Senin, 12 Oktober 2015

FIQIH (HAJI & UMROH) - Dam Yang Wajib Dalam Ihrom Haji dan Ihrom Umroh (Bag-1)


Pokok Bahasan     :  FIQIH (HAJI & UMROH)
Judul                    :  Dam Yang Wajib Dalam Ihrom Haji dan Ihrom Umroh (Bag.1)
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Dalam Peribadatan Haji ada Rukun Haji, ada Wajib Haji dan ada Sunanul Haji. Siapa orang yang meninggalkan satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban haji/ umroh, maka wajib baginya membayar dam. Sama saja (tidak ada beda) ditinggalkannya kewajiban  Haji/ Umroh tadi karena sengaja atau lupa atau karena tidak tahu masalah/ hukumnya. Jadi absolute/ tidak ada bedanya baik ditinggalkan Wajib Haji/ Umroh tadi karena sengaja, lupa ataupun tidak tahu hukumnya.

Jika dia meninggalkan kewajiban melontar saat sampai di Mudzdalifah, disana ada kewajiban bagi yang bikin Nafar Awal, maka melontar tanggal: 11 & 12 Dzulhijah dan bagi yang bikin Nafar Tsani, maka melontar tanggal: 11, 12 dan 13 Dzulhijah. Bagi orang yang meninggalkan kewajiban melontar tersebut, maka baginya ada sangsi membayar dam.

Bila dia meninggalkan 1 malam saja Mabit di Minna pada tanggal 11, 12, 13 terkena 1 mud (+ 1 liter), bila meninggalkan 2 malam maka kena 2 mud, dan bila meninggalkan 3 malam maka terkena membayar dam 1 ekor kambing.

Tidak terhenti dan tidak tergantung sah atau tidak sah-nya Haji/ Umroh kita dengan tidak mendatangkan hal-hal yang wajib. Andaikata kita meninggalkan semua hal-hal yang termasuk wajib haji, maka sah-sah saja Haji kita, asalkan Rukun-rukun Haji-nya kita jalankan seluruhnya. Wajib Haji bila ditinggalkan tidak menyebabkan tidak sah-nya kita punya haji, akan tetapi kita terkena sangsi membayar dam. Karena apabila sudah luput waktunya, maka luput pula itu kerjaan tadi(seperti waktu Jumroh, waktu mabit dll.) Amalan-amalan yang wajib tadi luput dengan sebab luputnya itu waktu.  Dengan bergersernya waktu, yaitu Setelah lewat dari tanggal 13, maka tidak ada lagi kerjaan Mabit dan Jumroh.  Lain halnya dengan Thawaf Ifadhoh, tidak ada masa atau batasan waktunya, kapan saja dapat kita kerjakan.

Ada Wajib Haji, ada Rukun Haji, dalam ibadah-ibadah yang lain, antara Wajib dan Rukun adalah sama, seperti Wajib Sholat, Fardhu Sholat, Rukun Sholat sama saja. Tetapi pada Ibadah Haji antara Rukun dan Wajib berbeda, Rukun Haji bagaimanapun juga kondisinya (misalnya: dalam kondisi sakit) tetap harus dikerjakan/ dijalankan, bila tidak dikerjakan maka tidak sah haji kita. Sedangkan Wajib Haji boleh tidak dikerjakan dan tetap sah haji kita meskipun ditinggalkan,  akan tetapi terkena sangsi membayar dam.

Siapa orang meninggalkan salah satu Sunnah dari Sunnah-Sunnah Haji/ Umroh, maka tidak ada kewajiban atasnya sesuatu dengan sebab meninggalkannya. Artinya bila tidak dikerjakan/ ditinggalkan tidak ada sangsi apa-apa, paling tidak, hanya tidak ada pahalanya. Meninggalkan hal yang Sunnah, tidak menyebabkan haji kita menjadi tidak sah ataupun rusak.
Jika Wajib Haji ditinggalkan kena dam. Mabit di Muzdalifah, bila kita meninggalkan Muzdalifah sebelum jam 12 malam, maka terkena dam. Tidak melontat tanggal 11, 12 dan 13, terkena dam. 

Terkadang di sunnahkan dengan sebab meninggalkan Sunnah Haji dam. Tadi disebutkan tidak wajib kita mengeluarkan dam berupa seekor kambing, manakala meninggalkan hal yang Sunnah dalam Haji. Tetapi ada yang disunnahkan membayar dam (bukan wajib), manakala meninggalkan sunnah haji, seperti kita disunnahkan menghimpun (menja’ma) antara waktu siang dengan waktu malam, saat kita berada di Padang Arafah (Mahzab Imam Syafi’i). Masuknya waktu Wuquf di Padang Arafah adalah tanggal 9 Dzulhijah ba’da Jawal. Wajibnya Wuquf hanya sesaat, sekitar 1 menit pun berada di Padang Arafah sudah sah haji kita, meskipun kita sambil lewat dalam kondisi tertidur ataupun dalam keadaan sakit sekalipun. Tetapi di sunnahkan jangan meninggalkan Padang Arafah sebelum masuk waktu Maghrib. Setelah masuk waktu Maghrib baru kita meninggalkan Padang Arafah menuju Muzdalifah. Ini berdasarkan pendapat dari Imam Syafi’i, jika menurut Mahzab Imam yang lain berbeda lagi, berdasarkan Mahzab Imam Ahmad bin Hambal malah diwajibkan menghimpun waktu di Padang Arafah antara waktu siang dan malam.
Jadi berdasarkan Mahzab Imam Syafi’i, menghimpun waktu antara siang dan malam sewaktu Wuquf di Padang Arafah adalah Sunnah, yaitu meninggalkan Padang Arafah setelah ba’da Maghrib, dan bagi yang meninggalkan Padang Arafah sebelum masuk waktu Maghrib, maka di sunnahkan baginya membayar dam berupa 1 ekor kambing.

Rukun dalam Haji adalah: Sesuatu yang terhenti/ tergantung sah atau tidak sahnya Ibadah Haji kita atas itu sesuatu. Jika meninggalkan salah satu rukun, maka tidah sah haji kita. Rukun Haji yaitu: Niat Ihrom, Wuquf di Padang Arafah, Thawaf Ifadhoh, Saa’i, dan Halaq (bercukur).

Wajib dalam Haji adalah: Suatu kerjaan yang dapat ditambal dengan dam. Bila kita meninggakan salah satu Wajib Haji, maka haji kita tetap sah tetapi kita wajib mengeluarkan/ membayar dam 1 ekor kambing. Wajib Haji yaitu: Niat Ihrom dari Miqot, Melontar (Jumroh), Mabiit di Muzdalifah, Mabiit di Minna ba’da  Wuquf  (11, 12 & 13 Dzulhijah) dan Halaq/ Taqshiir.
Bila meninggalkan yang rukun, meskipun kita sanggup membayar 100 ekor kambing tetap tidak sah haji kita, dan rukun tidak dapat digantikan/ diwakilkan kepada orang lain, mesti kita sendiri yang langsung mengerjakan rukun-rukun haji itu sendiri.

Sunnah dalam Haji adalah: Menjadi luput dengan sebab meninggalkan sunnah tadi fadhilah/ keutamaan haji. Fadhilah/ Keutamaan Haji kita menjadi hilang dengan sebab kita meninggalkan Sunnah Haji. Sekedar sah hajinya, tetapi tidak mendapatkan Keutamaan Haji/ Kesempurnaan Haji. Sunnah Haji yaitu: Mengucapkan Talbiyah, Thawaf Quduum, Shalat 2 Rakaat setelah Thawaf, Mabiit di Minna saat berangkat menuju Padang Arafah (malam ke-9 Dzulhijah) dan Thawaf Wadaa’.

Macam-Macam Dam (Darah) Yang Wajib Dalam Ihrom Haji/ Ihrom Umroh
Dalam Ihrom Haji/ Ihrom Umroh ada dam yang wajib dikeluarkan manakala kita meninggalkan salah satu dari yang di wajibkan dalam Ihrom Haji/ Umroh atau mengerjakan sesuatu yang Haram/ dilarang.
Maka penyebab dari diwajibkannya membayar dam adalah salah satu dari dua  perkara, yaitu:
1.    Meninggalkan yang Wajib.
2.    Mengerjakan yang Haram.

Dam-dam yang Wajib di saat kita Ihrom ada 21 dam, dari 21 dam ini hukumnya hanya 5 saja, dihitung 5 dengan jalan meng-ifrood-kan, menyebutkan secara tersendiri dam ji’maa (dam hubungan badan) saat kita Ihrom Haji atau Ihrom Umroh. Disebutkannya tersendiri dam dari pada ji’maa dalam hitungan, karena beratnya sangsi dari dam karena ji’maa.

A.   Dam Wajib Karena Meninggalkan Yang Wajib Dalam Ihrom Haji atau Ihrom Umroh:
1.    Meninggalkan salah satu yang diperintahkan dalam ihrom haji/ ihrom umroh maka kena dam.
Semacam kita meninggalkan Ihrom dengan Miqot Makanni. Apabila kita akan melaksanakan Ibadah Haji atau Umroh, maka kita diwajibkan berpakaian ihrom dan memulai niat Ihrom di Miqot yang berada di luar tanah haram, seperti di Dzulhulaifah (Bir’ali), Juhfah, Yalamlam, Bandara King Abdul Aziz, Qorn dan Dzatul Irqin. Bila kita langsung masuk ke Makkah tanpa berpakaian Ihrom dan niat Ihrom di Miqot, maka kita diwajibkan membayar dam 1 ekor kambing.
2.    Dam Haji Tamattu
Yaitu kita membayar dam karena mengerjakan Haji Tamattu, kita masuk ke Makkah dengan niat Umroh: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha lillahi taala.”  Artinya kita mendahulukan Ihrom Umroh dari pada Ihrom Haji. Dam Tamattu Wajib, dengan sebab  kita mendahulukan Ihrom Umroh dari pada Ihrom Haji. Haji ada 3 macam, yaitu Haji Ifrood, Haji Tamattu dan Haji Qiroon. Setelah kita selesai melaksanakan Ibadah Umroh, maka tidak ada kerjaan ibadah haji yang dapat kita lakukan sebelum masuk waktu Wuquf di Padang Arafah. Maka pada saatnya nanti tanggal 8 Dzulhijah kita akan diberangkatkan menuju Padang Arafah kita niat disitu (di maqtab/ penginapan/ hotel) yang berada di tanah Haram, dengan niat: “Nawaitul hajja wa ahromtu biha lillahi taala.” Padahal jika akan melaksanakan ibadah Haji seharusnya niatnya (mengambil Miqotnya) dari arah kedatangan kita (Miqot Baladi), misalnya kita dari arah Madinnah, maka mengambil miqotnya di Bir’ali. Karena kita sudah berada di tanah haram dan kita tidak keluar lagi dari tanah haram untuk mengambil miqot, maka kita diwajibkan membayar dam. Karena kita mengambil kesempatan untuk tidak kembali ke miqot semula, maka kita kena dam. Jika tidak ingin mengeluarkan dam, maka silahkan keluar dari tanah haram dan mengambil miqot ditempat arah kedatangan kita (Miqot Baladi).
3.    Dam Haji Qiroon
Diwajibkannya orang yang bikin Haji Qiroon untuk mengeluarkan dam, disebabkan meninggalkan miqot salah satu dari 2 peribadatan (Haji & Umroh), karena Haji Qiroon menggabungkan 2 kerjaan menjadi satu yaitu Ibadah Haji dan Ibadah Umroh, maka niatnya menjadi: “Nawaitul hajja wa umrotta lillahi taala.” Jadi pada Haji Qiroon ada salah satu peribadatan yang kita tidak mengambil miqot dari tempatnya. Seharusnya 2 kali ihrom, maka harus melakukan 2 kali miqot, yaitu miqot untuk Ihrom Haji dan miqot untuk Ihrom Umroh.
4.    Dam Fawad
Wajib mengelurkan dam karena kita meninggalkan Wuquf di Padang Arafah.
5.    Dam Mandzur  
Dam yang wajib dikeluarkan karena dia meninggalkan hal-hal yang dinazarkan dalam peribadatan haji, maka meninggalkan sesuatu yang dinazarkan dalam peribadatan haji/ umroh masuk ke dalam meninggalkan sesuatu yang dimentahkan dengannya.
6.    Dam Meninggalkan Mabiit di Muzdalifah
Malam ke-10, kita mesti Mabiit di Muzdalifah, tetapi sebelum masuk waktu tengah malam (jam 00 waktu setempat) kita sudah meninggalkan Muzdalifah menuju Minna, maka kita terkena membayar dam. Padahal setelah sampai di Minna, kita tidak dapat mengerjakan melontar, karena melontar baru boleh dikerjakan setelah masuk waktu tengah malam.
7.    Dam Meninggalkan Mabiit di Minna
Wajib mengelurkan dam karena meninggalkan Mabbit di Minna selama 3 malam (bagi yang melakukan Nafar Tsani), yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijah. Bagi yang mengerjakan Nafar Awal (11 dan 12 Dzulhijah), maka tidak terkena dam. Meninggalkan hanya 1 atau 2 malam saja, maka hanya terkena membayar mud saja, 1 malam = 1 mud (+ 1 liter).
8.    Dam Meninggalkan Thawaf Wadaa’
Bagi orang yang meninggalkan Thawaf Wadaa’, maka terkena dam juga.
9.    Dam Tartib & Taqdir
Kita tidak dibolehkan berpindah dari kewajiban membayar dam berupa seekor kambing dan menggantinya dengan puasa, manakala kita masih mampu untuk membayar dam berupa kambing dan kambingnya ada untuk kita beli dengan harga yang wajar (sesuai harga pasaran), maka wajib bagi kita membayar dam berupa seekor kambing. Jadi ada ketentuan membayar dam, yaitu Tartib dan Taqdir.

Dam Tartib adalah: sesuatu yang tidak boleh pindah pada suatu sifat/ suatu perkara/ suatu hal, kecuali bila ia tidak mampu mengerjakan suatu hal yang sebelumnya. Yang dibolehkan misalnya dia ada kewajiban membayar dam berupa kambing, tetapi dia tidak mempunyai kemampuan (tidak memiliki uang yang cukup) untuk membeli kambing atau uangnya ada tetapi kambing yang akan dibeli sebagai dam tidak ada, atau bila kambingnya ada, tetapi harganya terlalu tinggi (berlipat dari harga biasanya), maka dia boleh berpindah menggantinya dengan berpuasa.

Dam Taqdir adalah: adanya suatu ketentuan/ syarat yang ditentukan oleh Alloh dan Rasulnya yang membolehkan kita berpidah/ berpaling dari ketentuan yang sebelumnya kepada ketentuan berikutnya/ selanjutnya. Kita dibolehkan berpindah dari kewajiban membayar dam berupa kambing kepada dam berupa puasa apabila kita tidak mempunyai kemampuan (uang) untuk membeli kambing atau kita mempunyai uang tetapi kambing yang akan kita beli untuk dam tidak ada, maka disitu baru dibolehkan mengganti damnya menjadi puasa.  Puasa sebagai penganti membayar dam telah diatur ketentuannya, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.

Apabila kita meninggalkan sesuatu yang wajib dalam Manasik Haji atau Umroh maka ada kewajiban membayar dam berupa kambing. Kambing yang akan digunakan untuk membayar dam harus memenuhi persyaratan dan dianggap sah sebagai hewan qurban. Atau sepertujuh dari hewan unta/ sapi/ kerbau, apabila ada yang ingin membayar damnya secara bersama-sama (kolektif sebanyak 7 orang).

Ketentuan wajib membayar dam atas orang yang membuat Haji Tamattu adalah saat ia mengucapkan niat Ihrom Haji: “Nawaitul hajja wa ahromtu bihi lillahi taala.”   Jadi tidak mesti harus menunggu sampai selesai ibadah hajinya atau menunggu setelah ia selesai Wuquf di Padang Arafah. Kewajiban membayar damnya tersebut karena ia mendahulukan Manasik Umroh dari pada Manasik Haji. Ia datang ke Makkah dengan niat Umroh dan pada saat akan melaksanakan Wuquf di Padang Arafah (Umroh Haji),  ia mengambil kesempatan untuk tidak mengambil Miqot dari arah datangnya atau Miqot semula atau Miqot Baladi, tetapi karena ia ‘bersenang-senang’ mengambil Miqodnya dari Maqtabnya (penginapannya) di Makkah, maka ada kewajiban atasnya membayar dam. Tidak dibolehkan baginya keluar dari tanah Haram menuju ke tanah Halal untuk mengambil Miqod, lain halnya bila kita akan melaksanakan Ihrom Umroh (Umroh Sunnah) kita dibolehkan keluar untuk mengambil Miqod seperti di Ja’rona, Tan’im dll.

Membayar dam dengan memotong seekor kambing untuk Haji Tamattu dapat dilakukan setelah kita selesai melaksanakan Ihrom Umroh. Bila belum selesai Ihrom Umroh, maka belum dibolehkan (belum sah) membayar dam Haji Tamattu, bila sebelum selesai Ihrom Umroh kita sudah terlanjur memotong kambing (membayar dam), maka harus diulangi lagi dam-nya. Waktu yang paling afdhol (paling utama) untuk membayar dam Haji Tamattu adalah di hari ke-10 Dzulhijah.

Bila saat akan membayar dam, dia tidak menemukan hewan yang sah (dibolehkan) untuk ia dapat membayar dam. Atau misalkan ada kambing tetapi harganya sangat mahal (2 kali lipat) dari harga pasaran, maka dibolehkan baginya beralih/ mengganti dam-nya dengan berpuasa selama 10 hari. Ada aturannya cara berpuasa sebagai pengganti bayar dam, yaitu kita berpuasa selama 3 hari saat kita masih dalam keadaan Ihrom Haji. Disunnahkan melaksanakan puasa yang 3 hari tersebut sebelum hari Arafah ( 9 Dzulhijah), yaitu pada tanggal 6, 7 dan 8 Dzulhijah, sedangkan tanggal 9 Dzulhijah kita tidak berpuasa. Itu sudah menjadi aturan puasa sebagai pengganti ,membayar dam, jadi tidak boleh dilanggar, tidak boleh semau waktunya kita berpuasa. Kita tidak dibolehkan memulai puasanya pada tanggal 7 Dzulhijah, karena tidak akan cukup waktu baginya untuk  berpuasa selama 3 hari, sedangkan tanggal 9 Dzulhijah kita tidak dibolehkan berpuasa. Maka dia niat Ihrom Hajinya sebelum tanggal 6 Dzulhijah (tangal 5 Dzulhijah), dan pada malam yang ke-6 Dzulhijah dia mulai niat berpuasa. Aturan ini ada dalam hal: Kita meninggalkan Miqod Makanni, kita tidak niat Ihrom pada Miqod Baladi (Miqot dari asal kedatanganan kita menuju ke Makkah). 

Adapun dam atau sangsi kafaarot bagi orang yang meninggalkan Melontar dan Mabit di Minna, maka wajib melaksanakan puasa selama 3 hari setelah hari Tasyrik (jadi pelaksanaan puasanya pada tanggal: 14, 15, 16 Dzulhijah).

Dalam hal orang meninggalkan Thawaf Wadaa’, puasanya dilaksanakan setelah sampainya dia di suatu tempat dalam perjalanannya meninggalkan Makkah. Tetap (sudah pasti) atasnya kena dam, bila dia tidak kembali untuk Thawaf. Setelah dia keluar dari Makkah sejauh 2 marhalah (misalnya sudah sampai di Jeddah) dan tidak mungkin baginya untuk kembali ke Makkah atau dia khawatir akan tertinggal rombongannya. Disitu baru dia melaksanakan puasa selama 3 hari. Dan sisa puasanya selama 7 hari dilaksanakan setelah ia kembali ke tanah air/ negerinya. Tidak boleh sisa puasa yang 7 hari ini, dia laksanakan dalam perjalanannya menuju ke tanah air. Jika dia puasa juga dalam perjalanan, maka puasanya tadi tidak dihitung/ tidak sah dan harus diulang.

Bagi perempuan yang belum melaksanakan Thawaf  Wadda dan dia terlanjur haid, maka silahkan dia meninggalkan kota Makkah tanpa melaksanakan Thawaf Wadda dan apabila sebelum mencapai 2 marhalah ternyata darah haidnya sudah kering/ bersih, maka dia mempunyai 2 pilihan, dia dapat kembali ke Makkah untuk melaksanakan Thawaf Wadda atau membayar dam. Tetapi apabila perjalanannya sudah mencapai 2 marhalah, maka tidak ada sangsi membayar dam banginya.

Bila ada orang yang berkeinginan baginya untuk muqim/ menetap untuk sementara di Makkah, maka silahkan dia puasa yang 7 hari sisanya di Makkah (bukan di negerinya)sebagaimana tertera dalam kitab Muharor, karya Imam Rofi’i. Dipisahkan antara puasa yang 3 hari (6,7,8 Dzulhijah) dan puasa yang 7 hari dipisah dengan 4 hari saja, yaitu Hari Idul Adha (10 Dzulhijah) dan 3 hari Tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijah), jadi dia mulai puasa lagi tanggal 14-20  Dzulhijah.

Andaikata dia tidak puasa yang 3 hari dalam haji, tidak puasanya karena udzur ataupun tidak ada udzur, dan ia kembali ke negerinya. Maka dia wajib puasa selama 10 hari dengan segera (dalam perjalanan ke negerinya), jika dia tidak puasanya tanpa udzur syar’i, sekalipun dia dalam pelayaran, tetapi jika tidak mengganggu keselamatan/ kesehatannya badannya. Jika dikhawatirkan akan membahayakan kesehatan badannya, akan timbul penyakit karenanya, maka dia dapat menunda puasanya. “Keselamatan Badan Lebih Utama Dari Pada Keselamatan Agama.”

Dan dibedakan/ dipisahkan dalam mengkodho puasa yang 3 hari dan puasa yang 7 hari dengan diselingi 4 hari juga. Karena tidak dikerjakan di Makkah, maka di sebut puasa kodho.

Setelah puasa selama 3 hari kemudian dia tidak puasa selama 4 hari, kemudian dia baru melanjutkan puasa yang 7 hari. Jadi setera/ sama dengan Yaumin Nahar (10 Dzulhijah) dan Yaumi Tasyrik (11, 12 & 13 Dzulhijah). Dan diperhitungkan juga masa/ waktu perjalanannya menuju ke negerinya, misalkan untuk sekarang perjalanan dari Jeddah ke Jakarta selama +9 jam (dibulatkan menjadi 1 hari). Jadi waktu pemisah/ jeda antara puasa yang 3 hari dengan yang 7 hari dipisahkan selama 4+1, yaitu 5 hari. Jika dia tidak pisahkan antara puasa yang 3 hari dan 7 hari, artinya dia puasa terus menerus selama 10 hari, maka puasa yang 7 hari tidak di hitung. Terkecuali untuk orang Makkah, mereka boleh memisahkan antara puasa yang 3 hari dengan puasa yang 7 hari, hanya dipisahkan oleh 1 hari saja.

Apa yang sudah disebutkan oleh Tuan Syech Musonif, tentang “Dam Tartib Wa Taqdiir”, sesuai/ cocok dengan apa yang tertulis dalam kitab Rawdhoh karya Imam Nawawi dan asli dari Kitab Rawdhoh, yaitu kitab Muharor karya Imam Rofi’i dan Syarah Muhadzab karya Imam Nawawi.
Usia Imam Nawawi hanya 49 tahun, dan hingga akhir hayatnya beliau tidak menikah, tetapi umur beliau berkah dan bermanfaat, beliau berhasil mengeluarkan karyanya berupa puluhan kitab dari berbagai disiplin ilmu.   

Tetapi pendapat dari Imam Nawawi yang tertulis dalam kitab Min’haj mengikuti kitab Muharor karya Imam Rofi’i menyebutkan bahwa dam yang sudah disebutkan tadi, yaitu: “Dam Tartib Wa Ta’diil”, bukan “Dam Tartib Wa Taqdiir”. Yaitu beralih dam tadi manakala tidak ada kambing untuk membayar dam ataupun bila ada kambingnya tetapi harganya di atas harga yang wajar/ harga pasaran (terlalu mahal), maka beralih dam tadi menjadi harga. Berapa harga kambing sesuai pasaran? Kemudian belikan makanan sesuai dengan harga kambing tersebut. Misalkan harga kambing 2 juta, maka belikan dengan uang 2 juta tadi beras atau gandum kemudian shodaqohkan. Urutan pertama yang harus dijalankan adalah:
1.    Membeli kambing untuk membayar Dam.
2.    Bila kambing yang mau dibeli tidak ada atau misalkan ada harga kambingnya terlalu tinggi (melebihi harga pasaran), maka dia dapat menggantinya dengan membeli makanan yang harganya sesuai dengan harga pasaran (harga yang wajar) dari satu ekor kambing, kemudian dia shodaqohkan itu makanan.
3.    Bila tidak mampu juga maka dia dapat menggantinya dengan puasa, setiap 1 mud = 1 hari puasa. Perhitungannya dengan harga satu ekor kambing, misalkan harga 1 ekor kambing bila dibelikan beras/ gandum dapat berapa mud?  1 Sooh = 4 mud, 1 sooh = 3,5 liter. Maka 1 mud = 3,5 liter dibagi 4. Jadi dari harga 1 ekor kambing bila dibelikan beras/ gandum dapat berapa mud, maka tiap mud tersebut diganti dengan hari ia puasa.
Hal inilah yang di-Tasydihkan oleh Imam Ghozali.

Dam Ta’diil  berjalan menurut qias, sedangkan Dam Taqdiir  tidak dapat diketahui melainkan dengan ketentuan Syara’, yaitu Alloh dan Nabi yang menentukan. Pendapat yang mengatakan: “Dam Tartib Wa Taqdiir adalah pendapat dari kebanyakan para Ulama dan Fuqoha. 

B.  Dam Wajib Karena Mengerjakan Yang Alloh Haramkan Dalam Ihrom Haji
     atau Ihrom Umroh:
1.  Mencukur/ Mencabut Rambut
Dalam ihrom haji atau umroh, haram hukumnya mencukur rambut, baik dengan cara: digunting, dikerok, di bakar, dicabut ataupun dengan cara apa saja, dari seluruh anggota badan. Manakala hal ini dilakukan, maka sangsinya terkena dam. Baik mencukur hanya 3 helai rambut ataupun mencukur habis. Bila mencukur/ mencabutnya hanya 1 helai rambut saja, maka hanya terkena kewajiban membayar 1 mud saja. Misalkan dia mencabut satu setengah rambut dari 2 helai rambut, maka terkena membayar 2 mud. Bila sudah 3 helai atau sebagian dari 3 helai rambut, maka wajib membayar dam 1 ekor kambing, bila zaman/ masanya sama dan tempatnya tidak bergeser kepada bagian rambut yang lain. Penentuan masa/ waktu yang di anggap sama, bergantung dari pendapat umum, bukan syara yang menentukan. Bila zaman/ masanya tidak satu atau dicabutnya tidak pada satu tempat, maka hanya terkena membayar mud saja dari tiap-tiap helai rambut yang tercabut.
2.  Menggunting Kuku
Wajib baginya membayar dam manakala dia memotong/ menggunting kuku, baik itu kuku kaki ataupun kuku tangan dan dilakukannya sebelum dia melakukan tahalul.
3.  Memakai Pakaian Yang Berjahit
4.  Memakai Penutup Kepala Bagi Laki-laki
5.  Jimaa’ Yang Kedua
Jimaa’ yang kedua adalah jimaa’ yang dilakukan setelah jimaa’ yang pertama (Jimaa’ Mufsid), yang sangsinya berat dan merusak ibadah haji, karena dilakukan sebelum tahalul awal. Bagi yang melakukan Jimaa’ Mufsid, maka selain wajib membayar dam, juga diwajibkan mengkodho ibadah hajinya dengan segera.
Jimaa’ yang kedua adalah jimaa’ yang dilakukan setelah dia melakukan jimaa’ yang pertama dan dia belum melakukan tahalul awal dia sudah melakukan jimaa’ lagi.
6.  Jimaa’ Diantara 2 Tahalul
Yaitu jimaa’ yang dilakukan setelah ia menyelesaikan tahalul awal, tetapi dia belum mengerjakan tahalul tsani, dan dia sudah kembali melakukan jimaa’, maka baginya wajib membayar dam.
7.  Mubasyaroh (Bersentuhan Dengan Istri)
Bersentuhan (bercumbu rayu/ berciuman) dengan istri dan dilakukannya dengan syahwat dan tanpa ada penghalang, tetapi dia tidak sampai melakukan jimaa’, hal ini tetap ada sangsinya yaitu membayar dam. Bila setelah melakukan mubasyaroh, kemudian dia melakukan jimaa’, maka dam mubasyarohnya gugur masuk ke dalam dam jimaa’, jadi sangsi dam cukup satu kali saja, yaitu digabung dengan dam jimaa’.
8.  Tarofuh (bersenang-senang)
Wajib mengeluarkan dam apabila ia memakai minyak wangi, memakai minyak di rambut kepala dan rambut yang berada di muka (jenggot, kumis, cambang, alis dll.), sekalipun hanya sebagian atau satu helai rambut saja.      

Membayar dam berupa kambing, maka dipilih kambing yang memenuhi persyaratan sebagai kambing untuk fidyah/ qurban. Membayar dam-nya juga dapat digabung (patungan) untuk beberapa orang, seperti hewan unta, sapi, kerbau memadai untuk membayar dam sebanyak 7 orang.

Dam disini bukan merupakan ‘Dam Tartib Wa Taqdiir’, bagi yang meninggalkan peribadatan haji yang wajib. Untuk itu dam-nya dapat dibayar dengan kambing dan dapat juga diganti dengan puasa selama 3 hari atau 5 hari, dan dapat dikerjakan di kampungnya. Atau dapat pula dam-nya diganti dengan shodaqoh sebanyak 3 sooh (3 x 3,5 liter) dan disedekahkan kepada 6 orang miskin atau fuquro/ faqir, dan tiap-tiap orang miskin/ faqir tadi mendapatkan sebanyak setengah sooh (3,5 liter dibagi 2). Dan shodaqohnya ini berupa makanan pokok yang memenuhi syarat sebagai zakat fitrah, seperti beras, gandum, sagu, jagung atau makanan pokok lainnya. Tidak sah shodaqohnya tadi bila berupa uang ataupun bukan makanan pokok, meskipun nilai uang atau barang yang bukan makanan pokok tadi nilainya harganya lebih mahal dari makanan pokok.

C. Dam Yang Wajib Dengan Sebab Ihshor
Ihshor yaitu kita tercegah, tidak dapat masuk karena tidak ada jalan yang dapat dilalui untuk menuju ke tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji atau ibadah umroh di Tanah Haram. Seluruh jalan di tutup, sehingga tidak ada jalan bagi kita untuk dapat memasuki Tanah Haram Makkah untuk menuntaskan/ menyempurnakan ibadah manasik haji kita.

Sebab-sebab Ihshor atau tercegahnya kita untuk menuntaskan/ menyempurnakan ibadah haji kita ini ada 6, yaitu:  
1.  Kita tercegah oleh musuh
Kita dicegah oleh musuh untuk dapat sampai di negeri Makkah.
Musuh menutup semua jalan sehingga kita tidak dapat memasuki kota suci Makkah. 

2.  Kita ditahan dengan cara zholim
Kita ditahan atau dikurung, tetapi bukan haq-nya/ seharusnya kita di tahan. Jika misalkan kita mencuri atau berbuat kejahatan, maka sudah menjadi haq-nya kita di tahan, tetapi kita ini ditahan dengan cara yang zholim. Misalkan dia ditahan dengan sebab hutang, padahal dia tidak mampu untuk menunaikan kewajibannya untuk membayar hutang. Jika orang berhutang, maka mesti di catat berapa jumlah hutangnya?  Kapan jatuh tempo hutangnya?  Jika sampai saatnya jatuh tempo ternyata ia mu’sir (tidak mampu membayar hutannya) karena disebabkan usahanya bangkrut, atau gagal panen dll., bukan kerena kelalaian atau ada unsur kesengajaan darinya. Bila dengan sebab ini dia ditahan, maka dia telah dizholimi, karena dia tidak dapat membayar hutangnya karena memang saat itu ia tidak mampu (mu’sir). Sebaiknya bila saat ia susah jangan ditahan, tetapi diberikan kesempatan kepadanya untuk ia dapat melunasi hutangnya dengan cara diperpanjang tempo pembayarannya. Jika sudah saatnya ia mampu, tetapi ia masih menunda-nunda untuk membayar hutangnya, maka dia telah berbuat zholim dan dapat menjadi kufur. Jika belum mampu maka jangan paksa orang untuk membayar hutangnya, tetapi bila sudah mampu maka harus segera melunasi hutangnya.
Atau misalkan dia tidak mampu membayar, tetapi dia sudah mewakilkannya kepada orang lain untuk menyelesaikan/ membayarkan  hutangnya, tetapi ia tetap ditahan juga, maka itu termasuk telah dizholimi juga.

3.  Per-budaq-kan
Manakala ia melakukan ihrom haji atau ihrom umroh tanpa seizin dari majikan atau tuannya. Maka boleh bagi si-budaq untuk dapat keluar (tahalul) dari ihrom haji atau ihrom umrohnya dengan jalan mencukur rambutnya dengan niat keluar dari manasik haji atau manasik umroh. Ia membatalkan manasik haji atau manasik umrohnya, baik dengan jalan diminta oleh tuannya ataupun dengan jalan tidak diminta oleh tuannya (atas kemauan sendiri).  

4.  Hubungan Suami-Istri
Seorang suami dibolehkan memerintahkan istrinya untuk tahalul/ niat keluar dari Manasik Haji atau Manasik Umroh, sekalipun merupakan Haji Islam (Haji yang pertama atau Haji Wajib). Bila si-istri tidak izin kepada suami untuk melaksanakan Manasik Haji/ Umroh, maka si-suami dibolehkan untuk memerintahkan istrinya untuk keluar dari Manasik Haji/ Umroh. Kewajiban untuk khidmat kepada suami adalah kewajiban yang harus segera dilaksanakan. Sedangkan kewajiban Manasik Haji/ Umroh bukan merupakan kewajiban yang harus segera dilaksanakan, pelaksanaannya dapat ditunda pada waktu lain.
Misalkan si-istiri mendapatkan izin dari bapaknya, tetapi tidak mendapatkan izin dari suaminya, maka tidak boleh baginya melaksanakan Manasik Haji/ Umroh. Apabila seorang anak sudah menikah, maka yang lebih berhaq atas dirinya adalah suaminya.
      
5.  Hubungan antara Orang Tua dan Kakek dengan Anak dan Cucu dst.
Misalkan seorang anak melaksanakan Manasik Haji/ Umroh tanpa seizin dari bapak/ ibu/ kakek dan seterusnya, maka si-bapak dapat memerintah si-anak untuk tahalul/ keluar dari Manasik Haji/ Umroh, tetapi dari Haji yang Sunnah (bukan Haji Islam/ Haji Wajib). Lain halnya dengan si-suami, ia dapat memerintahkan istrinya untuk tahalul/ keluar dari Manasik Haji/ Umrohnya sekalipun Haji/ Umrohnya tersebut merupakan Haji/ Umroh Islam (Haji/ Umroh yang Wajib).  

6.  Pemilik Hutang
Pemilik Hutang dari hutang yang sudah jatuh tempo dapat mencegah orang yang berhutang kepadanya untuk tidak melaksanakan Manasik Haji/ Umroh. Orang yang berhutang dan sudah jatuh tempo hutangnya,  dan ia sudah mampu untuk membayar hutangnya tersebut, tetapi ia menunda untuk membayar hutangnya, melainkan uangnya tersebut ia pergunakan untuk melaksanakan Manasik Haji/ Umroh, maka si-pemilik hutang dapat mencegah orang yang berhutang kepadanya tersebut untuk melaksanakan Manasik Haji/ Umroh, agar dapat menyelesaikan kewajibannya untuk membayar hutangnya. Si-pemilik hutang dapat mencegah orang yang mempunyai hutang kepadanya agar tidak  melaksanakan Manasik Haji/ Umroh, tetapi apabila ia mengetahui bahwa orang yang berhutang kepadanya sedang melaksanakan Ihrom Haji/ Umroh atau ia bertemu disana, maka si-pemilik hutang ini tidak dapat memerintahkan orang yang berhutang kepadanya tersebut untuk melakukan tahalul dari Ihrom Haji/ Umroh-nya.
Bagi orang yang mempunyai hutang maka tidak dapat bebas baginya untuk dapat melakukan perjalanan, apabila ia akan mengadakan perjalanan yang lebih dari 2 marhalah, maka ia harus meminta izin terlebih dahulu kepada si-pemilik hutang, karena dikhawatirkan terjadi kecelakaan atau hal lainnya dalam perjalanannya tersebut, bila tidak dapat izin maka tidak dibolehkan baginya untuk mengadakan perjalanan.

Maka si-Muhrim (orang yang sedang Ihrom), harus tahalul dari Manasik Haji/ Umroh, manakala ada salah satu penyebab seperti yang telah disebutkan diatas tadi, bahkan dapat menjadi wajib apabila yang memerintahkannya adalah seorang suami kepada istrinya.

Maka bagi si-Muhrim yang terhalang baginya untuk dapat menyelesaikan Manasik Haji/ Umroh karena sebab seperti di atas, maka dia keluar dari Manasik Haji/ Umrohnya dengan cara niat tahalul, yaitu niat keluar dari Ibadah Haji/ Umrohnya dengan sebab Ihshor. Sebelum dia niat Tahalul maka didahului terlebih dahulu dengan memotong kambing sebagai dam halaq, kemudian baru dia mencukur rambutnya. 

Si-Muhshor, orang yang tercegah untuk dapat menyelesaikan Manasik Haji/ Umrohnya karena dengan sebab Ihshor, maka wajib atasnya untuk memotong kambing atau hewan lain yang dapat di gabung untuk membayar dam untuk beberapa orang, seperti unta, sapi, kerbau digunakan untuk membayar dam 7 orang. Dia menyembelih kambing atau hewan lainnya sebagai dam, di tempat di mana ia tertahan dan tidak dapat melanjutkan Manasik Haji/ Umrohnya, dapat di tanah Haram ataupun Tanah Halal. Setelah dia menyembelih kambingnya sebagai dam, maka baru kemudian dia mencukur rambutnya. “Jangan kau cukur kau punya rambut sebelum hewan dam tadi sampai ke tempatnya.”


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar