Pokok
Bahasan : TASAWUF
Judul : Ikhlas (Bagian-1)
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Ikhlas
yaitu berbuat tanpa pamrih. Orang yang Ikhlas berjuang tanpa pamrih dalam
mengerjakan amal sholeh apapun itu bentuk amal ibadahnya, maka orang tersebut
disebut Mukhlis.
Ikhlas
menurut ulama-ulama dibagi menjadi 3 tahapan/ tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan Ikhlas yang Pertama (Tingkatan Paling
Tinggi)
Dia beramal apapun amal sholehnya,
baik yang wajib maupun yang sunnah, semata-mata karena mengharapkan Ridho Alloh
SWT., bukan karena siapapun atau apapun juga, dia beramal bukan karena ingin
dilihat orang, karena mengharapkan dunia, mengaharapkan pujian dan lain-lain.
Dia beramal semata-mata menjalankan
perintah ataupun anjuran dari Alloh, tidak terlintas dalam hatinya dan bukan
karena ada motivasi dalam dirinya untuk mengharapkan pahala ataupun karena
takut dari siksa api neraka jahanam.
2. Tingkatan Ikhlas yang Kedua
Dia beramal Sholeh karena ada tujuan/
motivasinya untuk mengharapkan pahala dari Alloh. Dia berjuang di jalan Alloh
dengan mengeluarkan Infaq, Shodaqoh, membantu perjuangan Islam, Shalat, Qiyamul
Lail, dll. dengan harapan mendapatkan pahala dari Alloh untuk persiapan dirinya
menuju negeri akhirat. Disamping mengharapkan pahala, tujuan lainnya yaitu
takut mendapatkan siksa dari Alloh. Orang yang menjalankan perintah-perintah Alloh
karena mengharapkan ganjaran pahala dan selamat dari siksa Alloh, maka hal ini masih digolongkan
Ikhlas juga.
3. Tingkatan Ikhlas yang Ketiga (Tingkatan Paling
Rendah)
Dia beramal Sholeh dengan mengerjakan
bermacam-macam ibadah dengan tujuan untuk mendapatkan dunia, agar Alloh luaskan
ridzkinya sehingga terhindar dari kesulitan di dunia. Misalkan di Shalat Sunnah
Qiyamul Lail dengan tujuan untuk mendapatkan kemulyaan ditengah-tengah
masyarakat/ umat, dia shalat Dhuha dengan tujuan untuk mendapatkan dunia
sebanyak-banyaknya, dia mengamalkan surah Waqiah dengan tujuan untuk terhindar
dari kemiskinan/ kefaqiran, dia mengamalkan surah Yusuf dengan tujuan untuk
mendapatkan kecintaan dari wanita, dan bermacam-macam amal ibadah lainnya,
seperti membaca dzikir, Asma-asma Alloh dan lain-lain yang dibaca dengan
tujuan-tujuan tertentu. Memang setiap surah dalam Al Qur’an, dzikir-dzikir,
asma-asma Alloh, masing-masing memiliki khasiat dan faedah yang berbeda. Semua
amal ibadah yang dikerjakan karena Alloh disamping itu ada motivasi
mengharapkan dunia, masih disebut Ikhlas juga. Akan tetapi tingkatan Ikhlasnya
termasuk yang paling rendah.
Jika
ia beramal dengan tujuannya untuk Riya’ dan Sum’ah, agar di lihat dan di dengar
orang, sehingga mendapatkan pujian dan kehormatan dari orang, maka hal ini
haram dilakukan, karena ketiadaan Ikhlas dalam mengerjakan amalnya.
Pengarang
ini kitab berkata, dalam sebuah Hadist Rasululloh bersabda: “Yang paling aku khawatirkan pada umatku
adalah Syirik Asghor (kecil). Sohabat bertanya kepada Nabi, Ya Rasululloh apa
gerangan itu Syirik Asghor? Nabi berkata
Ar-Riya’ (Riya’)”
Riya’
adalah mempertontonkan/ memamerkan/ memperlihatkan kebaikannya, ibadahnya, amal
sholehnya kepada orang lain untuk mendapatkan hadiah berupa pujian dari orang,
mendapatkan popularitas, kemashuran nama, menjadi terkenal dll.
Alloh
kelak, akan berkata kepada orang-orang yang berbuat Riya’ di hari / waktu
pembalasan amal-amal ibadah mereka, Alloh berkata: “Kamu tidak usah menuju kepadaKU, silahkan kau pergi menuju kepada
orang-orang yang kamu berbuat Riya’ (pertontonkan/ perlihatkan amal-amal kamu
kepada mereka). Apakah kamu akan mendapatkan dari mereka kebaikan?”
Banyak
orang terjerembab/ terjerumus/ jatuh akibat dari kerikil-kerikil yang kecil.
Jarang orang yang jatuh karena batu-batu yang besar, tetapi banyak orang yang
jatuh karena akibat kerikil-kerikil yang kecil. Hal-hal yang terlihat sepele,
tetapi justru akan menyeret kita ke neraka jahanam.
Pengarang
kitab berkata: “Sesungguhnya dikatakan
kepada mereka itu perkataan: “Mengapa Alloh berkata seperti itu kepada mereka?
Karena amal-amal mereka di alam dunia atas cara tipu daya belaka. Nanti
merekapun akan diperlakukan di alam akhirat dengan cara tipu daya belaka juga.”
Sebagaimana Alloh
berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang munafiqin menipu
Alloh dan Alloh akan membalas amal-amal mereka dengan balasan tipu daya juga.
Maka batAlloh pahala amal-amal mereka dengan sebab mereka Riya’.”
Mereka
mengerjakan ibadah, tetapi mereka mempunyai tujuan-tujuan lain bukan kerena Alloh,
seperti untuk mendapatkan pujian, popularitas, kemashuran nama dll. Alloh akan membalas amal-amal mereka di alam
dunia dengan balasan tipu daya pula di akhirat nanti.
Alloh
berfirman juga kepada mereka, Alloh berkata kepada hamba-hambanya yang berbuat
amal sholeh tetapi tidak Ikhlas: “Silahkan
kau pergi menuju kepada orang-orang yang dulu di alam dunia kamu beramal karena
mereka, bukan karena AKU. Maka sesungguhnya amal yang kamu lakukan di alam
dunia bukan karena AKU, tidak ada ganjaran pahala bagi amal-amal kamu disisi
AKU.”
Bila
beramal Ikhlaskan karena Alloh, jangan bergantung kepada apapun juga.
Sesungguhnya
si-hamba berhaq/ layak/ patut mendapatkan pahala dari Alloh, manakala amalnya
tulus karena Alloh. Tiga tingkatan Ikhlas di atas masih terbilang Ikhlas,
karena ia beramal Ikhlas karena Alloh, hanya kwalitas keikhlasannya yang
berbeda-beda. Ganjaran pahala setiap hamba berbeda-beda, bergantung dari
tingkatan keikhlasannya masing-masing hamba. Ada yang ganjaran pahalanya 1
berbanding 10, ada yang 1 berbanding
70, dan ada yang 1 berbanding 700 dan
adapula yang ganjaran pahalanya tidak dibatasi karena bergantung dari tingkat
kwalitas keikhlasannya. Kita lebih tahu tentang diri kita sendiri, orang lain
tidak tahu tentang diri kita.
Manakala
amal sholeh/ amal ibadah apapun itu dilakukan bukan karena Alloh, ada sekutu
disitu, karena ingin dipuji orang dll., maka orang tersebut telah lepas dari
Pandangan dan Rahmat Alloh. Sehingga tidak ada keberkahan dalam hidupnya.
Keselamatan
adanya dalam Keikhlasan. Selamat Iman-Islam kita, selamat amal ibadah kita,
bila kita mengerjakan amal dengan Ikhlas. Manakala kita mengerjakan amal ibadah
Ikhlas karena Alloh, maka amal ibadah kita tersebut menjadi sempurna/ berhasil.
Tetapi manakala amal ibadah dikerjakan bukan karena Alloh, maka tidak akan
berhasil/ gagal.
Hadits Qudsy Riwayat
dari Abu Hurairoh RA.:
Alloh berfirman: “AKU adalah zat yang
paling tidak butuh kepada sekutu, siapa orang yang beramal satu amal ibadah dia
sekutukan kepadanya selain AKU, maka AKU lepas tangan dari orang tadi.” Makna dari Hadist Qudsy di atas adalah: Alloh
tidak butuh amal sholeh apapun juga itu amal yang mana pada amal tadi ada
persekutuan kepada selain Alloh.
Pada Hadits
Qudsy yang lain Alloh berfirman: “Siapa
orang beramal satu amalan bukan untuk mendapatkan RidhoKU (bukan karena AKU),
maka AKU yang pertama yang lepas tangan,
tidak lagi memandangnya dengan pandangan Rahmat.” Makna Hadits ini ditujukan untuk orang yang
beramal sholeh tetapi tujuannya bukan karena Alloh.
Pada
ini hadits ada petunjuk/ dalil bahwa Alloh tidak menerima amal ibadah sedikit
apapun juga, kecuali yang semata-mata karena Alloh SWT. Sedikit apapun bila
karena Alloh ada nilainya, tetapi sebesar apapun bila setengah hati dan bukan
karena Alloh maka tidak ada nilainya. Bila ibadah yang dilakukan (Shalat
Qiyamul Lail, Dzikir, baca Qur’an, dll. ) tetapi bukan Ikhlas karena Alloh,
maka tidak diterima ia punya amal dan tidak ada pahalanya di akhirat. Sudah
beribadah hingga letih, banyak mengeluarkan uang untuk beramal, tetapi tidak
ada pahala yang didapat, malah kelak masuk neraka jahanam. Bila ia melakukan
amal ibadah denga ikhlas, maka kekAlloh ia punya pahala.
Hendaknya
mengerjakan amal ibadah Ikhlas karena Alloh (perintah Alloh), bukan karena ada
niat yang lainnya, Insya Alloh nantinya ada nilai pahalanya. Seperti kita duduk
mengaji seperti ini, meskipun kita telah meninggal dunia, tetapi selama
pengajian tersebut masih berlangsung, maka kita masih terus mendapatkan pahala
mengaji, dan kita mendapatkan pahala mati Syahid Akhirat.
Al Dalam
Qur’an dikatakan:
“Segala sesuatu akan binasa, kecuali Zat Alloh
yang tidak akan binasa, baginya hukum Alloh dan baginya mereka akan
dikembalikan.” Segala apapun yang
ada di alam dunia ini semuanya akan binasa, termasuk malaikat dan
makhluk-makhluk Alloh, terkecuali yang Alloh kecualikan seperti Syurga, Neraka,
Kursy dan lain-lainnya.
Yang
dimaksud dikecualikan yang tidak binasa adalah Zat Alloh. Dapat pula diartikan
oleh sebagian Mufasir bahwa yang dikecualikan akan binasa adalah segala
amalan-amalan Sholeh kita yang dikerjakan karena Alloh. Orang yang beramal
Sholeh karena Alloh SWT., maka pahalanya akan kekal abadi/ lestari/ tidak akan
binasa.
Kitab
Zubad dikarang oleh pengarangnya dalam kapal yang sedang berlayar, dalam kapal
tersebut juga banyak terdapat orang-orang yang sedang bergembira/
bersenang-senang, tetapi pengarang kitab Zubad ini tidak terpengaruh dengan
keadaan disekitarnya, ia tetap fokus mengarang kitabnya. Seorang Auliaillah
ditanya oleh seseorang: “Ya Arifbillah, mana yang lebih disenangi oleh Rasululloh,
apakah orang yang hatam/ hafal Kitab Maulid Barjanji, Syariful Anam atau Kitab
Maulid lainnya, atau orang yang hatam/ hafal Kitab Zubad?” Auliaillah tersebut menjawab: “Rasul lebih
senang bila ada umatnya yang hafal Kitab Zubad dibandingkan dengan orang yang
hafal Kitab Maulid Barjanji, Syariful Anam ataupun kitab maulid lainnya.” Akan tetapi lebih bagus lagi bila kita dapat
menghafal keduanya, artinya disamping dapat hafal Kitab Zubad, kita juga hafal
kitab Maulid. Dalam Syair kitab Zubad berisi tentang masalah Hukum (Fiqih).
Setelah
selesai ia mengarang Kitab Zubad, Kitab Zubad tersebut ia ikat bagian atas dan
bawahnya dengan batu, kemudian ia lempar kitab Zubad tersebut ke lautan. Banyak
orang yang di kapal tersebut mencoba melarang agar kitab tersebut jangan di
buang ke lautan. Tetapi pengarang kitab Zubad: Asy Syech Ibnu Ruslan, tersebut
tetap melemaparkan kitabnya ke lautan, ia berkata: “Jangan larang aku untuk
melempar karanganku ini. Jika karanganku ini karena Alloh semata-mata, maka
karanganku ini tidak akan binasa/ rusak oleh air.”
Setelah
sekian lama kitab tersebut ditemukan oleh orang, dan oleh orang yang
menemukannya di cetak hingga sekarang. Saat ini sudah banyak Syarah-syarah dari
Kitab Zubad. Hal ini sebagai bukti bila seseorang beramal semata-mata karena Alloh,
maka tidak akan sia-sia, akan tetapi harus ada keyakinan saat kita melakukan/
mengerjakannya amal sholeh tersebut.
Dalil
tentang permasalahan Ikhlas dalam beribadah, sebagaimana tercantum dalam Firman Alloh: “Siapa orang yang menginginkan dengan amalnya untuk mendapatkan dunia,
KAMI segerakan baginya di dunia, sesuai dengan apa yang KAMI kehendaki, dan
bagi orang yang KAMI kehendaki pula, dan KAMI jadikan untuknya Jahanam dan ia
layak mendapatkan cercaan/ hinaan dan
dia akan terusir/ dijauhkan dari Rahmat Alloh
SWT.”
Tafsir
dari ayat di atas adalah: Siapa orang yang berkehendak dengan amalnya untuk
mendapatkan dunia, dan dia tidak mengaharapkan pahala di akhirat, maka Alloh
akan segerakan permintaannya di dunia, sekedar apa yang Alloh kehendaki (bukan
sesuai dengan kehendak dari orang yang meminta) dari pada harta-harta dunia dan
Alloh memberikannya kepada orang-orang yang hendak Alloh binasakan. Dan kami
pastikan baginya di akhirat masuk neraka Jahanam, karena dia beramal tujuannya
untuk mendapatkan dunia, bukan beramal untuk mendapatkan pahala akhirat. Dia
akan mencerca/ menghina dirinya sendiri dan diapun akan mendapatkan cercaan/
hinaan dari orang lain. Dan diapun akan terusir/ dijauhkan dari Rahmat Alloh
SWT.
Dalam ayat
yang lain Alloh berfirman: “Siapa
orang yang menginginkan pahala akhirat dan dia berupaya beramal sholeh dengan sungguh-sungguh
dan dengan amalan yang layak untuk mendapatkan Ridho Alloh padahal ia mu’min,
maka amal mereka itu Alloh terima.”
Siapa
orang yang menginginkan pahala akhirat dan dia berupaya/ berusaha dengan
sebenar-benarnya upaya/ usaha dan dia beramal sholeh dengan amalan yang layak
untuk mendapatkan Ridho Alloh dan ia pun beriman kepada Alloh, karena Alloh tidak menerima amal seseorang
tanpa iman, maka mereka termasuk orang-orang yang beramal karena Alloh, tidak
ada tujuan lain yang dicari hanya pahala akhirat, dan mereka tidak beramal untuk Riya’ dunia
(popularitas/ dilihat orang/ dipuji orang), maka usaha mereka itu di hargai/
diterima oleh Alloh SWT.
Para
sohabat dan ulama sholihin beramal betul-betul Ikhlas karena Alloh, tidak
karena lainnya. Ada riwayat tentang keikhlasan yang benar, yaitu riwayat
tentang Syaidina Imam Ali bin Abi Thalib KW.: Syaidina Ali pada saat sudah
merobohkan ia punya lawan, dan ada kesempatan baginya untuk dapat segera
menghabisi nyawa dari lawannya. Tetapi tiba-tiba si-musyrik meludahi muka dari
Syaidina Ali KW. Ketika itu pula Syaidina Ali mengangkat ia punya pedangnya
hingga ia memperbaharui niatnya. Pada saat Syaidina Ali diludahi oleh
si-musyrik, ia punya niat sudah kemasukan hawa nafsu, ia dendam dengan prilaku
si-musyrik yang telah meludahi mukanya. Ia tidak mau niat ibadahnya untuk
berjuang di jalan Alloh, memusuhi/ memerangi orang kafir/ musyrik bercampur
dengan dendam pribadinya, karena kesal dengan prilaku/ perbuatan si-musyrik
yang meludahi mukanya. Syaidina Ali KW. mengangakat kembali pedang yang sudah
menempel di tubuh musuhnya, karena ia berusaha menjaga niat Ikhlasnya berjuang
di jalan Alloh dengan memerangi orang kafir/ musyrik, tanpa bercampur dengan
dendam dan nafsu pribadinya.
Dalam
beramal kita tidak usah memperlihatkan/membanggakan/ memamerkan kepada orang
lain, Ikhlas/ tidak Riya’. Syech Daud Attohir RA. ia berpuasa selama 40 tahun,
tetapi istrinya tidak tahu ia berpuasa.
Dalam
sebuah ayat Al Qur’an, Alloh berfirman:
“Tiap-tiap satu dari dua golongan (muslim
dan kafir), KAMI berikan kepada mereka itu dan kepada yang satunya lagi dari
pemberian Tuhan kamu. KAMI berikan tiap-tiap satu dari dua kelompok dari ridzky
Tuhanmu. Dan tidaklah sekali-kali pemberian Tuhan kamu di alam dunia dapat di halangi.
Dan tidaklah sekali-kali pemberian Tuhan kamu dapat dicegah dari mu’min dan
kafir.”
Masing-masing
kepada mereka (muslim dan kafir) Alloh berikan ridzkinya, makanan dan
lain-lainnya. Bila Alloh sudah berikan, maka tidak ada seorangpun yang dapat menghalangi
pemberian Alloh tersebut. Apa yang Alloh berikan tidak ada yang dapat
menghalangi dan apa yang Alloh cegah tidak ada yang dapat memberikan. Mu’min
mendapat ridzky, kafir pun mendapat ridzky. Mu’min dapat makan, kafir pun dapat
makan. Mu’min dapat ni’mat, kafir pun dapat ni’mat juga. Orang yang baik
mendapat ridzky dan orang yang tidak baik pun mendapat ridzky pula.
“Siapa orang
yang beramal bukan karena Alloh, maka tidak ada bagian baginya berupa pahala dari
amalnya di negeri Akhirat.” Amal sholeh
berupa Shodaqoh, Silaturahmi, menjamu tamu, membantu orang yang sedang
membutuhkan bantuan, dan amal-amal sholeh apapun juga dan sebesar apapun juga,
bila tujuannya bukan karena Alloh, maka tidak ada pahalanya, yang didapat hanya
cape dan letih dari amal yang dikerjakannya. Sebagaimana yang tercantum dalam Hadits
Nabi Muhammad SAW. Dan kelak tempat mereka di neraka jahanam, karena Alloh
tidak senang disekutukan dengan macam-macam ibadah.
“ Siapa orang
yang beramal untuk semata-mata karena Alloh dan mendapatkan Ridho Alloh, maka
amalnya Alloh terima.” Ia beramal
semata-mata karena Alloh, bukan karena mengaharapkan pujian/ sanjungan orang,
popularitas dan lain sebagainya, maka amalnya Alloh terima dan tentu tempatnya
di Syurga.
Hadits Nabi
yang di Riwayatkan oleh Abi Hurairoh RA.: “Ada
kalanya orang yang berpuasa tidak ada baginya pahala sedikitpun juga kecuali
lapar dan dahaga saja.” Hal
ini karena ketiadaan Ikhlas dalam menjalankan puasanya. Dan terkadang adapula
orang yang bangun malam, tidak ada pahala baginya dari Shalat malamnya, kecuali
hanya bergadang dan letih saja. Karena ketiadaan Ikhlas dan khusyu dalam Shalat
Malamnya. Pasang niat yang benar saat kita akan beribadah apapun itu bentuk
ibadanya, baru disitu ada nilai pahalanya.
Sebagaimana
di riwayatkan oleh sebagian Ulama: Perumpamaan orang yang berbuat toat dengan
tujuan riya’ dan sum’ah, maka dia tak ubahnya seperti seorang laki-laki yang
keluar ke pasar dan ia penuhi ia punya kantongnya dengan batu-batu kerikil.
Maka orang-orang yang melihatnya berkata: “Alangkah penuhnya ini kantong
laki-laki itu.” Pujian orang tidak ada
manfaatnya bagi laki-laki tadi. Andaikata orang laki-laki ini ingin membeli
sesuatu di pasar, dengan apa yang ada di dalam kantongnya yaitu batu kerikil,
maka pemilik dagangan tidak akan memberikan sesuatu apapun juga dari barang
dagangannya.
Siapa
orang yang mengerjakan toat dengan amal ibadah/ amal sholeh seperti: hadir di
majlis ta’lim, dzikir, tahlil, tahmit, shalat, puasa, zakat, shadaqoh dan
lain-lainnya dengan tujuan riya (ingin mendapatkan popularitas, pamer,
mengharapkan pujian, ingin disebut dermawan/ murah tangan, orang baik, ahli
ibadah dsb.) dan sum’ah (ingin di dengar orang, dikenal orang, biar namanya
mashur/ terkenal dsb.), mereka seperti laki-laki yang ke pasar dengan tujuan
untuk berbelanja dan lain sebagainya, ia penuhi kantong bajunya dengan batu
kecil (krikil), bukan dengan uang. Maka orang yang berada di sekitar pasar,
yang melihat kantong orang lelaki terlihat penuh (dugaan mereka kantong tersebut
berisi uang), maka mereka berkata: “Alangkah penuhnya kantong ini laki-laki,
uangnya luar biasa banyak.” Tetapi pujian orang tidak ada manfaatnya bagi
laki-laki tadi, selain hanya pujian bahwa ia orang kaya/ banyak uang dll.
Apabila laki-laki ini ingin membeli sesuatu yang ada di pasar (seperti ikan,
daging atau lainnya) dengan apa yang ada di kantongnya (batu kerikil), maka
pedagang di pasar tidak akan mau menukar barang dagangannya dengan batu kerikil
yang tidak ada nilainya.
Begitulah
orang-orang yang beramal sholeh bukan untuk mendapatkan Ridho Alloh, tetapi
untuk tujuan mendapatkan dunia, seperti riya’ dan sum’ah, maka tidak ada
manfaat dari apa yang mereka kerjakan sedikitpun juga, kecuali hanya pujian
orang saja dan tidak ada bagian pahala di akhirat. Sebagaimana Firman Alloh SWT.: “KAMI hadapi/ periksa dari apa yang mereka lakukan/ kerjakan di alam
dunia dari satu amal, maka KAMI jadikannya itu amal semacam abu yang
berterbangan di bawah sinar matahari.”
Tidak ada bekas/ buktinya dari amal yang sudah di kerjakannya bukan
karena Alloh tapi karena riya dan sum’ah.
Diriwayatkan
Hadits Nabi dari Abu Sufyan Atsauri, tentang perkataan seorang yang mujahid di
jalan Alloh, datang seorang laki-laki kepada Rasululloh SAW. dan berkata: “Ya Rasululloh, aku ini shodaqoh dengan satu
shodaqoh, tidak ada tujuan lain disaat aku shodaqoh hanya mengharapkan Ridho Alloh,
tetapi terselip juga keinginan bahwa aku ingin disebut sebagai orang baik
(dermawan).” Maka turunlah ayat
yang di tafsirkan dalam satu versi tafsir: “Siapa
orang yang mengharapkan berjumpa dengan Tuhannya penuh dengan keridhoan, dalam versi tafsir yang lain: “Siapa orang yang mengharapkan pahala dari Alloh, hendaknya ia beramal dengan amalan sholeh dan
ia tidak mensekutukan peribadatannya kepada siapapun juga.”
Maka
berkatalah seorang bijak: “Siapa orang
yang melakukan 7 perkara tanpa disertai/ diiringi dengan 7 perkara lainya, maka
dia tidak akan mendapatkan manfaat dari apa yang ia lakukan (sama seperti debu
yang berterbangan di udara).”
1. Dia beramal berupa rasa takut (termasuk amalan
hati), tetapi dia tidak hati-hati (menjauh/ menghindar) dari apa yang ia
takutkan. Hal ini seperti perkataan dari orang yang
beramal: “Aku takut akan adzab Alloh.” Tetapi dia tidak hati-hati dengan
perbutan dosa, hanya sekedar takut, tetapi dia berani menyerempet bahaya/ dosa.
Maka kata-kata: “Aku takut akan adzab Alloh,”
tidak memberikan manfaat sedikitpun juga kepadanya. Jadi kita harus
berhati-hati dan menghindari diri dari perbutan dosa, jangan hanya sekedar
takut akan adzab Alloh saja.
2. Dia beramal dengan mengharap Ridho Alloh(termasuk
amalan hati), tetapi dia tidak mau berbuat atau merealisasikan apa yang
diharapkan.
Hanya mengharap Rahmat dan Ridho Alloh,
tetapi tanpa merealisasikan apa yang diharapkannya tersebut. Dia berkata: “Aku
mengharap Rahmat/ Pahala dari Alloh.” Tetapi tidak diiringi dengan amal-amal
sholeh. Kata-kata seperti tadi tidak memberikan manfaat sedikitpun juga
kepadanya. Imam Al Jaudzi berkata: “Perumpamaan
orang yang mengharapkan Rahmat Alloh, ampunan Alloh, pahala dari Alloh, padahal
ia terus bergelimang dengan perbuatan maksiat, maka sama dengan orang yang
mengharapkan memanen sawah padahal ia
tidak pernah menanam padi.” Mengharapkan anak, tetapi tidak pernah nikah.
Yang menikah saja belum tentu dapat anak, apalagi yang tidak menikah. Perlu
dipertanyakan kewarasan aqalnya. Dalam Hadits
Qudsy Alloh menyatakan: “Alangkah
kurang malunya orang yang mengharapkan pahala/ syurga dari AKU tanpa amal
sholeh. Bagaimana mungkin AKU bermurah hati memberikan RahmatKU kepada orang
yang kikir/ tidak mau berbuat toat kepadaKU.” Toat dengan amal ibadah merupakan sarana
untuk mendapatkan Rahmat dan Ridho Alloh. Seorang pujangga Islam berkata: “Kamu
mengharapkan selamat dari adzab atau murka Alloh, tetapi kamu tidak mau
malakukan/ menuju jalan-jalan yang membawa keselamatan kamu. Kapal laut tidak
ada yang jalan di daratan.” Jadi
mustahil mendapatkan Rahmat Alloh, tanpa mau berbuat sesuatu yang mendekatkan
hakekat kita untuk mendapatkan Rahmat Alloh.
3. Dia niat, tetapi tidak melaksanakan/
merealisasikan apa yang diniatkan. Dia berniat dengan hatinya ingin
berbuat toat, ingin berbuat kebaikan-kebaikan, tetapi dia tidak tunjukan/
laksanakan menuju apa yang diniatkan. Maka niatnya tadi tidak memberikan
manfaat sedikitpun juga kepadanya, jadi niat harus disertai dengan amal. Harus
niat terlebih dahulu sebelum beramal, selanjutnya menuju/ melakukan/
mengerjakan apa yang kita niatkan.
4. Dia beramal berupa doa, tetapi tanpa usaha keras. Dia berdoa
kepada Alloh agar Alloh berkenan memberikan Taufiq kepada dia untuk melakukan
kebaikan-kebaikan, tetapi tidak bersungguh-sungguh doanya (hatinya lalai),
tidak mengikuti tuntunan/ persyaratan untuk diterimanya ia punya doa, maka
doanya tidak memberikan manfaat sedikitpun juga kepadanya. Seharusnya untuk
diterimanya ia punya doa, dia harus bersungguh-sungguh dalam berdoa, agar Alloh
memberikan Taufiq kepadanya. Taufiq yaitu Alloh ciptakan kemampuan untuk kita
dapat berbuat toat kepadaNYA. Sehingga ringan langkah kita untuk berbuat toat
kepada Alloh. Sebagaimana Firman Alloh:
“Orang-orang berjuang untuk menggapai
ridho KAMI, sungguh KAMI akan memberikan hidayah kepada mereka, KAMI akan
tuntun jalan-jalan menuju KAMI, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang
berbuat baik.” Tafsir dari ayat ini:
Orang-orang yang berjuang/ jihad di jalan Alloh, dia melawan nafsunya yang
mengajak tidak berbuat toat kepada Alloh, berjihad dalam rangka mensyiarkan
agama KAMI, sungguh pasti KAMI akan memberikan Taufiq kepada mereka untuk apa
yang mereka inginkan, mempertahankan agamanya dengan kemampuannya.
5. Dia beramal berupa Istighfar, tetapi tanpa
disertai dengan penyesalan atas kelakuannya melanggar aturan Alloh. Membaca:
“Astaghfirulloh….” sebanyak-banyaknya, tetapi dia tidak menyesal atas prilaku
perbuatan dosanya yang pernah terjadi. Maka istighfar dari orang tadi tidak
akan memberikan manfaat kepadanya sedikitpun juga.
6. Dia melakukan amalan-amalan yang terlihat (kasat
mata), bukan amalan-amalan yang bahtiniah. Maksudnya dia baguskan urusannya dalam hal
yang berkaitan dengan amalan/ kerjaan yang kasat mata/ terlihat. Tetapi
manakala ia berbuat amal-amal yang ‘syir’ (tidak terlihat), dia tidak perbaiki
sebagus/ semaksimal mungkin. Manakala
dia mengerjakan amalan-amalan yang terlihat, dia tunjukan kekhusyuannya,
ketekunannya dll. Tetapi untuk amalan-amalan yang tidak terlihat, dia tidak
benar-benar memperbagus amalnya. Dalam suatu riwayat, ada seseorang Shalat
tetapi tidak tuma’nina dalam shalatnya, padahal tuma’nina termasuk dalam rukun
shalat. Syaidina Umar memperhatikan shalat dari orang tadi, dan ia
memerintahkan agar orang tadi mengulang shalatnya. Karena yang memerintah
adalah seorang Amirul Mu’minin, maka orang tadi mengulangi shalatnya. Setelah
selesai Shalatnya, Syaidina Umar bertanya kepada orang tadi: “Hai laki-laki,
mana diantara shalatmu yang paling baik? Apakah Shalatmu yang pertama atau
shalatmu yang kedua? Laki-laki tersebut menjawab: “Menurutku/ pandanganku/
pendapatku, shalat yang pertama jauh lebih baik dari pada shalat yang kedua.”
Syaidina Umar bertanya: “Mengapa demikian? Padahal shalat yang kedua
tuma’ninanya maksimal.” Lelaki tersebut berkata: “Karena shalatku yang pertama
tidak ada motivasi/ tujuan lain, selain Lilahitaala. Tetapi shalat yang kedua
karena aku takut dengan cambuk yang ada ditanganmu.” Paling tidak seimbang, apa yang dihati dan
apa yang di luar hati. Doa Nabi: “Ya Alloh
jadikan sariroh (hal yang tersembunyi/ bahtin) aku lebih baik dari pada alaniyah
(hal yang terlihat/ zohir) aku.” Shalat kita khusyu dan hati kita jauh
lebih khusyu lagi. Seimbang khusyunya antara zohir dan bahtin.
7. Dia bekerja sungguh-sungguh, tetapi tidak disertai
dengan keikhlasan. Dia
sungguh dalam berbuat toat, tetapi amal ibadahnya tidak ikhlas karena Alloh.
Mengerjakan bermacam-macam ibadah, tetapi sayang amalnya tidak betul-betul
tulus karena Alloh, ada tercampur dengan apapun juga. Amal-amal sholeh yang dikerjakannya
tidak akan memberikan manfaat kepadanya tanpa disertai dengan keikhlasan, maka
mereka tertipu dengan dirinya sendiri. Ulama mengatakan: “Diantara
perbendaharaan-perbendaharaan kebaikan-kebaikan hamba Alloh yang terpelihara,
tidak akan cacat/ rusak, maka sembunyikan amal-amal kita.”
Manakala kita berbuat baik, hendaknya kita sembuyikan dari pandangan
umat. Misalkan kita memberangkatkan haji/ umroh tetangga kita yang susah atau
memberangkatkan seorang ustdz., maka hendaknya kita sembunyikan bahwa kita yang
membiayai mereka, jangan diseberluaskan, sehingga orang lain yang tahu menjadi
kurang hormat terhadap tetangga/ ustdz. tadi. Usahakan kebaikan-kebaikan yang
kita kerjakan/ lakukan kita sembunyikan sebagaimana kita menyembunyikan
keburukan-keburukan (aib-aib) kita.
Dalam kitab yang lain disebutkan, untuk selamat kita punya amal ibadah,
sembunyikan amal ibadah kita sebagaimana kita menyembunyikan kejelekan/
keburukan kita. Kita menyembunyikan keburukan-keburukan (aib-aib) kita
serapat-rapatnya hingga orang lain tidak ada yang tahu, demikianpula dengan
kebaikan/ amal sholeh yang kita kerjakan, hendaknya kita sembunyikan sehingga
orang lain tidak tahu. Cukup hanya dia dan orang yang dia bantu yang tahu, jika
bisa yang dibantupun juga tidak tahu. Seperti kisah Ali Zainal Abiddin, setiap
hari ia mengirimkan 1.000 paket bantuan kepada orang-orang miskin yang berada
disekitar Madinah. Pada malam hari ia keluar rumahnya memberikan bantuan dengan
mengantarkan paket tersebut di depan pintu-pintu orang miskin yang ia bantu,
tanpa ada yang mengetahuinya. Sekian lama ia melakukan kebaikan, tidak ada yang
tahu. Setelah Ali Zainal Abiddin wafat, malam peratama, malam kedua dan malam
seterusnya tidak ada lagi yang memberikan bantuan ke rumah-rumah orang miskin di
Madinah. Dari situ penduduk Madinah baru menyadari bahwa yang memberikan
bantuan kepada mereka selama ini adalah cucunya Rasululloh yaitu Ali Zainal
Abiddin. Begitulah keikhlasan dari cucu Rasululloh Ali Zainal Abiddin, dia
memberikan bantun secara sembunyi-sembunyi, tidak ingin bantuan yang
diberikannya diketahui oleh orang lain. Lain hanya dengan orang zaman sekarang,
mereka memberikan bantuan kepada faqir miskin dan anak yatim tetapi dengan cara
disiarkan/ diliput oleh media, sehingga banyak orang yang tahu apa yang mereka
lakukan. Diantara perbendaharaan kebaikan yang Alloh pelihara dari kerusakan/
kecacatan adalah dengan menyembunyikan amal. Diberikan keutamaan amal-amal yang
‘syir’ diatas amal-amal yang nyata/kelihatan dengan balasan pahala yang berlipat
ganda bahkan tidak terbatas. Dalam suatu Hadits disebutkan: “Shodaqoh yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi dapat mematikan murka Alloh.” Shodaqoh yang
nyata-nyata tidak mematikan murka Alloh, tetapi pahalanya tetap ada manakala
dikerjakan dengan betul-betul ikhlas.
Hadits Nabi
riwayat dari Abu Hurairoh: “Akan
timbul nanti di akhir zaman, sekelompok manusia dari pada umatku, mereka
mengambil/ menghimpun dunia dengan
jalan/ melalui agama, mereka ini memakai pakaian yang bagus, pakaian yang
terbuat dari bulu domba (woll), dia punya lidah/ ucapan /tutur katanya lebih
manis dari pada gula, tetapi hati-hati mereka lebih buas dari pada srigala.”
Agama
dipakai sebagai alat untuk menghimpun/ mencari dunia, dengan jalan menipu.
Mereka memakai pakaian yang bagus (pakaikannya orang-orang sholeh), sebagai
sandiwara mereka untuk mencari dunia melalui jalan agama agar terlihat menarik
perhatian. Tutur katanya manis, lembut, santun dll. Tetapi hati-hati mereka
lebih buas dari pada seekor srigala.
Dalam
sebuah syair dikatakan: Para penggembala kambing menjaga kambingnya dari
terkaman srigala, bagaimana andaikata para pengembala-pengembala kambing itu
sudah menjadi srigala? Bila pengembala kambing sudah menjadi srigala, tentunya
lebih sangat berbahaya lagi. Bagaimana pandanganmu andaikata para pengembala
kambing tadi diumpakan seperti ulama-ulama yang menjaga aqidah, syariah dan
toriqohnya dari umat. Tentunya sangat berbahaya lagi, bila para ulama-ulama
sudah menjelma menjadi srigala. Srigala karena sangat buasnya sampai selalu
dijadikan/ diserupakan dengan hal yang tidak baik. Hati-hati manusia yang
sedemikian jeleknya, maka diserupakan dengan hati-hati srigala yang buas.
Atas
perilaku ulama yang tutur katanya lembut, manis dan santun, tetapi hati mereka
lebih buas seperti srigala yang akan menjerumuskan umat, maka ALLOH berkata
kepada mereka: “Apakah kepadaKU mereka tertipu? Dengan kemurahan Alloh, Ampunan
Alloh, Rahmat Alloh mereka tertipu? Apakah kepadaKU mereka berani menipu?
Apakah mereka tertipu dengan kemurahanKU, AmpunanKU dan RahmatKU? Apakah mereka
berani kepadaKU? Maka AKU sumpah dengan NamaKU/ ZatKU, sungguh AKU akan kirim/
datangkan kepada mereka satu ujian/ malapetaka, hingga malapetaka tadi
membingungkan orang yang sangat Halim (pemaaf/ lapang dada) dan Aqil (cerdas/
beraqal).”
Orang
yang Halim dan Aqil akan bingung melihat kondisi pada saat itu, dimana orang
yang terlihat baik, pakaiannya bagus, tutur katanya bagus, prilakunya bagus,
tetapi mereka menggunakan agama sebagai alat untuk menghimpun dunia sebanyak-banyaknya, hati mereka lebih
buas dari pada srigala.
Diriwayatkan
hadits dari Sufyan dari Habib dari Abi Sholeh dari Abu Hurairoh RA. Rasululloh
bersabda:
Berkata seorang laki-laki kepada Nabi
Muhammad SAW.: Ya Rasululloh, aku ini sudah melakukan suatu amal kebaikan/ amal
sholeh, aku sembunyikan amal sholehku itu, tidak ada siapapun juga orang
terdekatku (saudaraku, anakku, istriku) yang tahu amal sholehku itu. Ternyata
ada orang lain yang tahu (diketahui oleh
orang), dan setelah kebaikan itu diketahui oleh orang banyak, maka hal itu
membuat aku menjadi bangga dan senang. Apakah disaat aku merasa senang dan
bangga dengan amal kebaikan yang sudah terlihat oleh masyarakat, masih ada
pahalanya? Nabi bersabda: “Untukmu dalam hal ini ada 2 ganjaran pahala, yang
pertama kamu mendapatkan pahala syir (amal yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi (pahalanya lebih besar dari pada amal yang terlihat orang),
dan pahala zohir (pahala dari amal yang sudah terlihat oleh masyarakat).”
Amal
sholeh/ kebaikan bagaimanapun disembunyikan pada akhirnya akan terlihat/ nampak
di permukaan, demikian pula dengan kejahatan/ kejelekan, bagaimanapun
disembunyikan akan terlihat/ nampak di permukaan. Amal sholeh yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi (syir) dengan niat karena Alloh yang pada akhirnya
diketahui oleh masyarakat, maka atasnya ada 2 pahala, pahala dari amal secara
sembunyi-sembunyi (syir) dan pahala setelah amalnya diketahui oleh masyarakat
(zohir). Jadi tidak sia-sia kita punya amal yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi yang pada akhirnya diketahui oleh orang banyak.
Berkata
pengarang kitab (Syech Faqih Assamarqondhi): “Pada akhirnya orang mengetahui ia punya amal yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, dan orang lain mengikuti amal sholeh/ kebaikan yang ia lakukan/ kerjakan, maka disitu ada
pahala yang ia dapatkan. Pertama ganjaran pahala untuk amalnya yang dikerjakan
karena Alloh dan yang kedua ganjaran pahala karena orang mengikuti ia punya
amal.”
Sebagaimana
Sabda Nabi dalam sebuah hadits: “Siapa orang yang merintis/ memulai suatu
pekerjaan yang baik, maka baginya ada pahalanya dari amalan tadi dan pahala
dari orang yang mengikutinya sampai hari Qiamat .”
Bid’ah
hasanah, merupakan amalan yang di zaman Nabi dan sohabat dahulu belum ada, tetapi
di akhir ada orang mulai mengerjakan amalan-amalan yang baik, baginya ada
pahalanya. Jadi tidak harus ada di zaman Nabi, dan tidak harus Nabi melakukan,
apapun hal-hal yang dianggap baik oleh ulama sholihin, maka ada pahalanya.
Misalnya pembacaan maulid setelah selesai ta’lim, maka setelah kita memulainya
dan orang lain mengikutinya, maka kita akan terus mendapatkan pahala dari orang
yang mengikuti amalan baik yang kita rintis hingga hari Qiamat.
Lanjutan
Hadits: “Dan siapa orang yang merintis/ memulai suatu pekerjaan yang tidak
baik, maka baginya ada dosa dari pekerjaannya tadi dan dosa dari orang yang
mengikutinya sampai hari Qiamat.”
Pekerjaan
atau jabatan apapun juga (baik yang formal maupun non formal, seperti Rt, Rw,
Lurah, Camat dll.), tidak akan kekal bagi seseorang. Bisa jadi dia meninggalkan
jabatan/ pekerjaannya karena dimutasi atau dipensiunkan atau karena dia
meninggal. Selama masih menjabat, manfaatkan untuk merintis/ memulai dengan
hal-hal yang baik, seperti lomba azan, lomba baca maulid, lomba baca Al Qur’an,
membangun masjid/ mushola, membangun TPA dll. Sampai saatnya nanti dia dimutasi
atau dipensiunkan atau meninggal, kebaikan yang ia rintis akan terus dikenang
orang dan akan terus mengalirkan pahala baginya.
Apabila
ia merasa bangga/ senang bagi apa yang sudah terlihat orang akan amalnya, akan
tetapi tidak ada niat di hatinya agar orang mengikuti apa yang dikerjakannya,
hanya sekedar senang/ bangga karena orang lain melihat amalnya. Dia bershodaqoh dan beramal sholeh Lillahitaala,
tetapi ada juga keinginan di hatinya agar orang tahu ia punya amalnya, maka hal
semacam ini dikhawatirkan akan menghilangkan ia punya pahala.
Berkata
Abdullah bin Mubarok dari Abu Baqar bin Abi Maryam dari Dimiiroh dari Habib, Rasululloh
bersabda:
“Sesunggunya malaikat-malaikat Alloh mereka melaporkan amal-amal manusia kepada
Alloh, malaikat menganggap luar biasa amalan seorang hamba, merekapun
mensucikan/ membersihkan amalan-amalan itu dari hal-hal yang dapat membatalkan
ia punya pahala amal ibadahnya. Amal terus di bawa ke langit hingga ke tempat
yang Alloh kehendaki dari kerajaannya (qiblat kebaikan/ doa adalah di langit,
tetapi bukan berari Alloh ada di langit, Alloh tidak bertempat). Alloh
mewahyukan kepada malaikat-malaikat: “Kamu hai malaikat hanya sekedar mencatat
amal-amal ibadah hambaKU (melihat secara zohir), AKU yang mengawasi isi
hatinya, ini hambaku hai malaikat tidak mengikhlaskan ia punya amal untukKU,
tulis bagian dari orang ini tempatnya di Sij’jiin (nama dari satu tempat di
neraka jahanam).”
“Kemudian
malaikat naik lagi ke atas langit untuk melaporkan amal seorang hamba, malaikat
menganggap sedikit amal ini hamba, dia remehkan/ lecehkan (umur panjang, waktu
luas, segalanya cukup untuk meningkatkan ia punya amal, tetapi ia punya amal ibahdahnya
sedikit sekali), amal ini terus dibawa sampai ke tempat yang Alloh kehendaki
dari pada kerajaannya. Alloh mewahyukan kepada malaikat-malaikat: “Kamu hai
malaikat hanya sebatas mencatat amal-amal ibadah hambaKU (melihat secara
zohir), AKU yang mengawasi isi hatinya, ini hambaku hai malaikat mengikhlaskan
ia punya amal (meskipun sedikit) untukKU, maka catat bagian dari hamba ini
tempatnya di I’liyiin (nama dari satu tempat di Syurga).”
Dari
hadits ini mengandung petunjuk dalil bahwa amal yang sedikit, manakala amalnya
hanya semata-mata karena Alloh SWT. bukan karena lainnya, lebih baik dari pada
banyak amalnya tetapi bukan karena Alloh SWT. Sedikit amal apabila ikhlas
karena Alloh lebih baik, apalagi bila kita beramal banyak dan ikhlas, tentunya
lebih baik lagi. Amal yang sedikit tapi ikhlas karena Alloh, maka Alloh akan
lipat gandakan pahalanya dengan karuniaNYA. Bila kebaikan itu sebesar zaroh, Alloh
akan lipat gandakan dan Alloh akan berikan dari sisinya pahala yang besar.
Adapun amal yang banyak yang dilakukan/ dikerjakan bukan karena Alloh SWT.,
maka tidak ada pahalanya dan tempatnya kelak di neraka jahanam.
Berkata
pengarang kitab (Syech Faqih Assamarqondhi Rahimakumullah): Telah menyampaikan kepadaku satu hadits oleh beberapa jama’ah dari
pada ulama-ulama dengan sanad-sanadnya yang valid/ terpercaya, dari Uqbah bin
Muslim dari Samiir Al Ashbahy, Samiir
menyampaikan hadits kepadanya, dia bercerita bahwa ia masuk ke kota Madinah,
saat ia masuk ke kota Madinah, ia menjumpai seorang laki-laki sudah dikerumuni
banyak orang. Aku berkata siapakah orang ini yang dikerumuni oleh orang banyak?
Manusia disekitar situ menyatakan bahwa orang itu adalah Abu Hurairoh. Maka aku
mendekat kepadanya, sehingga aku maju kehadapannya, dan saat itu Abu Hurairoh
sedang menyampaikan hadits kepada manusia. Sewaktu Abu Hurairoh diam, tidak
lagi menyampaikan hadits-hadits kepada manusia dan orang mulai sepi. Aku
berkata kepadanya: “Demi Alloh, aku mohon kepadamu ya Aba Hurairoh, tolong
sampaikan/ bacakan kepadaku satu hadits
yang kamu dengar itu hadits dari Rasululloh langsung, dan kau hafal hadits itu,
dan kau tahu itu hadits dari Rasul dan kau amalkan itu hadits. Maka Abu
Hurairoh berkata: “Silahkan duduk, demi Alloh, aku akan menyampaikan/
membacakan kepada kamu satu hadits, yang telah menyampaikannya kepadaku hadits
itu Rasululloh. Tidak ada bersama kami seseorang siapapun juga, selain dia dan
aku.” Kemudian Abu Hurairoh menarik
nafas panjang, tiba-tiba dia pingsan dan dia menetap di situ beberapa saat,
kemudian dia kembali siuman lagi. Setelah dia sadar, ia usap ia punya muka, dan
dia berkata lagi: “Hai Samiir Al Ashbahy, sungguh aku akan sampaikan kepadamu
satu hadits yang Rasululloh sampaikan kepadaku, kemudian dia menarik nafas
panjang lagi, dan ia kembali pingsan lagi. Setelah dia sadar, dia mengusap
mukanya kembali, saat menyampaikan hadits kepadaku Rasululloh: “Sesungguhnya Alloh
SWT. yang Maha Pemberkah dan Maha Tinggi, bila terjadi Hari Qiamat, Alloh akan
mengadili diantara mahluk-mahluknya, semua mahluk Alloh saat itu bertekuk lutut
dari sangat dahsyatnya keadaan. Orang yang pertama kali dipanggil, yaitu
seorang laki-laki yang banyak membaca Al Qur’an, kemudian laki-laki yang banyak
hartanya dan laki-laki yang sudah terbunuh di medan perang. Maka Alloh bertanya
kepada orang yang banyak membaca Al Qur’an, bukankah sudah AKU ajarkan
kepadamu, apa yang sudah AKU turunkan (Al Qur’an) atas RasulKU. Lelaki tersebut
menjawab: “Betul Ya Rab.” Alloh kembali
bertanya: “Apa yang sudah kau amalkan dari ilmu yang telah AKU berikan
kepadamu?” Lelaki tersebut menjawab: “Aku jalankan/ laksanakan dengan membaca
Al Qur’an sepanjang malam dan siang hari.” Alloh berfirman: “Kau dusta,
malaikatpun berkata kau dusta, kau baca Al Qur’an tetapi dengan tujuan/
motivasi kamu ingin dikatakan bahwa kamu seorang ahli qiroat (orang yang
mempunyai keahlian dalam membaca Al Qur’an), apa yang kamu inginkan adalah agar
orang menyebut kamu ahli qiroat, dan orang sudah katakana itu.” Maka Alloh perintahkan orang ini masuk neraka
jahanam.
Dikatakan
lagi kepada orang yang berharta (hartawan/ orang kaya): “Apa yang sudah kau
jalankan/ amalkan pada harta yang AKU berikan kepadamu?” Laki-laki kaya itu
berkata: “Hai Alloh, aku sudah menyambung silaturahmi dengan keluargaku,
kerabat-kerabatku dan akupun bershodaqoh dari harta tadi.” Alloh berfirman: “Kau dusta, malaikatpun
berkata kau dusta, kau beramal dengan tujuan agar dikatakan masyarakat ramai
bahwa kamu orang yang murah tangan (dermawan), nyatanya orang sudah katakana
itu.” Pada akhirnyapun Alloh perintahkan
agar orang ini dimasukan kedalam neraka jahanam.
*Tambahan
Keutamaan Shodaqoh:
Dalam sebuah Hadits dinyatakan
diantara yang menentukan atas afdolnya keutamaan shodaqoh atas orang yang kaya.
Orang kaya lebih utama shodaqoh dibandingkan dengan membaca Al Qur’an, Dzikir,
Tasbeh, Tahlil, Tahmid, Sholawat dll. Hadits tersebut Soheh Riwayat dari
Abdullah bin Mas’ud RA., Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Nabi, “Ya Rasululloh,
amal apakah yang lebih afdol/ utama?”
Nabi menjawab: “Amal yang paling utama/ afdol adalah Shodaqoh.” Shodaqoh itu berfungsi menjadi dinding/ hijab
dari neraka jahanam. Abdullah bin
Mas’ud bertanya kembali:“Apalagi yang
paling afdol setelah shodaqoh?” Rasululloh
menjawab: “Tidak ada sesuatu amal apapun juga yang lebih afdol/ utama setelah
Shodaqoh. Karena Shodaqoh itu dapat menyelamatkan orang yang Shodaqoh di hari
Qiamat dari 1.000 huru-hara yang menakutkan. Kemudian Abdullah bin Mas’ud bertanya
kembali: “Ya Rasululloh, bagimana bila dibandingkan Shodaqoh dengan membaca Al
Qur’an?” Nabi bersabda: “1 butir qurma
saja, 1 suap roti yang di shodaqohkan oleh
seorang mu’min, jauh lebih baik baginya dari pada ia membaca Al Qur’an
yang wajib/ mulia sebanyak 1.000 kali. (Dengan catatan Lillah Wa Fillah, karena
Alloh semata). Jadi orang kaya jangan merasa cukup dengan amal membaca Al
Qur’an, Dzikir, Tasbeh, Tahlil, Tahmid, Sholawat dll.
Pendapat dari Ulama: “Adapun orang
kaya, manakala ia kikir untuk menyumbangkan/ menginfaqkan hartanya, dia merasa
cukup dengan pahala amal dari membaca Al Qur’an, Dzikir, Tasbeh, Tahlil,
Qiyamul Lail, Dhuha dan lain-lain, Alloh tidak Ridho dengannya, manakala orang
kaya merasa cukup dengan pahala amal-amal lainya, padahal ia mampu bershodaqoh
dengan hartanya.
Alloh berfirman dalam sebuah Hadits
Qudsy: “AKU cinta pada 3 kelompok/ golongan manusia, tetapi kecintaanKU pada 3
kelompok/ golongan yang lain lebih dahsyat lagi. AKU cinta pada orang yang
murah tangan, tetapi kecintaanKU pada orang faqir yang murah tangan lebih
dahsyat lagi.
Syaidina Ali bin Abi Tholib KW.
pernah bertanya kepada Rasululloh, tentang pahala membaca Al Qur’an. Rasululloh
bersabda: “Hai Ali, hendaknya kamu shodaqoh, karena shodaqoh itu menjadi cahaya
di hati kita.” Syaidina Ali bertanya kembali: “Bagaimana bila dibandingkan
dengan pahala Tasbeh Ya Rasul?” Rasululloh bersabda kembali: “Hai Ali,
hendaknya kamu shodaqoh. Shodaqoh adalah mas kawinnya bidadari-bidadari di
Syurga.” Syaidina Ali bertanya kembali: “Bagaimana bila dibandingkan dengan
pahala Qiyamul Lail?” Rasululloh bersabda: “Utamakan/ dahulukan oleh kamu
shodaqoh. Shodaqoh tidak dapat diperbandingkan/ disandingkan dengan Qiyamul
Lail. Tetapi Shodaqoh lebih afdol/ utama dari Qiyamul Lail. Amalan-amalan
seperti membaca Al Qur’an, Dzikir, Tasbeh, Tahlil dll. manakala dilakukan oleh
orang kaya, pahalanya lebih sedikit bila dibandingkan bila ia shodaqoh. Bagi
orang kaya, amalan yang paling utama baginya adalah shodaqoh. Akan tetapi
manakala ia bisa menghimpun/ menggabung dari semua amalan itu, maka jauh lebih
baik lagi.
Kemudian
didatangkan lagi menghadap Alloh orang yang terbunuh di medan perang, Alloh
bertanya kepadanya: “Apa tujuan kamu berperang?” Laki-laki tersebut menjawab:
“Aku berperang tidak lain tujuannya berperang di jalan KAMU (Fisabilillah).” Alloh
berfirman: “Kau dusta, malaikatpun berkata kau dusta, kau berperang karena
ingin dikatakan sebagai seorang pemberani dan semua orang sudah katakan itu.”
Maka pada akhirnya orang itupun Alloh perintahkan di bawa ke neraka jahanam.
Kemudian
Rasul menepuk atas lututku (Abu Hurairoh), kemudian Rasululloh bersabda: “Hai
Abu Hurairoh, mereka 3 (tiga) golongan ini yang pertama kali di bakar di neraka
jahanam di hari Qiamat kelak.”
Maka
sampailah hadits ini kepada Muawiyah, waktu hadits ini sampai kepada Muawiyah,
maka ia menangis dengan tangisan yang keras dan ia berkata: “Shodaqoullahu
Warasulluh” dan kemudian ia membaca ini ayat: “Siapa orang yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, KAMI
akan berikan balasan amal-amal mereka di alam dunia dan kepadanya semua
diberikan, tidak ada yang dikurangi keinginannya di alam dunia, dan merekalah
orang-orang yang tidak ada bagian mereka di akhirat kecuali neraka jahanam. Dan
lenyaplah/ hilanglah/ gugurlah apa yang mereka sudah lakukan/ amalkan di alam
dunia dan sia-sia apa yang dulu di alam dunia mereka lakukan.”
Berkata
Abdullah bin Haniif Al Anthoky, berkata
Alloh kepada hambanya di hari Qiamat kelak, manakala ada hamba yang meminta
pahala amalnya: “Bukankah AKU sudah berikan untukmu kau punya pahala? Bukankah
AKU sudah memperluas/ mempermudah kamu dalam mencapai kedudukan-kedudukanmu?
Bukankah kamu sudah mencapai puncak karirmu di alam dunia? Bukankah KAMI sudah
memberikan kemudahan dalam jual-beli? Dan banyak pertanyaan lainnya yang Alloh
tanyakan. Apa yang kau inginkan sudah AKU berikan di alam dunia.
Ada
seorang yang bertanya kepada Huqama’/ Ulama: “Siapakah orang yang ikhlas?”
Ulama menjawab: “Orang yang Ikhlas adalah
orang yang menyembunyikan amal kebajikan-kebajikannya, sebagaimana ia
menyembunyikan keburukan-keburukannya/ kejahatannya/ dosa-dosanya.”
Ada
suatu hikayat/ cerita tentang Keikhlasan dari Syaidina Ali KW. dan keluarganya. Suatu hari Syaidina Ali KW.
beserta keluarganya (Syaidatuna Fatimah Azahra, Syaidina Hasan dan Syaidina
Husein) sedang kelaparan. Dia mendatangi seorang Yahudi untuk meminta pekerjaan
memintal bulu woll yang dikerjakan oleh Syaidatuna Fatimah, dengan imbalan 3
gedeng gandum. Syaidatuna Fatimah pun memintalnya di hari pertama, kemudian
hasilnya mendapatkan 1 gedeng gandum, dari gandum tersebut dibuatlah roti. Pada
saat Syaidina Ali dan keluarganya akan memakan roti hasil dari upah memintal
bulu woll tersebut, ada seorang miskin mengetuk pintu rumah mereka. Setelah
dibukakan pintu, orang tersebut berkata: “Assalamu’alaikum hai Ali, aku adalah
orang miskin dari umat Nabi Muhammad SAW., tolong berikan aku sesuatu makanan
karena Alloh.” Maka Syaidiana Ali
memberikan semua roti kepada orang miskin tersebut, tidak ada roti yang
ditinggalkan sepotongpun juga untuk dia dan keluarganya. Hari kedua, saat akan
memakakan roti bersama keluaganya dari hasil memintal bulu woll, datanglah
seorang yatim mengetuk pintu rumah mereka: “Assalamu’alaikum hai Ali, aku adalah
seorang yatim dari umat Nabi Muhammad SAW., tolong berikan aku sesuatu makanan
karena Alloh.” Akhirnya Syaidiana Ali memberikan semua roti kepada yatim
tersebut, tidak ada roti yang ditinggalkan sepotongpun juga untuk dia dan
keluarganya. Pada hari ketiga, saat akan memakakan roti bersama keluaganya dari
hasil memintal bulu woll, datanglah seorang tawanan perang mengetuk pintu rumah
mereka: “Assalamu’alaikum hai Ali, aku adalah seorang tawanan perang dari umat
Nabi Muhammad SAW., tolong berikan aku sesuatu makanan karena Alloh.” Akhirnya
Syaidina Ali memberikan semua roti kepada tawanan perang tersebut, dan tidak
ada roti yang ditinggalkan sepotongpun juga untuk dia dan keluarganya. Sehingga
pada akhirnya Syaidina Ali dan kelurganya tidur dalam keadaan kelaparan, karena
tiga hari hasil upah memintal bulu woll, seluruhnya dishodaqohkan kepada orang
miskin, yatim dan tawanan perang. Maka laparlah Syaidina Hasan dan Husein,
kemudian Syaidina Ali mendatangi Baginda Nabi Muhammad SAW. dan ia menceritakan
semuanya kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Kemudian Bagianda Nabi, mendatangi
istrinya satu persatu, untuk meminta makanan untuk Syaidina Ali dan
keluarganya. Tetapi Nabi tidak berhasil mendapatkan sesuatu dari
istri-istrinya, sedangkan Nabi sendiri tidak mempunyai sesuatu untuk diberikan
kepada Syaidina Ali. Belum sempat Nabi menangani kelaparan dari keluarga
Syaidina Ali, Syaidina Abu Baqar datang menghadap Nabi dan menceritakan bahwa
dirinya pun sedang mengalami kelaparan juga. Ada yang menceritakan kepada Nabi,
bahwa Miqdad bin Aswad mempunyai qurma (tamar), tetapi ternyata informasi yang
didapat tidak benar, sehingga setelah didatangi ternyata tidak ada sesuatu pada
Miqdad bin Aswad. Kemudian Nabi berkata kepada Syaidina Ali: “Hai Ali, ambil
ini kantong dan pergilah mendekat kepada itu pohon qurma. Dan katakan kepada
pohon qurma, bahwa Nabi berkata untukmu wahai pohon qurma, tolong berikan aku
makan dari kau punya qurma.” Maka pohon qurma itu menjatuhkan qurmanya kedalam
kantong yang sudah disiapkan oleh Syaidina Ali. Syaidina Ali memabawa itu qurma
kepada keluaganya, sehingga Syaidina Ali dan keluarganya dapat makan dari itu
qurma sampai kenyang. Dari sinilah turun ayat Al Qur’an yang menceritakan
tentang keikhlasan dari Syaidina Ali KW. : Syaidina Ali berselera/ cinta/
gemar/ mempunyai keinginan dengan ini makanan, tetapi ia memberikan makanan
kepada orang miskin, yatim dan tawanan perang. Syaidina Ali berkata, kami
memberikan makan kepada kamu semata-mata karena mengaharap pahala dari Alloh
(tidak ada tujuan lain), aku tidak mengharapkan balasan ataupun penghargaan.
Dikatakan
lagi kepada Dzunuun Al Mishry (seorang
Juhud dari Bangsa Mesir), ia orang yang pertama kali bicara tentang cinta
kepada Alloh. “Kapankah hai Dzunuun, seseorang dapat mengetahui bahwa dia
terbilang/ termasuk orang pilihan Alloh. Orang-orang khusus pilihan Alloh, yang
Alloh pilih mereka. Dzunuun berkata: “Seseorang dapat tahu bahwa dia terbilang
sebagai orang-orang pilihan Alloh, yaitu dengan 4 hal:
1. Dia
tinggalkan kesenangan, tidak banyak waktunya digunakan untuk istirahat,
waktunya digunakan semaksimal mungkin untuk beribadah kepada Alloh.
2. Ia memberikan
apa yang ada pada dia, yang ada sedikit ia berikan kepada orang, apalagi bila
ada banyak padanya. Ia kalahkan kepentingannya, padahal ia butuh pada itu harta
atau itu makanan.
3. Ia senang
tidak popular/ tidak terkenal, ia senang jatuh popularitas/ kedudukannya.
4. Baginya sama
atau tidak berpengaruh disisinya pujian dan cercaan. Dipuji dia tidak menjadi
bangga dan jika dicerca dia tidak kecewa.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar