Pokok
Bahasan : FIQIH (HAJI & UMROH)
Judul : Dam Yang Wajib Dalam Ihrom Haji dan Ihrom Umroh (Bag.1)
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Dalam
Peribadatan Haji ada Rukun Haji, ada Wajib Haji dan ada Sunanul Haji. Siapa
orang yang meninggalkan satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban haji/ umroh,
maka wajib baginya membayar dam. Sama saja (tidak ada beda) ditinggalkannya
kewajiban Haji/ Umroh tadi karena
sengaja atau lupa atau karena tidak tahu masalah/ hukumnya. Jadi absolute/
tidak ada bedanya baik ditinggalkan Wajib Haji/ Umroh tadi karena sengaja, lupa
ataupun tidak tahu hukumnya.
Jika
dia meninggalkan kewajiban melontar saat sampai di Mudzdalifah, disana ada
kewajiban bagi yang bikin Nafar Awal, maka melontar tanggal: 11 & 12
Dzulhijah dan bagi yang bikin Nafar Tsani, maka melontar tanggal: 11, 12 dan 13
Dzulhijah. Bagi orang yang meninggalkan kewajiban melontar tersebut, maka
baginya ada sangsi membayar dam.
Bila
dia meninggalkan 1 malam saja Mabit di Minna pada tanggal 11, 12, 13 terkena 1
mud (+ 1 liter), bila meninggalkan 2 malam maka kena 2 mud, dan bila
meninggalkan 3 malam maka terkena membayar dam 1 ekor kambing.
Tidak
terhenti dan tidak tergantung sah atau tidak sah-nya Haji/ Umroh kita dengan
tidak mendatangkan hal-hal yang wajib. Andaikata kita meninggalkan semua
hal-hal yang termasuk wajib haji, maka sah-sah saja Haji kita, asalkan
Rukun-rukun Haji-nya kita jalankan seluruhnya. Wajib Haji bila ditinggalkan
tidak menyebabkan tidak sah-nya kita punya haji, akan tetapi kita terkena
sangsi membayar dam. Karena apabila sudah luput waktunya, maka luput pula itu
kerjaan tadi(seperti waktu Jumroh, waktu mabit dll.) Amalan-amalan yang wajib
tadi luput dengan sebab luputnya itu waktu.
Dengan bergersernya waktu, yaitu Setelah lewat dari tanggal 13, maka
tidak ada lagi kerjaan Mabit dan Jumroh.
Lain halnya dengan Thawaf Ifadhoh, tidak ada masa atau batasan waktunya,
kapan saja dapat kita kerjakan.
Ada
Wajib Haji, ada Rukun Haji, dalam ibadah-ibadah yang lain, antara Wajib dan
Rukun adalah sama, seperti Wajib Sholat, Fardhu Sholat, Rukun Sholat sama saja.
Tetapi pada Ibadah Haji antara Rukun dan Wajib berbeda, Rukun Haji bagaimanapun
juga kondisinya (misalnya: dalam kondisi sakit) tetap harus dikerjakan/
dijalankan, bila tidak dikerjakan maka tidak sah haji kita. Sedangkan Wajib
Haji boleh tidak dikerjakan dan tetap sah haji kita meskipun ditinggalkan, akan tetapi terkena sangsi membayar dam.
Siapa
orang meninggalkan salah satu Sunnah dari Sunnah-Sunnah Haji/ Umroh, maka tidak
ada kewajiban atasnya sesuatu dengan sebab meninggalkannya. Artinya bila tidak
dikerjakan/ ditinggalkan tidak ada sangsi apa-apa, paling tidak, hanya tidak
ada pahalanya. Meninggalkan hal yang Sunnah, tidak menyebabkan haji kita
menjadi tidak sah ataupun rusak.
Jika Wajib Haji ditinggalkan kena
dam. Mabit di Muzdalifah, bila kita meninggalkan Muzdalifah sebelum jam 12
malam, maka terkena dam. Tidak melontat tanggal 11, 12 dan 13, terkena
dam.
Terkadang
di sunnahkan dengan sebab meninggalkan Sunnah Haji dam. Tadi disebutkan tidak
wajib kita mengeluarkan dam berupa seekor kambing, manakala meninggalkan hal
yang Sunnah dalam Haji. Tetapi ada yang disunnahkan membayar dam (bukan wajib),
manakala meninggalkan sunnah haji, seperti kita disunnahkan menghimpun
(menja’ma) antara waktu siang dengan waktu malam, saat kita berada di Padang
Arafah (Mahzab Imam Syafi’i). Masuknya waktu Wuquf di Padang Arafah adalah
tanggal 9 Dzulhijah ba’da Jawal. Wajibnya Wuquf hanya sesaat, sekitar 1 menit
pun berada di Padang Arafah sudah sah haji kita, meskipun kita sambil lewat
dalam kondisi tertidur ataupun dalam keadaan sakit sekalipun. Tetapi di
sunnahkan jangan meninggalkan Padang Arafah sebelum masuk waktu Maghrib.
Setelah masuk waktu Maghrib baru kita meninggalkan Padang Arafah menuju
Muzdalifah. Ini berdasarkan pendapat dari Imam Syafi’i, jika menurut Mahzab
Imam yang lain berbeda lagi, berdasarkan Mahzab Imam Ahmad bin Hambal malah
diwajibkan menghimpun waktu di Padang Arafah antara waktu siang dan malam.
Jadi
berdasarkan Mahzab Imam Syafi’i, menghimpun waktu antara siang dan malam
sewaktu Wuquf di Padang Arafah adalah Sunnah, yaitu meninggalkan Padang Arafah
setelah ba’da Maghrib, dan bagi yang meninggalkan Padang Arafah sebelum masuk
waktu Maghrib, maka di sunnahkan baginya membayar dam berupa 1 ekor kambing.
Rukun dalam Haji
adalah: Sesuatu yang terhenti/ tergantung sah atau tidak sahnya Ibadah Haji
kita atas itu sesuatu. Jika meninggalkan salah satu rukun, maka tidah sah haji
kita. Rukun Haji yaitu: Niat Ihrom, Wuquf di Padang Arafah, Thawaf Ifadhoh,
Saa’i, dan Halaq (bercukur).
Wajib dalam Haji
adalah: Suatu kerjaan yang dapat ditambal dengan dam. Bila kita meninggakan
salah satu Wajib Haji, maka haji kita tetap sah tetapi kita wajib mengeluarkan/
membayar dam 1 ekor kambing. Wajib Haji yaitu: Niat Ihrom dari Miqot, Melontar
(Jumroh), Mabiit di Muzdalifah, Mabiit di Minna ba’da Wuquf
(11, 12 & 13 Dzulhijah) dan Halaq/ Taqshiir.
Bila meninggalkan yang rukun,
meskipun kita sanggup membayar 100 ekor kambing tetap tidak sah haji kita, dan
rukun tidak dapat digantikan/ diwakilkan kepada orang lain, mesti kita sendiri
yang langsung mengerjakan rukun-rukun haji itu sendiri.
Sunnah dalam Haji
adalah: Menjadi luput dengan sebab meninggalkan sunnah tadi fadhilah/ keutamaan
haji. Fadhilah/ Keutamaan Haji kita menjadi hilang dengan sebab kita
meninggalkan Sunnah Haji. Sekedar sah hajinya, tetapi tidak mendapatkan
Keutamaan Haji/ Kesempurnaan Haji. Sunnah Haji yaitu: Mengucapkan Talbiyah,
Thawaf Quduum, Shalat 2 Rakaat setelah Thawaf, Mabiit di Minna saat berangkat
menuju Padang Arafah (malam ke-9 Dzulhijah) dan Thawaf Wadaa’.
Macam-Macam Dam
(Darah) Yang Wajib Dalam Ihrom Haji/ Ihrom Umroh
Dalam
Ihrom Haji/ Ihrom Umroh ada dam yang wajib dikeluarkan manakala kita
meninggalkan salah satu dari yang di wajibkan dalam Ihrom Haji/ Umroh atau
mengerjakan sesuatu yang Haram/ dilarang.
Maka
penyebab dari diwajibkannya membayar dam adalah salah satu dari dua perkara, yaitu:
1.
Meninggalkan
yang Wajib.
2.
Mengerjakan
yang Haram.
Dam-dam
yang Wajib di saat kita Ihrom ada 21 dam, dari 21 dam ini hukumnya hanya 5
saja, dihitung 5 dengan jalan meng-ifrood-kan, menyebutkan secara tersendiri
dam ji’maa (dam hubungan badan) saat kita Ihrom Haji atau Ihrom Umroh.
Disebutkannya tersendiri dam dari pada ji’maa dalam hitungan, karena beratnya
sangsi dari dam karena ji’maa.
A.
Dam Wajib
Karena Meninggalkan Yang Wajib Dalam Ihrom Haji atau Ihrom Umroh:
1.
Meninggalkan
salah satu yang diperintahkan dalam ihrom haji/ ihrom umroh maka kena dam.
Semacam kita meninggalkan Ihrom
dengan Miqot Makanni. Apabila kita
akan melaksanakan Ibadah Haji atau Umroh, maka kita diwajibkan berpakaian ihrom
dan memulai niat Ihrom di Miqot yang berada di luar tanah haram, seperti di
Dzulhulaifah (Bir’ali), Juhfah, Yalamlam, Bandara King Abdul Aziz, Qorn dan
Dzatul Irqin. Bila kita langsung masuk ke Makkah tanpa berpakaian Ihrom dan
niat Ihrom di Miqot, maka kita diwajibkan membayar dam 1 ekor kambing.
2.
Dam Haji
Tamattu
Yaitu kita membayar dam karena
mengerjakan Haji Tamattu, kita masuk ke Makkah dengan niat Umroh: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha lillahi
taala.” Artinya kita mendahulukan
Ihrom Umroh dari pada Ihrom Haji. Dam Tamattu Wajib, dengan sebab kita mendahulukan Ihrom Umroh dari pada Ihrom
Haji. Haji ada 3 macam, yaitu Haji Ifrood, Haji Tamattu dan Haji Qiroon.
Setelah kita selesai melaksanakan Ibadah Umroh, maka tidak ada kerjaan ibadah
haji yang dapat kita lakukan sebelum masuk waktu Wuquf di Padang Arafah. Maka
pada saatnya nanti tanggal 8 Dzulhijah kita akan diberangkatkan menuju Padang
Arafah kita niat disitu (di maqtab/ penginapan/ hotel) yang berada di tanah
Haram, dengan niat: “Nawaitul hajja wa
ahromtu biha lillahi taala.” Padahal jika akan melaksanakan ibadah Haji
seharusnya niatnya (mengambil Miqotnya) dari arah kedatangan kita (Miqot
Baladi), misalnya kita dari arah Madinnah, maka mengambil miqotnya di Bir’ali.
Karena kita sudah berada di tanah haram dan kita tidak keluar lagi dari tanah
haram untuk mengambil miqot, maka kita diwajibkan membayar dam. Karena kita
mengambil kesempatan untuk tidak kembali ke miqot semula, maka kita kena dam.
Jika tidak ingin mengeluarkan dam, maka silahkan keluar dari tanah haram dan
mengambil miqot ditempat arah kedatangan kita (Miqot Baladi).
3.
Dam Haji
Qiroon
Diwajibkannya orang yang bikin Haji
Qiroon untuk mengeluarkan dam, disebabkan meninggalkan miqot salah satu dari 2
peribadatan (Haji & Umroh), karena Haji Qiroon menggabungkan 2 kerjaan
menjadi satu yaitu Ibadah Haji dan Ibadah Umroh, maka niatnya menjadi: “Nawaitul hajja wa umrotta lillahi taala.” Jadi
pada Haji Qiroon ada salah satu peribadatan yang kita tidak mengambil miqot
dari tempatnya. Seharusnya 2 kali ihrom, maka harus melakukan 2 kali miqot,
yaitu miqot untuk Ihrom Haji dan miqot untuk Ihrom Umroh.
4.
Dam Fawad
Wajib mengelurkan dam karena kita
meninggalkan Wuquf di Padang Arafah.
5.
Dam Mandzur
Dam yang wajib dikeluarkan karena dia
meninggalkan hal-hal yang dinazarkan dalam peribadatan haji, maka meninggalkan
sesuatu yang dinazarkan dalam peribadatan haji/ umroh masuk ke dalam
meninggalkan sesuatu yang dimentahkan dengannya.
6.
Dam
Meninggalkan Mabiit di Muzdalifah
Malam ke-10, kita mesti Mabiit di
Muzdalifah, tetapi sebelum masuk waktu tengah malam (jam 00 waktu setempat)
kita sudah meninggalkan Muzdalifah menuju Minna, maka kita terkena membayar
dam. Padahal setelah sampai di Minna, kita tidak dapat mengerjakan melontar,
karena melontar baru boleh dikerjakan setelah masuk waktu tengah malam.
7.
Dam Meninggalkan
Mabiit di Minna
Wajib mengelurkan dam karena
meninggalkan Mabbit di Minna selama 3 malam (bagi yang melakukan Nafar Tsani),
yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijah. Bagi yang mengerjakan Nafar Awal (11 dan
12 Dzulhijah), maka tidak terkena dam. Meninggalkan hanya 1 atau 2 malam saja,
maka hanya terkena membayar mud saja, 1 malam = 1 mud (+ 1 liter).
8.
Dam Meninggalkan
Thawaf Wadaa’
Bagi orang yang meninggalkan Thawaf
Wadaa’, maka terkena dam juga.
9.
Dam Tartib
& Taqdir
Kita tidak dibolehkan berpindah dari
kewajiban membayar dam berupa seekor kambing dan menggantinya dengan puasa,
manakala kita masih mampu untuk membayar dam berupa kambing dan kambingnya ada
untuk kita beli dengan harga yang wajar (sesuai harga pasaran), maka wajib bagi
kita membayar dam berupa seekor kambing. Jadi ada ketentuan membayar dam, yaitu
Tartib dan Taqdir.
Dam Tartib adalah: sesuatu yang tidak
boleh pindah pada suatu sifat/ suatu perkara/ suatu hal, kecuali bila ia tidak
mampu mengerjakan suatu hal yang sebelumnya. Yang dibolehkan misalnya dia ada
kewajiban membayar dam berupa kambing, tetapi dia tidak mempunyai kemampuan
(tidak memiliki uang yang cukup) untuk membeli kambing atau uangnya ada tetapi
kambing yang akan dibeli sebagai dam tidak ada, atau bila kambingnya ada,
tetapi harganya terlalu tinggi (berlipat dari harga biasanya), maka dia boleh
berpindah menggantinya dengan berpuasa.
Dam Taqdir adalah: adanya suatu
ketentuan/ syarat yang ditentukan oleh Alloh dan Rasulnya yang membolehkan kita
berpidah/ berpaling dari ketentuan yang sebelumnya kepada ketentuan berikutnya/
selanjutnya. Kita dibolehkan berpindah dari kewajiban membayar dam berupa
kambing kepada dam berupa puasa apabila kita tidak mempunyai kemampuan (uang)
untuk membeli kambing atau kita mempunyai uang tetapi kambing yang akan kita beli
untuk dam tidak ada, maka disitu baru dibolehkan mengganti damnya menjadi
puasa. Puasa sebagai penganti membayar
dam telah diatur ketentuannya, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.
Apabila kita meninggalkan sesuatu
yang wajib dalam Manasik Haji atau Umroh maka ada kewajiban membayar dam berupa
kambing. Kambing yang akan digunakan untuk membayar dam harus memenuhi
persyaratan dan dianggap sah sebagai hewan qurban. Atau sepertujuh dari hewan
unta/ sapi/ kerbau, apabila ada yang ingin membayar damnya secara bersama-sama
(kolektif sebanyak 7 orang).
Ketentuan wajib membayar dam atas
orang yang membuat Haji Tamattu adalah saat ia mengucapkan niat Ihrom Haji: “Nawaitul hajja wa ahromtu bihi lillahi
taala.” Jadi tidak mesti harus
menunggu sampai selesai ibadah hajinya atau menunggu setelah ia selesai Wuquf
di Padang Arafah. Kewajiban membayar damnya tersebut karena ia mendahulukan
Manasik Umroh dari pada Manasik Haji. Ia datang ke Makkah dengan niat Umroh dan
pada saat akan melaksanakan Wuquf di Padang Arafah (Umroh Haji), ia mengambil kesempatan untuk tidak mengambil
Miqot dari arah datangnya atau Miqot semula atau Miqot Baladi, tetapi karena ia
‘bersenang-senang’ mengambil Miqodnya dari Maqtabnya (penginapannya) di Makkah,
maka ada kewajiban atasnya membayar dam. Tidak dibolehkan baginya keluar dari
tanah Haram menuju ke tanah Halal untuk mengambil Miqod, lain halnya bila kita
akan melaksanakan Ihrom Umroh (Umroh Sunnah) kita dibolehkan keluar untuk
mengambil Miqod seperti di Ja’rona, Tan’im dll.
Membayar dam dengan memotong seekor
kambing untuk Haji Tamattu dapat dilakukan setelah kita selesai melaksanakan
Ihrom Umroh. Bila belum selesai Ihrom Umroh, maka belum dibolehkan (belum sah)
membayar dam Haji Tamattu, bila sebelum selesai Ihrom Umroh kita sudah
terlanjur memotong kambing (membayar dam), maka harus diulangi lagi dam-nya.
Waktu yang paling afdhol (paling utama) untuk membayar dam Haji Tamattu adalah
di hari ke-10 Dzulhijah.
Bila saat akan membayar dam, dia
tidak menemukan hewan yang sah (dibolehkan) untuk ia dapat membayar dam. Atau
misalkan ada kambing tetapi harganya sangat mahal (2 kali lipat) dari harga
pasaran, maka dibolehkan baginya beralih/ mengganti dam-nya dengan berpuasa
selama 10 hari. Ada aturannya cara berpuasa sebagai pengganti bayar dam, yaitu
kita berpuasa selama 3 hari saat kita masih dalam keadaan Ihrom Haji.
Disunnahkan melaksanakan puasa yang 3 hari tersebut sebelum hari Arafah ( 9
Dzulhijah), yaitu pada tanggal 6, 7 dan 8 Dzulhijah, sedangkan tanggal 9
Dzulhijah kita tidak berpuasa. Itu sudah menjadi aturan puasa sebagai pengganti
,membayar dam, jadi tidak boleh dilanggar, tidak boleh semau waktunya kita
berpuasa. Kita tidak dibolehkan memulai puasanya pada tanggal 7 Dzulhijah,
karena tidak akan cukup waktu baginya untuk
berpuasa selama 3 hari, sedangkan tanggal 9 Dzulhijah kita tidak
dibolehkan berpuasa. Maka dia niat Ihrom Hajinya sebelum tanggal 6 Dzulhijah
(tangal 5 Dzulhijah), dan pada malam yang ke-6 Dzulhijah dia mulai niat
berpuasa. Aturan ini ada dalam hal: Kita meninggalkan Miqod Makanni, kita tidak
niat Ihrom pada Miqod Baladi (Miqot dari asal kedatanganan kita menuju ke
Makkah).
Adapun dam atau sangsi kafaarot bagi
orang yang meninggalkan Melontar dan Mabit di Minna, maka wajib melaksanakan
puasa selama 3 hari setelah hari Tasyrik (jadi pelaksanaan puasanya pada
tanggal: 14, 15, 16 Dzulhijah).
Dalam hal orang meninggalkan Thawaf
Wadaa’, puasanya dilaksanakan setelah sampainya dia di suatu tempat dalam
perjalanannya meninggalkan Makkah. Tetap (sudah pasti) atasnya kena dam, bila
dia tidak kembali untuk Thawaf. Setelah dia keluar dari Makkah sejauh 2
marhalah (misalnya sudah sampai di Jeddah) dan tidak mungkin baginya untuk
kembali ke Makkah atau dia khawatir akan tertinggal rombongannya. Disitu baru
dia melaksanakan puasa selama 3 hari. Dan sisa puasanya selama 7 hari
dilaksanakan setelah ia kembali ke tanah air/ negerinya. Tidak boleh sisa puasa
yang 7 hari ini, dia laksanakan dalam perjalanannya menuju ke tanah air. Jika
dia puasa juga dalam perjalanan, maka puasanya tadi tidak dihitung/ tidak sah
dan harus diulang.
Bagi perempuan yang belum
melaksanakan Thawaf Wadda dan dia
terlanjur haid, maka silahkan dia meninggalkan kota Makkah tanpa melaksanakan
Thawaf Wadda dan apabila sebelum mencapai 2 marhalah ternyata darah haidnya sudah
kering/ bersih, maka dia mempunyai 2 pilihan, dia dapat kembali ke Makkah untuk
melaksanakan Thawaf Wadda atau membayar dam. Tetapi apabila perjalanannya sudah
mencapai 2 marhalah, maka tidak ada sangsi membayar dam banginya.
Bila ada orang yang berkeinginan
baginya untuk muqim/ menetap untuk sementara di Makkah, maka silahkan dia puasa
yang 7 hari sisanya di Makkah (bukan di negerinya)sebagaimana tertera dalam
kitab Muharor, karya Imam Rofi’i. Dipisahkan antara puasa yang 3 hari (6,7,8
Dzulhijah) dan puasa yang 7 hari dipisah dengan 4 hari saja, yaitu Hari Idul
Adha (10 Dzulhijah) dan 3 hari Tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijah), jadi dia mulai
puasa lagi tanggal 14-20 Dzulhijah.
Andaikata dia tidak puasa yang 3 hari
dalam haji, tidak puasanya karena udzur ataupun tidak ada udzur, dan ia kembali
ke negerinya. Maka dia wajib puasa selama 10 hari dengan segera (dalam
perjalanan ke negerinya), jika dia tidak puasanya tanpa udzur syar’i, sekalipun
dia dalam pelayaran, tetapi jika tidak mengganggu keselamatan/ kesehatannya
badannya. Jika dikhawatirkan akan membahayakan kesehatan badannya, akan timbul
penyakit karenanya, maka dia dapat menunda puasanya. “Keselamatan Badan Lebih
Utama Dari Pada Keselamatan Agama.”
Dan dibedakan/ dipisahkan dalam
mengkodho puasa yang 3 hari dan puasa yang 7 hari dengan diselingi 4 hari juga.
Karena tidak dikerjakan di Makkah, maka di sebut puasa kodho.
Setelah puasa selama 3 hari kemudian
dia tidak puasa selama 4 hari, kemudian dia baru melanjutkan puasa yang 7 hari.
Jadi setera/ sama dengan Yaumin Nahar (10 Dzulhijah) dan Yaumi Tasyrik (11, 12
& 13 Dzulhijah). Dan diperhitungkan juga masa/ waktu perjalanannya menuju
ke negerinya, misalkan untuk sekarang perjalanan dari Jeddah ke Jakarta selama +9
jam (dibulatkan menjadi 1 hari). Jadi waktu pemisah/ jeda antara puasa yang 3
hari dengan yang 7 hari dipisahkan selama 4+1, yaitu 5 hari. Jika dia tidak
pisahkan antara puasa yang 3 hari dan 7 hari, artinya dia puasa terus menerus
selama 10 hari, maka puasa yang 7 hari tidak di hitung. Terkecuali untuk orang
Makkah, mereka boleh memisahkan antara puasa yang 3 hari dengan puasa yang 7
hari, hanya dipisahkan oleh 1 hari saja.
Apa yang sudah disebutkan oleh Tuan
Syech Musonif, tentang “Dam Tartib Wa
Taqdiir”, sesuai/ cocok dengan apa yang tertulis dalam kitab Rawdhoh karya
Imam Nawawi dan asli dari Kitab Rawdhoh, yaitu kitab Muharor karya Imam Rofi’i
dan Syarah Muhadzab karya Imam Nawawi.
Usia Imam Nawawi hanya 49 tahun, dan
hingga akhir hayatnya beliau tidak menikah, tetapi umur beliau berkah dan
bermanfaat, beliau berhasil mengeluarkan karyanya berupa puluhan kitab dari
berbagai disiplin ilmu.
Tetapi pendapat dari Imam Nawawi yang
tertulis dalam kitab Min’haj mengikuti kitab Muharor karya Imam Rofi’i
menyebutkan bahwa dam yang sudah disebutkan tadi, yaitu: “Dam Tartib Wa Ta’diil”, bukan “Dam
Tartib Wa Taqdiir”. Yaitu beralih dam tadi manakala tidak ada kambing untuk
membayar dam ataupun bila ada kambingnya tetapi harganya di atas harga yang
wajar/ harga pasaran (terlalu mahal), maka beralih dam tadi menjadi harga.
Berapa harga kambing sesuai pasaran? Kemudian belikan makanan sesuai dengan
harga kambing tersebut. Misalkan harga kambing 2 juta, maka belikan dengan uang
2 juta tadi beras atau gandum kemudian shodaqohkan. Urutan pertama yang harus
dijalankan adalah:
1. Membeli
kambing untuk membayar Dam.
2. Bila kambing
yang mau dibeli tidak ada atau misalkan ada harga kambingnya terlalu tinggi
(melebihi harga pasaran), maka dia dapat menggantinya dengan membeli makanan
yang harganya sesuai dengan harga pasaran (harga yang wajar) dari satu ekor
kambing, kemudian dia shodaqohkan itu makanan.
3. Bila tidak
mampu juga maka dia dapat menggantinya dengan puasa, setiap 1 mud = 1 hari
puasa. Perhitungannya dengan harga satu ekor kambing, misalkan harga 1 ekor
kambing bila dibelikan beras/ gandum dapat berapa mud? 1 Sooh = 4 mud, 1 sooh = 3,5 liter. Maka 1
mud = 3,5 liter dibagi 4. Jadi dari harga 1 ekor kambing bila dibelikan beras/
gandum dapat berapa mud, maka tiap mud tersebut diganti dengan hari ia puasa.
Hal inilah yang di-Tasydihkan oleh Imam Ghozali.
Dam
Ta’diil berjalan menurut qias, sedangkan Dam Taqdiir tidak dapat diketahui melainkan dengan
ketentuan Syara’, yaitu Alloh dan Nabi yang menentukan. Pendapat yang
mengatakan: “Dam Tartib Wa Taqdiir adalah pendapat dari kebanyakan para Ulama
dan Fuqoha.
B. Dam Wajib Karena Mengerjakan Yang Alloh
Haramkan Dalam Ihrom Haji
atau Ihrom Umroh:
1. Mencukur/ Mencabut Rambut
Dalam ihrom haji atau umroh, haram
hukumnya mencukur rambut, baik dengan cara: digunting, dikerok, di bakar,
dicabut ataupun dengan cara apa saja, dari seluruh anggota badan. Manakala hal
ini dilakukan, maka sangsinya terkena dam. Baik mencukur hanya 3 helai rambut
ataupun mencukur habis. Bila mencukur/ mencabutnya hanya 1 helai rambut saja,
maka hanya terkena kewajiban membayar 1 mud saja. Misalkan dia mencabut satu
setengah rambut dari 2 helai rambut, maka terkena membayar 2 mud. Bila sudah 3
helai atau sebagian dari 3 helai rambut, maka wajib membayar dam 1 ekor
kambing, bila zaman/ masanya sama dan tempatnya tidak bergeser kepada bagian
rambut yang lain. Penentuan masa/ waktu yang di anggap sama, bergantung dari
pendapat umum, bukan syara yang menentukan. Bila zaman/ masanya tidak satu atau
dicabutnya tidak pada satu tempat, maka hanya terkena membayar mud saja dari
tiap-tiap helai rambut yang tercabut.
2. Menggunting Kuku
Wajib baginya membayar dam manakala
dia memotong/ menggunting kuku, baik itu kuku kaki ataupun kuku tangan dan
dilakukannya sebelum dia melakukan tahalul.
3. Memakai Pakaian Yang Berjahit
4. Memakai Penutup Kepala Bagi Laki-laki
5. Jimaa’ Yang Kedua
Jimaa’ yang kedua adalah jimaa’ yang
dilakukan setelah jimaa’ yang pertama (Jimaa’ Mufsid), yang sangsinya berat dan
merusak ibadah haji, karena dilakukan sebelum tahalul awal. Bagi yang melakukan
Jimaa’ Mufsid, maka selain wajib membayar dam, juga diwajibkan mengkodho ibadah
hajinya dengan segera.
Jimaa’ yang kedua adalah jimaa’ yang
dilakukan setelah dia melakukan jimaa’ yang pertama dan dia belum melakukan
tahalul awal dia sudah melakukan jimaa’ lagi.
6. Jimaa’ Diantara 2 Tahalul
Yaitu jimaa’ yang dilakukan setelah
ia menyelesaikan tahalul awal, tetapi dia belum mengerjakan tahalul tsani, dan
dia sudah kembali melakukan jimaa’, maka baginya wajib membayar dam.
7. Mubasyaroh (Bersentuhan Dengan Istri)
Bersentuhan (bercumbu rayu/
berciuman) dengan istri dan dilakukannya dengan syahwat dan tanpa ada
penghalang, tetapi dia tidak sampai melakukan jimaa’, hal ini tetap ada
sangsinya yaitu membayar dam. Bila setelah melakukan mubasyaroh, kemudian dia
melakukan jimaa’, maka dam mubasyarohnya gugur masuk ke dalam dam jimaa’, jadi
sangsi dam cukup satu kali saja, yaitu digabung dengan dam jimaa’.
8. Tarofuh (bersenang-senang)
Wajib mengeluarkan dam apabila ia
memakai minyak wangi, memakai minyak di rambut kepala dan rambut yang berada di
muka (jenggot, kumis, cambang, alis dll.), sekalipun hanya sebagian atau satu
helai rambut saja.
Membayar
dam berupa kambing, maka dipilih kambing yang memenuhi persyaratan sebagai
kambing untuk fidyah/ qurban. Membayar dam-nya juga dapat digabung (patungan)
untuk beberapa orang, seperti hewan unta, sapi, kerbau memadai untuk membayar
dam sebanyak 7 orang.
Dam
disini bukan merupakan ‘Dam Tartib Wa Taqdiir’, bagi yang meninggalkan
peribadatan haji yang wajib. Untuk itu dam-nya dapat dibayar dengan kambing dan
dapat juga diganti dengan puasa selama 3 hari atau 5 hari, dan dapat dikerjakan
di kampungnya. Atau dapat pula dam-nya diganti dengan shodaqoh sebanyak 3 sooh
(3 x 3,5 liter) dan disedekahkan kepada 6 orang miskin atau fuquro/ faqir, dan
tiap-tiap orang miskin/ faqir tadi mendapatkan sebanyak setengah sooh (3,5
liter dibagi 2). Dan shodaqohnya ini berupa makanan pokok yang memenuhi syarat
sebagai zakat fitrah, seperti beras, gandum, sagu, jagung atau makanan pokok
lainnya. Tidak sah shodaqohnya tadi bila berupa uang ataupun bukan makanan
pokok, meskipun nilai uang atau barang yang bukan makanan pokok tadi nilainya
harganya lebih mahal dari makanan pokok.
C. Dam Yang
Wajib Dengan Sebab Ihshor
Ihshor yaitu kita tercegah, tidak
dapat masuk karena tidak ada jalan yang dapat dilalui untuk menuju ke
tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji atau ibadah umroh di Tanah Haram. Seluruh
jalan di tutup, sehingga tidak ada jalan bagi kita untuk dapat memasuki Tanah Haram
Makkah untuk menuntaskan/ menyempurnakan ibadah manasik haji kita.
Sebab-sebab Ihshor atau tercegahnya
kita untuk menuntaskan/ menyempurnakan ibadah haji kita ini ada 6, yaitu:
1. Kita tercegah oleh musuh
Kita dicegah oleh musuh untuk dapat
sampai di negeri Makkah.
Musuh menutup semua jalan sehingga
kita tidak dapat memasuki kota suci Makkah.
2. Kita ditahan dengan cara zholim
Kita ditahan atau dikurung, tetapi
bukan haq-nya/ seharusnya kita di tahan. Jika misalkan kita mencuri atau
berbuat kejahatan, maka sudah menjadi haq-nya kita di tahan, tetapi kita ini
ditahan dengan cara yang zholim. Misalkan dia ditahan dengan sebab hutang,
padahal dia tidak mampu untuk menunaikan kewajibannya untuk membayar hutang.
Jika orang berhutang, maka mesti di catat berapa jumlah hutangnya? Kapan jatuh tempo hutangnya? Jika sampai saatnya jatuh tempo ternyata ia mu’sir
(tidak mampu membayar hutannya) karena disebabkan usahanya bangkrut, atau gagal
panen dll., bukan kerena kelalaian atau ada unsur kesengajaan darinya. Bila
dengan sebab ini dia ditahan, maka dia telah dizholimi, karena dia tidak dapat
membayar hutangnya karena memang saat itu ia tidak mampu (mu’sir). Sebaiknya
bila saat ia susah jangan ditahan, tetapi diberikan kesempatan kepadanya untuk
ia dapat melunasi hutangnya dengan cara diperpanjang tempo pembayarannya. Jika
sudah saatnya ia mampu, tetapi ia masih menunda-nunda untuk membayar hutangnya,
maka dia telah berbuat zholim dan dapat menjadi kufur. Jika belum mampu maka
jangan paksa orang untuk membayar hutangnya, tetapi bila sudah mampu maka harus
segera melunasi hutangnya.
Atau misalkan dia tidak mampu
membayar, tetapi dia sudah mewakilkannya kepada orang lain untuk menyelesaikan/
membayarkan hutangnya, tetapi ia tetap
ditahan juga, maka itu termasuk telah dizholimi juga.
3. Per-budaq-kan
Manakala ia melakukan ihrom haji atau
ihrom umroh tanpa seizin dari majikan atau tuannya. Maka boleh bagi si-budaq
untuk dapat keluar (tahalul) dari ihrom haji atau ihrom umrohnya dengan jalan
mencukur rambutnya dengan niat keluar dari manasik haji atau manasik umroh. Ia
membatalkan manasik haji atau manasik umrohnya, baik dengan jalan diminta oleh
tuannya ataupun dengan jalan tidak diminta oleh tuannya (atas kemauan
sendiri).
4. Hubungan Suami-Istri
Seorang suami dibolehkan
memerintahkan istrinya untuk tahalul/ niat keluar dari Manasik Haji atau
Manasik Umroh, sekalipun merupakan Haji Islam (Haji yang pertama atau Haji
Wajib). Bila si-istri tidak izin kepada suami untuk melaksanakan Manasik Haji/
Umroh, maka si-suami dibolehkan untuk memerintahkan istrinya untuk keluar dari
Manasik Haji/ Umroh. Kewajiban untuk khidmat kepada suami adalah kewajiban yang
harus segera dilaksanakan. Sedangkan kewajiban Manasik Haji/ Umroh bukan
merupakan kewajiban yang harus segera dilaksanakan, pelaksanaannya dapat
ditunda pada waktu lain.
Misalkan si-istiri mendapatkan izin
dari bapaknya, tetapi tidak mendapatkan izin dari suaminya, maka tidak boleh
baginya melaksanakan Manasik Haji/ Umroh. Apabila seorang anak sudah menikah,
maka yang lebih berhaq atas dirinya adalah suaminya.
5. Hubungan antara Orang Tua dan Kakek dengan Anak
dan Cucu dst.
Misalkan seorang anak melaksanakan
Manasik Haji/ Umroh tanpa seizin dari bapak/ ibu/ kakek dan seterusnya, maka
si-bapak dapat memerintah si-anak untuk tahalul/ keluar dari Manasik Haji/
Umroh, tetapi dari Haji yang Sunnah (bukan Haji Islam/ Haji Wajib). Lain halnya
dengan si-suami, ia dapat memerintahkan istrinya untuk tahalul/ keluar dari
Manasik Haji/ Umrohnya sekalipun Haji/ Umrohnya tersebut merupakan Haji/ Umroh
Islam (Haji/ Umroh yang Wajib).
6. Pemilik Hutang
Pemilik Hutang dari hutang yang sudah
jatuh tempo dapat mencegah orang yang berhutang kepadanya untuk tidak
melaksanakan Manasik Haji/ Umroh. Orang yang berhutang dan sudah jatuh tempo
hutangnya, dan ia sudah mampu untuk
membayar hutangnya tersebut, tetapi ia menunda untuk membayar hutangnya,
melainkan uangnya tersebut ia pergunakan untuk melaksanakan Manasik Haji/
Umroh, maka si-pemilik hutang dapat mencegah orang yang berhutang kepadanya
tersebut untuk melaksanakan Manasik Haji/ Umroh, agar dapat menyelesaikan
kewajibannya untuk membayar hutangnya. Si-pemilik hutang dapat mencegah orang
yang mempunyai hutang kepadanya agar tidak
melaksanakan Manasik Haji/ Umroh, tetapi apabila ia mengetahui bahwa
orang yang berhutang kepadanya sedang melaksanakan Ihrom Haji/ Umroh atau ia
bertemu disana, maka si-pemilik hutang ini tidak dapat memerintahkan orang yang
berhutang kepadanya tersebut untuk melakukan tahalul dari Ihrom Haji/
Umroh-nya.
Bagi orang yang mempunyai hutang maka
tidak dapat bebas baginya untuk dapat melakukan perjalanan, apabila ia akan
mengadakan perjalanan yang lebih dari 2 marhalah, maka ia harus meminta izin
terlebih dahulu kepada si-pemilik hutang, karena dikhawatirkan terjadi kecelakaan
atau hal lainnya dalam perjalanannya tersebut, bila tidak dapat izin maka tidak
dibolehkan baginya untuk mengadakan perjalanan.
Maka si-Muhrim (orang yang sedang
Ihrom), harus tahalul dari Manasik Haji/ Umroh, manakala ada salah satu
penyebab seperti yang telah disebutkan diatas tadi, bahkan dapat menjadi wajib
apabila yang memerintahkannya adalah seorang suami kepada istrinya.
Maka bagi si-Muhrim yang terhalang
baginya untuk dapat menyelesaikan Manasik Haji/ Umroh karena sebab seperti di
atas, maka dia keluar dari Manasik Haji/ Umrohnya dengan cara niat tahalul,
yaitu niat keluar dari Ibadah Haji/ Umrohnya dengan sebab Ihshor. Sebelum dia
niat Tahalul maka didahului terlebih dahulu dengan memotong kambing sebagai dam
halaq, kemudian baru dia mencukur rambutnya.
Si-Muhshor, orang yang tercegah untuk
dapat menyelesaikan Manasik Haji/ Umrohnya karena dengan sebab Ihshor, maka
wajib atasnya untuk memotong kambing atau hewan lain yang dapat di gabung untuk
membayar dam untuk beberapa orang, seperti unta, sapi, kerbau digunakan untuk
membayar dam 7 orang. Dia menyembelih kambing atau hewan lainnya sebagai dam,
di tempat di mana ia tertahan dan tidak dapat melanjutkan Manasik Haji/
Umrohnya, dapat di tanah Haram ataupun Tanah Halal. Setelah dia menyembelih
kambingnya sebagai dam, maka baru kemudian dia mencukur rambutnya. “Jangan kau
cukur kau punya rambut sebelum hewan dam tadi sampai ke tempatnya.”
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar