Pokok
Bahasan : TASAWUF
Judul : Ikhlas (Bagian-2)
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Hadits
Nabi Muhammad SAW. Riwayat dari Adii bin Hatim At Thoo’i, bahwa Nabi bersabda: “Kelak
di Hari Qiamat akan diberitakan beberapa kelompok manusia untuk di giring masuk
kedalam Syurga. Hingga manakala mereka sudah mendekat dari Syurga, dan
merekapun sudah mencium baunya Syurga, dan merekapun sudah dapat melihat
gedung-gedung atau istana-istana yang terdapat dalam Syurga, dan merekapun
sudah dapat melihat apa-apa yang telah Alloh siapkan bagi penghuni-penghuni
Syurga. Malaikat-malaikat yang bertugas menggiring mereka ke Syurga di panggil
oleh Alloh: “Kembalikan/ palingkan/ tolak mereka dari Syurga, mereka tidak ada
bagiannya di Syurga.” Saat mereka ditarik kembali dari Syurga, maka mau tidak
mau mereka harus kembali lagi ke posisi semula dengan penyesalan yang luar
biasa. Dan tidak kembali orang-orang terdahulu kala dan orang-orang akhir zaman
semacam/ seperti mereka kembali dengan penyesalan yang luar biasa. Akhirnya
mereka berkata: “Hai Tuhan kami, engkau ya Alloh memasukkan kami ke neraka
jahanam, sebelum kau perlihatkan kepada kami apa yang kau siapkan bagi aulia
(kekasih-kekasih) KAMU. Alloh menjawab: “Memang sudah AKU inginkan/ rencanakan
hal yang demikian itu, agar menambah penyesalan yang luar biasa. Kamu dahulu,
manakala kamu sedang menyepi (sendiri/ tidak ada orang), kamu terang-terangan
melakukan/ berbuatan dosa-dosa besar
kepadaKU. Tetapi manakala kamu jumpa dengan orang (ada di tempat orang banyak),
kamu jumpai mereka dalam keadaan sangat rendah hati/ sholeh. Kamu
memperlihatkan kepada manusia, amal-amal kamu. Bersalahan dengan apa yang
terkandung dalam hati-hati kamu. Kamu segan/ hormat kepada orang, tetapi kamu
tidak segan/ hormat kepadaKU. Kamu ini menghormati/ mengagungkan manusia,
tetapi kamu tidak menghormati/ mengagungkan AKU. Kamu tinggalkan perbuatan yang
tidak baik karena manusia, tetapi kamu tidak tinggalkan karena AKU. Maka pada
hari ini, kamu rasakan siksaKU yang sangat pedih. Serta sesuatu yang AKU
haramkan atas kamu dari pada pahala yang banyak dariKU.”
Hadits
ini berkaitan dengan orang yang beramal karena manusia, bukan karena Alloh.
Sehingga sampai-sampai ulama-ulama Salaf/ orang Sholeh, tidak senang untuk
memanjangkan/ melamakan ia punya sujud di tempat orang/ tempat umum (semacam
masjid), karena mereka takut disebut ri’ya. Sujud mereka biasa, sekedar
tuma’ninah apabila ada orang, tetapi manakala mereka shalat sendiri, sujud
mereka lama, karena tidak khawatir dengan ri’ya. Shalat Sunnah Qobliyah,
Ba’diyah, Qiyamul Lail, Dhuha dll. lebih bagus bila dilaksanakan/ dikerjakan di
rumah.
Dalam
suatu Riwayat dari Abu Humam Al Bahim, melihat
ada seseorang di masjid menangis saat sedang sujud, Abu Humam berkata kepada
orang tersebut: “Sebagus-bagusnya seorang
laki-laki adalah kamu, karena kamu dapat menangis saat sedang ibadah, tetapi
manakala dilakukan di rumah kamu saat orang lain tidak melihat.” Bila menangis di tempat umum itu tidak bagus.
Apa yang dilakukan Abu Humam masih bagus, orang yang menangis saat ibadah masih
dipuji, tapi bila Syaidina Umar melihat orang menangis saat ibadah di tempat
umum digetok kepalanya dengan tongkatnya. Karena hal itu menunjukkan ketidak
ikhlasannya, perbuatannya hanya merupakan rekayasa yang dibuat-buat saja.
Hadits
Riwayat dari Ibnu Abbas RA., Rasululloh SAW. bersabda: “Manakala Alloh sudah ciptakan Syurga Ade’n, Alloh ciptakan dalam Syurga Ade’n itu sesuatu yang tidak pernah
dilihat oleh mata, yang tidak pernah di dengar oleh telinga, dan tidak pernah
terlintas/ terbayang di hati manusia. Kemudian Alloh berfirman kepada
si-Syurga: “Silahkan kau bicara hai Syurga.” Kemudian Syurga berkata: “Sungguh
telah beruntung orang-orang mu’min. (sebanyak 3x) Sesungguhnya aku ini haram
diinjak/ dimasuki oleh orang yang ba’hil (kikir/pelit), orang yang ri’ya (suka
pamer) amal ibadahnya dan orang yang munafiq.”
Riwayat
dari Syaidina Ali bin Abi Tholib RA. : “Bagi orang yang ri’ya (orang yang suka
pamer amal ibadahnya) ada 4 ciri/ tanda, yaitu:
1. Dia
bermalas-malasan dalam beribadah saat ia seorang diri. Wiridnya, dzikirnya,
adab-adabnya tidak dijalankan, dan tidak fokus/ serius dalam beribadah, sekedar
dijalankan (sekedar menggugurkan kewajiban).
2. Manakala ada
ditengah-tengah orang, ia bersemangat dalam beribadah.
3. Ia
menambahkan amal ibadahnya (shodaqoh dan amal ibadah lainnya), manakala dipuji
orang.
4. Ia kurangi ia
punya amal ibadah, manakala di cela oleh orang.
Riwayat
dari Syaqiif bin Ibrohim Azahidi, dapat
memurnikan/ mengikhlaskan/ membersihkan amal seseorang dari pada hal-hal yang
tidak terpuji (ri’ya, u’jub, Sum’ah dll.) yang dapat membatalkan pahala amal
ibadah, ada 3 hal yaitu:
1. Dia tahu dan sadar bahwa ia tidak dapat beramal
tanpa seizin dari Alloh. Jika dia dapat menyadari hal semacam ini, maka
selamatlah ia punya amal dari ri’ya. Ia sadar betul bahwa amal yang
dikerjakannya adalah atas izin dari Alloh, sehingga dapat dipecahkan/
dihancurkan darinya sifat u’jub, ri’ya dan lain-lainnya.
2. Dia memulai amal ibadah dengan niat mencari Ridho
Alloh.
Sebelum beramal, pasanglah niat bahwa kita beribadah tidak ada tujuan lain
selain mencari Ridho Alloh, untuk mengalahkan dan memecahkan kita punya hawa
nafsu.
3. Dia mengharapkan/ menginginkan pahala dari amal
ibadah yang dikerjakannya dari Alloh semata, tidak mengharapkan apapun
dari orang. Tidak mengaharapkan penghargaan, pujian ataupun imbalan dari
orang.
Ditafsirkan
oleh pengarang ini kitab, ia tahu bahwa Alloh lah yang memberikan ia Taufiq.
Taufiq adalah kemampuan yang Alloh berikan kepada si-hamba untuk dapat berbuat
to’at. Seberapa besarpun kita ada keinginan untuk beramal, selama Alloh tidak
memberikan kita taufiq, maka akan berat bagi kita untuk mengerjakannya. Tetapi
bila Alloh sudah memberikan taufiq kepada kita, maka jarak yang jauh dan
halangan bagaimanapun akan terasa ringan bagi kita untuk mengerjakan/
melaksanakannya. Alloh-lah yang memberikan itu taufiq bagi itu amal, amal
apapun juga. Maka bagi si-hamba yang tahu bahwa Alloh-lah yang memberikan itu
taufiq, maka dia akan menyibukkan diri dengan bersyukur kepada Alloh. Berapa
banyak orang yang rumahnya dekat dengan majlis-majlis ta’lim tetapi mereka
tidak dapat hadir di majlis-majlis ilmu, karena mereka tidak mendapatkan
taufiq. Tetapi orang yang jauh dari majlis ilmu dan dia harus mengeluarkan dana
untuk dapat datang, tetapi karena mendapatkan taufiq dari Alloh, maka mereka
dapat sampai ke majlis-majlis ilmu. Hal inilah yang wajib kita syukuri.
Dia
tidak sombong (u’jub) dengan amal-amal yang dilakukannya. Dia memulai dengan
tekad untuk mencari Ridho Alloh, yaitu ia melihat itu amal, apa amal yang akan
dilakukan/ dikerjakan? Bila amal itu amal karena Alloh, didalamnya ada Ridho Alloh,
maka dia kerjakan itu amal. Karena di akhir zaman banyak orang yang beramal,
dengan amal yang terlihat seperti amalan agama, tetapi ternyata telah bercampur
dengan amalan-amalan yang tidak karena Alloh dan tidak sesuai dengan syariat.
Syech Yusuf berkata: “Dalam syariat kita, manakala ada kegiatan yang bercampur
antara laki-laki dan perempuan tanpa pembatas (menyatu), maka pada zohirnya
terlihat seperti ibadah tetapi pada akhirnya sebenarnya amalan itu tidak baik.
Bila ia tahu bahwa amal yang akan dikerjakannya tidak ada ridho Alloh disitu,
maka dia tidak beramal dengan mengikuti hawa nafsunya. Alloh berfirman:
“Sesungguhnya nafsu itu sangat menginginkan orang untuk berbuat tidak baik.”
Tidak
ada motivasi/ niat lain kecuali karena Alloh semata, pasang niat yang betul
sebelum melakukan amal ibadah, dia tidak memperdulikan/ menghiraukan pendapat
orang, apakah orang memuji atau tidak memuji, amal tetap dijalankan karena
perintah Alloh. Sebagaimana diriwayatkan oleh sebagian Huqama (Ulama): “Dituntut bagi orang yang sedang/ akan
beramal sholeh, silahkan dia belajar adab/ etika/ sopan-santun dalam beramal
dari pengembala kambing. Karena pengembala kambing ini, manakala ia sholat di
tengah-tengah/ disisi/ dihadapan kambingnya, dia tidak menuntut pujian dari
kambingnya. Demikian juga bagi kita yang akan beramal sholeh (apapun bentuk amal
sholehnya), selayaknya dia tidak memperdulikan/ menghiraukan orang yang
memandang kepadanya.”
Pada
saat kita melakukan amal sholeh, tidak perlu orang melihat atau tidak melihat,
mendengar atau tidak mendengar amal sholeh yang kita kerjakan, pada saatnya
nanti orang akan mengetahui amal sholeh apa yang kita kerjakan, yang sebelumnya
tidak diketahui oleh orang.
Imam
Syafi’i berkata: “Dari masa ke masa, apa
yang dulu kamu tidak tahu, nanti akan sampai berita kepada kamu tanpa kamu
harus mencari tahu dan membayar orang untuk mengetahuinya.” Pada saatnya Alloh yang akan membuka amal
sholeh yang kita kerjakan, sebagaimana amal perbuatan jahat yang kita lakukan, Alloh
pun akan membukanya meskipun kita lakukan secara sembunyi-sembunyi. Pasang niat
yang baik, tidak lama kita hidup di dunia, lakukan amal yang tulus dan ikhlas
karena Alloh SWT. Sewaktu di tengah orang ibadahnya seperti itu (tidak
berlebihan), demikian pula saat ia sedang beribadah sendiri. Antara dia ada
ditengah orang ataupun saat ia sendiri ibadahnya tetap sama seperti itu, tidak
berlebihan. Dia tidak meminta/ mengharap pujian dari orang dalam melakukan amal
sholeh.
Berkata
sebagian Huqama (Ulama): “Amal ini butuh pada 4 hal, hingga dapat selamat dari
kerusakan-kerusakan (Ri’ya, U’jub, Sum’ah dll.), yaitu:
1. Mencari ilmu sebelum dia beramal, karena amal
tidak menjadi baik/ bagus tanpa ilmu. Bila beramal tanpa disertai dengan ilmu,
maka sesuatu yang dapat merusak ia punya amal lebih banyak dari pada yang dapat
memperbaiki ia punya amal. Makanya perlu duduk mengaji di Majlis-Majlis Ilmu
untuk mempelajari kitab Fiqih, Tauhid dan Syariat dll., jangan hanya sekedar
kumpul-kumpul saja. Bila tidak ada ilmu tetapi ingin mengajar, jangan malu
untuk belajar, tidak perlu gengsi untuk mengaji/ belajar. Jangan umat
dikorbankan dengan hanya kumpul ramai-ramai tetapi tidak berkwalitas, karena
tidak diisi dengan ilmu, tidak mengkaderkan/ menyiapkan umat untuk menyambung
estafet da’wah. Kita tidak selamanya hidup di alam dunia, jangan sampai kita
termasuk dalam golongan yang dianggap berkhianat kepada Alloh dan RasulNYA.
Kita hidup di dunia ada kewajiban menuntut ilmu, dan bagi yang sudah
mendapatkan ilmu ada kewajiban menyebarkan kembali ilmunya, jangan kita mengkhianati
amanah Alloh dan RasulNYA.
2. Niat sebelum beramal, karena amal
tidak sah dilaksanakan/ dikerjakan tanpa niat. Amal itu bergantung pada niat,
sah atau tidaknya amal bergantung niat. Bagi tiap manusia apa yang diniatkan,
niat dunia dapat dunia, niat akhirat dapat akhirat. Puasa (wajib & sunnah),
Shalat (wajib & sunnah), Haji (wajib & sunnah), Zakat Wajib & Zakat
sunnah (Shodaqoh/ Infaq), dan semua toat-toat lainnya, tidak bisa sah dan tidak
bisa baik hasilnya kecuali dengan niat. Mesti di lihat amal-amalnya dari niat
permulaannya, agar amal-amal kita benar.
3. Sabar dalam perjalanan beribadah, apalagi
dalam mengaji, terkadang ada perasaan jenuh, malas dll. Dalam beribadah
ditengah jalan, pasti ada gangguan dan hambatannya, kuat atau tidak kita
menghadapinya? Bila kita tidak kuat, maka rugi kita, tidak ada bekal untuk
persiapan kita ke negeri akhirat. Kita harus berusaha melawan gangguan dan
hambatan, sehingga kita dapat mengusai nafsu kita dalam mengerjakan
amalan-amalan dengan tuma’ninah, sampai pada akhirnya timbul kenikmatan dalam
mengaji/ beribadah/ beramal sholeh.
4. Tulus dan Ikhlas di saat telah selesai
mengerjakan amal ibadah, jangan bercampur dengan niat apa-apa, kecuali
karena Alloh. Niat yang baik dari awal dapat berubah menjadi tidak baik karena
dapat dipalingkan oleh syaitan. Amal perbuatan yang kita kerjakan tidak dapat
diterima Alloh tanpa keikhlasan. Manakala kita beramal dengan penuh keikhlasan,
maka Alloh terima amal ibadah kita dan itu yang akan menyelamatkan kita dari
alam qubur hingga negeri akhirat nanti. Manakala kita melakukan amal dengan
ikhlas, maka hati-hati hambapun dapat menerimanya, karena ada kontak di bahtin
mereka, sehingga orang cinta dan dekat dengan kita. Bila kita beramal ikhlas
karena Alloh, maka pada akhirnya Alloh bukakan pintu hati orang, sehingga orang
dapat menerima amal kebaikan kita.
Diriwayatkan
dari Haram bin Hayaan, bahwa dia berkata: “Tiadalah
seorang hamba yang menghadap kepada Alloh dengan sepenuh hatinya (khusyu),
melainkan Alloh hadapkan (kecintaan) seluruh hati-hati orang mu’min (orang yang
beriman) kepadanya.”
Manakala
orang menghadap kepada Alloh untuk bermunajat dan beribadah kepadaNYA dengan
sepenuh hati (khusyu), tidak melamun dan tidak bercampur dengan
pemikiran-pemikiran lainnya, hati dan fikirannya ia fokuskan hanya kepada Alloh,
maka Alloh balas dengan menghadapkan hati-hati orang mu’min kepadanya. Kemudian
Alloh berikan kecintaan dan kasih sayang dari orang-orang kepadanya.
Apabila
kita membaca sejarah/ riwayat dari Sohabat Nabi, dimana saat ia sedang ibadah
(shalat) kepada Alloh, hinggap burung diatas kepalanyapun ia tidak
mengetahuinya, karena ia begitu fokus (khusyu) dalam beribadah kepada Alloh.
Syaidina
Husein (cucu Rasululloh SAW.), saat ia sedang shalat, ternyata masjid tempat
dimana ia shalat terbakar, tetapi ia tidak mengetahuinya padahal orang
disekitar masjid berteriak agar ia menghindar/ keluar dari masjid. Ia tidak
mendengar teriakan/ panggilan orang karena ia hanya fokus kepada Alloh. Itulah
hati orang-orang yang betul-betul menghadap kepada Alloh.
Ada
lagi seorang tabi’in, saat ia sedang shalat menara masjid roboh dan suaranya
terdengar sampai jarak yang cukup jauh, tetapi ia yang berada di dalam masjid
tidak tahu bahwa menara masjid dimana ia shalat roboh.
Kita
ukur dengan diri kita, bagaimana dengan shalat/ ibadah kita? Ada orang yang
berbicara disekitar kita saat kita sedang shalat kita tahu siapa dan apa yang
dibicarakan orang tersebut. Jadinya makanya berbeda antara doa mereka dengan
doa kita, barokah mereka dengan barokah kita berbeda, kemulyaan mereka dengan
kemulyaan kita juga berbeda.
Mereka
begitu fokus dalam beribadah kepada Alloh, tidak tercampur dengan apapun juga,
sehingga sampai-sampai bahaya yang menghampiri/ mendekat/ mengintai mereka,
mereka tidak tahu.
Hadits
diriwayatkan dari Suhayl bin Sholeh dari Abu Hurairoh RA. dari Nabi Muhammad
SAW., Rasululloh pernah bersabda: “Sesungguhnya apabila Alloh SWT. mencintai
seorang hamba, maka Alloh-pun berkata kepada Malikat Jibril AS.: “Hai Jibril, bahwa AKU cinta pada si-fulan
(karena ibadahnya, akhlaqnya dll.), maka hendaknya kamu cinta kepada
si-fulan.” Jibril-pun berkata kepada
penghuni-penghuni langit (malaikat-malaikat): “Hai penghuni (malaikat-malaikat)
yang ada di langit, Alloh cinta kepada si-fulan, maka cintailah oleh kamu
si-fulan. Karena ada perintah dari Alloh melalui Malaikat Jibril kepada
penghuni-penghuni langit lainnya, untuk mencintai si-hamba yang Alloh cintai,
maka dicintailah ia oleh seluruh penghuni-penghuni langit. Maka diletakanlah
kepada orang tersebut, penerimaan dikalangan masyarakat kepada si-fulan di muka
bumi, sehingga orang cinta kepada dia.”
Keberadaanya, da’wahnya, ajakannya,
ajarannya, dapat diterima oleh masyarakat, berkat Alloh letakan kepadanya qobul
(penerimaan), karena kekhusyuannya dalam beribadah kepada Alloh.
“Sama juga
seperti itu, bila Alloh tidak menyukai (benci) kepada seorang hamba, maka Alloh-pun
berkata kepada Malaikat Jibril AS.: “Hai Jibril, bahwa AKU benci kepada
si-fulan (karena tidak ibadah, durhaka, selalu maksiat dll.), maka hendaknya
kamu benci kepada si-fulan.” Jibril-pun
berkata kepada penghuni-penghuni langit (malaikat-malaikat): “Hai penghuni
(malaikat-malaikat) yang ada di langit, Alloh benci kepada si-fulan, maka
hendaklah kamu benci kepada si-fulan. Karena ada perintah dari Alloh melalui
Malaikat Jibril kepada penghuni-penghuni langit lainnya, untuk membenci
si-hamba, maka dibencilah ia oleh seluruh penghuni-penghuni langit. Maka
diletakanlah kepada orang tersebut, penolakan dikalangan masyarakat kepada
si-fulan di muka bumi, sehingga orang benci kepadanya.”
Keberadaannya tidak disenangi/ tidak
dicintai oleh masyarakat, pada akhirnya ia pun merana karena selalu di tolak
oleh masyarakat.
Diriwayatkan
oleh Syaqiif bin Ibrohim, ada seseorang bertanya kepada Syaqiif bin Ibrohim,
Lelaki tersebut berkata: “Bahwa manusia/ masyarakat menyatakan/ menyebut aku
sebagai orang sholeh, bagaimana caranya aku dapat mengetahui bahwa aku ini
termasuk orang sholeh?” Maka Syaqiif berkata kepada orang laki-laki tersebut:
1. Tampakkan
perilaku/ perbuatan/ sikap/ amalan ibadah kamu yang sehari-hari kamu
sembunyikan dihadapan masyarkat kepada orang-orang sholeh. Apabila ternyata
mereka dapat menerima perilaku/ perbuatan/ sikap/ amalan ibadah kamu, maka
ketahuilah bahwa kamu termasuk orang sholeh. Manakala orang-orang sholeh itu
ridho/ senang dengan perilaku/ perbuatan/ sikap/ tindakan kamu dihadapannya, maka
ketahui oleh kamu bahwa kamu termasuk orang sholeh. Apabila ternyata mereka
menolak, karena tidak sesuai dengan prilaku orang sholeh, melanggar sunnah
rasul, melanggar perintah Alloh dan RasulNYA, maka kamu bukan termasuk orang
sholeh.
2. Tawarkan
kepada diri/ hatimu dunia (harta/ kekayaan/ kesenangan), apabila diri/ hati
kamu tidak tergoda/ menolak tawaran itu dunia, maka kamu termasuk orang sholeh.
Apabila dunia itu tidak ditolak oleh kamu punya diri, kamu menjadi tertarik/
tertawan hati kamu kepada dunia, maka kamu bukan termasuk orang sholeh.
3. Tawarkan/
perlihatkan kematian atas diri kamu, tanyakan kepada kamu punya diri apakah
kamu menginginkan kematian pada hari ini? Apabila diri/ jiwa kamu mau menerima
dan mengizinkan untuk mati pada hari ini, maka ketahuilah bahwa kamu termasuk
orang sholeh.
Kita menginginkan agar panjang umur
bukan untuk berfoya-foya di alam dunia, tetapi untuk beribadah kepada Alloh.
Sesuai dengan Sabda Nabi: “Orang yang
paling baik diantara kalian adalah orang yang panjang umurnya dan bagus amal
ibadahnya.”
Pernah di zaman Nabi, ada 2 orang
yang masuk Islam bersama-sama dari Bani Qudho’ah, setelah keduanya masuk Islam,
mereka berdua meminta izin untuk dapat ikut serta dalam peperangan membela
agama Alloh, dan Nabi mengizinkan keduanya untuk ikut berperang. Satu
diantaranya gugur di medan perang, sementara yang satunya lagi selamat (tidak
gugur di medan perang) hingga ia meninggal karena penyakit atau lainnya
ditengah-tengah keluarganya. Setelah keduanya meninggal, Sohabat Thol’ha bin
Ubaydillah mengimpikan bahwa Sohabat Nabi yang meninggal di tengah-tengah
keluarganya (tidak gugur di medan perang), masuk syurga lebih dahulu
dibandingkan dengan Sohabat Nabi yang gugur di medan perang. Siapa yang tidak
tahu derajat dari orang yang gugur di medan perang (mati syahid), karena
kemulyaannya sehingga Alloh haram jasad mereka untuk dimandikan dan di
shalatkan, serta Alloh jamin mereka masuk Syurga. Tetapi ternyata sohabat yang
mati syahid ini masuk syurga belakangan, sedangkan sohabat yang tidak mati di
medan perang masuk syurga lebih dulu. Hal ini menjadi pertanyaan dihati Sohabat
Nabi Thol’ha, karena banyak dari hadits Nabi dan Al Qur’an yang menyatakan
keutamaan dari orang yang gugur di medan perang (mati Syahid).
Sohabat Nabi yang meninggal di
tengah-tengah keluaganya pantas dan layak masuk syurga terlebih dahulu, karena
ibadahnya lebih banyak dibandingkan dengan sohabat yang gugur di medan perang.
Ia shalat yang wajib saja dalam waktu satu tahun sebanyak 6.000 raka’at lebih,
dengan perhitungan: 360 hari X 17 raka’at dalam satu hari. Belum lagi puasa dan
shalat-shalat sunnah yang dikerjakannya, belum lagi amalan sunnah lainnya
seperti baca Al Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, sholawat, istiqfar, shodaqoh
dll. Tentunya pahlanya lebih banyak, sehingga pantas dan layak baginya untuk
masuk syurga terlebih dahulu.
Kemudian
Syaqiif bin Ibrohim berkata lagi: “Jika
berhimpun kepada kamu 3 hal ini, maka silahkan kamu berdoa kepada Alloh, agar Alloh
pelihara amal-amal ibadah yang kamu kerjakan, jangan sampai masuk dalam hati
kamu sifat ri’ya. Karena sifat ri’ya dapat merusak amal-amal kamu.”
Hadits
Riwayat dari Tsabit Al Banani dari Annas bin Malik dari Rasululloh SAW., bahwa
Nabi pernah bersabda: “Hai
sohabat-sohabatku apakah kalian tahu siapa gerangan orang yang mu’min (mu’min
yang sempurna)?” Para sohabat menjawab: “Alloh dan RasulNYA yang lebih
mengetahui.” Nabi berkata lagi: “Mu’min yang sesungguhnya (yang sempurna
keimanannya), yaitu: orang yang tidak meninggal dunia sebelum Alloh penuhi pendengarannya
dengan apa yang Alloh sukai (baik).”
Pendengarannya di manfaatkan bukan
untuk mendengarkan musik-musik yang tidak bermanfaat dan bahkan membuatnya
menjadi lalai dan berdosa kepada Alloh, tetapi pendengarannya digunakan untuk
mendengarkan tuntunan dari ulama-ulama sholihin, Alloh dan RasulNYA.
Mendengarkan firman Alloh melalui Al Qur’an, mendengarkan perkataan Rasul
melalui Hadits-Hadits, dan nasehat/ perkataan dari ulama-ulama Sholihin.
Kemudian
Nabi bersabda lagi: “Andaikata ada
seorang laki-laki atau perempuan, ia mengerjakan bermacam- macam ibadah dalam
rangka toat kepada Alloh (mengaji, qiyamul lail, puasa, shodaqoh, tahmid,
tahlil, istiqfar, sholawat dll.). Ia beramal di dalam rumah (bukan di tempat
terbuka), rumah tersebut dilapis oleh 70 rumah, dan dalam setiap rumah tadi ada
pintu yang terbuat dari besi, yang tidak memungikinkan orang lain mengetahui
apa yang ia lakukan di dalam rumah. Niscaya Alloh akan pakaikan kepadanya Rida’
(selendang/ pakaian) dari amalnya.”
Alloh bentuk dari amalnya tadi
menjadi rida’ untuk Alloh perlihatkan kepada umat bermacam amal ibadah yang
dikerjakannya. Padahal pada awalnya orang tidak mengetahui amal ibadah yang
dikerjakannya, sehingga karena rida’ yang Alloh pakaikan kepadanya, maka orang
jadi mengetahui bahwa ia ahli ibadah. Jadi meskipun kita sembunyi-sembunyi dari
pandangan masyarakat dalam beribadah kepada Alloh, pada saatnya nanti pasti Alloh
akan memperlihatkannya juga kepada masyarakat. “Yang baik pasti kelihatan, dan
yang tidak baik juga pasti kelihatan.”
Mengapa banyak orang yang
membicarakan amal ibadah ini orang, padahal disaat ia ibadah tidak diumumkan
dan disebutkan, tidak ada yang melihat hanya satu atau dua orang saja, tetapi
pada akhirnya banyak orang yang mengetahui amal ibadah yang dikerjakannya, hal
ini dikarenakan Alloh yang membuka dan memperlihatkannya kepada masyarakat
luas.
Sampai saatnya zaman/ masa/ waktu
berputar terus, cepat atau lambat akan menunjukkan kepada kita, pada saat dulu
kita tidak mengetahui siapa dia? Apakah orang baik atau tidak baik?
“Akan
membawa berita kepada kamu tentang orang tadi, orang yang membawa berita yang
tidak pernah kamu biayai untuk mencari tahu tentang siapa dia?”
Sohabat
bertanya: “Ya Rasululloh, bagaimana cara mereka menambah-nambahi itu?” Rasululloh
menjawab: “Setiap mu’min senang dan suka yang tambah dari pada amalnya.
Memuji orang yang baik dengan
sesungguhnya, tidak ada tujuan dan motivasi lain, hal itu bagus dan dianjurkan.
Memuji orang yang memang ada haqnya untuk dipuji, hal itu bagus, bukan karena
kita menginginkan sesuatu dari orang yang dipuji.
Kemudian
Rasululloh bertanya lagi kepada Sohabat: “Apakah kalian tahu siapa orang yang
faajir (yang durhaka kepada Alloh)?” Para
sohabat menjawab: “Alloh dan RasulNYA yang lebih mengetahui.” Rasululloh
berkata lagi: “Orang yang faajir adalah orang yang tidak meninggal dunia
sehingga Alloh penuhi ia punya pendengarannya dengan sesuatu yang Alloh tidak
sukai.”
Suara-suara musik (dangdut, rock dan
macam-macam music lainnya) yang masuk kedalam telinganya, dari melek mata
hingga ia tidurnya (sepanjang hari). Mendengar ghibah, namimah, dan segala macam
hasutan dan lain-lain yang tidak baik.
Kemudian
Nabi bersabda lagi: “Andaikata ada
seorang hamba (laki-laki atau perempuan), yang berbuat maksiat kepada Alloh di
dalam suatu rumah, dan rumah tadi dilapis oleh 70 rumah, dan dalam setiap rumah
tadi ada pintu yang terbuat dari besi, yang tidak memungikinkan orang lain
mengetahui apa yang ia lakukan di dalam rumah. Niscaya Alloh akan pakaikan
kepadanya Rida’ (selendang/ pakaian) dari amal kejelekannya.”
Alloh bentuk dari amalnya menjadi
rida’ untuk Alloh perlihatkan kepada umat bermacam amal keburukan yang
dikerjakannya. Mungkin untuk amal yang baik rida’-nya berwarna putih, sedangkan
amal yang jelek rida’-nya berwarna hitam. Makanya jika akan berpergian di
sunnahkan jangan jalan sendiri, apalagi untuk pergi dengan jarak yang cukup
jauh. Hendaknya mengajak orang untuk mendampingi kita yang akan memimpin dan
memberi peringatan kepada kita apabila kita berbuat salah. Jadi bagaimanapun
kejelekan/ keburukan dari perbuatan yang kita lakukan secara sembunyi-sembunyi,
pada saatnya akan diketahui orang, karena Alloh memakaikan rida’ dari amal
keburukan kita tersebut.
Dalam
suatu hadits Riwayat dari Imam Ahmad dari Abu Zaid Al Qudry RA., Rasululloh
bersabda: “Andaikata ada salah seorang
diantara kamu melakukan amal perbuatan (baik atau tidak baik) di suatu batu
yang besar, kemudian dalam batu tersebut tidak ada pintu ataupun jendela. Pasti
Alloh tampakkan dan keluarkan ia punya amal baik atau tidak baiknya kepada
manusia apapun keadaannya.”
Terkadang
ada orang yang bangga menceritakan/ mengumbar aib/ dosa yang dilakukannya
sendiri. Hingga secara tidak ia sadari, ia telah membuka aib/ dosanya sendiri.
Orang yang faajir selalu ingin terus menambah amal perbutan buruknya, sebagai
contoh: kemarin dia merasakan satu gelas bir, besok dia ingin mendapatkan lebih
dari itu dst.
Riwayat
dari Auuf bin Abdillah mengatakan: “Orang
yang baik adalah yang memesan/ mengingatkan sebagian kepada sebagian yang
lain.”
Mengingatkan
melalui tulisannya, melalui lidahnya sebagian kepada sebagian yang lainnya.
Mengingatkan kepada yang lainya, apabila mereka sudah mulai tergoda dengan
dunia, sehingga melalaikan kewajibannya kepada Alloh.
“Siapa orang
yang beramal untuk akhirat, maka Alloh cukupkan urusan keduniaannya.” Urusan dunia bukan menjadi urusan
kita, tetapi menjadi urusan Alloh. Banyak orang tua yang khawatir akan nasib
anaknya bila sampai dimasukkan ke Pondok Pesantren Salaf. Karena di Pondok
Pesantren Salaf tidak diajarkan pelajaran keduniaan. Mereka khawatir dengan
masa depan anaknya, bagaimana nanti bila mereka ingin bekerja? Mereka tidak
punya ijazah. Hendaknya jalani hidup ini dengan tujuan untuk beribadah kepada Alloh,
dan Alloh yang akan menjamin ridzky dan kehidupan dunia kita.
Dalam suatu riwayat Nabi Alloh Musa
AS. diperintahkan Alloh untuk berperang melawan Fir’aun. Nabi Alloh Musa AS
juga manusia yang mempunyai rasa takut, timbul rasa takut dalam dirinya karena
melihat prilaku Fir’aun yang begitu ganas dan kejam kepada musuh-musuhnya.
Hingga timbul lintasan dalam hatinya, mempertanyakan bagaimana nasib anak dan
istriku bila sampai ia binasa di tangan Fir’aun? Alloh Maha Mengetahui lintasan
hati seorang hamba, maka Alloh mengutus Malaikat Jibril kepada Nabi Musa. “Hai Jibril di depan rumah Nabi Musa ada
batu yang besar, perintahkan kepadanya untuk memukul batu itu dengan
tongkatnya.” Karena yang memerintah Alloh,
maka Nabi Musa melaksanakan perintah Alloh tersebut, sekali dipukul dengan
tongkatnya tidak ada perubahan pada batu itu, dua kali dipukul batu sudah mulai
retak dan pada pukulan yang ketiga batu tersebut hacur. Setelah hancur dalam
batu yang tidak ada lobang/ celahnya, sehingga tidak ada satupun jalan untuk
dapat masuk makanan ke dalam batu tersebut. Ternyata di dalam batu tersebut
terlihat ada seekor cacing yang bergeliat dalam keadaan sehat dan segar-bugar.
Dari situlah Nabi Alloh Musa AS. mendapatkan pelajaran, di dalam batu yang
begitu rapat dan tidak berlobang itu, Alloh masih jamin makan dari cacing,
apalagi dengan manusia yang hidup di alam terbuka, pasti Alloh lebih jamin lagi
ridzkinya. Jadi tidak usah khawatir dengan kehidupan dunia, jalankan ibadah
dengan sebaik-baiknya, urusan ridzki Alloh yang jamin.
“Siapa orang
yang memperbaiki hubungan dengan Alloh (dunianya dimanfaatkan untuk ibadah
kepada Alloh), maka Alloh perbaiki lagi hubungannya dengan manusia lainnya.
Siapa orang yang memperbaiki hatinya, maka Alloh akan memperbaiki zohirnya.”
Seorang
ulama yang bernama Hamid Al Lafaaf
berkata: Apabila Alloh berkeinginan untuk membinasakan seseorang, maka Alloh
akan siksa dia dengan 3 perkara:
1. Alloh berikan kepada dia ilmu, tetapi Alloh cegah
dia dari pada perilaku/ Ahlaq Ulama.
Ilmunya ada, berkah ia duduk di
majlis-majlis ilmu dan mempelajari dari kiab-kitab ulama, tetapi Alloh cegah
dia daripada mengamalkan ahlaq dari ulama. Sikap, prilaku dan tindakannya jauh
sekali dari tuntunan, prilaku dan ahlaq ulama.
Sangat bagus bila kita dapat dekat
dengan ulama, apalagi ulama-ulama yang sholeh, yaitu ulama akhirat yang
istiqomah, bukan ulama-ulama dunia. Ulama sholeh yang patut kita dekati dan
kita bantu perjuangannya.
2. Alloh anugrahkan dia dapat dekat/ berdampingan
dengan Orang sholeh/ Ulama, tetapi Alloh cegah dia dari pada menjalankan/
melaksanakan haq-haq dari Ulama Sholeh.
Hanya sekedar dekat dengan Ulama
Sholeh, tetapi tidak dapat mengamalkan/ menjalankan kewajiban-kewajiban dia
terhadap Ulama-Ulama Sholeh. Alloh cegah dia daripada mengetahui haq-haq ulama,
apa yang menjadi kewajiabannya dan yang seharusnya dia lakukan terhadap
ulama-ulama sholihin.
Ada seorang Ulama terkemuka yang
disegani oleh masyarakat dan oleh penguasa setempat, Al Imam Fachruddin Al
Aqsabandhi. Dia mengungkapkan rahasia kepada jama’ah dan murid-muridnya,
bagaimana dia mendapatkan maqom/ kedudukan/ kemulyaan yang begitu tinggi.
Keberkahan, Maqom kemulyaan yang begitu tinggi dari Alloh, berkah dari aku berkhitmad
kepada aku punya guru, yang bernama Abu Zeid Ad’dabusy. Aku berkhitmad kepada
guruku tidak kurang dari 30 tahun, aku memasak makanan untuknya, tetapi selama
itu pula aku belum pernah mecicipi masakan yang aku masak untuk guruku selama
30 tahun. Karena khitmadnya dia kepada gurunya, maka bukan hanya ilmu si-guru
yang ia dapat, tetapi juga keberkahan dari gurupun ia dapat, sehingga ia
menjadi mulya disegani dan dihormati oleh masyarakat dan para penguasa.
Imam Ghozali, yang kitabnya “Ihya
Ulumuddin,” banyak dipakai tidak hanya di Timur Tengah, bahkan sampai ke Eropa.
Imam Ghozali yang begitu tinggi maqom dan luas ilmunya, masih menyadari bahwa:
atas orang yang berilmu masih ada orang yang lebih tinggi ilmu (alim) lagi. Dia
tawadhu, dia ingin meningkatkan kesholehannya, keberkahan ilmunya. Dia mencari
dan mendapati bahwa disana ada seorang ulama besar yang tinggi ilmunya, maka ia
datangi itu guru. Dia berkata kepada guru tersebut: “Ya Syech, kedatanganku
kesini tidak lain ingin berkhitmad kepadamu.” Ulama tersebut berkata: “Tidak
ada peluang lagi untuk kau dapat berkhitmad kepadaku. Karena semua kebutuhanku
sudah dilakukan/ dikejakan oleh murid-murid dan jama’ahku, sehingga tidak ada
kesempatan lagi bagi kamu untuk berkhitmad kepadaku.” Imam Ghozali menyadari
betul, bahwa ini bukan sembarang ulama, maka dia sangat menginginkan untuk
dapat mengambil keberkahan dari guru yang sholeh ini. Sehingga Imam Ghozali
kembali mendesak ulama tersebut: “Coba tuan guru cari apa saja kerjaan yang
dapat aku lakukan?” Seorang Ulama yang Sholeh, yang tahu tuntunan Alloh dan
Rasulnya, dimana tidak dibolehkan memutuskan hajat orang. “Siapa orang yang
memutuskan hajad seseorang di dunia, maka Alloh akan putuskan hajadnya di
akhirat.” Maka akhirnya Ulama Sholeh tadi berkata: “Baiklah jika kamu ingin
tetap berkhitmad kepadaku, ini adalah batu bekas istinjaku (alat untuk istinja
ada 2 macam, yaitu: batu dan air, air lebih afdhol dari pada batu, tetapi bila
ada keduanya, maka lebih afdhol lagi). Selama ini belum ada yang membersihkan
batu sisa istinjaku, dapat dibayangkan batu bekas istinja, tentunya ada sisa
kotoran manusia yang melekat di batu
itu. Karena ada kesempatan baginya untuk dapat berkhitmad, maka dengan senang
hati dan tulus ikhlas Imam Ghozali menerima, tugas yang diserahkan oleh Ulama
sholeh tersebut kepadanya. Maka setiap hari Imam Ghozali membersihan batu sisa
istinja dari Ulama Sholeh tersebut, dan ia juga mencari batu yang baru sebagai
alat untuk istinja dari tuan guru. Tidak hanya sebulan atau dua bulan, Imam
Ghozali berkhitmad kepada tuan guru. Setelah dirasa cukup (setelah sang guru
mendapatkan petunjuk dari Alloh SWT.), maka tuan guru memerintahkan kepada Imam
Ghozali untuk menghentikan khitmad yang dilakukannya, agar dapat memberikan
kesempatan kepada yang lain untuk dapat berkhitmad dan mencari barokah
kepadanya juga. Kemudian Imam Al Ghozali kembali ke kampungnya, disitu nyata
bahwa semakin meningkat kemulyaannya dan keharuman namanya.
Mencium tangan orang sholeh itu
adalah suatu sunnah, untuk itu patut kita ajarkan kepada anak-anak kita
bagaimana cara bersikap yang baik kepada Ulama Sholeh, orang Sholeh ataupun
kepada orang yang lebih tua. Dituntut dan di sunnahkan bagi kita bila mana kita
bertemu dengan seorang alim, sholeh, wali, orang tua kita hendaknya kita cium
tangan mereka, dan juga disunnahkan mencim kubur-kubur ulama sholihin. Bila
dalam pemahaman orang Wahabi, mencium tangan seseorang tidak boleh, karena
dianggap mengkultuskan/ mengagungkan seseorang. Hal ini sudah merupakan tuntuan
dari Rasul, bahkan kaki dari orang Sholehpun disunnahkan untuk dicium, hal ini
tidak berlebihan. Apabila tidak memungkinkan untuk mencium tangan atau kakinya,
bahkan disunnahkan untuk mencium bajunya.
Sebagian ulama mengambil Istinbad
dari Hukum Hadits, yaitu dasar hukumnya dari mencium batu Hajarul Aswad, Mushaf
Al Qur’an, kubur Nabi, kubur orang-orang mulya, dan kubur orang-orang sholeh.
Suatu saat Tsabit berkata kepada
Annas: “Hai Annas, apakah kau pernah menyentuh tangan nabi dengan tanganmu?”
Annas menjawab: “Ya, aku pernah bersentuhan tanganku dengan tangan Baginda Nabi
Muhammad SAW.” Maka kemudian Tsabit mencium tangan Annas, karena tangan Annas
pernah bersentuhan dengan tangan Nabi. (HR. Imam Bukhari)
Tsuaib berkata: “Bahwa aku pernah
melihat Syaidina Ali KW. mencium tangan dan kaki dari Syaidina Abbas RA.”
Zeid bin Tsabit RA. (dalam kitab yang
lain: Hassan bin Tsabit RA.), adalah penyair dari Rasululloh: Ia pernah
menyaksikan Rasululloh pernah datang di suatu majlis, ternyata ada sebagian
orang yang tidak mau bangun/ berdiri saat Rasululloh masuk ke dalam ruangan.
Melihat hal tersebut, ia selaku penyair Nabi berkata: “Berdiriku bagi orang yang aku mulyakan adalah suatu kewajiban,
manakala orang meninggalkan suatu kewajiban, maka ia termasuk orang tidak bagus
akalnya. Aku merasa aneh melihat orang yang akalnya sehat (waras), melihat
orang yang mulya dia tidak mau bangun/ berdiri.”
Syaa’bi karena mengetahui bahwa
Hassan bin Tsabit/ Zeid bin Tsabit adalah seorang ulama dan penyair dari Rasululloh,
maka ia ingin berkitmad kepadanya dengan jalan menyiapkan keledai/ kuda yang akan dipakai oleh Hassan/ Zeid bin
Tsabit. Pada saat itu datang pula Syaidina Abbas RA., kemudian Syaidina Abbas
RA. mengambil alih memegang tali kekang dari keledai/ kuda Hassan/Zeid bin
Tsabit. Hasan/Zeid bin Tsabit berkata kepada Syaidina Abbas RA.: “Hai anak
paman Rasululloh, lepaskan tali kekang itu, tidak layak dan tidak pantas engkau
melayani / berkitmad kepadaku.” Syaidina
Abbas berkata: “Beginilah kami diperintahkan untuk berprilaku terhadap
ulama-ulama dan orang mulya.” Zeid/
Hasan bin Tsabit, mengetahui bahwa Syaidina Abbas bukanlah orang sembarangan,
maka ia mengambil tangan dari Syaidina Abbas dan mencimnya, seraya berkata:
“Beginilah kami diperintahkan untuk berprilaku terhadap dzur’riyaah (keluarga) Rasululloh.
Jadi mereka sama-sama tahu haq dan kewajibannya masing-masing.
KH. Ahmad Junaidi (guru dari guru kita:
Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf), adalah seorang yang begitu
luas ilmunya, beliau menjadi tempat rujukan/ bertanya tentang
permasalahan-permasalahan Fiqih dari Kyai-Kyai yang lebih senior darinya,
seperti: KH. Sibro Malisi, Kyai Abdurrazak
Ma’mun dll. Menurut kesaksian dari KH. Sibro
Malisi yang pernah sama-sama belajar dengan guru yang sama dengan KH. Ahmad
Junaidi, mengatakan bahwa KH. Ahmad Junaidi tidak pernah mempunyai kesempatan
untuk belajar, kesibukannya setiap hari adalah membawakan obor untuk penerangan
sang guru saat berangkat mengajar dan membersiapkan kitab-kitab yang akan
dipakai sang guru dan membawakannya sampai ke tempat guru mengajar (Darul
Ulum). Dan setelah sampai ditempat mengajar, dia tidak ikut belajar, tetapi menuju
ke pasar untuk belanja bahan makanan dan sayuran yang ia masak untuk sang guru.
Segala kebutuhan dari sang guru dia yang menanganinya dan itulah yang dilakukan
KH. Ahmad Junaidi setiap hari, berkitmad kepada sang guru, tetapi setelah ia
sampai kembali ke Indonesia, ternyata ilmunya lebih tinggi dari murid-murid
yang lainya, itulah keberkahan dari sang guru. Sayidil Walid Al Habib
Abdurrahman Assegaf (walid dari Al Ustdz Al Habib Umar Assegaf), pernah berkata
kepada seseorang: “Apabila KH. Ahmad Junaidi adalah seorang habaib, maka
ketutup semua habaib, karena keluasan dari ilmunya Kyai Ahmad.” Itulah
keberkahan karena berkhitmad kepada guru.
Syech Ali bin Abdillah Baaroos,
adalah seorang anak dari gunung yang diserahkan oleh orang tuanya untuk
belajar/ menuntut ilmu kepada Al Habib Umar Al Attas (Sohibul Rotib) untuk
didik menjadi seorang guru, karena masyarakat Badui sangat membutuhkan ulama.
Setelah sekitar 10 tahun lebih, si-bapak kembali lagi ke tempat Al Habib Umar
Al Attas untuk mengambil anaknya, karena masyarakat sudah sangat mengharapkan
untuk segera mendapatkan tuntunan dan bimbingan dari Syech Ali Baaroos. Al
Habib Umar Al Attas sangat bingung, karena selama ini Syech Ali Baaroos belum
pernah diajarkan ilmu sedikitpun, karena selama ini kerjaannya hanya
membersihkan kandang onta, memberi makan onta dan menyiram tanaman qurma.
Akhirnya Al Habib Umar Al Attas, menyuruh Syech Ali Baaroos untuk membaca
mukadimah kitab, tetapi karena memang belum pernah belajar, sehingga Syech Ali
Baaroos tidak dapat membacanya. Akhirnya Al Habib Umar Al Attas memegang dada
dari Syech Ali Baaroos dan mendoakannya menjadi orang alim, berkah doa dari Al
Habib Umar Al Attas, maka jadilah Syech Ali Baaroos menjadi orang alim di
kampungnya.
Ja’far Shodiq saat berjumpa dengan Sufyan
Atssauri (seorang ulama yang sudah tua), ia mencium tangan dari Sufyan Atssauri
untuk mengambil barokah. Sufyan Atssauri yang mengetahui bahwa Ja’far Shodiq
adalah merupakan dzur’riyaah Rasululloh, maka ia merasa risih dan ia meminta
kepada Ja’far Shodiq agar memberikan kesempatan kepadanya untuk dapat mencium
tangan dari Ja’far Shodiq, padahal Ja’far Shodiq usianya jauh lebih muda
darinya. Tetapi Ja’far Shodiq tidak memberikan kesempatan kepada Sufyan
Atssauri untuk mencium tangannya, maka disaat Ja’far Shodiq lengah, Sufyan
Atssauri mencium tongkat dari Ja’far Shodiq.
Apabila kita berkawan/ bersahabat
dengan orang-orang sholeh, maka hendaknya kita mengetahui haq-haq dari
orang-orang sholeh.
Dalam suatu Hadits Nabi menyatakan:
“Siapa orang yang mengajarkan satu ayat dari kitab Alloh, maka dia itu adalah
tuan kamu, dan kamu adalah budaqnya.”
Syaidina Ali pernah berkata: “Aku adalah hamba sahaya (budaq) bagi orang
yang mengajarkan kepadaku satu huruf saja, dia dapat menjual aku atau ia dapat
menjadikan aku budaq di rumahnya atau dia dapat membebaskan aku.”
Bagi orang yang sudah mendapatkan
ilmu dari seorang guru (Ulama Sholeh), jangan suka menghinakan guru tadi, dan
jangan mengalahkan kepentingan si-guru dari kepentingan pribadi dia, artinya
dahulukan kepentingan guru dari pada kepentingan kita pribadi, itu tuntunan
dari Nabi.
Manakala ada orang yang menghinakan
gurunya atau dia mengutamakan kepentiang dirinya dan mengalahkan kepentingan
gurunya, maka dia sudah memutuskan tali ke-Islamannya.
Nabi bersabda: “Alloh akan menolak
bala yang Alloh akan turunkan dengan sebab adanya seorang muslim yang sholeh,
sebanyak 100.000 tetangga.”
Dengan sebab adanya orang sholeh di
satu kampung, maka 100.000 tetangga disekitarnya (depan-belakang dan samping
dari rumah si-sholeh) akan tertolak bala yang akan Alloh turunkan. Kita enak
tidur nyenyak, shubuh terkadang kesiangan, si-sholeh bangun malam untuk sholat
tahadjut, dzikir, tasbeh, berdoa dan bermacam-macam ibadah kepada Alloh, berkah
dari ibadah si-sholeh, maka tertolaklah bala yang seharusnya Alloh turunkan
pada itu kampung.
Dalam Hadits yang lain, Rasululloh
bersabda: “Tidak termasuk golongan kami, bagi orang yang tidak mengetahui
haq-haq dari orang alim.” Ajarkan kepada anak-anak kita adab-adab atau
cara-cara berhadapan dengan orang sholeh, bagaimana cara mencium tangannya,
cara duduknya, memakai peci bila berhadapan dengan orang sholeh.
Imam Nawawi berkata: “Kita mencium
tangan seseorang karena ke Zuhud-annya, karena ke Sholeh-annya, karean ke
Ilmu-annya, karena Kemulya-annya (misalnya tidak ada ilmunya, tetapi ia
merupakan dzur’riyaah Rasul), terbilang hal-hal yang bersifat keagamaan.” Hal ini merupakan tuntunan agama, bukan mengkultuskan,
tidak makruh ataupun haram bila dilakukan. Bahkan kita disunnahkan untuk
mencium tangan mereka.
Apabila kita mencium tangan seseorang
karena kekayaannya, karena kekuasaannya (pejabat), karena pangkat/ kedudukannya
(yang bersifat keduniawian), maka makruh hukumnya. Bahkan Nabi pernah bersabda:
“Barang siapa yang merendahkan diri
kepada orang kaya, maka hilang dua pertiga agamanya.”
Bila dia kaya tapi sholeh, maka
silahkan mencium tangannya, jadi yang menjadi pertimbangan kita mencium
tangannya bukan karena kekayaannya, tetapi karena kesholehannya.
3. Alloh bukakan atas orang ini kesempatan untuk
berbuat toat kepada orang Sholeh, tetapi Alloh cegah dia Ikhlas dalam
beramal.
Amal ibadah yang dilakukannya begitu
banyak, tetapi tidak ikhlas dan ridho karena Alloh semata.
Berkata
pengarang kitab ( Al Faqih Assamarqondhi), semua ini dapat terjadi karena
buruknya ia punya niat dan buruknya ia punya hati. Sebelum berbuat sesuatu
pasang niat yang baik. Bila niatnya benar dekat dengan ulama sholihin, maka
pasti Alloh berikan manfaat ilmu dan ikhlas dalam beramal.
Berkata
pengarang kitab ( Al Faqih Assamarqondhi), berkata kepadaku perawi-perawi yang
dapat dipercaya/ amanah dan bersambungan sanadnya dari Jabal Ayahsuby, ia
berkata: “Kala itu kami dalam peperangan bersama Abdul Malik bin Marwaan, pada
akhirnya bertemu kepada kami seorang laki-laki yang banyak bergadang untuk
beribadah di malam hari (orang sholeh), tidurnya sedikit sekali, waktunya
digunakan untuk ibadah kepada Alloh. Kami tinggal (menetap) bersama-sama dengan
dia untuk beberapa lama, tetapi kami tidak mengenal siapa dia sesungguhnya.
Dikemudian hari (setelah beberapa lama), akhirnya kami tahu siapa dia, dia
adalah salah seorang dari Sohabat Nabi. Dan diantara sesuatu yang diceritakan
kepada kami, ada seorang muslimin yang berkata kepada Rasululloh: “Ya Rasululloh,
apa itu jalan keselamatan bagi kami di hari esok (masa yang akan datang)? Rasululloh
berkata: “Jika kau akan selamat dari alam qubur dan padang masyar, maka jangan
kau khianati/ menipu Alloh. “Bagaimana mungkin kami dapat menipu Alloh?” Rasululloh
menjawab: “Orang dapat menipu Alloh dengan jalan ia beramal dengan apa yang Alloh
perintahkan kepada kamu, tetapi dia kerjakan bukan karena Alloh.” Tidak dikehendaki darinya Ridho Alloh (tidak
Ikhlas). Semua yang Alloh perintahkan dijalankan, tetapi ibadah yang
dikerjakannya itu tidak Ikhlas karena Alloh, melainkan mengharapkan pujian dari
orang. Kemudian Nabi berkata: “Jauhi oleh kamu riyaa’ karena riyaa’ itu syirik
(mensekutukan Alloh) kepada Alloh. Orang yang riyaa’ (yang tidak Ikhlas dalam
beribadah) kelak akan dipanggil di hari qiamat di hadapan makhluk yang banyak
(dari sejak Nabi Adam AS. hingga manusia akhir zaman), dengan 4 nama, yaitu: “Ya..Kaafir,
Ya...Faajir (jahat/fasiq/banyak maksiat), Ya…Ghoodir (penipu), Ya…Khoosir
(orang yang rugi). Sesat kau punya amal, lenyap kau punya pahala, batal kau
punya amal, hari ini di hari pembalasan tidak ada bagian kamu atas ibadah kamu.
Silakan cari kau punya pahala (upah/ bayaran) dari orang yang kamu berbuat
(beramal) untuknya.” Kemudian aku berbicara dengan dia: “Demi Alloh, yang tidak
ada Tuhan melainkan Alloh semata, apakah kamu mendengar masalah ini langsung
dari Rasululloh?” Lelaki tersebut menjawab: “Demi Alloh, aku mendengar langsung
riwayat ini dari Rasul, kecuali ada kesalahan (kelebihan atau kekurangan) yang
tidak aku sengaja.” Kemudian dia membaca ayat Al Qur’an: “Sesunggunya orang
munafiqin menipu Alloh, dan Alloh akan balas tipu daya mereka nanti.”
Berkata
Al Faqih RahimaAllohuta’aala: “Siapa orang yang menginginkan mendapatkan
pahala amal ibadahnya di negeri akhirat, dituntut baginya agar melakukan amal
sholehnya semata-mata tulus karena Alloh (tidak ada motivasi/ tujuan lain),
kemudian ia lupakan (jangan diingat-ingat) amal ibadah yang telah ia kerjakan
sebanyak apapun dan dari segala jenis amal ibadah.” Seperti ia membantu pembangunan pondok
pesantren, pembangunan masjid, menyantuni anak yatim, qiyamul lail, dhuha dan
segala macam amal ibadah lainnya, seolah-olah tidak pernah terjadi sama sekali
amal sholeh dari dirinya, agar tidak kemasukan unsur ‘Ujub & Riyaa’, yang akan merubah niatnya yang semula
ia beribadah semata-mata karena Alloh, akan berubah menjadi ingin menampakkan/
membanggakan/ memperlihatkan ia punya amal kepada orang lain.
Ada
seorang ulama berkata: “Menjaga amal
ibadah yang telah kita kerjakan yang tulus karena Alloh agar tidak kemasukan
‘ujub, riyaa’, sum’ah dan lainnya, lebih sulit dan berat dari pada mengerjakan
amal ibadah itu sendiri.” Kita harus
terus menjaga amal ibadah yang telah kita kerjakan sampai akhir hayat kita,
agar jangan sampai kemasukan ‘ujub, riyaa’, sum’ah dan lainnya. Maka kita perlu
membaca Istiqfar Nabi Alloh Khaidir AS. (yang biasa dibaca pada Shalat Sunnah
Taubat), karena berapa banyak amal ibadah yang pada awalnya kita kerjakan tulus
karena Alloh, pada akhirnya dibelokkan oleh setan sehingga kita beramal karena
sesuatu. Berkah kita melazimkan membaca Istiqfar Nabi Alloh Khaidir, Inn Shaa Alloh
amal ibadah kita selamat dari perubahan niat, sehingga amal ibadah kita selamat
hingga akhir hayat kita dari riyaa’, ‘ujub, sum’ah dan lainnya.
Tuntunan
dari Ulama-Ulama Sholeh kepada kita, apabila kita diajak orang untuk makan,
maka jangan katakan: “Saya sedang berpuasa”, meskipun kita sesungguhnya sedang
berpuasa. Hendaknya kau katakan: “Saat ini saya sedang tidak berselera untuk
makan, karena kesehatan saya sedang terganggu.”
Apabila kita katakan: “Saya sedang berpuasa”, maka dikhawatirkan akan
timbul riyaa’/ ‘ujub, ingin memperlihatkan/ menunjukkan bahwa kita orang yang
banyak berpuasa. Misalkan kita sedang Shalat Dhuha, kemudian ada tamu yang
datang ke rumah kita, maka hendaknya jangan katakan kepadanya bahwa kita sedang
Shalat Dhuha, sembunyikan amal ibadah yang kita kerjakan, bilang kepadanya bahwa
kita sedang istirahat atau lainnya, sehingga amal ibadah yang kita kerjakan
selamat dari unsur riyaa’, ‘ujub dan lainnya.
Berkata seorang syufi, Abubakar Al Waasithy: “Menjaga
amal ibadah sholeh yang kita lakukan, lebih sulit dan dahsyat dari pada melakukan/
mengerjakannya.” Setan selalu
berusaha keras untuk mendorong dan menggoda kita, agar kita menyimpangkan/
melencengkan niat kita dari yang semula hanya semata karena Alloh SWT. dapat
berubah menjadi riyaa’, ‘ujub dan lainnya.
Mengapa
menjaga amal sholeh lebih berat dari pada mengerjakannya? Karena perumpamaan amal sholeh itu sama
seperti kaca, kaca itu mudah pecah. Kaca apabila sudah pecah, maka tidak dapat
ditambal/ disambung lagi.
Sehingga ada ungkapan: “Sesungguhnya
hati-hati manusia bila sudah berubah menjadi ‘renggang’ (berjarak/ terpisah)
antara hati dengan hati lainnya, hati itu seperti kaca pula, bila sudah pecah
maka tidak dapat ditambal/ disambung lagi. Diantara dua sahabat, bila ada
perselisihan karena beda pendapat ataupun salah pengertian, maka hati keduanya
akan menjadi renggang, bila sudah renggang, maka tidak akan mungkin kembali
seperti semula lagi. Mungkin tidak marah ataupun putus persahabatannya antara
keduanya, tetapi tidak ada ‘ruh kecintaan’ di hati mereka lagi.
Begitulah
amal ibadah sholeh kita, bila sudah pecah karena terkena/ terganggu oleh riyaa’
dan ‘ujub, maka akan batal pahala amal sholeh kita. Amal ibadah yang telah kita
kerjakan tidak ada nilainya di sisi Alloh, seperti debu/ bulu yang beterbangan
di udara.
Membanggakan
amal ibadah yang kita kerjakan kepada orang lain, maka amal ibadah yang kita
kerjakan tadi sudah kemasukan unsur riyaa’ dan ‘ujub. Hendaknya kita
sembunyikan amal sholeh yang kita kerjakan dari pandangan orang lain, seperti
kita menyembunyikan kejelekan-kejelekan kita. Sekuat tenaga kita berupaya
menyembunyikan kejelekan-kejelekan kita, maka sekuat itu pula kita berupaya
menyembunyikan amal sholeh yang kita kerjakan.
Manakala
ada seorang laki-laki atau perempuan ingin melakukan amal sholeh, tetapi ia
takut kemasukan riyaa’ dalam amalnya, karena bila amal sudah kemasukan riyaa’
maka amal tersebut tidak ada nilainya dan bahkan akan terkena adzab Alloh. Bila
ia mampu, maka berusahalah dengan bersungguh-sungguh untuk mengeluarkan riyaa’
dari hatinya, pasang niat yang betul dan singkirkan sifat riyaa’ dari hatinya.
Jangan mundur karena takut riyaa’, sehingga menghalanginya untuk berbuat amal.
Karena meskipun ada riyaa’ dalam amalnya itu, masih ada manfaatnya bagi ummat,
seperti dia bangun pesantren, madrasah, masjid, mushola, majlis ta’lim,
menyantuni anak yatim dsb. Meskipun ia tahu dalam bantuannya tersebut ada unsur
riyaa’ juga, tetapi ia tetap membantu tempat-tempat ibadah tersebut, maka dia
masih akan mendapatkan berkah dan doa dari orang-orang yang beribadah di tempat
yang ia bangun/ ia bantu tersebut.
Jika
dia tidak bisa menyingkirkan riyaa’ dari hatinya, hendaknya dia tetap untuk
mengerjakan amal sholeh (membantu pembanguan dll.) tersebut, kemudian mohon
ampun (istighfar) kepada Alloh dari amalan-amalan yang dia kerjakan karena
riyaa’. Mengapa dia harus mengerjakan juga amalnya, padahal sudah pasti ada
riyaa’ disitu? Semoga pada akhirnya Alloh
akan memberikan kepadanya Taufiq untuk dapat bersikap Ikhlas dalam beramal.
Misalkan saat ini dia beramal masih riyaa’, dan dia terus tertarik untuk
membantu kembali pembagunan sarana-sarana keagamaan untuk umat, pada akhirnya
berkah doa dari orang-orang yang dia bantu, sehingga Alloh akan berikan taufiq
dan hidayah untuk menghilangkan sifat riyaa’ dari hatinya, sehingga pada
akhirnya dia akan dapat beramal dengan ikhlas.
Seorang
sufi besar berkata: “Manusia bisa jadi riyaa’ disaat hidupnya,
dan dapat juga berbuat riyaa’ setelah ia mati. Bagaimana mungkin setelah mati
masih dapat berbuat riyaa’ juga? Jika
dia berharap/ berkeinginan, disaat ia meninggal banyak orang yang
mensholatinya, maka disitu ada riyaa’ juga.” Lain halnya bila dia tidak berharap, akan
tetapi ada keinginan dari pihak keluarganya setelah ia meninggal untuk
mengundang orang sebanyak-banyaknya untuk dapat mensholati jenazah dari
keluarganya tersebut, maka itu tidak termasuk kedalam riyaa’. Apalagi bila yang
meninggal adalah orang sholeh/ alim, maka bila kita ikut mensholatinya, maka
dosa orang sholeh tersebut Alloh ampuni, begitupula Alloh akan mengampuni dosa
dari kita yang ikut mensholati orang sholeh tersebut.
Ada
ungkapan dalam bahasa Arab: “Mungkin
dunia ini akan rusak/ hancur/ sepi dengan matinya orang-orang yang riyaa’.” Mengapa demikian? Karena orang riyaa’
terdorong/ termotivasi untuk melakukan amal-amal kebaikan. Dengan adanya
orang-orang riyaa’ dunia menjadi ramai, tapi manakala orang-orang riyaa’ sudah
tidak ada, maka dunia akan menjadi sepi. Dengan dibangunnya tempat-tempat yang
sangat bermanfaat untuk umat, seperti: pondok pesantren, masjid, mushola,
madrasah, jembatan-jembatan dll., maka kampung yang tadinya sepi berubah
menjadi ramai, banyak orang yang beribadah disitu. Pada umumnya orang-orang
kaya yang mempunyai sifat riyaa’, karena mereka mampu untuk memberikan sumbangan/
bantuan dalam jumlah yang besar.
Sebagaimana
diriwayatkan oleh sebagian leluhur-leluhur kita (orang-orang terdahulu): Pada
waktu dahulu ada orang membangun rubat (pondok pesantren) dan ia bertanya dalam
hatinya: “Aku tidak tahu, apakah amal yang aku kerjakan ini karena Alloh atau
tidak?” Disaat ia tidur ada yang datang melalui mimpinya (entah itu malaikat
ataupun ruh dari orang sholeh). Orang tersebut berkata dalam mimpinya: “Jika amal yang kau kerjakan tidak karena Alloh
semata, ada unsur riyaa’, ‘ujub, sum’ah dan lainnya. Maka doa dari orang
muslimin yang memanfaatkan ini tempat, akan didengar oleh Alloh SWT.” Mendapatkan penjelasan dalam mimpinya
tersebut, akhirnya ia merasa gembira.
Ada
suatu Hikayat, datang seseorang kepada Al Imam Abdullah Al Haddad (Sohibul
Rottib), ia meminta izin kepada Al Imam Abdullah Al Haddad untuk dapat
membangun masjid.
Ini cara yang benar, sebelum
membangun hendaknya meminta petunjuk/ pendapat kepada ulama setempat, jangan
membangun masjid hanya karena mempunyai banyak uang dan menuruti hawa nafsunya,
tanpa mempertimbangkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi sebelum
membangun masjid. Banyak kejadian karena tidak mendapatkan izin dari ulama
setempat, maka mereka meminta izin kepada ulama-ulama yang jauh dari tempat
yang akan dibangun masjid. Ulama-ulama yang jauh tidak mengetahui situasi dan
kondisi dari tempat yang akan dibangun tersebut, sehingga terkadang ada masjid
yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat untuk dapat dipakai melaksanakan Shalat
Jum’at.
Pernah ada seminar di PBNU, ada
seorang tokoh NU yang bernama Sumar ZE., mengatakan bahwa ia pernah mendatangi
perpustakaan di Belanda, dalam satu buku yang ia baca disitu ada ungkapan: “Siapapun juga (umat Nasrani, Yahudi dan
lainnya) tidak akan mampu menghancurkan Umat Islam. Tetapi ada satu cara untuk
menghancurkan Umat Islam adalah dengan membangun masjid sebanyak-banyaknya.” Karena dengan semakin banyak masjid, maka
tidak ada lagi persatuan/ ukhuwah/ silaturahmi antara kaum muslimin, mereka
menjadi terpecah dan tidak saling berkumpul satu sama lain. Sehingga sering
terjadi banyak perbedaan pendapat antara sesama Umat Islam itu sendiri.
Imam
Abdullah Al Haddad mengatakan: “Jika niatmu untuk membangun masjid karena Alloh
SWT. semata, maka silahkan kau bangun. Tetapi jika niatmu bukan karena Alloh
SWT., maka jangan kau bangun masjid.” Orang tersebut menjawab: “Ya, niatku
sholeh, tidak ada niatan lain untuk membangun masjid, melainkan karena Alloh
semata.” Kemudian Imam Al Haddad berkata lagi: “Jika kau mengatakan bahwa
niatmu untuk membangun masjid karena Lillahi Ta’ala, maka saat kau telah
selesai membangun itu masjid, kamu telah lelah
mencurahkan segala pikiran dan uangmu untuk membangun itu masjid, tetapi
nama kamu tidak dinisbahkan/ disebutkan sebagai orang yang membangun itu
masjid, melainkan nama orang lain, apakah kamu dapat senang dan Ikhlas
menerimanya?” Orang tersebut berfikir dan merenung, ia tidak senang dan ikhlas
bila nama orang lain yang disebut bukan namanya. Maka Imam Abdullah Al Haddad berkata:
“Maka jangan kau bangun itu masjid, karena niat kamu tidak sholeh.” Jadi
dicegah membangun masjid oleh Al Imam bukan karena lokasinya yang tidak
memenuhi syarat, tetapi karena niatnya.
Apapun
yang akan kita kerjakan, seperti membangun masjid, mushola dll., hendaknya
bertanya atau meminta pendapat dari ulama-ulama sholeh setempat.
Ada
seorang laki-laki sedang berdoa disisi Hudzayfah
bin Lamaan: “Ya Alloh binasakan orang-orang munafiqin.” Hudzayfah berkata
kepada lelaki tersebut: “Andaikata Alloh
ijabah kamu punya doa dan mereka binasa, maka kamu tidak akan mampu melawan
musuh-musuh kamu (kufar, atheis dll.). Mereka berperang bersama-sama kamu untuk
memerangi musuh-musuh kamu.”
Karena
memang ada Hadits yang menyatakan: “Alloh
akan perkuat ini agama dengan orang-orang yang tidak ada bagiannya di akhirat
nanti.”
Mereka
membantu pembangunan masjid dan lain-lain, padahal mereka orang munafiqin,
nasrani dan agama lainnya.
Ada
cerita tentang Alm. Laksamana Sudomo (ia pernah menjabat sebagai Pangkobkamtib
di masa Presiden Soeharto), saat ia sedang olahraga pagi, ia melewati sebuah
Mushola di daerah Talang, Manggarai. Ia prihatin melihat ada Mushola yang
terlihat bangunannya jelek dan tidak terawat, sehingga ia memerintahkan
pengurus itu Mushola untuk merubuhkan bangunan itu Mushola dan ia membagunnya
menjadi 2 lantai. Bukan hanya itu, dia juga membelikan sound system dan karpet
untuk Mushola tersebut. Karena jasanya tersebut, sehingga banyak orang yang
merasa gembira dan mendoakannya, sehingga pada akhirnya Alloh bukakan pintu
Taufiq Hidayah kepadanya, dan pada akhirnya ia kembali menjadi muslim, dan
meninggal dalam keadaan Islam.
Seorang
Sohabat Nabi yang bernama Salman Al
Farisy berkata: “Sesungguhnya Alloh
akan memperkuat orang-orang mu’minin dengan kekuatan orang-orang munafiqin. Allohpun
akan menolong orang-orang munafiqin dengan doanya orang-orang mu’minin.”
Berkata
Al Faqih Rahimahullahu ta’aala: Manusia
banyak berbicara tentang hal-hal yang sifatnya fardhu (kewajiban), maka berkata
sebagian ulama: “Riyaa’ tidak dapat masuk dan tidak akan masuk kedalam kerjaan/
ibadah yang sifatnya fardhu, seperti shalat lima waktu, puasa, zakat, haji dan
lain-lainnya.”
Ibadah
kita yang wajib tidak akan dikotori oleh sifat-sifat riyaa’. Alasannya riyaa’
tidak masuk pada hal-hal yang fardhu, karena fardhu ini sifatnya wajib atas
tiap-tiap makhluk/ individu.
Siapapun ada kewajiban atas dirinya
untuk mengerjakan shalat yang lima waktu. Siapapun ada kewajiban bagi
orang-orang kaya untuk mengeluarkan zakat. Siapapun ada kewajiban untuk
menunaikan haji jika ia mampu.
Manakala
ia menunaikan/ melaksanakan sesuatu yang menjadi kewajiban atas dirinya
(semacam shalat yang lima waktu dll.), itu tidak akan masuk padanya riyaa’,
karena masing-masing orang ada kewajiban mengerjakan shalat, sehingga tidak ada
kesempatan baginya untuk berbuat riyaa’ (menampakan/ mempertontonkan) shalat
lima waktu yang dikerjakannya.
Sebagian
Ulama yang lain berpendapat: Sekalipun ibadah wajib atas tiap-tiap individu,
dapat juga kemasukan riyaa’.” Shalat
yang lima waktu dan kewajiban-kewajiban yang lain yang setiap orang ada
kewajiban untuk mengerjakannya dapat
saja kemasukan sifat riyaa’, baik itu kerjaan yang sifatnya fardu maupun bukan
fardhu.
Untuk
ibadah/ kerjaan yang sunnah tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) diantara
ulama, para ulama sama-sama sepakat/ berpendapat bahwa kerjaan/ ibadah yang
sifatnya sunnah dapat kemasukan sifat riyaa, tetapi untuk kerjaan/ ibadah yang sifatnya wajib, ada khilaf diantara
mereka.
Berkata
Al Faqih Rahimahullahu ta’aala: “Menurut pendapatku ada 2 pandangan (jalan):
1. Jika mereka
mengerjakan kerjan-kerjaan yang fardhu di hadapan manusia, dan apabila tidak dihadapan
manusia dia tidak mengerjakan kerjaan-kerjaan yang fardhu tersebut, maka dalam
ibadahnya itu sudah kemasukan sifat riyaa’.
Manakala dihadapan manusia dia
mengerjakan shalat dengan khusyu dan tuma’ninahnya yang melebihi dari yang
biasa dia kerjakan, bahkan dia dapat menangis dalam shalatnya. Tetapi manakala
tidak dihadapan manusia kerjaan yang wajib tersebut dia tinggalkan/ tidak
dikerjakan.
Orang semacam ini disebut Munaafiqun
Taamun (Mutlaq Kemunafiqkannya/ Sempurna Betul Kemunafiqkannya). Orang semacam
ini yang terbilang Alloh firmankan kepadanya: “Sesungguhnya orang-orang munafiqin ditempatkan pada tempat yang
paling bawah dari neraka jahanam, yaitu di neraka Haawiyah, bersama
keluarga-keluarga Fir’aun.”
Andaikata orang ini keimanannya
shohih (benar), murni, mantap, tidak ada keraguan sedikitpun juga, maka tidak
akan mencegah dia dari pada mengerjakan yang fardhu. Dilihat atau tidak dilihat
orang, sesuatu yang fardhu pasti dikerjakannya.
2. Jika dia
kerjakan juga amalan/ ibadah yang fardhu tadi, tetapi bila dihadapan manusia
maka ibadah yang ia kerjakan tadi sangat sempurna, lebih bagus dan lebih rapi lagi bila
dibandingkan saat ia mengerjakannya tidak di hadapan manusia/ saat ia sendiri.
Seperti ia bersiwak terlebih dahulu,
memakai pakaian yang rapi, dll. Tetapi bila tidak dihadapan manusia, misalkan
dikerjakan di rumah atau di masjid tetapi tidak dihadapan manusia, maka ibadah
fardhu yang dikerjakan secara asal saja, kurang sempurna, sekedar sah, tidak
khusyu, kurang tuma’ninahnya, asalkan syarat dan rukunnya dijalankan dll.
Ibadah
fardhu yang dikerjakan yang syarat dan rukunnya dijalankan, meskipun tanpa ada
khusyu dan ada riyaa’ dalam ibadahnya tetap ada pahalanya, tentunya nilai
pahalanya jauh berbeda bila dibandingkan dengan ibadah yang disertai dengan
khusyu dan ikhlas karena Alloh.
Orang
yang beribadah dengan disertai sifat riyaa’, manakala di hadapan manusia dia
menjalankan ibadah secara khusyu dan menjalankan adab-adabnya, tetapi bila
tidak dihadapan manusia, maka dia hanya sekedar menjalankan ibadah untuk
menggurkan kewajibannya saja, maka orang semacam ini telah melakuan Syirik
Khofii, maka pada saatnya nanti di
akhirat Alloh akan pertanyakan kepadanya mengapa ia mempersekutukan Alloh
dengan mahkluknya?
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan
permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum,
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar