Rabu, 16 September 2015

TASAWUF - Ikhlas (Bagian-1)



Pokok Bahasan     :  TASAWUF
Judul                    :  Ikhlas (Bagian-1)
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Ikhlas yaitu berbuat tanpa pamrih. Orang yang Ikhlas berjuang tanpa pamrih dalam mengerjakan amal sholeh apapun itu bentuk amal ibadahnya, maka orang tersebut disebut Mukhlis.

Ikhlas menurut ulama-ulama dibagi menjadi 3 tahapan/ tingkatan, yaitu:
1.  Tingkatan Ikhlas yang Pertama (Tingkatan Paling Tinggi)
Dia beramal apapun amal sholehnya, baik yang wajib maupun yang sunnah, semata-mata karena mengharapkan Ridho Alloh SWT., bukan karena siapapun atau apapun juga, dia beramal bukan karena ingin dilihat orang, karena mengharapkan dunia, mengaharapkan pujian dan lain-lain.
Dia beramal semata-mata menjalankan perintah ataupun anjuran dari Alloh, tidak terlintas dalam hatinya dan bukan karena ada motivasi dalam dirinya untuk mengharapkan pahala ataupun karena takut dari siksa api neraka jahanam.
2.  Tingkatan Ikhlas yang Kedua
Dia beramal Sholeh karena ada tujuan/ motivasinya untuk mengharapkan pahala dari Alloh. Dia berjuang di jalan Alloh dengan mengeluarkan Infaq, Shodaqoh, membantu perjuangan Islam, Shalat, Qiyamul Lail, dll. dengan harapan mendapatkan pahala dari Alloh untuk persiapan dirinya menuju negeri akhirat. Disamping mengharapkan pahala, tujuan lainnya yaitu takut mendapatkan siksa dari Alloh. Orang yang menjalankan perintah-perintah Alloh karena mengharapkan ganjaran pahala dan selamat dari  siksa Alloh, maka hal ini masih digolongkan Ikhlas juga.
3.  Tingkatan Ikhlas yang Ketiga (Tingkatan Paling Rendah)
Dia beramal Sholeh dengan mengerjakan bermacam-macam ibadah dengan tujuan untuk mendapatkan dunia, agar Alloh luaskan ridzkinya sehingga terhindar dari kesulitan di dunia. Misalkan di Shalat Sunnah Qiyamul Lail dengan tujuan untuk mendapatkan kemulyaan ditengah-tengah masyarakat/ umat, dia shalat Dhuha dengan tujuan untuk mendapatkan dunia sebanyak-banyaknya, dia mengamalkan surah Waqiah dengan tujuan untuk terhindar dari kemiskinan/ kefaqiran, dia mengamalkan surah Yusuf dengan tujuan untuk mendapatkan kecintaan dari wanita, dan bermacam-macam amal ibadah lainnya, seperti membaca dzikir, Asma-asma Alloh dan lain-lain yang dibaca dengan tujuan-tujuan tertentu. Memang setiap surah dalam Al Qur’an, dzikir-dzikir, asma-asma Alloh, masing-masing memiliki khasiat dan faedah yang berbeda. Semua amal ibadah yang dikerjakan karena Alloh disamping itu ada motivasi mengharapkan dunia, masih disebut Ikhlas juga. Akan tetapi tingkatan Ikhlasnya termasuk yang paling rendah.

Jika ia beramal dengan tujuannya untuk Riya’ dan Sum’ah, agar di lihat dan di dengar orang, sehingga mendapatkan pujian dan kehormatan dari orang, maka hal ini haram dilakukan, karena ketiadaan Ikhlas dalam mengerjakan amalnya.

Pengarang ini kitab berkata, dalam sebuah Hadist Rasululloh bersabda: “Yang paling aku khawatirkan pada umatku adalah Syirik Asghor (kecil). Sohabat bertanya kepada Nabi, Ya Rasululloh apa gerangan itu Syirik Asghor?  Nabi berkata Ar-Riya’ (Riya’)”
Riya’ adalah mempertontonkan/ memamerkan/ memperlihatkan kebaikannya, ibadahnya, amal sholehnya kepada orang lain untuk mendapatkan hadiah berupa pujian dari orang, mendapatkan popularitas, kemashuran nama, menjadi terkenal dll.

Alloh kelak, akan berkata kepada orang-orang yang berbuat Riya’ di hari / waktu pembalasan amal-amal ibadah mereka, Alloh berkata: “Kamu tidak usah menuju kepadaKU, silahkan kau pergi menuju kepada orang-orang yang kamu berbuat Riya’ (pertontonkan/ perlihatkan amal-amal kamu kepada mereka). Apakah kamu akan mendapatkan dari mereka kebaikan?”  

Banyak orang terjerembab/ terjerumus/ jatuh akibat dari kerikil-kerikil yang kecil. Jarang orang yang jatuh karena batu-batu yang besar, tetapi banyak orang yang jatuh karena akibat kerikil-kerikil yang kecil. Hal-hal yang terlihat sepele, tetapi justru akan menyeret kita ke neraka jahanam.

Pengarang kitab berkata: “Sesungguhnya dikatakan kepada mereka itu perkataan: “Mengapa Alloh berkata seperti itu kepada mereka? Karena amal-amal mereka di alam dunia atas cara tipu daya belaka. Nanti merekapun akan diperlakukan di alam akhirat dengan cara tipu daya belaka juga.” 

Sebagaimana Alloh berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafiqin menipu Alloh dan Alloh akan membalas amal-amal mereka dengan balasan tipu daya juga. Maka batAlloh pahala amal-amal mereka dengan sebab mereka Riya’.”
Mereka mengerjakan ibadah, tetapi mereka mempunyai tujuan-tujuan lain bukan kerena Alloh, seperti untuk mendapatkan pujian, popularitas, kemashuran nama dll.  Alloh akan membalas amal-amal mereka di alam dunia dengan balasan tipu daya pula di akhirat nanti.

Alloh berfirman juga kepada mereka, Alloh berkata kepada hamba-hambanya yang berbuat amal sholeh tetapi tidak Ikhlas: “Silahkan kau pergi menuju kepada orang-orang yang dulu di alam dunia kamu beramal karena mereka, bukan karena AKU. Maka sesungguhnya amal yang kamu lakukan di alam dunia bukan karena AKU, tidak ada ganjaran pahala bagi amal-amal kamu disisi AKU.”
Bila beramal Ikhlaskan karena Alloh, jangan bergantung kepada apapun juga.

Sesungguhnya si-hamba berhaq/ layak/ patut mendapatkan pahala dari Alloh, manakala amalnya tulus karena Alloh. Tiga tingkatan Ikhlas di atas masih terbilang Ikhlas, karena ia beramal Ikhlas karena Alloh, hanya kwalitas keikhlasannya yang berbeda-beda. Ganjaran pahala setiap hamba berbeda-beda, bergantung dari tingkatan keikhlasannya masing-masing hamba. Ada yang ganjaran pahalanya 1 berbanding 10,  ada yang 1 berbanding 70,  dan ada yang 1 berbanding 700 dan adapula yang ganjaran pahalanya tidak dibatasi karena bergantung dari tingkat kwalitas keikhlasannya. Kita lebih tahu tentang diri kita sendiri, orang lain tidak tahu tentang diri kita.

Manakala amal sholeh/ amal ibadah apapun itu dilakukan bukan karena Alloh, ada sekutu disitu, karena ingin dipuji orang dll., maka orang tersebut telah lepas dari Pandangan dan Rahmat Alloh. Sehingga tidak ada keberkahan dalam hidupnya.

Keselamatan adanya dalam Keikhlasan. Selamat Iman-Islam kita, selamat amal ibadah kita, bila kita mengerjakan amal dengan Ikhlas. Manakala kita mengerjakan amal ibadah Ikhlas karena Alloh, maka amal ibadah kita tersebut menjadi sempurna/ berhasil. Tetapi manakala amal ibadah dikerjakan bukan karena Alloh, maka tidak akan berhasil/ gagal.

Hadits Qudsy Riwayat dari Abu Hurairoh RA.: Alloh berfirman: “AKU adalah zat yang paling tidak butuh kepada sekutu, siapa orang yang beramal satu amal ibadah dia sekutukan kepadanya selain AKU, maka AKU lepas tangan dari orang tadi.”  Makna dari Hadist Qudsy di atas adalah: Alloh tidak butuh amal sholeh apapun juga itu amal yang mana pada amal tadi ada persekutuan kepada selain Alloh.

Pada Hadits Qudsy yang lain Alloh berfirman: “Siapa orang beramal satu amalan bukan untuk mendapatkan RidhoKU (bukan karena AKU), maka AKU yang  pertama yang lepas tangan, tidak lagi memandangnya dengan pandangan Rahmat.”  Makna Hadits ini ditujukan untuk orang yang beramal sholeh tetapi tujuannya bukan karena Alloh.

Pada ini hadits ada petunjuk/ dalil bahwa Alloh tidak menerima amal ibadah sedikit apapun juga, kecuali yang semata-mata karena Alloh SWT. Sedikit apapun bila karena Alloh ada nilainya, tetapi sebesar apapun bila setengah hati dan bukan karena Alloh maka tidak ada nilainya. Bila ibadah yang dilakukan (Shalat Qiyamul Lail, Dzikir, baca Qur’an, dll. ) tetapi bukan Ikhlas karena Alloh, maka tidak diterima ia punya amal dan tidak ada pahalanya di akhirat. Sudah beribadah hingga letih, banyak mengeluarkan uang untuk beramal, tetapi tidak ada pahala yang didapat, malah kelak masuk neraka jahanam. Bila ia melakukan amal ibadah denga ikhlas, maka kekAlloh ia punya pahala.

Hendaknya mengerjakan amal ibadah Ikhlas karena Alloh (perintah Alloh), bukan karena ada niat yang lainnya, Insya Alloh nantinya ada nilai pahalanya. Seperti kita duduk mengaji seperti ini, meskipun kita telah meninggal dunia, tetapi selama pengajian tersebut masih berlangsung, maka kita masih terus mendapatkan pahala mengaji, dan kita mendapatkan pahala mati Syahid Akhirat.

Al Dalam Qur’an dikatakan: “Segala sesuatu akan binasa, kecuali Zat Alloh yang tidak akan binasa, baginya hukum Alloh dan baginya mereka akan dikembalikan.”  Segala apapun yang ada di alam dunia ini semuanya akan binasa, termasuk malaikat dan makhluk-makhluk Alloh, terkecuali yang Alloh kecualikan seperti Syurga, Neraka, Kursy dan lain-lainnya.

Yang dimaksud dikecualikan yang tidak binasa adalah Zat Alloh. Dapat pula diartikan oleh sebagian Mufasir bahwa yang dikecualikan akan binasa adalah segala amalan-amalan Sholeh kita yang dikerjakan karena Alloh. Orang yang beramal Sholeh karena Alloh SWT., maka pahalanya akan kekal abadi/ lestari/ tidak akan binasa.

Kitab Zubad dikarang oleh pengarangnya dalam kapal yang sedang berlayar, dalam kapal tersebut juga banyak terdapat orang-orang yang sedang bergembira/ bersenang-senang, tetapi pengarang kitab Zubad ini tidak terpengaruh dengan keadaan disekitarnya, ia tetap fokus mengarang kitabnya. Seorang Auliaillah ditanya oleh seseorang: “Ya Arifbillah, mana yang lebih disenangi oleh Rasululloh, apakah orang yang hatam/ hafal Kitab Maulid Barjanji, Syariful Anam atau Kitab Maulid lainnya, atau orang yang hatam/ hafal Kitab Zubad?”  Auliaillah tersebut menjawab: “Rasul lebih senang bila ada umatnya yang hafal Kitab Zubad dibandingkan dengan orang yang hafal Kitab Maulid Barjanji, Syariful Anam ataupun kitab maulid lainnya.”  Akan tetapi lebih bagus lagi bila kita dapat menghafal keduanya, artinya disamping dapat hafal Kitab Zubad, kita juga hafal kitab Maulid. Dalam Syair kitab Zubad berisi tentang masalah Hukum (Fiqih).
Setelah selesai ia mengarang Kitab Zubad, Kitab Zubad tersebut ia ikat bagian atas dan bawahnya dengan batu, kemudian ia lempar kitab Zubad tersebut ke lautan. Banyak orang yang di kapal tersebut mencoba melarang agar kitab tersebut jangan di buang ke lautan. Tetapi pengarang kitab Zubad: Asy Syech Ibnu Ruslan, tersebut tetap melemaparkan kitabnya ke lautan, ia berkata: “Jangan larang aku untuk melempar karanganku ini. Jika karanganku ini karena Alloh semata-mata, maka karanganku ini tidak akan binasa/ rusak oleh air.”
Setelah sekian lama kitab tersebut ditemukan oleh orang, dan oleh orang yang menemukannya di cetak hingga sekarang. Saat ini sudah banyak Syarah-syarah dari Kitab Zubad. Hal ini sebagai bukti bila seseorang beramal semata-mata karena Alloh, maka tidak akan sia-sia, akan tetapi harus ada keyakinan saat kita melakukan/ mengerjakannya amal sholeh tersebut.

Dalil tentang permasalahan Ikhlas dalam beribadah, sebagaimana tercantum dalam Firman Alloh: “Siapa orang yang menginginkan dengan amalnya untuk mendapatkan dunia, KAMI segerakan baginya di dunia, sesuai dengan apa yang KAMI kehendaki, dan bagi orang yang KAMI kehendaki pula, dan KAMI jadikan untuknya Jahanam dan ia layak mendapatkan cercaan/ hinaan  dan dia akan terusir/ dijauhkan  dari Rahmat Alloh SWT.”

Tafsir dari ayat di atas adalah: Siapa orang yang berkehendak dengan amalnya untuk mendapatkan dunia, dan dia tidak mengaharapkan pahala di akhirat, maka Alloh akan segerakan permintaannya di dunia, sekedar apa yang Alloh kehendaki (bukan sesuai dengan kehendak dari orang yang meminta) dari pada harta-harta dunia dan Alloh memberikannya kepada orang-orang yang hendak Alloh binasakan. Dan kami pastikan baginya di akhirat masuk neraka Jahanam, karena dia beramal tujuannya untuk mendapatkan dunia, bukan beramal untuk mendapatkan pahala akhirat. Dia akan mencerca/ menghina dirinya sendiri dan diapun akan mendapatkan cercaan/ hinaan dari orang lain. Dan diapun akan terusir/ dijauhkan dari Rahmat Alloh SWT.

Dalam ayat yang lain Alloh berfirman: “Siapa orang yang menginginkan pahala akhirat dan dia berupaya beramal sholeh dengan sungguh-sungguh dan dengan amalan yang layak untuk mendapatkan Ridho Alloh padahal ia mu’min, maka amal mereka itu Alloh terima.” 

Siapa orang yang menginginkan pahala akhirat dan dia berupaya/ berusaha dengan sebenar-benarnya upaya/ usaha dan dia beramal sholeh dengan amalan yang layak untuk mendapatkan Ridho Alloh dan ia pun beriman kepada Alloh,  karena Alloh tidak menerima amal seseorang tanpa iman, maka mereka termasuk orang-orang yang beramal karena Alloh, tidak ada tujuan lain yang dicari hanya pahala akhirat,  dan mereka tidak beramal untuk Riya’ dunia (popularitas/ dilihat orang/ dipuji orang), maka usaha mereka itu di hargai/ diterima  oleh Alloh SWT. 

Para sohabat dan ulama sholihin beramal betul-betul Ikhlas karena Alloh, tidak karena lainnya. Ada riwayat tentang keikhlasan yang benar, yaitu riwayat tentang Syaidina Imam Ali bin Abi Thalib KW.: Syaidina Ali pada saat sudah merobohkan ia punya lawan, dan ada kesempatan baginya untuk dapat segera menghabisi nyawa dari lawannya. Tetapi tiba-tiba si-musyrik meludahi muka dari Syaidina Ali KW. Ketika itu pula Syaidina Ali mengangkat ia punya pedangnya hingga ia memperbaharui niatnya. Pada saat Syaidina Ali diludahi oleh si-musyrik, ia punya niat sudah kemasukan hawa nafsu, ia dendam dengan prilaku si-musyrik yang telah meludahi mukanya. Ia tidak mau niat ibadahnya untuk berjuang di jalan Alloh, memusuhi/ memerangi orang kafir/ musyrik bercampur dengan dendam pribadinya, karena kesal dengan prilaku/ perbuatan si-musyrik yang meludahi mukanya. Syaidina Ali KW. mengangakat kembali pedang yang sudah menempel di tubuh musuhnya, karena ia berusaha menjaga niat Ikhlasnya berjuang di jalan Alloh dengan memerangi orang kafir/ musyrik, tanpa bercampur dengan dendam dan nafsu pribadinya.

Dalam beramal kita tidak usah memperlihatkan/membanggakan/ memamerkan kepada orang lain, Ikhlas/ tidak Riya’. Syech Daud Attohir RA. ia berpuasa selama 40 tahun, tetapi istrinya tidak tahu ia berpuasa. 

Dalam sebuah ayat Al Qur’an, Alloh berfirman: “Tiap-tiap satu dari dua golongan (muslim dan kafir), KAMI berikan kepada mereka itu dan kepada yang satunya lagi dari pemberian Tuhan kamu. KAMI berikan tiap-tiap satu dari dua kelompok dari ridzky Tuhanmu. Dan tidaklah sekali-kali pemberian Tuhan kamu di alam dunia dapat di halangi. Dan tidaklah sekali-kali pemberian Tuhan kamu dapat dicegah dari mu’min dan kafir.”

Masing-masing kepada mereka (muslim dan kafir) Alloh berikan ridzkinya, makanan dan lain-lainnya. Bila Alloh sudah berikan, maka tidak ada seorangpun yang dapat menghalangi pemberian Alloh tersebut. Apa yang Alloh berikan tidak ada yang dapat menghalangi dan apa yang Alloh cegah tidak ada yang dapat memberikan. Mu’min mendapat ridzky, kafir pun mendapat ridzky. Mu’min dapat makan, kafir pun dapat makan. Mu’min dapat ni’mat, kafir pun dapat ni’mat juga. Orang yang baik mendapat ridzky dan orang yang tidak baik pun mendapat ridzky pula.

“Siapa orang yang beramal bukan karena Alloh, maka tidak ada bagian baginya berupa pahala dari amalnya di negeri Akhirat.”   Amal sholeh berupa Shodaqoh, Silaturahmi, menjamu tamu, membantu orang yang sedang membutuhkan bantuan, dan amal-amal sholeh apapun juga dan sebesar apapun juga, bila tujuannya bukan karena Alloh, maka tidak ada pahalanya, yang didapat hanya cape dan letih dari amal yang dikerjakannya. Sebagaimana yang tercantum dalam Hadits Nabi Muhammad SAW. Dan kelak tempat mereka di neraka jahanam, karena Alloh tidak senang disekutukan dengan macam-macam ibadah.

“ Siapa orang yang beramal untuk semata-mata karena Alloh dan mendapatkan Ridho Alloh, maka amalnya Alloh terima.”  Ia beramal semata-mata karena Alloh, bukan karena mengaharapkan pujian/ sanjungan orang, popularitas dan lain sebagainya, maka amalnya Alloh terima dan tentu tempatnya di Syurga.

Hadits Nabi yang di Riwayatkan oleh Abi Hurairoh RA.: “Ada kalanya orang yang berpuasa tidak ada baginya pahala sedikitpun juga kecuali lapar dan dahaga saja.”   Hal ini karena ketiadaan Ikhlas dalam menjalankan puasanya. Dan terkadang adapula orang yang bangun malam, tidak ada pahala baginya dari Shalat malamnya, kecuali hanya bergadang dan letih saja. Karena ketiadaan Ikhlas dan khusyu dalam Shalat Malamnya. Pasang niat yang benar saat kita akan beribadah apapun itu bentuk ibadanya, baru disitu ada nilai pahalanya.

Sebagaimana di riwayatkan oleh sebagian Ulama: Perumpamaan orang yang berbuat toat dengan tujuan riya’ dan sum’ah, maka dia tak ubahnya seperti seorang laki-laki yang keluar ke pasar dan ia penuhi ia punya kantongnya dengan batu-batu kerikil. Maka orang-orang yang melihatnya berkata: “Alangkah penuhnya ini kantong laki-laki itu.”  Pujian orang tidak ada manfaatnya bagi laki-laki tadi. Andaikata orang laki-laki ini ingin membeli sesuatu di pasar, dengan apa yang ada di dalam kantongnya yaitu batu kerikil, maka pemilik dagangan tidak akan memberikan sesuatu apapun juga dari barang dagangannya.

Siapa orang yang mengerjakan toat dengan amal ibadah/ amal sholeh seperti: hadir di majlis ta’lim, dzikir, tahlil, tahmit, shalat, puasa, zakat, shadaqoh dan lain-lainnya dengan tujuan riya (ingin mendapatkan popularitas, pamer, mengharapkan pujian, ingin disebut dermawan/ murah tangan, orang baik, ahli ibadah dsb.) dan sum’ah (ingin di dengar orang, dikenal orang, biar namanya mashur/ terkenal dsb.), mereka seperti laki-laki yang ke pasar dengan tujuan untuk berbelanja dan lain sebagainya, ia penuhi kantong bajunya dengan batu kecil (krikil), bukan dengan uang. Maka orang yang berada di sekitar pasar, yang melihat kantong orang lelaki terlihat penuh (dugaan mereka kantong tersebut berisi uang), maka mereka berkata: “Alangkah penuhnya kantong ini laki-laki, uangnya luar biasa banyak.” Tetapi pujian orang tidak ada manfaatnya bagi laki-laki tadi, selain hanya pujian bahwa ia orang kaya/ banyak uang dll. Apabila laki-laki ini ingin membeli sesuatu yang ada di pasar (seperti ikan, daging atau lainnya) dengan apa yang ada di kantongnya (batu kerikil), maka pedagang di pasar tidak akan mau menukar barang dagangannya dengan batu kerikil yang tidak ada nilainya.

Begitulah orang-orang yang beramal sholeh bukan untuk mendapatkan Ridho Alloh, tetapi untuk tujuan mendapatkan dunia, seperti riya’ dan sum’ah, maka tidak ada manfaat dari apa yang mereka kerjakan sedikitpun juga, kecuali hanya pujian orang saja dan tidak ada bagian pahala di akhirat. Sebagaimana Firman Alloh SWT.: “KAMI hadapi/ periksa dari apa yang mereka lakukan/ kerjakan di alam dunia dari satu amal, maka KAMI jadikannya itu amal semacam abu yang berterbangan di bawah sinar matahari.”   Tidak ada bekas/ buktinya dari amal yang sudah di kerjakannya bukan karena Alloh tapi karena riya dan sum’ah.

Diriwayatkan Hadits Nabi dari Abu Sufyan Atsauri, tentang perkataan seorang yang mujahid di jalan Alloh, datang seorang laki-laki kepada Rasululloh SAW. dan berkata: “Ya Rasululloh, aku ini shodaqoh dengan satu shodaqoh, tidak ada tujuan lain disaat aku shodaqoh hanya mengharapkan Ridho Alloh, tetapi terselip juga keinginan bahwa aku ingin disebut sebagai orang baik (dermawan).”   Maka turunlah ayat yang di tafsirkan dalam satu versi tafsir: “Siapa orang yang mengharapkan berjumpa dengan Tuhannya penuh dengan keridhoan,  dalam versi tafsir yang lain: “Siapa orang yang mengharapkan pahala dari Alloh,  hendaknya ia beramal dengan amalan sholeh dan ia tidak mensekutukan peribadatannya kepada siapapun juga.”
                                                                     
Maka berkatalah seorang bijak: “Siapa orang yang melakukan 7 perkara tanpa disertai/ diiringi dengan 7 perkara lainya, maka dia tidak akan mendapatkan manfaat dari apa yang ia lakukan (sama seperti debu yang berterbangan di udara).”

1.    Dia beramal berupa rasa takut (termasuk amalan hati), tetapi dia tidak hati-hati (menjauh/ menghindar) dari apa yang ia takutkan.  Hal ini seperti perkataan dari orang yang beramal: “Aku takut akan adzab Alloh.” Tetapi dia tidak hati-hati dengan perbutan dosa, hanya sekedar takut, tetapi dia berani menyerempet bahaya/ dosa. Maka kata-kata: “Aku takut akan adzab Alloh,”  tidak memberikan manfaat sedikitpun juga kepadanya. Jadi kita harus berhati-hati dan menghindari diri dari perbutan dosa, jangan hanya sekedar takut akan adzab Alloh saja.

2.    Dia beramal dengan mengharap Ridho Alloh(termasuk amalan hati), tetapi dia tidak mau berbuat atau merealisasikan apa yang diharapkan.  Hanya mengharap Rahmat dan Ridho Alloh, tetapi tanpa merealisasikan apa yang diharapkannya tersebut. Dia berkata: “Aku mengharap Rahmat/ Pahala  dari Alloh.”  Tetapi tidak diiringi dengan amal-amal sholeh. Kata-kata seperti tadi tidak memberikan manfaat sedikitpun juga kepadanya. Imam Al Jaudzi berkata: “Perumpamaan orang yang mengharapkan Rahmat Alloh, ampunan Alloh, pahala dari Alloh, padahal ia terus bergelimang dengan perbuatan maksiat, maka sama dengan orang yang mengharapkan  memanen sawah padahal ia tidak pernah menanam padi.” Mengharapkan anak, tetapi tidak pernah nikah. Yang menikah saja belum tentu dapat anak, apalagi yang tidak menikah. Perlu dipertanyakan kewarasan aqalnya. Dalam Hadits Qudsy Alloh menyatakan: “Alangkah kurang malunya orang yang mengharapkan pahala/ syurga dari AKU tanpa amal sholeh. Bagaimana mungkin AKU bermurah hati memberikan RahmatKU kepada orang yang kikir/ tidak mau berbuat toat kepadaKU.”  Toat dengan amal ibadah merupakan sarana untuk mendapatkan Rahmat dan Ridho Alloh. Seorang pujangga Islam berkata: “Kamu mengharapkan selamat dari adzab atau murka Alloh, tetapi kamu tidak mau malakukan/ menuju jalan-jalan yang membawa keselamatan kamu. Kapal laut tidak ada yang jalan di daratan.”  Jadi mustahil mendapatkan Rahmat Alloh, tanpa mau berbuat sesuatu yang mendekatkan hakekat kita untuk mendapatkan Rahmat Alloh.

3.    Dia niat, tetapi tidak melaksanakan/ merealisasikan apa yang diniatkan. Dia berniat dengan hatinya ingin berbuat toat, ingin berbuat kebaikan-kebaikan, tetapi dia tidak tunjukan/ laksanakan menuju apa yang diniatkan. Maka niatnya tadi tidak memberikan manfaat sedikitpun juga kepadanya, jadi niat harus disertai dengan amal. Harus niat terlebih dahulu sebelum beramal, selanjutnya menuju/ melakukan/ mengerjakan  apa yang kita niatkan.

4.    Dia beramal berupa doa, tetapi tanpa usaha keras. Dia berdoa kepada Alloh agar Alloh berkenan memberikan Taufiq kepada dia untuk melakukan kebaikan-kebaikan, tetapi tidak bersungguh-sungguh doanya (hatinya lalai), tidak mengikuti tuntunan/ persyaratan untuk diterimanya ia punya doa, maka doanya tidak memberikan manfaat sedikitpun juga kepadanya. Seharusnya untuk diterimanya ia punya doa, dia harus bersungguh-sungguh dalam berdoa, agar Alloh memberikan Taufiq kepadanya. Taufiq yaitu Alloh ciptakan kemampuan untuk kita dapat berbuat toat kepadaNYA. Sehingga ringan langkah kita untuk berbuat toat kepada Alloh. Sebagaimana Firman Alloh: “Orang-orang berjuang untuk menggapai ridho KAMI, sungguh KAMI akan memberikan hidayah kepada mereka, KAMI akan tuntun jalan-jalan menuju KAMI, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang berbuat baik.”  Tafsir dari ayat ini: Orang-orang yang berjuang/ jihad di jalan Alloh, dia melawan nafsunya yang mengajak tidak berbuat toat kepada Alloh, berjihad dalam rangka mensyiarkan agama KAMI, sungguh pasti KAMI akan memberikan Taufiq kepada mereka untuk apa yang mereka inginkan, mempertahankan agamanya dengan kemampuannya.

5.    Dia beramal berupa Istighfar, tetapi tanpa disertai dengan penyesalan atas kelakuannya melanggar aturan Alloh. Membaca: “Astaghfirulloh….” sebanyak-banyaknya, tetapi dia tidak menyesal atas prilaku perbuatan dosanya yang pernah terjadi. Maka istighfar dari orang tadi tidak akan memberikan manfaat kepadanya sedikitpun juga.

6.    Dia melakukan amalan-amalan yang terlihat (kasat mata), bukan amalan-amalan yang bahtiniah.  Maksudnya dia baguskan urusannya dalam hal yang berkaitan dengan amalan/ kerjaan yang kasat mata/ terlihat. Tetapi manakala ia berbuat amal-amal yang ‘syir’ (tidak terlihat), dia tidak perbaiki sebagus/ semaksimal mungkin.  Manakala dia mengerjakan amalan-amalan yang terlihat, dia tunjukan kekhusyuannya, ketekunannya dll. Tetapi untuk amalan-amalan yang tidak terlihat, dia tidak benar-benar memperbagus amalnya. Dalam suatu riwayat, ada seseorang Shalat tetapi tidak tuma’nina dalam shalatnya, padahal tuma’nina termasuk dalam rukun shalat. Syaidina Umar memperhatikan shalat dari orang tadi, dan ia memerintahkan agar orang tadi mengulang shalatnya. Karena yang memerintah adalah seorang Amirul Mu’minin, maka orang tadi mengulangi shalatnya. Setelah selesai Shalatnya, Syaidina Umar bertanya kepada orang tadi: “Hai laki-laki, mana diantara shalatmu yang paling baik? Apakah Shalatmu yang pertama atau shalatmu yang kedua? Laki-laki tersebut menjawab: “Menurutku/ pandanganku/ pendapatku, shalat yang pertama jauh lebih baik dari pada shalat yang kedua.” Syaidina Umar bertanya: “Mengapa demikian? Padahal shalat yang kedua tuma’ninanya maksimal.” Lelaki tersebut berkata: “Karena shalatku yang pertama tidak ada motivasi/ tujuan lain, selain Lilahitaala. Tetapi shalat yang kedua karena aku takut dengan cambuk yang ada ditanganmu.”  Paling tidak seimbang, apa yang dihati dan apa yang di luar hati. Doa Nabi: “Ya Alloh jadikan sariroh (hal yang tersembunyi/ bahtin) aku lebih baik dari pada alaniyah (hal yang terlihat/ zohir) aku.”  Shalat kita khusyu dan hati kita jauh lebih khusyu lagi. Seimbang khusyunya antara zohir dan bahtin.

7.  Dia bekerja sungguh-sungguh, tetapi tidak disertai dengan keikhlasan. Dia sungguh dalam berbuat toat, tetapi amal ibadahnya tidak ikhlas karena Alloh. Mengerjakan bermacam-macam ibadah, tetapi sayang amalnya tidak betul-betul tulus karena Alloh, ada tercampur dengan apapun juga. Amal-amal sholeh yang dikerjakannya tidak akan memberikan manfaat kepadanya tanpa disertai dengan keikhlasan, maka mereka tertipu dengan dirinya sendiri. Ulama mengatakan: “Diantara perbendaharaan-perbendaharaan kebaikan-kebaikan hamba Alloh yang terpelihara, tidak akan cacat/ rusak, maka sembunyikan amal-amal  kita.”  Manakala kita berbuat baik, hendaknya kita sembuyikan dari pandangan umat. Misalkan kita memberangkatkan haji/ umroh tetangga kita yang susah atau memberangkatkan seorang ustdz., maka hendaknya kita sembunyikan bahwa kita yang membiayai mereka, jangan diseberluaskan, sehingga orang lain yang tahu menjadi kurang hormat terhadap tetangga/ ustdz. tadi. Usahakan kebaikan-kebaikan yang kita kerjakan/ lakukan kita sembunyikan sebagaimana kita menyembunyikan keburukan-keburukan (aib-aib) kita.  Dalam kitab yang lain disebutkan, untuk selamat kita punya amal ibadah, sembunyikan amal ibadah kita sebagaimana kita menyembunyikan kejelekan/ keburukan kita. Kita menyembunyikan keburukan-keburukan (aib-aib) kita serapat-rapatnya hingga orang lain tidak ada yang tahu, demikianpula dengan kebaikan/ amal sholeh yang kita kerjakan, hendaknya kita sembunyikan sehingga orang lain tidak tahu. Cukup hanya dia dan orang yang dia bantu yang tahu, jika bisa yang dibantupun juga tidak tahu. Seperti kisah Ali Zainal Abiddin, setiap hari ia mengirimkan 1.000 paket bantuan kepada orang-orang miskin yang berada disekitar Madinah. Pada malam hari ia keluar rumahnya memberikan bantuan dengan mengantarkan paket tersebut di depan pintu-pintu orang miskin yang ia bantu, tanpa ada yang mengetahuinya. Sekian lama ia melakukan kebaikan, tidak ada yang tahu. Setelah Ali Zainal Abiddin wafat, malam peratama, malam kedua dan malam seterusnya tidak ada lagi yang memberikan bantuan ke rumah-rumah orang miskin di Madinah. Dari situ penduduk Madinah baru menyadari bahwa yang memberikan bantuan kepada mereka selama ini adalah cucunya Rasululloh yaitu Ali Zainal Abiddin. Begitulah keikhlasan dari cucu Rasululloh Ali Zainal Abiddin, dia memberikan bantun secara sembunyi-sembunyi, tidak ingin bantuan yang diberikannya diketahui oleh orang lain. Lain hanya dengan orang zaman sekarang, mereka memberikan bantuan kepada faqir miskin dan anak yatim tetapi dengan cara disiarkan/ diliput oleh media, sehingga banyak orang yang tahu apa yang mereka lakukan. Diantara perbendaharaan kebaikan yang Alloh pelihara dari kerusakan/ kecacatan adalah dengan menyembunyikan amal. Diberikan keutamaan amal-amal yang ‘syir’ diatas amal-amal yang nyata/kelihatan dengan balasan pahala yang berlipat ganda bahkan tidak terbatas. Dalam suatu Hadits disebutkan: “Shodaqoh yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dapat mematikan murka Alloh.” Shodaqoh yang nyata-nyata tidak mematikan murka Alloh, tetapi pahalanya tetap ada manakala dikerjakan dengan betul-betul ikhlas.

Hadits Nabi riwayat dari Abu Hurairoh: “Akan timbul nanti di akhir zaman, sekelompok manusia dari pada umatku, mereka mengambil/ menghimpun  dunia dengan jalan/ melalui agama, mereka ini memakai pakaian yang bagus, pakaian yang terbuat dari bulu domba (woll), dia punya lidah/ ucapan /tutur katanya lebih manis dari pada gula, tetapi hati-hati mereka lebih buas dari pada srigala.”

Agama dipakai sebagai alat untuk menghimpun/ mencari dunia, dengan jalan menipu. Mereka memakai pakaian yang bagus (pakaikannya orang-orang sholeh), sebagai sandiwara mereka untuk mencari dunia melalui jalan agama agar terlihat menarik perhatian. Tutur katanya manis, lembut, santun dll. Tetapi hati-hati mereka lebih buas dari pada seekor srigala.

Dalam sebuah syair dikatakan: Para penggembala kambing menjaga kambingnya dari terkaman srigala, bagaimana andaikata para pengembala-pengembala kambing itu sudah menjadi srigala? Bila pengembala kambing sudah menjadi srigala, tentunya lebih sangat berbahaya lagi. Bagaimana pandanganmu andaikata para pengembala kambing tadi diumpakan seperti ulama-ulama yang menjaga aqidah, syariah dan toriqohnya dari umat. Tentunya sangat berbahaya lagi, bila para ulama-ulama sudah menjelma menjadi srigala. Srigala karena sangat buasnya sampai selalu dijadikan/ diserupakan dengan hal yang tidak baik. Hati-hati manusia yang sedemikian jeleknya, maka diserupakan dengan hati-hati srigala yang buas.

Atas perilaku ulama yang tutur katanya lembut, manis dan santun, tetapi hati mereka lebih buas seperti srigala yang akan menjerumuskan umat, maka ALLOH berkata kepada mereka: “Apakah kepadaKU mereka tertipu? Dengan kemurahan Alloh, Ampunan Alloh, Rahmat Alloh mereka tertipu? Apakah kepadaKU mereka berani menipu? Apakah mereka tertipu dengan kemurahanKU, AmpunanKU dan RahmatKU? Apakah mereka berani kepadaKU? Maka AKU sumpah dengan NamaKU/ ZatKU, sungguh AKU akan kirim/ datangkan kepada mereka satu ujian/ malapetaka, hingga malapetaka tadi membingungkan orang yang sangat Halim (pemaaf/ lapang dada) dan Aqil (cerdas/ beraqal).”
Orang yang Halim dan Aqil akan bingung melihat kondisi pada saat itu, dimana orang yang terlihat baik, pakaiannya bagus, tutur katanya bagus, prilakunya bagus, tetapi mereka menggunakan agama sebagai alat untuk menghimpun  dunia sebanyak-banyaknya, hati mereka lebih buas dari pada srigala.

Diriwayatkan hadits dari Sufyan dari Habib dari Abi Sholeh dari Abu Hurairoh RA. Rasululloh bersabda: Berkata seorang laki-laki kepada Nabi Muhammad SAW.: Ya Rasululloh, aku ini sudah melakukan suatu amal kebaikan/ amal sholeh, aku sembunyikan amal sholehku itu, tidak ada siapapun juga orang terdekatku (saudaraku, anakku, istriku) yang tahu amal sholehku itu. Ternyata ada orang  lain yang tahu (diketahui oleh orang), dan setelah kebaikan itu diketahui oleh orang banyak, maka hal itu membuat aku menjadi bangga dan senang. Apakah disaat aku merasa senang dan bangga dengan amal kebaikan yang sudah terlihat oleh masyarakat, masih ada pahalanya? Nabi bersabda: “Untukmu dalam hal ini ada 2 ganjaran pahala, yang pertama kamu mendapatkan pahala syir (amal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi (pahalanya lebih besar dari pada amal yang terlihat orang), dan pahala zohir (pahala dari amal yang sudah terlihat oleh masyarakat).”

Amal sholeh/ kebaikan bagaimanapun disembunyikan pada akhirnya akan terlihat/ nampak di permukaan, demikian pula dengan kejahatan/ kejelekan, bagaimanapun disembunyikan akan terlihat/ nampak di permukaan. Amal sholeh yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi (syir) dengan niat karena Alloh yang pada akhirnya diketahui oleh masyarakat, maka atasnya ada 2 pahala, pahala dari amal secara sembunyi-sembunyi (syir) dan pahala setelah amalnya diketahui oleh masyarakat (zohir). Jadi tidak sia-sia kita punya amal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi yang pada akhirnya diketahui oleh orang banyak.

Berkata pengarang kitab (Syech Faqih Assamarqondhi): “Pada akhirnya orang mengetahui ia punya amal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan orang lain mengikuti amal sholeh/ kebaikan  yang ia lakukan/ kerjakan, maka disitu ada pahala yang ia dapatkan. Pertama ganjaran pahala untuk amalnya yang dikerjakan karena Alloh dan yang kedua ganjaran pahala karena orang mengikuti ia punya amal.” 

Sebagaimana Sabda Nabi dalam sebuah hadits: “Siapa orang yang merintis/ memulai suatu pekerjaan yang baik, maka baginya ada pahalanya dari amalan tadi dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari Qiamat .”
Bid’ah hasanah, merupakan amalan yang di zaman Nabi dan sohabat dahulu belum ada, tetapi di akhir ada orang mulai mengerjakan amalan-amalan yang baik, baginya ada pahalanya. Jadi tidak harus ada di zaman Nabi, dan tidak harus Nabi melakukan, apapun hal-hal yang dianggap baik oleh ulama sholihin, maka ada pahalanya. Misalnya pembacaan maulid setelah selesai ta’lim, maka setelah kita memulainya dan orang lain mengikutinya, maka kita akan terus mendapatkan pahala dari orang yang mengikuti amalan baik yang kita rintis hingga hari Qiamat.

Lanjutan Hadits: “Dan siapa orang yang merintis/ memulai suatu pekerjaan yang tidak baik, maka baginya ada dosa dari pekerjaannya tadi dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari Qiamat.”

Pekerjaan atau jabatan apapun juga (baik yang formal maupun non formal, seperti Rt, Rw, Lurah, Camat dll.), tidak akan kekal bagi seseorang. Bisa jadi dia meninggalkan jabatan/ pekerjaannya karena dimutasi atau dipensiunkan atau karena dia meninggal. Selama masih menjabat, manfaatkan untuk merintis/ memulai dengan hal-hal yang baik, seperti lomba azan, lomba baca maulid, lomba baca Al Qur’an, membangun masjid/ mushola, membangun TPA dll. Sampai saatnya nanti dia dimutasi atau dipensiunkan atau meninggal, kebaikan yang ia rintis akan terus dikenang orang dan akan terus mengalirkan pahala baginya.

Apabila ia merasa bangga/ senang bagi apa yang sudah terlihat orang akan amalnya, akan tetapi tidak ada niat di hatinya agar orang mengikuti apa yang dikerjakannya, hanya sekedar senang/ bangga karena orang lain melihat amalnya.  Dia bershodaqoh dan beramal sholeh Lillahitaala, tetapi ada juga keinginan di hatinya agar orang tahu ia punya amalnya, maka hal semacam ini dikhawatirkan akan menghilangkan ia punya pahala.

Berkata Abdullah bin Mubarok dari Abu Baqar bin Abi Maryam dari Dimiiroh dari Habib, Rasululloh bersabda: “Sesunggunya malaikat-malaikat Alloh mereka melaporkan amal-amal manusia kepada Alloh, malaikat menganggap luar biasa amalan seorang hamba, merekapun mensucikan/ membersihkan amalan-amalan itu dari hal-hal yang dapat membatalkan ia punya pahala amal ibadahnya. Amal terus di bawa ke langit hingga ke tempat yang Alloh kehendaki dari kerajaannya (qiblat kebaikan/ doa adalah di langit, tetapi bukan berari Alloh ada di langit, Alloh tidak bertempat). Alloh mewahyukan kepada malaikat-malaikat: “Kamu hai malaikat hanya sekedar mencatat amal-amal ibadah hambaKU (melihat secara zohir), AKU yang mengawasi isi hatinya, ini hambaku hai malaikat tidak mengikhlaskan ia punya amal untukKU, tulis bagian dari orang ini tempatnya di Sij’jiin (nama dari satu tempat di neraka jahanam).”
“Kemudian malaikat naik lagi ke atas langit untuk melaporkan amal seorang hamba, malaikat menganggap sedikit amal ini hamba, dia remehkan/ lecehkan (umur panjang, waktu luas, segalanya cukup untuk meningkatkan ia punya amal, tetapi ia punya amal ibahdahnya sedikit sekali), amal ini terus dibawa sampai ke tempat yang Alloh kehendaki dari pada kerajaannya. Alloh mewahyukan kepada malaikat-malaikat: “Kamu hai malaikat hanya sebatas mencatat amal-amal ibadah hambaKU (melihat secara zohir), AKU yang mengawasi isi hatinya, ini hambaku hai malaikat mengikhlaskan ia punya amal (meskipun sedikit) untukKU, maka catat bagian dari hamba ini tempatnya di I’liyiin (nama dari satu tempat di Syurga).”

Dari hadits ini mengandung petunjuk dalil bahwa amal yang sedikit, manakala amalnya hanya semata-mata karena Alloh SWT. bukan karena lainnya, lebih baik dari pada banyak amalnya tetapi bukan karena Alloh SWT. Sedikit amal apabila ikhlas karena Alloh lebih baik, apalagi bila kita beramal banyak dan ikhlas, tentunya lebih baik lagi. Amal yang sedikit tapi ikhlas karena Alloh, maka Alloh akan lipat gandakan pahalanya dengan karuniaNYA. Bila kebaikan itu sebesar zaroh, Alloh akan lipat gandakan dan Alloh akan berikan dari sisinya pahala yang besar. Adapun amal yang banyak yang dilakukan/ dikerjakan bukan karena Alloh SWT., maka tidak ada pahalanya dan tempatnya kelak di neraka jahanam.

Berkata pengarang kitab (Syech Faqih Assamarqondhi Rahimakumullah): Telah menyampaikan kepadaku satu hadits oleh beberapa jama’ah dari pada ulama-ulama dengan sanad-sanadnya yang valid/ terpercaya, dari Uqbah bin Muslim dari Samiir Al Ashbahy, Samiir menyampaikan hadits kepadanya, dia bercerita bahwa ia masuk ke kota Madinah, saat ia masuk ke kota Madinah, ia menjumpai seorang laki-laki sudah dikerumuni banyak orang. Aku berkata siapakah orang ini yang dikerumuni oleh orang banyak? Manusia disekitar situ menyatakan bahwa orang itu adalah Abu Hurairoh. Maka aku mendekat kepadanya, sehingga aku maju kehadapannya, dan saat itu Abu Hurairoh sedang menyampaikan hadits kepada manusia. Sewaktu Abu Hurairoh diam, tidak lagi menyampaikan hadits-hadits kepada manusia dan orang mulai sepi. Aku berkata kepadanya: “Demi Alloh, aku mohon kepadamu ya Aba Hurairoh, tolong sampaikan/ bacakan kepadaku satu  hadits yang kamu dengar itu hadits dari Rasululloh langsung, dan kau hafal hadits itu, dan kau tahu itu hadits dari Rasul dan kau amalkan itu hadits. Maka Abu Hurairoh berkata: “Silahkan duduk, demi Alloh, aku akan menyampaikan/ membacakan kepada kamu satu hadits, yang telah menyampaikannya kepadaku hadits itu Rasululloh. Tidak ada bersama kami seseorang siapapun juga, selain dia dan aku.”  Kemudian Abu Hurairoh menarik nafas panjang, tiba-tiba dia pingsan dan dia menetap di situ beberapa saat, kemudian dia kembali siuman lagi. Setelah dia sadar, ia usap ia punya muka, dan dia berkata lagi: “Hai Samiir Al Ashbahy, sungguh aku akan sampaikan kepadamu satu hadits yang Rasululloh sampaikan kepadaku, kemudian dia menarik nafas panjang lagi, dan ia kembali pingsan lagi. Setelah dia sadar, dia mengusap mukanya kembali, saat menyampaikan hadits kepadaku Rasululloh: “Sesungguhnya Alloh SWT. yang Maha Pemberkah dan Maha Tinggi, bila terjadi Hari Qiamat, Alloh akan mengadili diantara mahluk-mahluknya, semua mahluk Alloh saat itu bertekuk lutut dari sangat dahsyatnya keadaan. Orang yang pertama kali dipanggil, yaitu seorang laki-laki yang banyak membaca Al Qur’an, kemudian laki-laki yang banyak hartanya dan laki-laki yang sudah terbunuh di medan perang. Maka Alloh bertanya kepada orang yang banyak membaca Al Qur’an, bukankah sudah AKU ajarkan kepadamu, apa yang sudah AKU turunkan (Al Qur’an) atas RasulKU. Lelaki tersebut menjawab: “Betul Ya Rab.”  Alloh kembali bertanya: “Apa yang sudah kau amalkan dari ilmu yang telah AKU berikan kepadamu?” Lelaki tersebut menjawab: “Aku jalankan/ laksanakan dengan membaca Al Qur’an sepanjang malam dan siang hari.” Alloh berfirman: “Kau dusta, malaikatpun berkata kau dusta, kau baca Al Qur’an tetapi dengan tujuan/ motivasi kamu ingin dikatakan bahwa kamu seorang ahli qiroat (orang yang mempunyai keahlian dalam membaca Al Qur’an), apa yang kamu inginkan adalah agar orang menyebut kamu ahli qiroat, dan orang sudah katakana itu.”  Maka Alloh perintahkan orang ini masuk neraka jahanam.
Dikatakan lagi kepada orang yang berharta (hartawan/ orang kaya): “Apa yang sudah kau jalankan/ amalkan pada harta yang AKU berikan kepadamu?” Laki-laki kaya itu berkata: “Hai Alloh, aku sudah menyambung silaturahmi dengan keluargaku, kerabat-kerabatku dan akupun bershodaqoh dari harta tadi.”  Alloh berfirman: “Kau dusta, malaikatpun berkata kau dusta, kau beramal dengan tujuan agar dikatakan masyarakat ramai bahwa kamu orang yang murah tangan (dermawan), nyatanya orang sudah katakana itu.”  Pada akhirnyapun Alloh perintahkan agar orang ini dimasukan kedalam neraka jahanam.

          *Tambahan Keutamaan Shodaqoh:
Dalam sebuah Hadits dinyatakan diantara yang menentukan atas afdolnya keutamaan shodaqoh atas orang yang kaya. Orang kaya lebih utama shodaqoh dibandingkan dengan membaca Al Qur’an, Dzikir, Tasbeh, Tahlil, Tahmid, Sholawat dll. Hadits tersebut Soheh Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud RA., Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Nabi, “Ya Rasululloh, amal apakah yang lebih afdol/ utama?”  Nabi menjawab: “Amal yang paling utama/ afdol adalah Shodaqoh.”  Shodaqoh itu berfungsi menjadi dinding/ hijab dari neraka jahanam.  Abdullah bin Mas’ud  bertanya kembali:“Apalagi yang paling afdol setelah shodaqoh?”  Rasululloh menjawab: “Tidak ada sesuatu amal apapun juga yang lebih afdol/ utama setelah Shodaqoh. Karena Shodaqoh itu dapat menyelamatkan orang yang Shodaqoh di hari Qiamat dari 1.000 huru-hara yang menakutkan. Kemudian Abdullah bin Mas’ud bertanya kembali: “Ya Rasululloh, bagimana bila dibandingkan Shodaqoh dengan membaca Al Qur’an?”  Nabi bersabda: “1 butir qurma saja, 1 suap roti yang di shodaqohkan oleh  seorang mu’min, jauh lebih baik baginya dari pada ia membaca Al Qur’an yang wajib/ mulia sebanyak 1.000 kali. (Dengan catatan Lillah Wa Fillah, karena Alloh semata). Jadi orang kaya jangan merasa cukup dengan amal membaca Al Qur’an, Dzikir, Tasbeh, Tahlil, Tahmid, Sholawat dll.

Pendapat dari Ulama: “Adapun orang kaya, manakala ia kikir untuk menyumbangkan/ menginfaqkan hartanya, dia merasa cukup dengan pahala amal dari membaca Al Qur’an, Dzikir, Tasbeh, Tahlil, Qiyamul Lail, Dhuha dan lain-lain, Alloh tidak Ridho dengannya, manakala orang kaya merasa cukup dengan pahala amal-amal lainya, padahal ia mampu bershodaqoh dengan hartanya.

Alloh berfirman dalam sebuah Hadits Qudsy: “AKU cinta pada 3 kelompok/ golongan manusia, tetapi kecintaanKU pada 3 kelompok/ golongan yang lain lebih dahsyat lagi. AKU cinta pada orang yang murah tangan, tetapi kecintaanKU pada orang faqir yang murah tangan lebih dahsyat lagi.

Syaidina Ali bin Abi Tholib KW. pernah bertanya kepada Rasululloh, tentang pahala membaca Al Qur’an. Rasululloh bersabda: “Hai Ali, hendaknya kamu shodaqoh, karena shodaqoh itu menjadi cahaya di hati kita.” Syaidina Ali bertanya kembali: “Bagaimana bila dibandingkan dengan pahala Tasbeh Ya Rasul?” Rasululloh bersabda kembali: “Hai Ali, hendaknya kamu shodaqoh. Shodaqoh adalah mas kawinnya bidadari-bidadari di Syurga.” Syaidina Ali bertanya kembali: “Bagaimana bila dibandingkan dengan pahala Qiyamul Lail?” Rasululloh bersabda: “Utamakan/ dahulukan oleh kamu shodaqoh. Shodaqoh tidak dapat diperbandingkan/ disandingkan dengan Qiyamul Lail. Tetapi Shodaqoh lebih afdol/ utama dari Qiyamul Lail. Amalan-amalan seperti membaca Al Qur’an, Dzikir, Tasbeh, Tahlil dll. manakala dilakukan oleh orang kaya, pahalanya lebih sedikit bila dibandingkan bila ia shodaqoh. Bagi orang kaya, amalan yang paling utama baginya adalah shodaqoh. Akan tetapi manakala ia bisa menghimpun/ menggabung dari semua amalan itu, maka jauh lebih baik lagi.

Kemudian didatangkan lagi menghadap Alloh orang yang terbunuh di medan perang, Alloh bertanya kepadanya: “Apa tujuan kamu berperang?” Laki-laki tersebut menjawab: “Aku berperang tidak lain tujuannya berperang di jalan KAMU (Fisabilillah).” Alloh berfirman: “Kau dusta, malaikatpun berkata kau dusta, kau berperang karena ingin dikatakan sebagai seorang pemberani dan semua orang sudah katakan itu.” Maka pada akhirnya orang itupun Alloh perintahkan di bawa ke neraka jahanam.
Kemudian Rasul menepuk atas lututku (Abu Hurairoh), kemudian Rasululloh bersabda: “Hai Abu Hurairoh, mereka 3 (tiga) golongan ini yang pertama kali di bakar di neraka jahanam di hari Qiamat kelak.”

Maka sampailah hadits ini kepada Muawiyah, waktu hadits ini sampai kepada Muawiyah, maka ia menangis dengan tangisan yang keras dan ia berkata: “Shodaqoullahu Warasulluh” dan kemudian ia membaca ini ayat: “Siapa orang yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, KAMI akan berikan balasan amal-amal mereka di alam dunia dan kepadanya semua diberikan, tidak ada yang dikurangi keinginannya di alam dunia, dan merekalah orang-orang yang tidak ada bagian mereka di akhirat kecuali neraka jahanam. Dan lenyaplah/ hilanglah/ gugurlah apa yang mereka sudah lakukan/ amalkan di alam dunia dan sia-sia apa yang dulu di alam dunia mereka lakukan.”

Berkata Abdullah bin Haniif Al Anthoky, berkata Alloh kepada hambanya di hari Qiamat kelak, manakala ada hamba yang meminta pahala amalnya: “Bukankah AKU sudah berikan untukmu kau punya pahala? Bukankah AKU sudah memperluas/ mempermudah kamu dalam mencapai kedudukan-kedudukanmu? Bukankah kamu sudah mencapai puncak karirmu di alam dunia? Bukankah KAMI sudah memberikan kemudahan dalam jual-beli? Dan banyak pertanyaan lainnya yang Alloh tanyakan. Apa yang kau inginkan sudah AKU berikan di alam dunia.

Ada seorang yang bertanya kepada Huqama’/ Ulama: “Siapakah orang yang ikhlas?” Ulama menjawab: “Orang yang Ikhlas adalah orang yang menyembunyikan amal kebajikan-kebajikannya, sebagaimana ia menyembunyikan keburukan-keburukannya/ kejahatannya/ dosa-dosanya.”

Ada suatu hikayat/ cerita tentang Keikhlasan dari Syaidina Ali KW. dan   keluarganya. Suatu hari Syaidina Ali KW. beserta keluarganya (Syaidatuna Fatimah Azahra, Syaidina Hasan dan Syaidina Husein) sedang kelaparan. Dia mendatangi seorang Yahudi untuk meminta pekerjaan memintal bulu woll yang dikerjakan oleh Syaidatuna Fatimah, dengan imbalan 3 gedeng gandum. Syaidatuna Fatimah pun memintalnya di hari pertama, kemudian hasilnya mendapatkan 1 gedeng gandum, dari gandum tersebut dibuatlah roti. Pada saat Syaidina Ali dan keluarganya akan memakan roti hasil dari upah memintal bulu woll tersebut, ada seorang miskin mengetuk pintu rumah mereka. Setelah dibukakan pintu, orang tersebut berkata: “Assalamu’alaikum hai Ali, aku adalah orang miskin dari umat Nabi Muhammad SAW., tolong berikan aku sesuatu makanan karena Alloh.”  Maka Syaidiana Ali memberikan semua roti kepada orang miskin tersebut, tidak ada roti yang ditinggalkan sepotongpun juga untuk dia dan keluarganya. Hari kedua, saat akan memakakan roti bersama keluaganya dari hasil memintal bulu woll, datanglah seorang yatim mengetuk pintu rumah mereka: “Assalamu’alaikum hai Ali, aku adalah seorang yatim dari umat Nabi Muhammad SAW., tolong berikan aku sesuatu makanan karena Alloh.” Akhirnya Syaidiana Ali memberikan semua roti kepada yatim tersebut, tidak ada roti yang ditinggalkan sepotongpun juga untuk dia dan keluarganya. Pada hari ketiga, saat akan memakakan roti bersama keluaganya dari hasil memintal bulu woll, datanglah seorang tawanan perang mengetuk pintu rumah mereka: “Assalamu’alaikum hai Ali, aku adalah seorang tawanan perang dari umat Nabi Muhammad SAW., tolong berikan aku sesuatu makanan karena Alloh.” Akhirnya Syaidina Ali memberikan semua roti kepada tawanan perang tersebut, dan tidak ada roti yang ditinggalkan sepotongpun juga untuk dia dan keluarganya. Sehingga pada akhirnya Syaidina Ali dan kelurganya tidur dalam keadaan kelaparan, karena tiga hari hasil upah memintal bulu woll, seluruhnya dishodaqohkan kepada orang miskin, yatim dan tawanan perang. Maka laparlah Syaidina Hasan dan Husein, kemudian Syaidina Ali mendatangi Baginda Nabi Muhammad SAW. dan ia menceritakan semuanya kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Kemudian Bagianda Nabi, mendatangi istrinya satu persatu, untuk meminta makanan untuk Syaidina Ali dan keluarganya. Tetapi Nabi tidak berhasil mendapatkan sesuatu dari istri-istrinya, sedangkan Nabi sendiri tidak mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada Syaidina Ali. Belum sempat Nabi menangani kelaparan dari keluarga Syaidina Ali, Syaidina Abu Baqar datang menghadap Nabi dan menceritakan bahwa dirinya pun sedang mengalami kelaparan juga. Ada yang menceritakan kepada Nabi, bahwa Miqdad bin Aswad mempunyai qurma (tamar), tetapi ternyata informasi yang didapat tidak benar, sehingga setelah didatangi ternyata tidak ada sesuatu pada Miqdad bin Aswad. Kemudian Nabi berkata kepada Syaidina Ali: “Hai Ali, ambil ini kantong dan pergilah mendekat kepada itu pohon qurma. Dan katakan kepada pohon qurma, bahwa Nabi berkata untukmu wahai pohon qurma, tolong berikan aku makan dari kau punya qurma.” Maka pohon qurma itu menjatuhkan qurmanya kedalam kantong yang sudah disiapkan oleh Syaidina Ali. Syaidina Ali memabawa itu qurma kepada keluaganya, sehingga Syaidina Ali dan keluarganya dapat makan dari itu qurma sampai kenyang. Dari sinilah turun ayat Al Qur’an yang menceritakan tentang keikhlasan dari Syaidina Ali KW. : Syaidina Ali berselera/ cinta/ gemar/ mempunyai keinginan dengan ini makanan, tetapi ia memberikan makanan kepada orang miskin, yatim dan tawanan perang. Syaidina Ali berkata, kami memberikan makan kepada kamu semata-mata karena mengaharap pahala dari Alloh (tidak ada tujuan lain), aku tidak mengharapkan balasan ataupun penghargaan.

Dikatakan lagi kepada Dzunuun Al Mishry (seorang Juhud dari Bangsa Mesir), ia orang yang pertama kali bicara tentang cinta kepada Alloh. “Kapankah hai Dzunuun, seseorang dapat mengetahui bahwa dia terbilang/ termasuk orang pilihan Alloh. Orang-orang khusus pilihan Alloh, yang Alloh pilih mereka. Dzunuun berkata: “Seseorang dapat tahu bahwa dia terbilang sebagai orang-orang pilihan Alloh, yaitu dengan 4 hal:
1.    Dia tinggalkan kesenangan, tidak banyak waktunya digunakan untuk istirahat, waktunya digunakan semaksimal mungkin untuk beribadah kepada Alloh.
2.    Ia memberikan apa yang ada pada dia, yang ada sedikit ia berikan kepada orang, apalagi bila ada banyak padanya. Ia kalahkan kepentingannya, padahal ia butuh pada itu harta atau itu makanan.
3.    Ia senang tidak popular/ tidak terkenal, ia senang jatuh popularitas/ kedudukannya.
4.    Baginya sama atau tidak berpengaruh disisinya pujian dan cercaan. Dipuji dia tidak menjadi bangga dan jika dicerca dia tidak kecewa.


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar