Rabu, 16 September 2015

TASAWUF - Ikhlas (Bagian-2)



Pokok Bahasan     :  TASAWUF
Judul                    :  Ikhlas (Bagian-2)
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Hadits Nabi Muhammad SAW. Riwayat dari Adii bin Hatim At Thoo’i, bahwa Nabi bersabda: “Kelak di Hari Qiamat akan diberitakan beberapa kelompok manusia untuk di giring masuk kedalam Syurga. Hingga manakala mereka sudah mendekat dari Syurga, dan merekapun sudah mencium baunya Syurga, dan merekapun sudah dapat melihat gedung-gedung atau istana-istana yang terdapat dalam Syurga, dan merekapun sudah dapat melihat apa-apa yang telah Alloh siapkan bagi penghuni-penghuni Syurga. Malaikat-malaikat yang bertugas menggiring mereka ke Syurga di panggil oleh Alloh: “Kembalikan/ palingkan/ tolak mereka dari Syurga, mereka tidak ada bagiannya di Syurga.” Saat mereka ditarik kembali dari Syurga, maka mau tidak mau mereka harus kembali lagi ke posisi semula dengan penyesalan yang luar biasa. Dan tidak kembali orang-orang terdahulu kala dan orang-orang akhir zaman semacam/ seperti mereka kembali dengan penyesalan yang luar biasa. Akhirnya mereka berkata: “Hai Tuhan kami, engkau ya Alloh memasukkan kami ke neraka jahanam, sebelum kau perlihatkan kepada kami apa yang kau siapkan bagi aulia (kekasih-kekasih) KAMU. Alloh menjawab: “Memang sudah AKU inginkan/ rencanakan hal yang demikian itu, agar menambah penyesalan yang luar biasa. Kamu dahulu, manakala kamu sedang menyepi (sendiri/ tidak ada orang), kamu terang-terangan melakukan/  berbuatan dosa-dosa besar kepadaKU. Tetapi manakala kamu jumpa dengan orang (ada di tempat orang banyak), kamu jumpai mereka dalam keadaan sangat rendah hati/ sholeh. Kamu memperlihatkan kepada manusia, amal-amal kamu. Bersalahan dengan apa yang terkandung dalam hati-hati kamu. Kamu segan/ hormat kepada orang, tetapi kamu tidak segan/ hormat kepadaKU. Kamu ini menghormati/ mengagungkan manusia, tetapi kamu tidak menghormati/ mengagungkan AKU. Kamu tinggalkan perbuatan yang tidak baik karena manusia, tetapi kamu tidak tinggalkan karena AKU. Maka pada hari ini, kamu rasakan siksaKU yang sangat pedih. Serta sesuatu yang AKU haramkan atas kamu dari pada pahala yang banyak dariKU.”

Hadits ini berkaitan dengan orang yang beramal karena manusia, bukan karena Alloh. Sehingga sampai-sampai ulama-ulama Salaf/ orang Sholeh, tidak senang untuk memanjangkan/ melamakan ia punya sujud di tempat orang/ tempat umum (semacam masjid), karena mereka takut disebut ri’ya. Sujud mereka biasa, sekedar tuma’ninah apabila ada orang, tetapi manakala mereka shalat sendiri, sujud mereka lama, karena tidak khawatir dengan ri’ya. Shalat Sunnah Qobliyah, Ba’diyah, Qiyamul Lail, Dhuha dll. lebih bagus bila dilaksanakan/ dikerjakan di rumah. 

Dalam suatu Riwayat dari Abu Humam Al Bahim, melihat ada seseorang di masjid menangis saat sedang sujud, Abu Humam berkata kepada orang tersebut: “Sebagus-bagusnya seorang laki-laki adalah kamu, karena kamu dapat menangis saat sedang ibadah, tetapi manakala dilakukan di rumah kamu saat orang lain tidak melihat.”  Bila menangis di tempat umum itu tidak bagus. Apa yang dilakukan Abu Humam masih bagus, orang yang menangis saat ibadah masih dipuji, tapi bila Syaidina Umar melihat orang menangis saat ibadah di tempat umum digetok kepalanya dengan tongkatnya. Karena hal itu menunjukkan ketidak ikhlasannya, perbuatannya hanya merupakan rekayasa yang dibuat-buat saja.

Hadits Riwayat dari Ibnu Abbas RA., Rasululloh SAW. bersabda: “Manakala Alloh sudah ciptakan Syurga Ade’n, Alloh ciptakan dalam Syurga Ade’n itu sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, yang tidak pernah di dengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas/ terbayang di hati manusia. Kemudian Alloh berfirman kepada si-Syurga: “Silahkan kau bicara hai Syurga.” Kemudian Syurga berkata: “Sungguh telah beruntung orang-orang mu’min. (sebanyak 3x) Sesungguhnya aku ini haram diinjak/ dimasuki oleh orang yang ba’hil (kikir/pelit), orang yang ri’ya (suka pamer) amal ibadahnya dan orang yang munafiq.”

Riwayat dari Syaidina Ali bin Abi Tholib RA. : “Bagi orang yang ri’ya (orang yang suka pamer amal ibadahnya) ada 4 ciri/ tanda, yaitu:
1.    Dia bermalas-malasan dalam beribadah saat ia seorang diri. Wiridnya, dzikirnya, adab-adabnya tidak dijalankan, dan tidak fokus/ serius dalam beribadah, sekedar dijalankan (sekedar menggugurkan kewajiban).
2.    Manakala ada ditengah-tengah orang, ia bersemangat dalam beribadah.
3.    Ia menambahkan amal ibadahnya (shodaqoh dan amal ibadah lainnya), manakala dipuji orang.
4.    Ia kurangi ia punya amal ibadah, manakala di cela oleh orang.

Riwayat dari Syaqiif bin Ibrohim Azahidi, dapat memurnikan/ mengikhlaskan/ membersihkan amal seseorang dari pada hal-hal yang tidak terpuji (ri’ya, u’jub, Sum’ah dll.) yang dapat membatalkan pahala amal ibadah, ada 3 hal yaitu:
1.  Dia tahu dan sadar bahwa ia tidak dapat beramal tanpa seizin dari Alloh. Jika dia dapat menyadari hal semacam ini, maka selamatlah ia punya amal dari ri’ya. Ia sadar betul bahwa amal yang dikerjakannya adalah atas izin dari Alloh, sehingga dapat dipecahkan/ dihancurkan darinya sifat u’jub, ri’ya dan lain-lainnya.
2.  Dia memulai amal ibadah dengan niat mencari Ridho Alloh. Sebelum beramal, pasanglah niat bahwa kita beribadah tidak ada tujuan lain selain mencari Ridho Alloh, untuk mengalahkan dan memecahkan kita punya hawa nafsu.
3.  Dia mengharapkan/ menginginkan pahala dari amal ibadah yang dikerjakannya dari Alloh semata, tidak mengharapkan apapun dari orang. Tidak mengaharapkan penghargaan, pujian ataupun imbalan dari orang.  

Ditafsirkan oleh pengarang ini kitab, ia tahu bahwa Alloh lah yang memberikan ia Taufiq. Taufiq adalah kemampuan yang Alloh berikan kepada si-hamba untuk dapat berbuat to’at. Seberapa besarpun kita ada keinginan untuk beramal, selama Alloh tidak memberikan kita taufiq, maka akan berat bagi kita untuk mengerjakannya. Tetapi bila Alloh sudah memberikan taufiq kepada kita, maka jarak yang jauh dan halangan bagaimanapun akan terasa ringan bagi kita untuk mengerjakan/ melaksanakannya. Alloh-lah yang memberikan itu taufiq bagi itu amal, amal apapun juga. Maka bagi si-hamba yang tahu bahwa Alloh-lah yang memberikan itu taufiq, maka dia akan menyibukkan diri dengan bersyukur kepada Alloh. Berapa banyak orang yang rumahnya dekat dengan majlis-majlis ta’lim tetapi mereka tidak dapat hadir di majlis-majlis ilmu, karena mereka tidak mendapatkan taufiq. Tetapi orang yang jauh dari majlis ilmu dan dia harus mengeluarkan dana untuk dapat datang, tetapi karena mendapatkan taufiq dari Alloh, maka mereka dapat sampai ke majlis-majlis ilmu. Hal inilah yang wajib kita syukuri.

Dia tidak sombong (u’jub) dengan amal-amal yang dilakukannya. Dia memulai dengan tekad untuk mencari Ridho Alloh, yaitu ia melihat itu amal, apa amal yang akan dilakukan/ dikerjakan? Bila amal itu amal karena Alloh, didalamnya ada Ridho Alloh, maka dia kerjakan itu amal. Karena di akhir zaman banyak orang yang beramal, dengan amal yang terlihat seperti amalan agama, tetapi ternyata telah bercampur dengan amalan-amalan yang tidak karena Alloh dan tidak sesuai dengan syariat. Syech Yusuf berkata: “Dalam syariat kita, manakala ada kegiatan yang bercampur antara laki-laki dan perempuan tanpa pembatas (menyatu), maka pada zohirnya terlihat seperti ibadah tetapi pada akhirnya sebenarnya amalan itu tidak baik. Bila ia tahu bahwa amal yang akan dikerjakannya tidak ada ridho Alloh disitu, maka dia tidak beramal dengan mengikuti hawa nafsunya. Alloh berfirman: “Sesungguhnya nafsu itu sangat menginginkan orang untuk berbuat tidak baik.”

Tidak ada motivasi/ niat lain kecuali karena Alloh semata, pasang niat yang betul sebelum melakukan amal ibadah, dia tidak memperdulikan/ menghiraukan pendapat orang, apakah orang memuji atau tidak memuji, amal tetap dijalankan karena perintah Alloh. Sebagaimana diriwayatkan oleh sebagian Huqama (Ulama): “Dituntut bagi orang yang sedang/ akan beramal sholeh, silahkan dia belajar adab/ etika/ sopan-santun dalam beramal dari pengembala kambing. Karena pengembala kambing ini, manakala ia sholat di tengah-tengah/ disisi/ dihadapan kambingnya, dia tidak menuntut pujian dari kambingnya. Demikian juga bagi kita yang akan beramal sholeh (apapun bentuk amal sholehnya), selayaknya dia tidak memperdulikan/ menghiraukan orang yang memandang kepadanya.”

Pada saat kita melakukan amal sholeh, tidak perlu orang melihat atau tidak melihat, mendengar atau tidak mendengar amal sholeh yang kita kerjakan, pada saatnya nanti orang akan mengetahui amal sholeh apa yang kita kerjakan, yang sebelumnya tidak diketahui oleh orang.

Imam Syafi’i berkata: “Dari masa ke masa, apa yang dulu kamu tidak tahu, nanti akan sampai berita kepada kamu tanpa kamu harus mencari tahu dan membayar orang untuk mengetahuinya.”  Pada saatnya Alloh yang akan membuka amal sholeh yang kita kerjakan, sebagaimana amal perbuatan jahat yang kita lakukan, Alloh pun akan membukanya meskipun kita lakukan secara sembunyi-sembunyi. Pasang niat yang baik, tidak lama kita hidup di dunia, lakukan amal yang tulus dan ikhlas karena Alloh SWT. Sewaktu di tengah orang ibadahnya seperti itu (tidak berlebihan), demikian pula saat ia sedang beribadah sendiri. Antara dia ada ditengah orang ataupun saat ia sendiri ibadahnya tetap sama seperti itu, tidak berlebihan. Dia tidak meminta/ mengharap pujian dari orang dalam melakukan amal sholeh.

Berkata sebagian Huqama (Ulama): “Amal ini butuh pada 4 hal, hingga dapat selamat dari kerusakan-kerusakan (Ri’ya, U’jub, Sum’ah dll.), yaitu:
1.  Mencari ilmu sebelum dia beramal, karena amal tidak menjadi baik/ bagus tanpa ilmu. Bila beramal tanpa disertai dengan ilmu, maka sesuatu yang dapat merusak ia punya amal lebih banyak dari pada yang dapat memperbaiki ia punya amal. Makanya perlu duduk mengaji di Majlis-Majlis Ilmu untuk mempelajari kitab Fiqih, Tauhid dan Syariat dll., jangan hanya sekedar kumpul-kumpul saja. Bila tidak ada ilmu tetapi ingin mengajar, jangan malu untuk belajar, tidak perlu gengsi untuk mengaji/ belajar. Jangan umat dikorbankan dengan hanya kumpul ramai-ramai tetapi tidak berkwalitas, karena tidak diisi dengan ilmu, tidak mengkaderkan/ menyiapkan umat untuk menyambung estafet da’wah. Kita tidak selamanya hidup di alam dunia, jangan sampai kita termasuk dalam golongan yang dianggap berkhianat kepada Alloh dan RasulNYA. Kita hidup di dunia ada kewajiban menuntut ilmu, dan bagi yang sudah mendapatkan ilmu ada kewajiban menyebarkan kembali ilmunya, jangan kita mengkhianati amanah Alloh dan RasulNYA.
2.  Niat sebelum beramal, karena amal tidak sah dilaksanakan/ dikerjakan tanpa niat. Amal itu bergantung pada niat, sah atau tidaknya amal bergantung niat. Bagi tiap manusia apa yang diniatkan, niat dunia dapat dunia, niat akhirat dapat akhirat. Puasa (wajib & sunnah), Shalat (wajib & sunnah), Haji (wajib & sunnah), Zakat Wajib & Zakat sunnah (Shodaqoh/ Infaq), dan semua toat-toat lainnya, tidak bisa sah dan tidak bisa baik hasilnya kecuali dengan niat. Mesti di lihat amal-amalnya dari niat permulaannya, agar amal-amal kita benar.
3.  Sabar dalam perjalanan beribadah, apalagi dalam mengaji, terkadang ada perasaan jenuh, malas dll. Dalam beribadah ditengah jalan, pasti ada gangguan dan hambatannya, kuat atau tidak kita menghadapinya? Bila kita tidak kuat, maka rugi kita, tidak ada bekal untuk persiapan kita ke negeri akhirat. Kita harus berusaha melawan gangguan dan hambatan, sehingga kita dapat mengusai nafsu kita dalam mengerjakan amalan-amalan dengan tuma’ninah, sampai pada akhirnya timbul kenikmatan dalam mengaji/ beribadah/ beramal sholeh.
4.  Tulus dan Ikhlas di saat telah selesai mengerjakan amal ibadah, jangan bercampur dengan niat apa-apa, kecuali karena Alloh. Niat yang baik dari awal dapat berubah menjadi tidak baik karena dapat dipalingkan oleh syaitan. Amal perbuatan yang kita kerjakan tidak dapat diterima Alloh tanpa keikhlasan. Manakala kita beramal dengan penuh keikhlasan, maka Alloh terima amal ibadah kita dan itu yang akan menyelamatkan kita dari alam qubur hingga negeri akhirat nanti. Manakala kita melakukan amal dengan ikhlas, maka hati-hati hambapun dapat menerimanya, karena ada kontak di bahtin mereka, sehingga orang cinta dan dekat dengan kita. Bila kita beramal ikhlas karena Alloh, maka pada akhirnya Alloh bukakan pintu hati orang, sehingga orang dapat menerima amal kebaikan kita.

Diriwayatkan dari Haram bin Hayaan, bahwa dia berkata: “Tiadalah seorang hamba yang menghadap kepada Alloh dengan sepenuh hatinya (khusyu), melainkan Alloh hadapkan (kecintaan) seluruh hati-hati orang mu’min (orang yang beriman) kepadanya.”

Manakala orang menghadap kepada Alloh untuk bermunajat dan beribadah kepadaNYA dengan sepenuh hati (khusyu), tidak melamun dan tidak bercampur dengan pemikiran-pemikiran lainnya, hati dan fikirannya ia fokuskan hanya kepada Alloh, maka Alloh balas dengan menghadapkan hati-hati orang mu’min kepadanya. Kemudian Alloh berikan kecintaan dan kasih sayang dari orang-orang kepadanya.

Apabila kita membaca sejarah/ riwayat dari Sohabat Nabi, dimana saat ia sedang ibadah (shalat) kepada Alloh, hinggap burung diatas kepalanyapun ia tidak mengetahuinya, karena ia begitu fokus (khusyu) dalam beribadah kepada Alloh.
Syaidina Husein (cucu Rasululloh SAW.), saat ia sedang shalat, ternyata masjid tempat dimana ia shalat terbakar, tetapi ia tidak mengetahuinya padahal orang disekitar masjid berteriak agar ia menghindar/ keluar dari masjid. Ia tidak mendengar teriakan/ panggilan orang karena ia hanya fokus kepada Alloh. Itulah hati orang-orang yang betul-betul menghadap kepada Alloh.
Ada lagi seorang tabi’in, saat ia sedang shalat menara masjid roboh dan suaranya terdengar sampai jarak yang cukup jauh, tetapi ia yang berada di dalam masjid tidak tahu bahwa menara masjid dimana ia shalat roboh.

Kita ukur dengan diri kita, bagaimana dengan shalat/ ibadah kita? Ada orang yang berbicara disekitar kita saat kita sedang shalat kita tahu siapa dan apa yang dibicarakan orang tersebut. Jadinya makanya berbeda antara doa mereka dengan doa kita, barokah mereka dengan barokah kita berbeda, kemulyaan mereka dengan kemulyaan kita juga berbeda.

Mereka begitu fokus dalam beribadah kepada Alloh, tidak tercampur dengan apapun juga, sehingga sampai-sampai bahaya yang menghampiri/ mendekat/ mengintai mereka, mereka tidak tahu.

Hadits diriwayatkan dari Suhayl bin Sholeh dari Abu Hurairoh RA. dari Nabi Muhammad SAW., Rasululloh pernah bersabda: “Sesungguhnya apabila Alloh SWT. mencintai seorang hamba, maka Alloh-pun berkata kepada Malikat Jibril AS.: “Hai Jibril, bahwa AKU cinta pada si-fulan (karena ibadahnya, akhlaqnya dll.), maka hendaknya kamu cinta kepada si-fulan.”  Jibril-pun berkata kepada penghuni-penghuni langit (malaikat-malaikat): “Hai penghuni (malaikat-malaikat) yang ada di langit, Alloh cinta kepada si-fulan, maka cintailah oleh kamu si-fulan. Karena ada perintah dari Alloh melalui Malaikat Jibril kepada penghuni-penghuni langit lainnya, untuk mencintai si-hamba yang Alloh cintai, maka dicintailah ia oleh seluruh penghuni-penghuni langit. Maka diletakanlah kepada orang tersebut, penerimaan dikalangan masyarakat kepada si-fulan di muka bumi, sehingga orang cinta kepada dia.”
Keberadaanya, da’wahnya, ajakannya, ajarannya, dapat diterima oleh masyarakat, berkat Alloh letakan kepadanya qobul (penerimaan), karena kekhusyuannya dalam beribadah kepada Alloh.

“Sama juga seperti itu, bila Alloh tidak menyukai (benci) kepada seorang hamba, maka Alloh-pun berkata kepada Malaikat Jibril AS.: “Hai Jibril, bahwa AKU benci kepada si-fulan (karena tidak ibadah, durhaka, selalu maksiat dll.), maka hendaknya kamu benci kepada si-fulan.”  Jibril-pun berkata kepada penghuni-penghuni langit (malaikat-malaikat): “Hai penghuni (malaikat-malaikat) yang ada di langit, Alloh benci kepada si-fulan, maka hendaklah kamu benci kepada si-fulan. Karena ada perintah dari Alloh melalui Malaikat Jibril kepada penghuni-penghuni langit lainnya, untuk membenci si-hamba, maka dibencilah ia oleh seluruh penghuni-penghuni langit. Maka diletakanlah kepada orang tersebut, penolakan dikalangan masyarakat kepada si-fulan di muka bumi, sehingga orang benci kepadanya.”
Keberadaannya tidak disenangi/ tidak dicintai oleh masyarakat, pada akhirnya ia pun merana karena selalu di tolak oleh masyarakat.

Diriwayatkan oleh Syaqiif bin Ibrohim, ada seseorang bertanya kepada Syaqiif bin Ibrohim, Lelaki tersebut berkata: “Bahwa manusia/ masyarakat menyatakan/ menyebut aku sebagai orang sholeh, bagaimana caranya aku dapat mengetahui bahwa aku ini termasuk orang sholeh?” Maka Syaqiif berkata kepada orang laki-laki tersebut:
1.    Tampakkan perilaku/ perbuatan/ sikap/ amalan ibadah kamu yang sehari-hari kamu sembunyikan dihadapan masyarkat kepada orang-orang sholeh. Apabila ternyata mereka dapat menerima perilaku/ perbuatan/ sikap/ amalan ibadah kamu, maka ketahuilah bahwa kamu termasuk orang sholeh. Manakala orang-orang sholeh itu ridho/ senang dengan perilaku/ perbuatan/ sikap/ tindakan kamu dihadapannya, maka ketahui oleh kamu bahwa kamu termasuk orang sholeh. Apabila ternyata mereka menolak, karena tidak sesuai dengan prilaku orang sholeh, melanggar sunnah rasul, melanggar perintah Alloh dan RasulNYA, maka kamu bukan termasuk orang sholeh.
2.    Tawarkan kepada diri/ hatimu dunia (harta/ kekayaan/ kesenangan), apabila diri/ hati kamu tidak tergoda/ menolak tawaran itu dunia, maka kamu termasuk orang sholeh. Apabila dunia itu tidak ditolak oleh kamu punya diri, kamu menjadi tertarik/ tertawan hati kamu kepada dunia, maka kamu bukan termasuk orang sholeh.
3.    Tawarkan/ perlihatkan kematian atas diri kamu, tanyakan kepada kamu punya diri apakah kamu menginginkan kematian pada hari ini? Apabila diri/ jiwa kamu mau menerima dan mengizinkan untuk mati pada hari ini, maka ketahuilah bahwa kamu termasuk orang sholeh.

Kita menginginkan agar panjang umur bukan untuk berfoya-foya di alam dunia, tetapi untuk beribadah kepada Alloh. Sesuai dengan Sabda Nabi: “Orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang panjang umurnya dan bagus amal ibadahnya.”

Pernah di zaman Nabi, ada 2 orang yang masuk Islam bersama-sama dari Bani Qudho’ah, setelah keduanya masuk Islam, mereka berdua meminta izin untuk dapat ikut serta dalam peperangan membela agama Alloh, dan Nabi mengizinkan keduanya untuk ikut berperang. Satu diantaranya gugur di medan perang, sementara yang satunya lagi selamat (tidak gugur di medan perang) hingga ia meninggal karena penyakit atau lainnya ditengah-tengah keluarganya. Setelah keduanya meninggal, Sohabat Thol’ha bin Ubaydillah mengimpikan bahwa Sohabat Nabi yang meninggal di tengah-tengah keluarganya (tidak gugur di medan perang), masuk syurga lebih dahulu dibandingkan dengan Sohabat Nabi yang gugur di medan perang. Siapa yang tidak tahu derajat dari orang yang gugur di medan perang (mati syahid), karena kemulyaannya sehingga Alloh haram jasad mereka untuk dimandikan dan di shalatkan, serta Alloh jamin mereka masuk Syurga. Tetapi ternyata sohabat yang mati syahid ini masuk syurga belakangan, sedangkan sohabat yang tidak mati di medan perang masuk syurga lebih dulu. Hal ini menjadi pertanyaan dihati Sohabat Nabi Thol’ha, karena banyak dari hadits Nabi dan Al Qur’an yang menyatakan keutamaan dari orang yang gugur di medan perang (mati Syahid).
Sohabat Nabi yang meninggal di tengah-tengah keluaganya pantas dan layak masuk syurga terlebih dahulu, karena ibadahnya lebih banyak dibandingkan dengan sohabat yang gugur di medan perang. Ia shalat yang wajib saja dalam waktu satu tahun sebanyak 6.000 raka’at lebih, dengan perhitungan: 360 hari X 17 raka’at dalam satu hari. Belum lagi puasa dan shalat-shalat sunnah yang dikerjakannya, belum lagi amalan sunnah lainnya seperti baca Al Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, sholawat, istiqfar, shodaqoh dll. Tentunya pahlanya lebih banyak, sehingga pantas dan layak baginya untuk masuk syurga terlebih dahulu.

Kemudian Syaqiif bin Ibrohim berkata lagi: “Jika berhimpun kepada kamu 3 hal ini, maka silahkan kamu berdoa kepada Alloh, agar Alloh pelihara amal-amal ibadah yang kamu kerjakan, jangan sampai masuk dalam hati kamu sifat ri’ya. Karena sifat ri’ya dapat merusak amal-amal kamu.”

Hadits Riwayat dari Tsabit Al Banani dari Annas bin Malik dari Rasululloh SAW., bahwa Nabi pernah bersabda: “Hai sohabat-sohabatku apakah kalian tahu siapa gerangan orang yang mu’min (mu’min yang sempurna)?” Para sohabat menjawab: “Alloh dan RasulNYA yang lebih mengetahui.” Nabi berkata lagi: “Mu’min yang sesungguhnya (yang sempurna keimanannya), yaitu: orang yang tidak meninggal dunia sebelum Alloh penuhi pendengarannya dengan apa yang Alloh sukai (baik).”
Pendengarannya di manfaatkan bukan untuk mendengarkan musik-musik yang tidak bermanfaat dan bahkan membuatnya menjadi lalai dan berdosa kepada Alloh, tetapi pendengarannya digunakan untuk mendengarkan tuntunan dari ulama-ulama sholihin, Alloh dan RasulNYA. Mendengarkan firman Alloh melalui Al Qur’an, mendengarkan perkataan Rasul melalui Hadits-Hadits, dan nasehat/ perkataan dari ulama-ulama Sholihin.

Kemudian Nabi bersabda lagi: “Andaikata ada seorang laki-laki atau perempuan, ia mengerjakan bermacam- macam ibadah dalam rangka toat kepada Alloh (mengaji, qiyamul lail, puasa, shodaqoh, tahmid, tahlil, istiqfar, sholawat dll.). Ia beramal di dalam rumah (bukan di tempat terbuka), rumah tersebut dilapis oleh 70 rumah, dan dalam setiap rumah tadi ada pintu yang terbuat dari besi, yang tidak memungikinkan orang lain mengetahui apa yang ia lakukan di dalam rumah. Niscaya Alloh akan pakaikan kepadanya Rida’ (selendang/ pakaian) dari amalnya.”
Alloh bentuk dari amalnya tadi menjadi rida’ untuk Alloh perlihatkan kepada umat bermacam amal ibadah yang dikerjakannya. Padahal pada awalnya orang tidak mengetahui amal ibadah yang dikerjakannya, sehingga karena rida’ yang Alloh pakaikan kepadanya, maka orang jadi mengetahui bahwa ia ahli ibadah. Jadi meskipun kita sembunyi-sembunyi dari pandangan masyarakat dalam beribadah kepada Alloh, pada saatnya nanti pasti Alloh akan memperlihatkannya juga kepada masyarakat. “Yang baik pasti kelihatan, dan yang tidak baik juga pasti kelihatan.”

Mengapa banyak orang yang membicarakan amal ibadah ini orang, padahal disaat ia ibadah tidak diumumkan dan disebutkan, tidak ada yang melihat hanya satu atau dua orang saja, tetapi pada akhirnya banyak orang yang mengetahui amal ibadah yang dikerjakannya, hal ini dikarenakan Alloh yang membuka dan memperlihatkannya kepada masyarakat luas.
Sampai saatnya zaman/ masa/ waktu berputar terus, cepat atau lambat akan menunjukkan kepada kita, pada saat dulu kita tidak mengetahui siapa dia? Apakah orang baik atau tidak baik?
“Akan membawa berita kepada kamu tentang orang tadi, orang yang membawa berita yang tidak pernah kamu biayai untuk mencari tahu tentang siapa dia?”

Sohabat bertanya: “Ya Rasululloh, bagaimana cara mereka menambah-nambahi itu?” Rasululloh menjawab: “Setiap mu’min senang dan suka yang tambah dari pada amalnya.
Memuji orang yang baik dengan sesungguhnya, tidak ada tujuan dan motivasi lain, hal itu bagus dan dianjurkan. Memuji orang yang memang ada haqnya untuk dipuji, hal itu bagus, bukan karena kita menginginkan sesuatu dari orang yang dipuji.

Kemudian Rasululloh bertanya lagi kepada Sohabat: “Apakah kalian tahu siapa orang yang faajir (yang durhaka kepada Alloh)?” Para sohabat menjawab: “Alloh dan RasulNYA yang lebih mengetahui.” Rasululloh berkata lagi: “Orang yang faajir adalah orang yang tidak meninggal dunia sehingga Alloh penuhi ia punya pendengarannya dengan sesuatu yang Alloh tidak sukai.”
Suara-suara musik (dangdut, rock dan macam-macam music lainnya) yang masuk kedalam telinganya, dari melek mata hingga ia tidurnya (sepanjang hari). Mendengar ghibah, namimah, dan segala macam hasutan dan lain-lain yang tidak baik.

Kemudian Nabi bersabda lagi: “Andaikata ada seorang hamba (laki-laki atau perempuan), yang berbuat maksiat kepada Alloh di dalam suatu rumah, dan rumah tadi dilapis oleh 70 rumah, dan dalam setiap rumah tadi ada pintu yang terbuat dari besi, yang tidak memungikinkan orang lain mengetahui apa yang ia lakukan di dalam rumah. Niscaya Alloh akan pakaikan kepadanya Rida’ (selendang/ pakaian) dari amal kejelekannya.”

Alloh bentuk dari amalnya menjadi rida’ untuk Alloh perlihatkan kepada umat bermacam amal keburukan yang dikerjakannya. Mungkin untuk amal yang baik rida’-nya berwarna putih, sedangkan amal yang jelek rida’-nya berwarna hitam. Makanya jika akan berpergian di sunnahkan jangan jalan sendiri, apalagi untuk pergi dengan jarak yang cukup jauh. Hendaknya mengajak orang untuk mendampingi kita yang akan memimpin dan memberi peringatan kepada kita apabila kita berbuat salah. Jadi bagaimanapun kejelekan/ keburukan dari perbuatan yang kita lakukan secara sembunyi-sembunyi, pada saatnya akan diketahui orang, karena Alloh memakaikan rida’ dari amal keburukan kita tersebut.

Dalam suatu hadits Riwayat dari Imam Ahmad dari Abu Zaid Al Qudry RA., Rasululloh bersabda: “Andaikata ada salah seorang diantara kamu melakukan amal perbuatan (baik atau tidak baik) di suatu batu yang besar, kemudian dalam batu tersebut tidak ada pintu ataupun jendela. Pasti Alloh tampakkan dan keluarkan ia punya amal baik atau tidak baiknya kepada manusia apapun keadaannya.”

Terkadang ada orang yang bangga menceritakan/ mengumbar aib/ dosa yang dilakukannya sendiri. Hingga secara tidak ia sadari, ia telah membuka aib/ dosanya sendiri. Orang yang faajir selalu ingin terus menambah amal perbutan buruknya, sebagai contoh: kemarin dia merasakan satu gelas bir, besok dia ingin mendapatkan lebih dari itu dst. 

Riwayat dari Auuf bin Abdillah mengatakan: “Orang yang baik adalah yang memesan/ mengingatkan sebagian kepada sebagian yang lain.”
Mengingatkan melalui tulisannya, melalui lidahnya sebagian kepada sebagian yang lainnya. Mengingatkan kepada yang lainya, apabila mereka sudah mulai tergoda dengan dunia, sehingga melalaikan kewajibannya kepada Alloh.

“Siapa orang yang beramal untuk akhirat, maka Alloh cukupkan urusan keduniaannya.”  Urusan dunia bukan menjadi urusan kita, tetapi menjadi urusan Alloh. Banyak orang tua yang khawatir akan nasib anaknya bila sampai dimasukkan ke Pondok Pesantren Salaf. Karena di Pondok Pesantren Salaf tidak diajarkan pelajaran keduniaan. Mereka khawatir dengan masa depan anaknya, bagaimana nanti bila mereka ingin bekerja? Mereka tidak punya ijazah. Hendaknya jalani hidup ini dengan tujuan untuk beribadah kepada Alloh, dan Alloh yang akan menjamin ridzky dan kehidupan dunia kita.
Dalam suatu riwayat Nabi Alloh Musa AS. diperintahkan Alloh untuk berperang melawan Fir’aun. Nabi Alloh Musa AS juga manusia yang mempunyai rasa takut, timbul rasa takut dalam dirinya karena melihat prilaku Fir’aun yang begitu ganas dan kejam kepada musuh-musuhnya. Hingga timbul lintasan dalam hatinya, mempertanyakan bagaimana nasib anak dan istriku bila sampai ia binasa di tangan Fir’aun? Alloh Maha Mengetahui lintasan hati seorang hamba, maka Alloh mengutus Malaikat Jibril kepada Nabi Musa. “Hai Jibril di depan rumah Nabi Musa ada batu yang besar, perintahkan kepadanya untuk memukul batu itu dengan tongkatnya.”  Karena yang memerintah Alloh, maka Nabi Musa melaksanakan perintah Alloh tersebut, sekali dipukul dengan tongkatnya tidak ada perubahan pada batu itu, dua kali dipukul batu sudah mulai retak dan pada pukulan yang ketiga batu tersebut hacur. Setelah hancur dalam batu yang tidak ada lobang/ celahnya, sehingga tidak ada satupun jalan untuk dapat masuk makanan ke dalam batu tersebut. Ternyata di dalam batu tersebut terlihat ada seekor cacing yang bergeliat dalam keadaan sehat dan segar-bugar. Dari situlah Nabi Alloh Musa AS. mendapatkan pelajaran, di dalam batu yang begitu rapat dan tidak berlobang itu, Alloh masih jamin makan dari cacing, apalagi dengan manusia yang hidup di alam terbuka, pasti Alloh lebih jamin lagi ridzkinya. Jadi tidak usah khawatir dengan kehidupan dunia, jalankan ibadah dengan sebaik-baiknya, urusan ridzki Alloh yang jamin.

“Siapa orang yang memperbaiki hubungan dengan Alloh (dunianya dimanfaatkan untuk ibadah kepada Alloh), maka Alloh perbaiki lagi hubungannya dengan manusia lainnya. Siapa orang yang memperbaiki hatinya, maka Alloh akan memperbaiki zohirnya.”

Seorang ulama yang bernama Hamid Al Lafaaf  berkata: Apabila Alloh berkeinginan untuk membinasakan seseorang, maka Alloh akan siksa dia dengan 3 perkara:
1.  Alloh berikan kepada dia ilmu, tetapi Alloh cegah dia dari pada perilaku/ Ahlaq Ulama.
Ilmunya ada, berkah ia duduk di majlis-majlis ilmu dan mempelajari dari kiab-kitab ulama, tetapi Alloh cegah dia daripada mengamalkan ahlaq dari ulama. Sikap, prilaku dan tindakannya jauh sekali dari tuntunan, prilaku dan ahlaq ulama.
Sangat bagus bila kita dapat dekat dengan ulama, apalagi ulama-ulama yang sholeh, yaitu ulama akhirat yang istiqomah, bukan ulama-ulama dunia. Ulama sholeh yang patut kita dekati dan kita bantu perjuangannya.

2.  Alloh anugrahkan dia dapat dekat/ berdampingan dengan Orang sholeh/ Ulama, tetapi Alloh cegah dia dari pada menjalankan/ melaksanakan haq-haq dari Ulama Sholeh.
Hanya sekedar dekat dengan Ulama Sholeh, tetapi tidak dapat mengamalkan/ menjalankan kewajiban-kewajiban dia terhadap Ulama-Ulama Sholeh. Alloh cegah dia daripada mengetahui haq-haq ulama, apa yang menjadi kewajiabannya dan yang seharusnya dia lakukan terhadap ulama-ulama sholihin.
Ada seorang Ulama terkemuka yang disegani oleh masyarakat dan oleh penguasa setempat, Al Imam Fachruddin Al Aqsabandhi. Dia mengungkapkan rahasia kepada jama’ah dan murid-muridnya, bagaimana dia mendapatkan maqom/ kedudukan/ kemulyaan yang begitu tinggi. Keberkahan, Maqom kemulyaan yang begitu tinggi dari Alloh, berkah dari aku berkhitmad kepada aku punya guru, yang bernama Abu Zeid Ad’dabusy. Aku berkhitmad kepada guruku tidak kurang dari 30 tahun, aku memasak makanan untuknya, tetapi selama itu pula aku belum pernah mecicipi masakan yang aku masak untuk guruku selama 30 tahun. Karena khitmadnya dia kepada gurunya, maka bukan hanya ilmu si-guru yang ia dapat, tetapi juga keberkahan dari gurupun ia dapat, sehingga ia menjadi mulya disegani dan dihormati oleh masyarakat dan para penguasa.

Imam Ghozali, yang kitabnya “Ihya Ulumuddin,” banyak dipakai tidak hanya di Timur Tengah, bahkan sampai ke Eropa. Imam Ghozali yang begitu tinggi maqom dan luas ilmunya, masih menyadari bahwa: atas orang yang berilmu masih ada orang yang lebih tinggi ilmu (alim) lagi. Dia tawadhu, dia ingin meningkatkan kesholehannya, keberkahan ilmunya. Dia mencari dan mendapati bahwa disana ada seorang ulama besar yang tinggi ilmunya, maka ia datangi itu guru. Dia berkata kepada guru tersebut: “Ya Syech, kedatanganku kesini tidak lain ingin berkhitmad kepadamu.” Ulama tersebut berkata: “Tidak ada peluang lagi untuk kau dapat berkhitmad kepadaku. Karena semua kebutuhanku sudah dilakukan/ dikejakan oleh murid-murid dan jama’ahku, sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi kamu untuk berkhitmad kepadaku.” Imam Ghozali menyadari betul, bahwa ini bukan sembarang ulama, maka dia sangat menginginkan untuk dapat mengambil keberkahan dari guru yang sholeh ini. Sehingga Imam Ghozali kembali mendesak ulama tersebut: “Coba tuan guru cari apa saja kerjaan yang dapat aku lakukan?” Seorang Ulama yang Sholeh, yang tahu tuntunan Alloh dan Rasulnya, dimana tidak dibolehkan memutuskan hajat orang. “Siapa orang yang memutuskan hajad seseorang di dunia, maka Alloh akan putuskan hajadnya di akhirat.” Maka akhirnya Ulama Sholeh tadi berkata: “Baiklah jika kamu ingin tetap berkhitmad kepadaku, ini adalah batu bekas istinjaku (alat untuk istinja ada 2 macam, yaitu: batu dan air, air lebih afdhol dari pada batu, tetapi bila ada keduanya, maka lebih afdhol lagi). Selama ini belum ada yang membersihkan batu sisa istinjaku, dapat dibayangkan batu bekas istinja, tentunya ada sisa kotoran manusia yang melekat  di batu itu. Karena ada kesempatan baginya untuk dapat berkhitmad, maka dengan senang hati dan tulus ikhlas Imam Ghozali menerima, tugas yang diserahkan oleh Ulama sholeh tersebut kepadanya. Maka setiap hari Imam Ghozali membersihan batu sisa istinja dari Ulama Sholeh tersebut, dan ia juga mencari batu yang baru sebagai alat untuk istinja dari tuan guru. Tidak hanya sebulan atau dua bulan, Imam Ghozali berkhitmad kepada tuan guru. Setelah dirasa cukup (setelah sang guru mendapatkan petunjuk dari Alloh SWT.), maka tuan guru memerintahkan kepada Imam Ghozali untuk menghentikan khitmad yang dilakukannya, agar dapat memberikan kesempatan kepada yang lain untuk dapat berkhitmad dan mencari barokah kepadanya juga. Kemudian Imam Al Ghozali kembali ke kampungnya, disitu nyata bahwa semakin meningkat kemulyaannya dan keharuman namanya.

Mencium tangan orang sholeh itu adalah suatu sunnah, untuk itu patut kita ajarkan kepada anak-anak kita bagaimana cara bersikap yang baik kepada Ulama Sholeh, orang Sholeh ataupun kepada orang yang lebih tua. Dituntut dan di sunnahkan bagi kita bila mana kita bertemu dengan seorang alim, sholeh, wali, orang tua kita hendaknya kita cium tangan mereka, dan juga disunnahkan mencim kubur-kubur ulama sholihin. Bila dalam pemahaman orang Wahabi, mencium tangan seseorang tidak boleh, karena dianggap mengkultuskan/ mengagungkan seseorang. Hal ini sudah merupakan tuntuan dari Rasul, bahkan kaki dari orang Sholehpun disunnahkan untuk dicium, hal ini tidak berlebihan. Apabila tidak memungkinkan untuk mencium tangan atau kakinya, bahkan disunnahkan untuk mencium bajunya.
Sebagian ulama mengambil Istinbad dari Hukum Hadits, yaitu dasar hukumnya dari mencium batu Hajarul Aswad, Mushaf Al Qur’an, kubur Nabi, kubur orang-orang mulya, dan kubur orang-orang sholeh.

Suatu saat Tsabit berkata kepada Annas: “Hai Annas, apakah kau pernah menyentuh tangan nabi dengan tanganmu?” Annas menjawab: “Ya, aku pernah bersentuhan tanganku dengan tangan Baginda Nabi Muhammad SAW.” Maka kemudian Tsabit mencium tangan Annas, karena tangan Annas pernah bersentuhan dengan tangan Nabi. (HR. Imam Bukhari)
Tsuaib berkata: “Bahwa aku pernah melihat Syaidina Ali KW. mencium tangan dan kaki dari Syaidina Abbas RA.”

Zeid bin Tsabit RA. (dalam kitab yang lain: Hassan bin Tsabit RA.), adalah penyair dari Rasululloh: Ia pernah menyaksikan Rasululloh pernah datang di suatu majlis, ternyata ada sebagian orang yang tidak mau bangun/ berdiri saat Rasululloh masuk ke dalam ruangan. Melihat hal tersebut, ia selaku penyair Nabi berkata: “Berdiriku bagi orang yang aku mulyakan adalah suatu kewajiban, manakala orang meninggalkan suatu kewajiban, maka ia termasuk orang tidak bagus akalnya. Aku merasa aneh melihat orang yang akalnya sehat (waras), melihat orang yang mulya dia tidak mau bangun/ berdiri.”

Syaa’bi karena mengetahui bahwa Hassan bin Tsabit/ Zeid bin Tsabit adalah seorang ulama dan penyair dari Rasululloh, maka ia ingin berkitmad kepadanya dengan jalan menyiapkan keledai/ kuda  yang akan dipakai oleh Hassan/ Zeid bin Tsabit. Pada saat itu datang pula Syaidina Abbas RA., kemudian Syaidina Abbas RA. mengambil alih memegang tali kekang dari keledai/ kuda Hassan/Zeid bin Tsabit. Hasan/Zeid bin Tsabit berkata kepada Syaidina Abbas RA.: “Hai anak paman Rasululloh, lepaskan tali kekang itu, tidak layak dan tidak pantas engkau melayani / berkitmad kepadaku.”  Syaidina Abbas berkata: “Beginilah kami diperintahkan untuk berprilaku terhadap ulama-ulama dan orang mulya.”  Zeid/ Hasan bin Tsabit, mengetahui bahwa Syaidina Abbas bukanlah orang sembarangan, maka ia mengambil tangan dari Syaidina Abbas dan mencimnya, seraya berkata: “Beginilah kami diperintahkan untuk berprilaku terhadap dzur’riyaah (keluarga) Rasululloh. Jadi mereka sama-sama tahu haq dan kewajibannya masing-masing.

KH. Ahmad Junaidi (guru dari guru kita: Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf), adalah seorang yang begitu luas ilmunya, beliau menjadi tempat rujukan/ bertanya tentang permasalahan-permasalahan Fiqih dari Kyai-Kyai yang lebih senior darinya, seperti:  KH. Sibro Malisi, Kyai Abdurrazak Ma’mun dll. Menurut kesaksian dari KH. Sibro Malisi yang pernah sama-sama belajar dengan guru yang sama dengan KH. Ahmad Junaidi, mengatakan bahwa KH. Ahmad Junaidi tidak pernah mempunyai kesempatan untuk belajar, kesibukannya setiap hari adalah membawakan obor untuk penerangan sang guru saat berangkat mengajar dan membersiapkan kitab-kitab yang akan dipakai sang guru dan membawakannya sampai ke tempat guru mengajar (Darul Ulum). Dan setelah sampai ditempat mengajar, dia tidak ikut belajar, tetapi menuju ke pasar untuk belanja bahan makanan dan sayuran yang ia masak untuk sang guru. Segala kebutuhan dari sang guru dia yang menanganinya dan itulah yang dilakukan KH. Ahmad Junaidi setiap hari, berkitmad kepada sang guru, tetapi setelah ia sampai kembali ke Indonesia, ternyata ilmunya lebih tinggi dari murid-murid yang lainya, itulah keberkahan dari sang guru. Sayidil Walid Al Habib Abdurrahman Assegaf (walid dari Al Ustdz Al Habib Umar Assegaf), pernah berkata kepada seseorang: “Apabila KH. Ahmad Junaidi adalah seorang habaib, maka ketutup semua habaib, karena keluasan dari ilmunya Kyai Ahmad.” Itulah keberkahan karena berkhitmad kepada guru.

Syech Ali bin Abdillah Baaroos, adalah seorang anak dari gunung yang diserahkan oleh orang tuanya untuk belajar/ menuntut ilmu kepada Al Habib Umar Al Attas (Sohibul Rotib) untuk didik menjadi seorang guru, karena masyarakat Badui sangat membutuhkan ulama. Setelah sekitar 10 tahun lebih, si-bapak kembali lagi ke tempat Al Habib Umar Al Attas untuk mengambil anaknya, karena masyarakat sudah sangat mengharapkan untuk segera mendapatkan tuntunan dan bimbingan dari Syech Ali Baaroos. Al Habib Umar Al Attas sangat bingung, karena selama ini Syech Ali Baaroos belum pernah diajarkan ilmu sedikitpun, karena selama ini kerjaannya hanya membersihkan kandang onta, memberi makan onta dan menyiram tanaman qurma. Akhirnya Al Habib Umar Al Attas, menyuruh Syech Ali Baaroos untuk membaca mukadimah kitab, tetapi karena memang belum pernah belajar, sehingga Syech Ali Baaroos tidak dapat membacanya. Akhirnya Al Habib Umar Al Attas memegang dada dari Syech Ali Baaroos dan mendoakannya menjadi orang alim, berkah doa dari Al Habib Umar Al Attas, maka jadilah Syech Ali Baaroos menjadi orang alim di kampungnya.

Ja’far Shodiq saat berjumpa dengan Sufyan Atssauri (seorang ulama yang sudah tua), ia mencium tangan dari Sufyan Atssauri untuk mengambil barokah. Sufyan Atssauri yang mengetahui bahwa Ja’far Shodiq adalah merupakan dzur’riyaah Rasululloh, maka ia merasa risih dan ia meminta kepada Ja’far Shodiq agar memberikan kesempatan kepadanya untuk dapat mencium tangan dari Ja’far Shodiq, padahal Ja’far Shodiq usianya jauh lebih muda darinya. Tetapi Ja’far Shodiq tidak memberikan kesempatan kepada Sufyan Atssauri untuk mencium tangannya, maka disaat Ja’far Shodiq lengah, Sufyan Atssauri mencium tongkat dari Ja’far Shodiq.

Apabila kita berkawan/ bersahabat dengan orang-orang sholeh, maka hendaknya kita mengetahui haq-haq dari orang-orang sholeh.
Dalam suatu Hadits Nabi menyatakan: “Siapa orang yang mengajarkan satu ayat dari kitab Alloh, maka dia itu adalah tuan kamu, dan kamu adalah budaqnya.”  Syaidina Ali pernah berkata: “Aku adalah hamba sahaya (budaq) bagi orang yang mengajarkan kepadaku satu huruf saja, dia dapat menjual aku atau ia dapat menjadikan aku budaq di rumahnya atau dia dapat membebaskan aku.”

Bagi orang yang sudah mendapatkan ilmu dari seorang guru (Ulama Sholeh), jangan suka menghinakan guru tadi, dan jangan mengalahkan kepentingan si-guru dari kepentingan pribadi dia, artinya dahulukan kepentingan guru dari pada kepentingan kita pribadi, itu tuntunan dari Nabi.
Manakala ada orang yang menghinakan gurunya atau dia mengutamakan kepentiang dirinya dan mengalahkan kepentingan gurunya, maka dia sudah memutuskan tali ke-Islamannya.

Nabi bersabda: “Alloh akan menolak bala yang Alloh akan turunkan dengan sebab adanya seorang muslim yang sholeh, sebanyak 100.000 tetangga.”
Dengan sebab adanya orang sholeh di satu kampung, maka 100.000 tetangga disekitarnya (depan-belakang dan samping dari rumah si-sholeh) akan tertolak bala yang akan Alloh turunkan. Kita enak tidur nyenyak, shubuh terkadang kesiangan, si-sholeh bangun malam untuk sholat tahadjut, dzikir, tasbeh, berdoa dan bermacam-macam ibadah kepada Alloh, berkah dari ibadah si-sholeh, maka tertolaklah bala yang seharusnya Alloh turunkan pada itu kampung.

Dalam Hadits yang lain, Rasululloh bersabda: “Tidak termasuk golongan kami, bagi orang yang tidak mengetahui haq-haq dari orang alim.” Ajarkan kepada anak-anak kita adab-adab atau cara-cara berhadapan dengan orang sholeh, bagaimana cara mencium tangannya, cara duduknya, memakai peci bila berhadapan dengan orang sholeh.

Imam Nawawi berkata: “Kita mencium tangan seseorang karena ke Zuhud-annya, karena ke Sholeh-annya, karean ke Ilmu-annya, karena Kemulya-annya (misalnya tidak ada ilmunya, tetapi ia merupakan dzur’riyaah Rasul), terbilang hal-hal yang bersifat keagamaan.”  Hal ini merupakan tuntunan agama, bukan mengkultuskan, tidak makruh ataupun haram bila dilakukan. Bahkan kita disunnahkan untuk mencium tangan mereka.

Apabila kita mencium tangan seseorang karena kekayaannya, karena kekuasaannya (pejabat), karena pangkat/ kedudukannya (yang bersifat keduniawian), maka makruh hukumnya. Bahkan Nabi pernah bersabda: “Barang siapa yang merendahkan diri kepada orang kaya, maka hilang dua pertiga agamanya.”
Bila dia kaya tapi sholeh, maka silahkan mencium tangannya, jadi yang menjadi pertimbangan kita mencium tangannya bukan karena kekayaannya, tetapi karena kesholehannya.

3.  Alloh bukakan atas orang ini kesempatan untuk berbuat toat kepada orang Sholeh, tetapi Alloh cegah dia Ikhlas dalam beramal. 
Amal ibadah yang dilakukannya begitu banyak, tetapi tidak ikhlas dan ridho karena Alloh semata.

Berkata pengarang kitab ( Al Faqih Assamarqondhi), semua ini dapat terjadi karena buruknya ia punya niat dan buruknya ia punya hati. Sebelum berbuat sesuatu pasang niat yang baik. Bila niatnya benar dekat dengan ulama sholihin, maka pasti Alloh berikan manfaat ilmu dan ikhlas dalam beramal.

Berkata pengarang kitab ( Al Faqih Assamarqondhi), berkata kepadaku perawi-perawi yang dapat dipercaya/ amanah dan bersambungan sanadnya dari Jabal Ayahsuby, ia berkata: “Kala itu kami dalam peperangan bersama Abdul Malik bin Marwaan, pada akhirnya bertemu kepada kami seorang laki-laki yang banyak bergadang untuk beribadah di malam hari (orang sholeh), tidurnya sedikit sekali, waktunya digunakan untuk ibadah kepada Alloh. Kami tinggal (menetap) bersama-sama dengan dia untuk beberapa lama, tetapi kami tidak mengenal siapa dia sesungguhnya. Dikemudian hari (setelah beberapa lama), akhirnya kami tahu siapa dia, dia adalah salah seorang dari Sohabat Nabi. Dan diantara sesuatu yang diceritakan kepada kami, ada seorang muslimin yang berkata kepada Rasululloh: “Ya Rasululloh, apa itu jalan keselamatan bagi kami di hari esok (masa yang akan datang)? Rasululloh berkata: “Jika kau akan selamat dari alam qubur dan padang masyar, maka jangan kau khianati/ menipu Alloh. “Bagaimana mungkin kami dapat menipu Alloh?” Rasululloh menjawab: “Orang dapat menipu Alloh dengan jalan ia beramal dengan apa yang Alloh perintahkan kepada kamu, tetapi dia kerjakan bukan karena Alloh.”  Tidak dikehendaki darinya Ridho Alloh (tidak Ikhlas). Semua yang Alloh perintahkan dijalankan, tetapi ibadah yang dikerjakannya itu tidak Ikhlas karena Alloh, melainkan mengharapkan pujian dari orang. Kemudian Nabi berkata: “Jauhi oleh kamu riyaa’ karena riyaa’ itu syirik (mensekutukan Alloh) kepada Alloh. Orang yang riyaa’ (yang tidak Ikhlas dalam beribadah) kelak akan dipanggil di hari qiamat di hadapan makhluk yang banyak (dari sejak Nabi Adam AS. hingga manusia akhir zaman), dengan 4 nama, yaitu: “Ya..Kaafir, Ya...Faajir (jahat/fasiq/banyak maksiat), Ya…Ghoodir (penipu), Ya…Khoosir (orang yang rugi). Sesat kau punya amal, lenyap kau punya pahala, batal kau punya amal, hari ini di hari pembalasan tidak ada bagian kamu atas ibadah kamu. Silakan cari kau punya pahala (upah/ bayaran) dari orang yang kamu berbuat (beramal) untuknya.” Kemudian aku berbicara dengan dia: “Demi Alloh, yang tidak ada Tuhan melainkan Alloh semata, apakah kamu mendengar masalah ini langsung dari Rasululloh?” Lelaki tersebut menjawab: “Demi Alloh, aku mendengar langsung riwayat ini dari Rasul, kecuali ada kesalahan (kelebihan atau kekurangan) yang tidak aku sengaja.” Kemudian dia membaca ayat Al Qur’an: “Sesunggunya orang munafiqin menipu Alloh, dan Alloh akan balas tipu daya mereka nanti.”

Berkata Al Faqih RahimaAllohuta’aala: “Siapa orang yang menginginkan mendapatkan pahala amal ibadahnya di negeri akhirat, dituntut baginya agar melakukan amal sholehnya semata-mata tulus karena Alloh (tidak ada motivasi/ tujuan lain), kemudian ia lupakan (jangan diingat-ingat) amal ibadah yang telah ia kerjakan sebanyak apapun dan dari segala jenis amal ibadah.”   Seperti ia membantu pembangunan pondok pesantren, pembangunan masjid, menyantuni anak yatim, qiyamul lail, dhuha dan segala macam amal ibadah lainnya, seolah-olah tidak pernah terjadi sama sekali amal sholeh dari dirinya, agar tidak kemasukan unsur ‘Ujub & Riyaa’, yang akan merubah niatnya yang semula ia beribadah semata-mata karena Alloh, akan berubah menjadi ingin menampakkan/ membanggakan/ memperlihatkan ia punya amal kepada orang lain.

Ada seorang ulama berkata: “Menjaga amal ibadah yang telah kita kerjakan yang tulus karena Alloh agar tidak kemasukan ‘ujub, riyaa’, sum’ah dan lainnya, lebih sulit dan berat dari pada mengerjakan amal ibadah itu sendiri.”  Kita harus terus menjaga amal ibadah yang telah kita kerjakan sampai akhir hayat kita, agar jangan sampai kemasukan ‘ujub, riyaa’, sum’ah dan lainnya. Maka kita perlu membaca Istiqfar Nabi Alloh Khaidir AS. (yang biasa dibaca pada Shalat Sunnah Taubat), karena berapa banyak amal ibadah yang pada awalnya kita kerjakan tulus karena Alloh, pada akhirnya dibelokkan oleh setan sehingga kita beramal karena sesuatu. Berkah kita melazimkan membaca Istiqfar Nabi Alloh Khaidir, Inn Shaa Alloh amal ibadah kita selamat dari perubahan niat, sehingga amal ibadah kita selamat hingga akhir hayat kita dari riyaa’, ‘ujub, sum’ah dan lainnya.

Tuntunan dari Ulama-Ulama Sholeh kepada kita, apabila kita diajak orang untuk makan, maka jangan katakan: “Saya sedang berpuasa”, meskipun kita sesungguhnya sedang berpuasa. Hendaknya kau katakan: “Saat ini saya sedang tidak berselera untuk makan, karena kesehatan saya sedang terganggu.”  Apabila kita katakan: “Saya sedang berpuasa”, maka dikhawatirkan akan timbul riyaa’/ ‘ujub, ingin memperlihatkan/ menunjukkan bahwa kita orang yang banyak berpuasa. Misalkan kita sedang Shalat Dhuha, kemudian ada tamu yang datang ke rumah kita, maka hendaknya jangan katakan kepadanya bahwa kita sedang Shalat Dhuha, sembunyikan amal ibadah yang kita kerjakan, bilang kepadanya bahwa kita sedang istirahat atau lainnya, sehingga amal ibadah yang kita kerjakan selamat dari unsur riyaa’, ‘ujub dan lainnya.

Berkata seorang syufi, Abubakar Al Waasithy: “Menjaga amal ibadah sholeh yang kita lakukan, lebih sulit dan dahsyat dari pada melakukan/ mengerjakannya.”   Setan selalu berusaha keras untuk mendorong dan menggoda kita, agar kita menyimpangkan/ melencengkan niat kita dari yang semula hanya semata karena Alloh SWT. dapat berubah menjadi riyaa’, ‘ujub dan lainnya.

Mengapa menjaga amal sholeh lebih berat dari pada mengerjakannya?  Karena perumpamaan amal sholeh itu sama seperti kaca, kaca itu mudah pecah. Kaca apabila sudah pecah, maka tidak dapat ditambal/ disambung lagi.
Sehingga ada ungkapan: “Sesungguhnya hati-hati manusia bila sudah berubah menjadi ‘renggang’ (berjarak/ terpisah) antara hati dengan hati lainnya, hati itu seperti kaca pula, bila sudah pecah maka tidak dapat ditambal/ disambung lagi. Diantara dua sahabat, bila ada perselisihan karena beda pendapat ataupun salah pengertian, maka hati keduanya akan menjadi renggang, bila sudah renggang, maka tidak akan mungkin kembali seperti semula lagi. Mungkin tidak marah ataupun putus persahabatannya antara keduanya, tetapi tidak ada ‘ruh kecintaan’ di hati mereka lagi.

Begitulah amal ibadah sholeh kita, bila sudah pecah karena terkena/ terganggu oleh riyaa’ dan ‘ujub, maka akan batal pahala amal sholeh kita. Amal ibadah yang telah kita kerjakan tidak ada nilainya di sisi Alloh, seperti debu/ bulu yang beterbangan di udara.

Membanggakan amal ibadah yang kita kerjakan kepada orang lain, maka amal ibadah yang kita kerjakan tadi sudah kemasukan unsur riyaa’ dan ‘ujub. Hendaknya kita sembunyikan amal sholeh yang kita kerjakan dari pandangan orang lain, seperti kita menyembunyikan kejelekan-kejelekan kita. Sekuat tenaga kita berupaya menyembunyikan kejelekan-kejelekan kita, maka sekuat itu pula kita berupaya menyembunyikan amal sholeh yang kita kerjakan.

Manakala ada seorang laki-laki atau perempuan ingin melakukan amal sholeh, tetapi ia takut kemasukan riyaa’ dalam amalnya, karena bila amal sudah kemasukan riyaa’ maka amal tersebut tidak ada nilainya dan bahkan akan terkena adzab Alloh. Bila ia mampu, maka berusahalah dengan bersungguh-sungguh untuk mengeluarkan riyaa’ dari hatinya, pasang niat yang betul dan singkirkan sifat riyaa’ dari hatinya. Jangan mundur karena takut riyaa’, sehingga menghalanginya untuk berbuat amal. Karena meskipun ada riyaa’ dalam amalnya itu, masih ada manfaatnya bagi ummat, seperti dia bangun pesantren, madrasah, masjid, mushola, majlis ta’lim, menyantuni anak yatim dsb. Meskipun ia tahu dalam bantuannya tersebut ada unsur riyaa’ juga, tetapi ia tetap membantu tempat-tempat ibadah tersebut, maka dia masih akan mendapatkan berkah dan doa dari orang-orang yang beribadah di tempat yang ia bangun/ ia bantu tersebut.

Jika dia tidak bisa menyingkirkan riyaa’ dari hatinya, hendaknya dia tetap untuk mengerjakan amal sholeh (membantu pembanguan dll.) tersebut, kemudian mohon ampun (istighfar) kepada Alloh dari amalan-amalan yang dia kerjakan karena riyaa’. Mengapa dia harus mengerjakan juga amalnya, padahal sudah pasti ada riyaa’ disitu?  Semoga pada akhirnya Alloh akan memberikan kepadanya Taufiq untuk dapat bersikap Ikhlas dalam beramal. Misalkan saat ini dia beramal masih riyaa’, dan dia terus tertarik untuk membantu kembali pembagunan sarana-sarana keagamaan untuk umat, pada akhirnya berkah doa dari orang-orang yang dia bantu, sehingga Alloh akan berikan taufiq dan hidayah untuk menghilangkan sifat riyaa’ dari hatinya, sehingga pada akhirnya dia akan dapat beramal dengan ikhlas.

Seorang sufi besar berkata: “Manusia bisa jadi riyaa’ disaat hidupnya, dan dapat juga berbuat riyaa’ setelah ia mati. Bagaimana mungkin setelah mati masih dapat berbuat riyaa’ juga?  Jika dia berharap/ berkeinginan, disaat ia meninggal banyak orang yang mensholatinya, maka disitu ada riyaa’ juga.”  Lain halnya bila dia tidak berharap, akan tetapi ada keinginan dari pihak keluarganya setelah ia meninggal untuk mengundang orang sebanyak-banyaknya untuk dapat mensholati jenazah dari keluarganya tersebut, maka itu tidak termasuk kedalam riyaa’. Apalagi bila yang meninggal adalah orang sholeh/ alim, maka bila kita ikut mensholatinya, maka dosa orang sholeh tersebut Alloh ampuni, begitupula Alloh akan mengampuni dosa dari kita yang ikut mensholati orang sholeh tersebut.

Ada ungkapan dalam bahasa Arab: “Mungkin dunia ini akan rusak/ hancur/ sepi dengan matinya orang-orang yang riyaa’.”   Mengapa demikian? Karena orang riyaa’ terdorong/ termotivasi untuk melakukan amal-amal kebaikan. Dengan adanya orang-orang riyaa’ dunia menjadi ramai, tapi manakala orang-orang riyaa’ sudah tidak ada, maka dunia akan menjadi sepi. Dengan dibangunnya tempat-tempat yang sangat bermanfaat untuk umat, seperti: pondok pesantren, masjid, mushola, madrasah, jembatan-jembatan dll., maka kampung yang tadinya sepi berubah menjadi ramai, banyak orang yang beribadah disitu. Pada umumnya orang-orang kaya yang mempunyai sifat riyaa’, karena mereka mampu untuk memberikan sumbangan/ bantuan dalam jumlah  yang besar.

Sebagaimana diriwayatkan oleh sebagian leluhur-leluhur kita (orang-orang terdahulu): Pada waktu dahulu ada orang membangun rubat (pondok pesantren) dan ia bertanya dalam hatinya: “Aku tidak tahu, apakah amal yang aku kerjakan ini karena Alloh atau tidak?” Disaat ia tidur ada yang datang melalui mimpinya (entah itu malaikat ataupun ruh dari orang sholeh). Orang tersebut berkata dalam mimpinya: “Jika amal yang kau kerjakan tidak karena Alloh semata, ada unsur riyaa’, ‘ujub, sum’ah dan lainnya. Maka doa dari orang muslimin yang memanfaatkan ini tempat, akan didengar oleh Alloh SWT.”   Mendapatkan penjelasan dalam mimpinya tersebut, akhirnya ia merasa gembira.

Ada suatu Hikayat, datang seseorang kepada Al Imam Abdullah Al Haddad (Sohibul Rottib), ia meminta izin kepada Al Imam Abdullah Al Haddad untuk dapat membangun masjid.
Ini cara yang benar, sebelum membangun hendaknya meminta petunjuk/ pendapat kepada ulama setempat, jangan membangun masjid hanya karena mempunyai banyak uang dan menuruti hawa nafsunya, tanpa mempertimbangkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi sebelum membangun masjid. Banyak kejadian karena tidak mendapatkan izin dari ulama setempat, maka mereka meminta izin kepada ulama-ulama yang jauh dari tempat yang akan dibangun masjid. Ulama-ulama yang jauh tidak mengetahui situasi dan kondisi dari tempat yang akan dibangun tersebut, sehingga terkadang ada masjid yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat untuk dapat dipakai melaksanakan Shalat Jum’at.

Pernah ada seminar di PBNU, ada seorang tokoh NU yang bernama Sumar ZE., mengatakan bahwa ia pernah mendatangi perpustakaan di Belanda, dalam satu buku yang ia baca disitu ada ungkapan: “Siapapun juga (umat Nasrani, Yahudi dan lainnya) tidak akan mampu menghancurkan Umat Islam. Tetapi ada satu cara untuk menghancurkan Umat Islam adalah dengan membangun masjid sebanyak-banyaknya.”  Karena dengan semakin banyak masjid, maka tidak ada lagi persatuan/ ukhuwah/ silaturahmi antara kaum muslimin, mereka menjadi terpecah dan tidak saling berkumpul satu sama lain. Sehingga sering terjadi banyak perbedaan pendapat antara sesama Umat Islam itu sendiri.

Imam Abdullah Al Haddad mengatakan: “Jika niatmu untuk membangun masjid karena Alloh SWT. semata, maka silahkan kau bangun. Tetapi jika niatmu bukan karena Alloh SWT., maka jangan kau bangun masjid.” Orang tersebut menjawab: “Ya, niatku sholeh, tidak ada niatan lain untuk membangun masjid, melainkan karena Alloh semata.” Kemudian Imam Al Haddad berkata lagi: “Jika kau mengatakan bahwa niatmu untuk membangun masjid karena Lillahi Ta’ala, maka saat kau telah selesai membangun itu masjid, kamu telah lelah  mencurahkan segala pikiran dan uangmu untuk membangun itu masjid, tetapi nama kamu tidak dinisbahkan/ disebutkan sebagai orang yang membangun itu masjid, melainkan nama orang lain, apakah kamu dapat senang dan Ikhlas menerimanya?” Orang tersebut berfikir dan merenung, ia tidak senang dan ikhlas bila nama orang lain yang disebut bukan namanya. Maka Imam Abdullah Al Haddad berkata: “Maka jangan kau bangun itu masjid, karena niat kamu tidak sholeh.” Jadi dicegah membangun masjid oleh Al Imam bukan karena lokasinya yang tidak memenuhi syarat, tetapi karena niatnya.
Apapun yang akan kita kerjakan, seperti membangun masjid, mushola dll., hendaknya bertanya atau meminta pendapat dari ulama-ulama sholeh setempat.

Ada seorang laki-laki sedang berdoa disisi Hudzayfah bin Lamaan: “Ya Alloh binasakan orang-orang munafiqin.” Hudzayfah berkata kepada lelaki tersebut: “Andaikata Alloh ijabah kamu punya doa dan mereka binasa, maka kamu tidak akan mampu melawan musuh-musuh kamu (kufar, atheis dll.). Mereka berperang bersama-sama kamu untuk memerangi musuh-musuh kamu.”
Karena memang ada Hadits yang menyatakan: “Alloh akan perkuat ini agama dengan orang-orang yang tidak ada bagiannya di akhirat nanti.”
Mereka membantu pembangunan masjid dan lain-lain, padahal mereka orang munafiqin, nasrani dan agama lainnya.

Ada cerita tentang Alm. Laksamana Sudomo (ia pernah menjabat sebagai Pangkobkamtib di masa Presiden Soeharto), saat ia sedang olahraga pagi, ia melewati sebuah Mushola di daerah Talang, Manggarai. Ia prihatin melihat ada Mushola yang terlihat bangunannya jelek dan tidak terawat, sehingga ia memerintahkan pengurus itu Mushola untuk merubuhkan bangunan itu Mushola dan ia membagunnya menjadi 2 lantai. Bukan hanya itu, dia juga membelikan sound system dan karpet untuk Mushola tersebut. Karena jasanya tersebut, sehingga banyak orang yang merasa gembira dan mendoakannya, sehingga pada akhirnya Alloh bukakan pintu Taufiq Hidayah kepadanya, dan pada akhirnya ia kembali menjadi muslim, dan meninggal dalam keadaan Islam.

Seorang Sohabat Nabi yang bernama Salman Al Farisy berkata: “Sesungguhnya Alloh akan memperkuat orang-orang mu’minin dengan kekuatan orang-orang munafiqin. Allohpun akan menolong orang-orang munafiqin dengan doanya orang-orang mu’minin.”

Berkata Al Faqih Rahimahullahu ta’aala:  Manusia banyak berbicara tentang hal-hal yang sifatnya fardhu (kewajiban), maka berkata sebagian ulama: “Riyaa’ tidak dapat masuk dan tidak akan masuk kedalam kerjaan/ ibadah yang sifatnya fardhu, seperti shalat lima waktu, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya.” 
Ibadah kita yang wajib tidak akan dikotori oleh sifat-sifat riyaa’. Alasannya riyaa’ tidak masuk pada hal-hal yang fardhu, karena fardhu ini sifatnya wajib atas tiap-tiap makhluk/ individu.
Siapapun ada kewajiban atas dirinya untuk mengerjakan shalat yang lima waktu. Siapapun ada kewajiban bagi orang-orang kaya untuk mengeluarkan zakat. Siapapun ada kewajiban untuk menunaikan haji jika ia mampu.
Manakala ia menunaikan/ melaksanakan sesuatu yang menjadi kewajiban atas dirinya (semacam shalat yang lima waktu dll.), itu tidak akan masuk padanya riyaa’, karena masing-masing orang ada kewajiban mengerjakan shalat, sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk berbuat riyaa’ (menampakan/ mempertontonkan) shalat lima waktu yang dikerjakannya.

Sebagian Ulama yang lain berpendapat: Sekalipun ibadah wajib atas tiap-tiap individu, dapat juga kemasukan riyaa’.”  Shalat yang lima waktu dan kewajiban-kewajiban yang lain yang setiap orang ada kewajiban untuk mengerjakannya  dapat saja kemasukan sifat riyaa’, baik itu kerjaan yang sifatnya fardu maupun bukan fardhu.

Untuk ibadah/ kerjaan yang sunnah tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) diantara ulama, para ulama sama-sama sepakat/ berpendapat bahwa kerjaan/ ibadah yang sifatnya sunnah dapat kemasukan sifat riyaa, tetapi untuk kerjaan/ ibadah  yang sifatnya wajib, ada khilaf diantara mereka.

Berkata Al Faqih Rahimahullahu ta’aala: Menurut pendapatku ada 2 pandangan (jalan):
1.    Jika mereka mengerjakan kerjan-kerjaan yang fardhu di hadapan manusia, dan apabila tidak dihadapan manusia dia tidak mengerjakan kerjaan-kerjaan yang fardhu tersebut, maka dalam ibadahnya itu sudah kemasukan sifat riyaa’.
Manakala dihadapan manusia dia mengerjakan shalat dengan khusyu dan tuma’ninahnya yang melebihi dari yang biasa dia kerjakan, bahkan dia dapat menangis dalam shalatnya. Tetapi manakala tidak dihadapan manusia kerjaan yang wajib tersebut dia tinggalkan/ tidak dikerjakan.
Orang semacam ini disebut Munaafiqun Taamun (Mutlaq Kemunafiqkannya/  Sempurna Betul Kemunafiqkannya). Orang semacam ini yang terbilang Alloh firmankan kepadanya: “Sesungguhnya orang-orang munafiqin ditempatkan pada tempat yang paling bawah dari neraka jahanam, yaitu di neraka Haawiyah, bersama keluarga-keluarga Fir’aun.”
Andaikata orang ini keimanannya shohih (benar), murni, mantap, tidak ada keraguan sedikitpun juga, maka tidak akan mencegah dia dari pada mengerjakan yang fardhu. Dilihat atau tidak dilihat orang, sesuatu yang fardhu pasti dikerjakannya.

2.    Jika dia kerjakan juga amalan/ ibadah yang fardhu tadi, tetapi bila dihadapan manusia maka ibadah yang ia kerjakan tadi sangat sempurna,  lebih bagus dan lebih rapi lagi bila dibandingkan saat ia mengerjakannya tidak di hadapan manusia/ saat ia sendiri.
Seperti ia bersiwak terlebih dahulu, memakai pakaian yang rapi, dll. Tetapi bila tidak dihadapan manusia, misalkan dikerjakan di rumah atau di masjid tetapi tidak dihadapan manusia, maka ibadah fardhu yang dikerjakan secara asal saja, kurang sempurna, sekedar sah, tidak khusyu, kurang tuma’ninahnya, asalkan syarat dan rukunnya dijalankan dll. 

Ibadah fardhu yang dikerjakan yang syarat dan rukunnya dijalankan, meskipun tanpa ada khusyu dan ada riyaa’ dalam ibadahnya tetap ada pahalanya, tentunya nilai pahalanya jauh berbeda bila dibandingkan dengan ibadah yang disertai dengan khusyu dan ikhlas karena Alloh.

Orang yang beribadah dengan disertai sifat riyaa’, manakala di hadapan manusia dia menjalankan ibadah secara khusyu dan menjalankan adab-adabnya, tetapi bila tidak dihadapan manusia, maka dia hanya sekedar menjalankan ibadah untuk menggurkan kewajibannya saja, maka orang semacam ini telah melakuan Syirik Khofii, maka pada saatnya nanti di akhirat Alloh akan pertanyakan kepadanya mengapa ia mempersekutukan Alloh dengan mahkluknya?


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar