisa yang 50 tidak dibolehkan di
bagikan di luar tanah haram, tunggu/ tunda sampai ada fuqoro wal masaqin yang
lain lagi.
Tidak ada ketentuannya yang mengatur,
berapa banyak jumlah yang harus dibagikan/ diberikan kepada tiap masing-masing
‘fuqoro wal masakin’. Jadi tidak ada ketentuan bahwa tiap masing-masing fuqoro
wal masakin harus diberikan sebesar 1 mud, jadi berikan sesuai kebutuhannya.
Bila masih berlebih, maka tunggu sampai ada ‘fuqoro wal masakin’ yang lainnya,
jangan di bagikan di luar tanah haram.
Bagi
orang yang melakukan Wathi’ yang Mufsid (Jimaa’ yang merusak Ibadah Haji/ Umroh
karena dilakukan sebelum Tahalul Awal), maka dia harus membayar dam berupa ‘badanah’ (onta), bila tidak ada onta, maka diganti
dengan ‘baqoroh’ (sapi), dan bila tidak ada sapi, maka diganti
dengan 7 ekor ‘syattun’ (kambing). Apabila tidak ada juga 7 ekor
kambing, maka dia taksir itu harga dari ‘badanah’ tadi dengan uang, dengan harga Makkah pada
waktu Wujub (waktu terjadinya pelanggaran). Kemudian dia beli dengan uang tadi
makanan pokok yang memadai untuk zakat fitrah. Misalkan uang dari taksiran
harga tadi tidak dibelikan makan pokok, malainkan ia shodaqohkan saja uang tadi
kepada fuqoro wal masaqin yang ada di Makkah dengan asumi/ menurut pendapatnya
bahwa uang lebih bermanfaat dari pada makanan pokok, karena uang dapat
digunakan untuk membeli lauk-pauknya dan lainnya. Maka uang yang
dishodaqohkannya tadi tidak memadai atau tidak sah dan ia dianggap belum
membayar dam.
Jika
memang tidak ada makanan pokok, maka dia ganti dengan puasa untuk tiap 1 mud
sama dengan 1 hari puasa. Puasanya dapat dilakukan dimana saja tidak harus di
Tanah Haram, jadi puasanya dapat dikerjakan di Tanah Haram atau di negerinya
sendiri. Jika setelah dibagi, masih tersisa kurang dari 1 mud, maka puasanya
digenapkan menjadi 1 hari puasa.
Ada
pendapat (pendapat yang dhoif), yang mengatakan bahwa tidak wajib membayar dam
berupa seekor onta apabila rusaknya umroh kita karena Wathi’ (hubungan badan),
melainkan damnya hanya 1 ekor kambing saja. Dam berupa 1 ekor onta atau 1 ekor
sapi atau 7 ekor kambing, apabila yang rusak adalah Ibadah Haji kita. Sedangkan
bila yang rusak karena Wathi’ (hubungan badan) adalah Ibadah Umroh kita, maka
tidak wajib atasnya untuk membayar dam kecuali hanya 1 ekor kambing saja.
Tetapi pendapat ini adalah pendapat yang dhoif, pendapat yang dhoif tidak boleh
difatwakan.
Ketahui
oleh kamu bahwa dam ini ada 2 bagian, yaitu:
1. Dam Yang Disebabkan Oleh Ihshor
Kita tertahan tidak dapat melanjutkan
perjalanan Ibadah Haji karena sakit, karena ditahan oleh musuh, karena
kehilangan teman, sehingga tidak dapat melanjutkan perjalan Ibadah Haji kita. Dam
Ihshor tidak wajib kita kirim dagingnya ke tanah Haram, tetapi kita potong/
sembelih damnya di tempat kita Muhshor (tertahan)
dan disitu kita melakukan Tahalul. Qoul
yang lebih nyata/ lebih jelas (Qoul yang Shohih), pendapat yang menyatakan:
“Dam ini ada ganti/ badal-nya, dari satu sifat ke sifat yang lain, bila tidak
ada onta boleh diganti sapi, bila tidak ada sapi boleh diganti 7 ekor kambing, bila tidak ada kambing boleh
diganti shodaqoh berupa makanan pokok. Jika tidak ada kambing, maka dia taksir
harga dari kambing dengan uang yang ‘ghoolib’ yang berlaku umum di situ (misalnya uang
real), dengan patokan harga Makkah di Waktu Wujub, sedangkan waktu pelaksanaannya dapat dikerjakan kapan saja.
Kemudian dari harga taksiran tadi dibelikan makanan untuk di shodaqohkan kepada
fuqoro wal masaqin yang ada di tanah harom. Jika dia tidak mampu untuk
shodaqoh, maka baru boleh ia ganti dengan puasa untuk tiap-tiap 1 mud diganti
dengan puasa 1 hari, pada saat itu juga. Dan sebagai Tahalul dari Umroh/
Hajinya dengan jalan ‘Halaq’ (bercukur), pada saat bercukur kita niat
tahalul, berbarengan waktu bercukur dengan niat tahalul.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa
tidak ada badal/ penganti dari satu kepada yang lainnya, tetapi ini merupakan
Qoul yang Dhoif, dengan alasan karena tidak ada riwayat dari Nabi. Jadi bila
damnya beruapa onta dan tidak ada onta pada saat itu, maka tunggu sampai ada
ontanya. Bila tidak ada uangnya, maka tunggu sampai ada uangnya. Tetapi
tuntutan tetap ada dalam tanggungannya, sampai ia mampu menunaikannya.
Ada pendapat ( Pendapat yang Dhoif )
yang menyatakan bahwa gantinya hanya puasa saja, puasanya 10 hari semacam puasa
Haji Tamattu, atau puasanya selama 3 hari semacam orang yang mencukur rambut
padahal ia belum Tahalul
2. Dam Yang Wajib Dengan Sebab Meninggalkan Yang
Wajib Atau Mengerjakan Yang Haram
Manakala kita meninggalkan Wajib Haji
atau Wajib Umroh atau melakukan/ mengerjakan yang harom di saat Haji/ Umroh,
maka damnya wajib disembelih di Tanah Haram. Demikian pula wajib di Tanah Haram
dalam hal membagi-bagi daging dari damnya kepada fuqoro wal masaqin yang ada di tanah harom, meskipun ia orang
asing/ pendatang, tetapi terpenting ia termasuk dalam golongan fuqoro wal masaqin.
Tuan
Syech Musonif,
mengatakan: “Tidak memadai ini dam, yaitu
menyembelih kambing dan membagi-bagi dagingnya dan seluruh bagian dari
dagingnya. Dan tidak boleh juga memberikan shodaqoh berupa makan, kecuali
kepada penduduk Makkah yang miskin.”
Dan
sekurang-kurangnya yang memadai, bahwa diserahkan/ disalurkannya dam berupa kambing atau lainnya ( sapi/
onta), setelah disembelih dam tadi, kemudian di bagi minimal kepada 3 orang
misqin/ faqir yang ada di tanah haram, sekalipun ia bukan penduduk asli,
asalkan dia ada di tanah haram.
Memadai
dan sah pula orang-orang yang wajib membayar ‘Dam Jabroon’, untuk penambal
kekurangan hajinya. Seperti dia tidak menjalankan ‘Mabiit’ di Minna selama 3
malam, untuk melakukan ‘Nafar Tsani’. Maka bagi yang tidak menjalankannya terkena ‘Dam Jabroon’. Tidak mengerjakan Mabit
bukan berarti tidak sah haji kita, tetapi hanya kurang sempurna dalam haji
kita.
Ia
boleh puasa apabila damnya ‘Dam Mukhoyar’
, damnya boleh dipilih-pilih
atau ‘Dam Tartib’ (bila yang satu tidak mampu, maka baru boleh menjalankan
yang kedua dan seterusnya).
Bagi
orang yang menjalankan ‘Dam Jabroon’ silahkan ia puasa dengan catatan dam yang
Mukhoyar atau dam yang ‘Murotab’. Silahkan
ia puasa dimana saja yang ia kehendaki, baik di tanah haram ataupun di luar
tanah haram.
Lain halnya dengan dam berupa
menyembelih hewan semacam onta, maka harus di lakukan di tanah haram.
Alasan
dibolehkannya puasa di luar tanah haram, karena puasa orang tersebut tidak
membawa pengaruh apa-apa terhadap penduduk Makkah ataupun orang yang berada di
Makkah. Lain halnya bila ia bayar dam berupa daging onta, sapi, ataupun
kambing, karena penduduk Makkah dapat memperoleh manfaat dari daging yang
dibagikannya. Akan tetapi bila ia melakukan puasa di tanah haram itu jauh lebih
utama, lebih bagus dan lebih mulya, karena kemulyaan tanah haram, pahlanya akan
berlipat ganda sampai 100.000 kali lipat bila dibandingkan ia puasa di tempat
lain.
Tidak
dibolehkan bagi orang yang Ihrom Haji/ Ihrom Umroh ataupun orang yang halal,
yaitu orang yang tidak sedang melaksanakan Manasik Haji/ Manasik Umroh, di
haramkan bagi mereka membunuh binatang buruan/ liar yang ada di tanah haram.
Akan tetapi bukan sembarang binatang, melainkan binatang dengan ketentuan
yaitu: binatang liar (bukan binatang ternak) yang hidup di darat serta binatang
tersebut boleh/ dapat dimakan dagingnya.
Sedangkan binatang ternak/ piaraan
boleh di potong, seperti kambing, ayam dll. Dan binatang yang tidak dimakan
dagingnya pun boleh dibunuh, seperti ular, macan/ singa ataupun binatang buas
lainnya, karena binatang tersebut tidak
dimakan dagingnya. Dan serangga semacam lalat ataupun nyamuk pun boleh kita
bunuh, karena juga tidak dimakan dagingnya.
Baik
di tanah haram Makkah ataupun di tanah haram Madinah, demikian pula binatang
darat yang liar dan yang dimakan dagingnya yang berada di Wajjutthooif , yang
berada dilembah ataupun padang saharanya. Padahal Wajjutthooif sudah berada di luar
tanah haram.
Membunuh
binatang liar di Wajjutthooif dan di Madinnah, sama tidak dibolehkannya, akan
tetapi yang selain/ di luar tanah haram Makkah, maka tidak ada ketentuan untuk
mengantinya dengan dam. Jadi tidak ada ketentuan untuk membayar dam bagi selain
tanah haram Makkah. Apabila membunuh binatang liar, yang hidup di darat dan
boleh dimakan dagingnya yang berada di Madinah dan Wajjutthooif, maka hukumnya
haram dan dosa saja, tetapi tidak ada sangsi untuk membayar damnya. Sedangkan
bila membunuhnya di Makkah, maka hukumnya haram, berdosa dan terkena sangsi
membayar dam.
Ada
perbedaan ketentuan antara membunuh hewan liar di Makkah dengan di Madinnah dan
Wajjutthooif, adalah karena di kedua tempat tersebut bukan tempat untuk
melaksanakan manasik haji. Aktivitas/ manasik haji hanya ada di Makkah saja, di
luar Makkah tidak ada. Di Madinnah hanya ziarah qubur dan ziarah ke Maqam
Rasululloh.
Orang
yang di paksa untuk membunuh binatang buruan/ liar, dihukumkan tidak haram dan tidak berdosa. Apabila orang
yang membunuh binatang buruan tadi di paksa untuk membunuh, maka tidak ada
haram atau tidak dosa baginya, dan ketentuan sangsi untuk menganti binatang
buruan/ liar tadi atas orang yang memaksanya untuk membunuh dan atas orang yang
memaksa tadi juga ada dosanya.
Andaikata
ia sudah niat Ihrom Haji/ Umroh, kemudian dia gila/ pingsan/ ayan/ tidur, atau orang yang Ihrom Haji/ Umroh tadi belum ‘tamyiz’ (masih anak-anak) atau belum ‘baligh’, dan ia membunuh binatang buruan/liar
darat yang dimakan dagingnya, maka baginya tidak ada ketentuan untuk mengganti
binatang yang dibunuhnya tadi, karena baginya ‘Ghoyir mukallaf’, hal ini berdasarkan ‘Qoul Adzhhar’ (Qoul yang
nyata).
Bersalahan
halnya/ ketentuannya/ hukumnya/ sangsinya dengan orang yang bodoh yang tidak
tahu sangsi hukumnya, dan orang yang
lupa (dia tahu hukumnya tetapi dia lupa). Maka bagi keduanya ada kewajibab
untuk menganti. Akan tetapi biasaya Jahilnya (kebodohannya) ini dilihat
terlebih dahulu, apakah ia jahil karena baru masuk Islam? Atau karena ia jauh
dari Ulama? Maka jahil semacam ini tidak ada sangsinya.
Untuk orang yang pergi haji, biasanya
diharuskan mempelajari Ilmu Manasik Haji terlebih dahulu, bukan sekedar hanya
punya uang, tetapi ia juga harus mempelajari ilmu manasik hajinya terlebih
dahulu, sehingga dapat sempurna dalam menjalankan ibadahnya.
Dan
tidak dibolehkan juga untuk memotong pohon yang ada di tanah haram, baik di
tanah haram Makkah maupun di tanah haram Madinnah dan demikian pula dengan
pohon yang ada di lembah di Wajjutthooif. Tetapi yang ada sangsi untuk
mengantinya adalah khusus yang berlaku di tanah haram Makkah saja. Sedangkan
apabila memotong/ mencabut pohon yang ada di Madinah dan Wajjutthooif tidak ada
sangsinya, hanya dosa saja. Sama seperti ketentuan binatang buruan, karena
tanah haram Makkah adalah tempat untuk melaksanakan Manasik Haji/ Umroh.
Sekalipun
sebagian ‘pongkol’/ batangnya atau akarnya dari pohon tersebut ada di tanah
halal. Jadi sebagian pohon ada di tanah halal dan sebagian lagi ada di tanah
haram, maka tidak dibolehkan bagi kita untuk menebang/ mencabut pohon tersebut.
Dan
tidak ada bedanya, baik pohon yang tumbuh sendiri ataupun pohon yang sengaja di
tanam oleh pemilik rumah ataupun siapa saja yang menanam, maka tidak dibolehkan
untuk dipotong/ ditebang. Pohon yang sudah kering/ mati, pohon yang mengganggu
‘lalu-lalang’ orang, tidak haram di potong/ di tebang ataupun di cabut, dengan
catatan tidak ada gantinya atau tidak ada harapan dari pohon tersebut untuk
dapat tumbuh lagi.
Manakala
kita potong/ tebang/ cabut pohon yang besar (besarnya disini berdasarkan
pendapat umum) yang ada di tanah haram Makkah, maka sangsi/ damnya yaitu seekor
baqoroh (sapi) atau badannah (onta) atau 7 ekor kambing. Untuk pohon yang besar
ini sama saja, apakah dapat tumbuh lagi atau tidak, maka apabila di potong
terkena sangsi berupa sapi/ onta/ 7 ekor kambing.
Pohon
yang kecil yang ukurannya menghampiri/ mendekati ‘sepertujuhnya’ dari yang
besar, maka sangsinya cukup hanya seekor kambing saja atau hewan yang mendekati
dari seekor kambing. Untuk pohon yang ukurannya kurang dari ‘sepertujuh’ dari
ukuran pohon yang besar (misalnya semacam pohon singkong) atau pohon yang kecil
sekali, maka sangsinya ‘qiimah’,
yaitu diganti dengan cara ditaksir harganya.
Tiap-tiap
satu dari keduanya, yaitu berupa sapi atau kambing, ketentuannya yang sesuai
atau sah untuk dijadikan hewan qurban. Ketentuan/ syarat untuk membayar dam
karena memotong/ mencabut tanaman ini sama dengan ketentuan/ syaratnya dari
hewan yang akan dijadikan hewan qurban, seperti tidak cacat dll.
Dan
tidak dibolehkan juga mencabut tumbuh-tumbuhan (pohon kecil) yang ada di tanah
haram Makkah, tanah haram Madinah dan lembah yang ada di Wajjutthooif. Dan
tidak dibolehkan juga mencabut tanaman yang ada di tanah haram, yang tidak di tanam oleh orang, tumbuhan yang
tumbuh sendiri (tanaman liar, semacam ilalang/ rumput dll.).
Tanaman
yang sengaja di tanam oleh orang boleh dicabut/ di potong secara mutlak,
seperti tanaman yang di tanam di halaman atau tanaman semacam sayuran: seperti
kangkung, sawi, bayam, padi/ gandum, ubi, singkong dan tumbuhan lainnya yang memang sengaja di tanam
oleh orang. Apabila tumbuh semacam tumbuhan gandum, tumbuhan gandum tersebut
tumbuh sendiri, tanpa sengaja di tanam oleh orang, maka boleh juga dicabut/
dipotong, karena memandang keadaan asalnya tanaman ini biasa di tanam oleh
orang.
Adapun
rumput yang sudah kering, boleh dipotong, tetapi tidak boleh dicabut dengan
akarnya, jika rumput tersebut masih ada harapan untuk tumbuh lagi. Bila akarnya
masih tumbuh dan ada harapan untuk tumbuh lagi, maka boleh dipotong, tetapi
tidak boleh dicabut. Sedangkan bila akarnya sudah mati dan tidak ada harapan
untuk dapat tumbuh lagi, maka baru boleh dicabut.
Sama
saja untuk orang yang halal, yaitu orang tidak sedang melaksanakan Ihrom Haji/
Ihrom Umroh, atau orang yang sedang Ihrom baik Haji ataupun Ihrom Umroh, dalam
hal hukumnya sama saja, berlaku hukum-hukum seperti yang sudah lalu, yaitu
seperti halnya diharamkannya membunuh binatang buruan/ liar, diharamkannya
mencabut/ memotong tumbuh-tumbuhan, karena dipandang larangannya berlaku secara
umum.
Ringkasan
tentang Dam-dam yang wajib dalam Ihrom Haji & Umroh oleh sebagian Ulama
Fiqih telah disusun menjadi bentuk syairan sebagai berikut:
“Pelanggaran
yang semata-mata membinasakan/ tidak tergantikan (‘Itlaq),
semacam menggunting kuku/ rambut, maka ada fidyah/ damnya, meskipun kita dalam
kondisi lupa atau tidak sengaja.”
“Jika
pelanggaran yang sifatnya bersenang-senang (Tarofuh),
seperti memakai pakaian yang berjahit, memakai minyak wangi, memakai peci, bila
tidak sengaja/ lupa, maka tidak ada sangsinya, sedangkan bila sengaja maka ada
sangsinya.”
“Bila
terjadinya Wathi’/ Jimaa’ (hubungan badan dengan istri) karena lupa/
tidak sengaja, maka tidak terkena sangsi/ dam berupa kambing, karena hal ini
termasuk dalam katagori Tarofuh (bersenang-senang).”
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar