Selasa, 18 Agustus 2015

FIQIH (HAJI & UMROH) - Sunnah-Sunnah Haji & Umroh



Pokok Bahasan     :  FIQIH  (HAJI & UMROH)
Judul                    :  Sunnah-Sunnah Haji & Umroh
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.


SUNNAH-SUNNAH HAJI & UMROH
Sunnah-sunnah Haji dan Umroh ada 7, yaitu:

1.  Haji Ifrood
Arti Ifrood yaitu: mendahulukan amalan-amalan yang berkaitan dengan manasik Haji atas amalan-amalan yang berkaitan dengan manasik Umroh pada tahun itu juga. Jadi setelah tuntas/ selesai melaksanakan manasik haji baru kemudian melaksanakan manasik Umroh pada saat/ tahun itu juga.
Dengan jalan sebelum masuk ke Makkah (di Miqot) dia Ikhrom/ niat haji terlebih dahulu, dengan niat: “Nawaitul hajja wa ahromtu bihi lillahi taala.” Kemudian dia tuntaskan amalan-amalan manasik Haji, baik Rukun Haji maupun Wajib Haji. Setelah tuntas amalan manasik Haji sampai tahalul tsani, kemudian dia meninggalkan tanah haram Makkah menuju tanah Halal yang terdekat, hal itu sudah memadai. Dia dapat menuju ke tanah halal untuk mengambil miqot Umroh, dia dapat mengambil miqotnya dari Tan’iim (+ 7 Km dari Makkah) atau dapat mengambil miqot dari Hudaibiyah atau bila ingin mendapatkan pahala yang lebih besar dapat mengambil miqot dari Ja’roonah (+ 20 Km dari Makkah). Setelah sampai di tanah Halal yang dituju maka disitu baru dia Ikhrom/ niat Umroh: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha lillahi taala.” Kemudian selanjutnya di melaksanakan amalan manasik Umroh, yaitu mengerjakan rukun-rukun Umroh.
Hendaknya sebelum kita berangkat haji, alangkah baiknya bila kita mempelajari terlebih dahulu ilmu tentang manasik Haji dan Umroh. Jangan kita mengandalkan kepada orang-orang dari biro perjalanan haji, terkadang mereka mengerti tentang administrasi haji, tetapi mereka kurang memahami ilmu tentang manasik haji, sehingga terkadang apa yang mereka sampaikan/ terapkan bertentangan/ bertolak belakang  dengan ilmu manasik haji yang diajarkan dalam kitab-kitab.
Dinamakan Haji Ifrood, karena menyendirikannya atau memisahkannya tiap-tiap satu dari keduanya, yaitu memisahkan antara manasik haji dengan manasik umroh. Beda dengan Haji Qiroon, dua kerjaan dibikin satu. 
Bila kita melaksanakan Haji Ifrood, saat kita akan masuk ke Makkah maka kita sudah berpakaian ikhrom/ niat haji. Kita berpakaian ikhrom mulai dari masuk ke Makkah, menunggu sampai waktu pelaksanaan haji tanggal 9 Dzulhijah, dan sampai akhir manasik haji, yaitu melaksanakan tahalul tsani.
Andaikata di balik, dia mengerjakan manasik Umroh terlebih dahulu, baru kemudian dia mengerjakan manasik Haji, maka itu yang di sebut dengan Haji Tamattu. Disebut Haji Tamattu karena dia dapat bersenang-senang dengan dapat melakukannya hal-hal yang diharamkan dengan sebab ber-ikhrom. Bila saat kita ikhrom, kita tidak boleh memakai pakaian yang berjahit, tidak boleh memotong rambut atau kuku, tidak boleh memakai minyak wangi, tidak boleh bercampur dengan istri dll. Bila kita melaksanakan Haji Tamattu, artinya kita Umroh terlebih dahulu, dengan niat: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha lillahi taala.”  Maka saat kita masuk ke Makkah setelah niat umroh, kita kemudian Thawaf, setelah itu Sa’ii, dan diakhiri dengan tahalul (bercukur). Setelah tahalul maka selesailah umroh kita, kemudian kita dapat melepas pakaian ikhrom dan menggantinya dengan pakaian yang berjahit, dan kita juga dibolehkan mengerjakan yang tadinya diharamkan saat memakai pakaian ikhrom. Kita boleh memakai pakaian yang berjahit sampai nanti saatnya pelaksanaan manasik haji tanggal 9 Dzulhijah. Jadi kita dapat bersenang-senang antara manasik umroh dengan manasik haji.
Jika kita kerjakan Haji terlebih dahulu baru Umroh, maka itu yang disebut Haji Ifrood. Sedangkan bila kita mengerjakan Umroh terlebih dahulu baru Haji, maka itu yang disebut Haji Tamattu.
Alasan lain disebut Haji Tamattu, karena sebab gugurnya kewajiban kita kembali kepada miqot, baik miqot yang semula ataupun miqot-miqot makanni lainnya. Artinya nanti saat akan dimulai pelaksanaan manasik haji tanggal 9 Dzulhijah, kita tidak perlu keluar lagi dari Makkah untuk ikhrom/ niat haji, tetapi cukup niat hajinya di maqtab/ hotel/ penginapan kita masing-masing atau di Masjidil Haram. Bahkan kita tidak dibolehkan keluar ke tanah Halal untuk ikhrom/ niat haji.
Lain halnya saat kita sudah selesai melaksanakan Manasik Umroh, kemudian akan bikin Umroh sunnah, maka kita harus keluar terlebih dahulu ke tanah Halal, kita dapat mengambil miqotnya dari Tan’iim, Hudaibiyah ataupun ke Ja’roonah.
Haji Ada 3 Macam, yaitu: Haji Ifrood, Haji Tamattu dan Haji Qiroon.
Yang paling utama/ afdol adalah Haji Ifrood, karena Haji Ifrood paling berat dalam pelaksanaannya. Keutamaan yang kedua adalah Haji Tamattu. Jamaah Indonesia pada umumnya bikin haji Tamattu, karena lebih ringan dibandingkan dengan Haji Ifrood.
Setelah dia tuntaskan manasik Umrohnya, baru kemudian dia melaksanakan manasik haji. Disebut Haji Tamattu, karena dia melaksanakan umroh pada tahun itu juga (bulan haji). Bisa juga dia melaksanakan umrohnya bukan pada bulan haji, tetapi pada bulan Syawal ataupun bulan Dzulqo’dah, tetapi syaratnya masih ditahun itu juga. 
Setelah Haji Tamattu, maka keutamaan haji berikutnya adalah Haji Qiroon, yaitu dengan jalan dia Ikhrom di bulan-bulan Haji (bisa di bulan Syawal, Dzulqo’dah ataupun di bulan Dzulhijah itu sendiri), dengan niat: “Nawaitul hajja wa umrotta lillahi taala.” Pelaksanaan ibadahnya dengan jalan menggabungkan manasik haji dengan manasik umroh, artinya 2 kerjaan ibadah hanya dikerjakan 1 kali. Atau misalkan sebelumnya dia niat Ikhrom Umroh saja, yaitu dia niat: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha lillahi taala.”, kemudian pada saat dalam perjalanan menuju Makkah dan dia belum sempat melaksanakan manasik umrohnya dia merubah niatnya, dia masukan atas umroh tadi niat haji, yaitu niatnya berubah menjadi:  “Nawaitul hajja wa umrotta lillahi taala.” (Haji Qiroon). Dibolehkan dia merubah niatnya dengan syarat sebelum dia mengerjakan Thawaf, karena Thawaf adalah kerjaan pertama setelah Ikhrom/ niat. Setelah dia merubah niatnya menjadi Haji Qiroon, maka yang dikerjakannya adalah amalan/ manasik haji. Misalkan dia masuk ke Makkah sudah mendekati waktu pelaksanaan ibadah haji (misalkan tanggal 7 atau 8  Dzulhijah), maka dia mengerjakan manasik haji sekaligus dia dapat umrohnya. Karena masuknya yang kecil (umroh) ke dalam yang besar (haji).
Saat dia masuk Makkah, maka yang dikerjakannya adalah Thawaf Quduum, bukan Thawaf  Umroh, karena dia tidak bikin Umroh. Orang yang bikin Haji Qiroon maka disunnahkan baginya untuk melaksanakan Thawaf Quduum. Setiap orang yang masuk ke Makkah maka disunnahkan untuk Tahiyat, Tahiyat-nya adalah dengan Thawaf. Karena ada Hadist Shoheh  yang menyatakan: “Siapa orang yang niat Haji dan Umroh (Haji Qiroon), maka memadai/ cukup baginya dengan satu kali Thawaf.”  Padahal ada 2 macam Thawaf, yaitu Thawaf Haji dan Thawaf Umroh, tetapi dalam pelaksanaan Haji Qiroon kedua Thawafnya dapat di gabung menjadi satu kerjaan saja. Satu kali Sa’ii cukup bagi keduanya (Haji dan Umroh), hingga kemudian dia satu kali bertahalul untuk keduanya.
Kemudian dia dapat mengerjakan Sa’ii  atau bila waktu tidak memungkinkan, artinya sudah masuk tanggal 9 Dzulhijah dia langsung berangkat ke Padang Arafah untuk melaksanakan Wuquf. Setelah dari Wuquf dia melaksanakan Thawaf Ifadoh, bila dia belum sempat mengerjakan Sa’ii maka dia dapat mengerjakan Sa’ii setelah Thawaf Ifadoh.
Bila Haji Tamattu dia masuk ke Makkah setelah Ikhrom/ niat umroh di Miqot, kemudian dia mengerjakan Thawaf Umroh, kemudian dia Sa’ii dan ditutup dengan Tahalul, maka selesai manasik Umrohnya. Nanti pada tanggal 9 Dzulhijah dia mulai melaksanakan manasik haji, setelah dia Ikhrom/ niat haji, kemudian dia berangkat ke Padang Arafah untuk melaksanakan Wuquf, setelah selesai Wuquf dia kembali ke Makkah (tanggal 10 Dzulhijah) untuk melaksanakan Thawaf Ifadoh, kemudian dia Sa’ii dan diakhiri dengan Tahalul, maka selesailah manasik Hajinya.
Maka wajib atas tiap-tiap orang yang melaksanakan Haji Tamattu dan Haji Qiroon, untuk mengeluarkan dam satu ekor kambing. Terkena dam bila dia bukan penduduk asli atau muqim di Makkah dan jarak tempat tinggalnya dengan Makkah tidak kurang (lebih) dari dua marhalah. Tetapi bila dia penduduk asli Makkah/ Muqim di Makkah maka tidak terkena dam bila bikin Haji Tamattu atau Haji Qiroon.
Untuk jamaah haji yang mengerjakan Haji Ifrood tidak terkena dam, karena Haji Ifrood merupakan kerjaan Haji yang paling berat.
Mengapa orang yang melaksanakan Haji Tamattu terkena dam? Karena orang yang melaksanakan Haji Tamattu mengambil manfaat/ faedah/ keuntungan dia tidak mesti keluar dari Makkah untuk mengambil Miqot Haji. Orang yang melaksanakan Haji Tamattu, Ikhrom/ niat hajinya cukup di maqtab/ hotel/ pondokan/ masjidil Haram di Makkah, dia tidak perlu keluar lagi ke tanah Halal untuk mengambil miqot. Karena apabila dia mesti keluar lagi untuk mengambil miqot ke tanah Halal, maka akan menyita/ membuang  waktu. Sehingga wajib baginya untuk megeluarkan dam.
Sedangkan Haji Qiroon wajib mengeluarkan dam juga karena dia mengambil manfaat tidak kembali kepada miqot Umroh. Dia tidak mesti ke tanah Halal untuk miqot umroh. Karena orang yang akan bikin Umroh sunnah maka dia mesti keluar ke tanah Halal (Tan’iim/ Hubaidiyah/ Ja’roonah) terlebih dahulu.
Adapun orang yang tempat tinggalnya kurang dari dua marhalah dari tanah Haram (Makkah) tidak di wajibkan mengeluarkan dam, karena mereka tidak mengambil manfaat/ keuntungan dari miqot, karena mereka memang sudah ada (tinggal/ muqim) disitu.

2.  Mengucapkan Talbiyah
Kita disunnahkan saat kita ihrom memperbanyak untuk mengucapkan Talbiyah: “Labaika Allohuma labaika labaika la syarika laka labaika inalhamda wanni’mata laka walmulk la syariika laka.” 
Tetapi disaat Thawaf kita tidak disunnahkan membaca Talbiyah, karena ada bacaan (doa) khusus. Sedangkan disaat kita tidak Thawaf maka kita disunnahkan memperbanyak bacaan Talbiyah.
Disaat Sa’ii pun kita tidak disunnahkan membaca Talbiyah, karena ada doa (bacaan) khusus. Begitu juga disaat sedang melontar, karena juga ada doa (bacaan) yang khusus pula.

Orang lelaki disunnahkan mengangkat/ mengkeraskan suaranya pada saat Talbiyah, bukan pada kali yang pertama, tetapi pada bacaan yang kedua,  ketiga, tetapi jika tidak mengganggu orang.

Hadist Riwayat Tirmizi, Ibnu Majah dan Hakim: “Tidaklah seorang muslim yang membaca Talbiyah, melainkan di balas (menjawab) sesuatu (makhluk) yang ada di kanan dan kirinya.”  Talbiyah kita dijawab/ dibalas oleh makhluk (apapun itu) yang ada di kanan dan kiri kita seperti batu, pohon, tanah, bumi, dan semua mahluk Alloh, mereka semuanya menyepakati/ menyesuaikan diri untuk ber- Talbiyah bersama kita. Semua benda yang basah, yang kering, semuanya ber-Talbiyah bersama kita di seluruh permukaan bumi baik dari arah Timur maupun dari arah Barat.

Ucapan Talbiyahnya, yaitu: “Labaika Allohuma labaika labaika la syarika laka labaika inalhamda wanni’mata laka walmulk la syariika laka.” Disunnahkan menyebut di awal Talbiyahnya apa yang diniatkan dari ikhromnya, “Labaika Allohuma bi hajjin labaika la syarika laka labaika inalhamda wanni’mata laka walmulk la syariika laka.  atau “Labaika Allohuma bi umrotin labaika la syarika laka labaika inalhamda wanni’mata laka walmulk la syariika laka.”

Berkata sebagian ulama, disunnahkan untuk tidak menambah ataupun mengurangi sedikitpun juga atas ucapan Talbiyah ini. Sedangkan Imam Syafi’i men-sunnahkan menambahkan “….Labayka I’lahalhaqi….”  Setelah ucapan “la syarika laka….”  Karena ada Hadits Shoheh dari Nabi yang menyatakan tambahkan : “….Labayka I’lahalhaqi…” setelah ucapan: “la syarika laka….”

Setelah kita selesai membaca Talbiyah sebanyak 3X, kita disunnahkan bersholawat sebanyak 3X juga dengan sholawat apa saja, tetapi sholawat Ibrahimiyah lebih afdhol/ utama (yang biasa kita baca pada saat duduk Tasyahud sewaktu shalat). Ucapan sholawat kita kepada Nabi suaranya harus lebih rendah/ pelan dari pada suara kita di saat Talbiyah.

Setelah kita membaca Sholawat, kemudian kita membaca doa sebagai berikut: “Allohumma inni as’aluka ridhooka waljan’nah wa’audzubika minnan’nar. Allohumma aj’alnii minalladziina istajaabuulaka walirasuulika waamanuubika wawatsiquu biwa’dika wawafaw bi’ahdika wattaba’uu amroka. Allohummaaj’alnii min wafdikalladziina rodhita waartadhoytu. Allohuma yassirlii idza ma nawaytu wataqobbal minnii yaakariimu.”
Artinya:
Setelah bersholawat kita berdoa memohon kepada Alloh meminta sorga dan Ridho Alloh serta minta perlindungan Alloh dari api neraka jahanam. Ya Alloh jadikan aku terbilang orang-orang yang menjawab ajakanMU  dan ajakan RasulMU dan terbilang orang-orang yang beriman kepadaMU dan terbilang orang yang percaya dengan janji MU dan aku tunaikan janjiku kepadaMU, dan aku terbilang sebagai hamba-hambaMU yang memenuhi janjinya terhadapMU dan mengikuti perintahMU. Wahai Tuhanku, jadikan aku terbilang tamuMU yang KAMU Ridho pada tamu ini (aku), dan jadikan KAU Ridho kepada aku dan aku minta Ridho kepada KAMU. Wahai Tuhanku mudahkan aku manakala aku niat sesuatu, terima tobatku, dan terima doaku wahai Yang Maha Mulya.”

3.  Thawaf Quduum
Thawaf Quduum sebagai penghormatan bagi Ka’bah, sebab kita di sunnahkan Thawaf Quduum karena kita mendatangi Ka’bah. Thawaf Quduum di sunnahkan bagi:
a.     Khusus bagi orang yang halal, yaitu orang yang masuk ke Makkah tidak melaksanakan Manasik Haji ataupun Manasik Umroh, misalnya dia datang ke Makkah untuk berdagang, urusan pekerjaan ataupun hanya untuk tujuan wisata saja. Kehormatan Ka’bah adalah dengan Thawaf, sebagaimana kita memasuki masjid, maka kita disunnahkan Shalat Tahiyatul Masjid 2 rakaat, sebagai penghormatan kepada masjid.
b.     Bagi orang yang melaksanakan Haji Ifrood (mendahulukan Haji dari pada Umroh), dia masuk ke Makkah tidak dengan niat Umroh, tetapi dengan niat Haji yaitu: “Nawaitul hajja wa ahromtu bihi lillahi taala.” 
c.     Orang yang melaksanakan Haji Qiroon, yaitu orang yang melaksanakan Haji dan Umroh dalam waktu bersamaan/ di gabung,  dia masuk ke Makkah sebelum Wuquf di Padang Arafah, maka disunnahkan baginya untuk melaksanakan Thawaf Quduum, karena bila dia akan melaksanakan Thawaf Ifadhoh maka belum waktunya dan masih cukup waktu baginya untuk melaksanakan Thawaf Quduum. Adapun niat Haji Qiroon: “Nawaitul hajja wa umrotta lillahi taala.” Atau dia masuk ke Makkah setelah Wuquf di Padang Arafah, tetapi sebelum masuk waktu tengah malam Hari Raya Idul Adha (hari ke-10 Dzulhijah), karena waktu pelaksanaan Thawaf Ifadhoh adalah setelah tengah malam di hari ke-10 Dzulhijah. Misalkan setelah Wuquf di Padang Arafah dia tidak Mabiit di Muzdalifah, tetapi langsung menuju ke Makkah. Berarti dia meninggalkan Wajib Haji (Qaul yang mu’tamat), yaitu Mabiit (bermalam) di Muzdalifah, maka wajib baginya membayar dam berupa 1 ekor kambing. Apalagi bila dia berpegang pada Qaul (pendapat) yang mengatakan bahwa Mabiit di Muzdalifah hanyalah sunnah saja. Dia menuju ke Makkah melewati Muzdalifah sebelum tengah malam, dikatakan dia telah Mabiit di Muzdalifah bila dia keluar dari Muzdalifah setelah waktu tengah malam. Setelah sampai di Makkah ternyata belum masuk waktu tengah malam, maka belum dapat baginya melaksanakan Thawaf Ifadhoh, karena syarat dapat melaksanakan Thawaf Ifadhoh yaitu setelah Wuquf di Padang Arafah dan telah masuk waktu tengah malam di hari yang ke-10 Dzulhijah. Untuk itu dia disunnahkan melaksanakan Thawaf Quduum, nanti setelah masuk waktu tengah malam baru ia boleh melaksanakan Thawaf Ifadhoh. Andaikata ia masuk ke Makkah ba’da Wuquf dan sampai di Makkah telah lewat waktu tengah malam, maka ia tidak di sunnahkan lagi melaksanakan Thawaf Quduum, karena telah masuk waktu untuk melaksanakan Thawaf Ifadhoh.
Demikian juga tidak disunnahkan untuk Thawaf Quduum bagi orang yang melaksanakan Umroh atau Haji Tamattu manakala dia memasuki Makkah. Karena orang yang Umroh ataupun Haji Tamattu, saat ia memasuki Makkah tidak di sunnahkan baginya Thawaf Quduum, tetapi  dia melaksanakan Thawaf Umroh. Thawaf Umroh tadi sudah memadai sebagai pengganti dari Thawaf Quduum.
Seperti halnya saat kita memasuki masjid, dan Imam sudah mulai melaksanakan shalat wajib, maka jangan kita shalat tahiyatul masjid terlebih dahulu, tetapi kita langsung shalat wajib bersama imam, agar tidak tertinggal shalat berjama’ah, kita dianggap telah melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Shalat Sunnah Tahiyatul Masjid gugur karena sebab saat kita masuk ke masjid, sudah mulai melaksanakan Shalat Wajib ataupun kita akan mengerjakan Shalat Sunnah Qobliyah. Jadi Shalat Sunnah Tahiyatul Masjid tidak mesti khusus tersendiri, kecuali apabila waktunya lapang/ luas.

4.  Mabiit di Muzdalifah
Bermalam di Muzdalifah termasuk sunnah menurut Qaul/ pendapat yang Marjuh (Do’if), yaitu menurut pendapat dari Imam Ro’fii. Sedangkan menurut pendapat dari Imam Nawawi, Mabiit di Muzdalifah termasuk Wajib, maka Wajib bagi kita membayar dam apabila kita meninggalkan Mabiit di Muzdalifah.
Dalam Qaul Syar’iyah, bila ada khilaf/ perbedaan pendapat antara Imam Ro’fii dan Imam Nawawi, maka yang Mu’tamat  adalah pendapat dari Imam Nawawi. Qaul yang Marjuh/ Do’if boleh saja kita pakai/ gunakan, tetapi tidak boleh di fatwakan.
Bermalam di Muzdalifah dikerjakan setelah kita kembali pulang dari Padang Arafah. Mabiit di Muzdalifah adalah pada malam ke-10 Dzulhijah (Malam Hari Raya Idul Adha). Mabiit di Muzdalifah tidak memerlukan waktu lama, kita tidak perlu menginap di situ ataupun kita tidak perlu duduk lama sambil dzikir, tetapi sambil lewatpun jadi, asal saat kita melewati Muzdalifah sudah masuk waktu tengah malam.

5.  Shalat 2 Rakaat Setelah Thawaf
Setelah mengerjakan Thawaf kita disunnahkan melaksanakan shalat 2 rakaat. Dilaksanakannya setelah tuntas pelaksanaan Thawaf-nya (mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali), baik Thawaf Rukun ataupun Thawaf Sunnah. Tuntutan untuk mengerjakan Shalat Sunnah Thawaf tidak luput kecuali dengan kematian. Bila sudah mati, maka tidak ada tuntutan lagi dan keluarganya tidak perlu meng-kodho-kan. Mengapa bisa tuntutan melaksanakan sunnah Thawaf tidak akan luput, kecuali dengan kematian? Padahal kerjaan shalat 2 rakaat setelah Thawaf, sudah memadai apabila kita sudah mengerjakan shalat sunnah Qobliyah, Sunnah Dhuha, Shalat-Shalat  Fardhu ataupun shalat sunnah-sunnah apa saja. Mengapa kita tetap di tuntut mengerjakan Shalat Sunnah Thawaf, karena dengan pertimbangan kemungkinan dia tidak shalat setelah Thawaf, baik Shalat Fardhu ataupun Shalat Sunnah lainnya. Atau dia Shalat Fardhu atau Shalat Sunnah lainnya, tetapi dia “menafikan” Shalat Sunnah Thawaf, artinya dia tidak memasukkan niat untuk mengerjakan Shalat Sunnah Thawaf. Karena status Shalat Sunnah Thawaf adalah sama dengan Shalat Tahiyatul Masjid. Manakala kita datang ke masjid, maka ada tuntutan bagi kita disunnahkan mengerjakan shalat sunnah 2 rakaat Tahiyatul Masjid. Akan tetapi bila kita datang ke Masjid, sedang iqomah misalnya, maka kita tidak lagi mesti mengerjakan Shalat sunnah Tahiyatul Masjid. Bila demikian kondisinya, maka shalat apapun yang kita kerjakan di masjid sudah memadai/ dianggap kita mengerjakan Shalat Sunnah Tahiyatul Masjid. Shalat Sunnah Tahiyatul masjid adalah sebagai bentuk penghormatan kita terhadap masjid, dan Tahiyatul Masjid dapat dilaksanakan dengan Shalat apa saja (tidak mesti dengan niat khusus). Lain halnya saat kita masuk ke masjid, misalnya khotib Jum’at sedang khutbah, atau belum masuk waktu shalat fardhu, atau pelaksanaan shalat fardhunya masih lama, jadi kita masih mempunyai waktu luas untuk melaksanakan Shalat Sunnah Tahiyatul Masjid dengan niat yang khusus. Kita dapat saja menggabungkan niat Shalat Tahiyatul masjid kedalam niat Shalat Sunnah yang lainnya, seperti misalnya menggabungkan niat shalat sunnah Qobliyah dengan Shalat Sunnah Tahiyatul Masjid. Sebagian Ulama mengatakan niat ataupun tidak niat Shalat Sunnah Tahiyatul Masjid, pahlanya tetap dapat. Tetapi ada sebagian lagi yang mengatakan harus diniatkan. Begitulah keutamaan ilmu, bila kita tahu ilmunya, maka hanya dengan menambahkan niat, kita sudah mendapatkan pahala 2 kerjaan shalat sunnah.

Di saat siang hari kita dianjurkan shalat 2 rakaat Thawaf secara siir (perlahan-lahan), sedangkan di malam hari kita dianjurkan shalat 2 rakaat Thawaf secara jahar (keras), sehabis Shalat Shubuh masih dianjurkan membaca secara zahar sampai terbit matahari.

Anjuran melaksanakan Shalat Sunnah Thawaf adalah di belakang Maqom Nabi Ibrahim AS. Maqom yang dimaksud disini bukan kuburan, tetapi batu tempat berdirinya Nabi Ibrahim AS. saat ia membangun Ka’bah. Sedangkan kuburan dari Nabi Ibrahim AS. ada di Baghdad, Irak. Jika tidak dimungkinkan shalat sunnah Thawaf 2 rakaat di belakang maqom Ibrahim, maka lakukan di Ka’bah, atau Shalat di bawah Miizab (Pancuran Emas), atau Shalat di bagian dari Hijir Ismail (Hathim). Hijir (pangkuan), dimana Nabi Ismail AS. pernah di pangku ibunya disitu. Jika tidak memungkinkan juga shalat di Hijir Ismail, maka shalat di halaman Ka’bah (sejajar dengan Ka’bah), atau Shalat di muka/ di hadapan Ka’bah, atau shalat di antara Rukun Yamani dengan Hajarul Aswad, atau Shalat di bagian Masjidil Haram yang lain, atau di rumah istri Nabi Siti Khadijah (akan tetapi sekarang sudah tidak ada), atau Shalat di rumah kelahiran Nabi (tetapi sekarang sudah di jadikan perpustakaan), atau Shalat di bagian Makkah yang mana saja, atau di bagian tanah haram yang mana saja, atau bila tidak memungkinkan juga dapat di kerjakan di tanah halal.
Untuk saat sekarang rasanya sulit untuk dapat melaksanakan shalat di belakang Maqom Ibrahim ataupun di Hijir Ismail, karena kita akan mengganggu orang yang melaksanakan Thawaf. Tuntutan Shalat Sunnah Thawaf masih berlaku sebelum kita melaksanakan shalat. Shalatnya dapat dikerjakan pada siang atau malam hari.

Setelah Shalat Sunnah Thawaf, disunnahkan dia berdoa dengan doanya Nabi Adam AS.: “Allohumma innaka ta’lamu sirry waalaaniyati faaqbal ma’dzirotii wata’lamu haajatii fa’athinii su’ly wata’lamu maa fii nafsii faghfirlii faa innahu laa yaghfiruudzunuuba illa anta. Allohumma innii as’aluka iimaanan yu baasyiru qolby wayaqiinan shoodiqoon hatta a’lama annahu laayushiibuny il’la maqoddartahuly warodhiny biqodho’ika waqodarika.”

6.  Mabiit (Bermalam) di Minna
Bermalam di Minna di sunnahkan yaitu disaat berangkatnya jama’ah haji menuju Padang Arafah di malam ke-9 Dzulhijah, bukan disaat setelah Wuquf di Padang Arafah. Bila Mabiit di Minna yang Wajib Haji, maka dilaksanakannya pada malam ke-11, 12 dan 13 Dzulhijah.

Biasanya rombongan jama’ah haji sudah berangkat ke Padang Arafah dari tanggal 8 Dzulhijah, terkecuali bagi mereka yang memisahkan diri. Sebelum kita memasuki Padang Arafah, kita disunnahkan terlebih dahulu untuk bermalam di Minna. Tetapi karena kondisinya saat ini rombongan jama’ah haji sudah semakin banyak, maka sulit untuk menjalankan sunnah-sunnah semacam ini.

Disunnahkan bermalam di Minna pada malam ke-9 Dzulhijah adalah dalam rangka istirahat sebelum perjalanan kita di lanjutkan menuju Padang Arafah. Mabiit di Minna tidak ada kaitannya dengan Manasik Haji, jadi tidak ada kegiatan ibadah disitu. 

Mabiit di Minna yaitu dari kebanyakan malam-malam hari Tasyrik (11, 12 & 13 Dzulhijah). Kita disunnahkan bermalam minimal 2 malam dari 3 malam hari Tasyrik. Bila kita bikin Nafar Awal, maka kita menginap 2 malam di Minna, 1 malam tidak ada. Bila kita bikin Nafar Tsani, maka kita bermalam di Minna sebanyak 3 malam. Ini merupak qoul yang Marjuh (Do’if), yang menggap Mabiit di Minna hanya sunnah saja. Sedangkan menurut Qoul yang Mu’tamat, Mabiit di Minna adalah termasuk Wajib Haji.

Apabila dia tidak melakukan Nafar Awal, maka tentunya di bermalam hanya 2 malam saja (malam 11 dan malam 12), hari ke 12 nya sebelum masuk waktu maghrib dia sudah harus meninggalkan lokasi Minna. Bila sudah masuk waktu Maghrib dia masih disitu maka dia diwajibkan untuk bermalam lagi untuk melontar lagi besoknya. Tetapi bila dia tidak bikin Nafar Tsani, maka gugurlah kewajiban dia untuk Mabiit di malam ke-13.

Jadi yang bikin Nafar Awal, bila ia ingin segera meninggalkan Minna pada tanggal 12, maka tidak menjadi dosa, tidak ada sangsi dam. Malam 11 dan malam 12 dia menginap, hari ke-11 dan hari ke-12 dia melontar, kemudian menjelang Maghrib di hari ke-12 dia meninggalkan Minna, maka itu tidak dosa dan tidak ada sangsi membayar dam. Pada umumnya jama’ah Indonesia membikin Nafar Awal, tetapi ada yang lebih kuat lagi dia bikin Nafar Tsani, bermalam sebanyak 3 malam (malam 11, 12 dan 13).

Imam Rofi’i menyatakan bahwa Mabiit di Minna hukumnya Sunnah, tetapi yang Mu’tamat (Rojih),  Mabiit di Minna hukumnya Wajib. Bila orang berpegang pada pendapat Imam Rofi’i, maka meninggalkan Mabitt di Minna tidak ada sangsi apa-apa (tidak terkena dam, mud ataupun fidyah), karena hukumnya hanya Sunnah saja. Tetapi pendapat Imam Rofi’i ini lemah hujjahnya, lemah dalilnya, lemah argumennya. Qoul yang Marjuh tidak boleh difatwakan, tetapi bila kita ingin memakainya sendiri silahkan/ diperbolehkan.

Sedangkan pendapat dari Imam Nawawi, Mabiit di Minna hukumnya Wajib, bukan sunnah. Sudah ada tuntunan bila ada khilaf/ perbedaan pendapat antara Imam Rofi’i dengan Imam Nawawi, maka yang dipegang adalah pendapat dari Imam Nawawi, jangan perpegang dengan pendapat dari Imam Rofi’i.

Dalam satu pendapat lagi, yang terpenting adalah bahwa orang yang Mabiit ada di Minna saat terbit matahari. Padahal Mabiit di Minna ini kebanyakan malam (lebih dari setengah malam), jadi kita baru boleh meninggalkan Minna menuju penginapan kita setelah lewat dari waktu tengah malam waktu setempat, bagi mereka yang tidak mau terus-menerus tinggal di sana selama 2 atau 3 malam. Karena kondisi disana serba darurat, persediaan air terbatas dan lain-lain. Sehingga banyak jama’ah yang datang ke Minna menjelang Maghrib dari penginapannya.  Setelah melewati tengah malam di Minna, mereka kembali lagi ke penginapannya. Hal ini dibolehkan, jadi tidak mesti dari mulai Maghrib sampai waktu Shubuh.  

Jika meninggalkan Mabiit di Minna, misalkan dia bikin Nafar Awal (11 dan 12) dan dia meninggalkan 1 malam saja Mabiit di Minna, maka dia terkena sangsi 1 mud (6 Ons atau 1 liter), bila 2 malam 2 mud. Sangsi ini berlaku jika dia meninggalkan Mabiit karena tanpa adanya udzur syar’i. Jika dia termasuk orang yang membantu menyiapkan air dan lain-lainnya, maka dia tidak terkena sangsi membayar mud, karena dia ada udzur.
Andaikata ia tidak mampu membeli 1 liter beras untuk membayar mud, maka dia harus menggantinya dengan puasa selama 4 hari.

7.  Thawaf Wadaa’
Setelah tuntas amal-amal Haji atau Umroh kita, maka kita disunnahkan untuk mengerjakan Thawaf Wadaa’. Thawaf Wadaa’ adalah Thawaf perpisahan setelah kita menyelesaikan manasik-manasik Haji atau Umroh kita. Di saat kita akan meninggalkan kota Makkah, untuk berlayar ke satu tempat, baik dia sedang Ibadah Haji/Umroh ataupun bukan dalam rangka ibadah, baik perjalanan jauh atau tidak. Jadi kesimpulannya setiap orang yang akan meninggalkan kota Makkah, maka dia disunnahkan untuk mengerjakan Thawaf Wadaa’.

Seperti orang yang sudah tuntas melaksanakan manasik Haji, kemudian di akan keluar ke Tan’im untuk mengerjakan Umroh, padahal jarak antara Tan’im dengan Makkah hanya + 7 Km saja, maka baginya disunnahkan mengerjakan Thawaf Wadaa’ terlebih dahulu.

Dalam kitab ini disebutkan bahwa Thawaf Wadaa’ adalah termasuk Sunnah Haji, maka hal itu merupakan Qoul yang Marjuh/ Qoul yang Do’if. Sedangkan menurut Qoul yang Mu’tamat/ Qoul yang Rojih, Thawaf Wadaa’ termasuk Wajib Haji, karena dalil dan hujjahnya nyata betul.

Thawaf Wadaa’ ini wajib atas orang yang keluar dari Makkah menuju suatu tempat/ negeri yang jaraknya lebih dari 82 Km, baik dia Haji/Umroh ataupun bukan untuk urusan ibadah. Dia keluar dari Makkah menuju negerinya, meskipun jarak antara negerinya dengan Makkah kurang dari 82 Km, dia tetap diwajibkan melaksanakan Thawaf Wadaa’.

Dasar hukum di wajibkannya Thawaf Wadaa’ adalah berdasarkan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas RA. Nabi bersabda: “Janglah berangkat/ pergi/ berlayar salah seorang diantara kamu hingga ia akhiri pertemuannya dengan Ka’bah dengan jalan Thawaf.”  Dalam Hadist yang lain Nabi bersabda:“Janganlah seseorang diantara kamu berangkat/ pergi/ berlayar meninggalkan Makkah, hingga akhir perjumpaannya di Ka’bah.” (HR.  Abu Daud)

Andaikata orang yang Haji ingin kembali ke negerinya dari Minna (Minna masih bagian dari tanah Haram), maka dia Wajib masuk ke Makkah terlebih dahulu untuk melaksanakan Thawaf Wadaa’. Andaikata ia Thawaf  Ifadhoh dan Thawaf Wadaa’ pada hari ke-10, kemudian dia meninggalkan Makkah menuju Minna dan dia akan berangkat ke negerinya pada saat itu juga melalui Minna, maka Thawaf Wadaa’ yang dikerjakan tadi tidak memadai, dan dia wajib kembali ke Makkah untuk melaksanakan Thawaf Wadaa’, hal ini menurut Qoul yang Shoheh.

Thawaf Wadaa’ termasuk kewajiban ibadah yang tersendiri/ terpisah dan bukan termasuk bagian dari Manasik Haji, menurut Qoul yang Mu’tamat. Orang yang sedang haid ataupun nifas tidak ada kewajiban melaksanakan Thawaf Wadaa’. Akan tetapi manakala ia meninggalkan Makkah dan sudah mencapai jarak perjalanan sejauh 70 Km (belum mencapai 2 marhalah) dan ternyata haidnya/ nifasnya sudah berhenti, maka baginya ada 2 pilihan, dia harus kembali ke Makkah untuk melaksanakan Thawaf Wadaa’ atau di kena sangsi membayar dam 1 ekor kambing. Tetapi bila perjalanannya sudah melebihi dari 2 marhalah, maka tidak ada tuntutan baginya untuk kembali ke Makkah untuk melaksanakan Thawaf Wadaa’ ataupun bayar dam. Bagi orang yang meninggalkan Thawaf Wadaa’ maka ada kewajiban membayar dam 1 ekor kambing.

Banyak kejadian dari rombongan Jama’ah Haji, besok misalnya ba’da Shalat Dzuhur kita sudah ditentukan akan berangkat dari Makkah menuju Jeddah atau bandara, maka malamnya oleh pimpinan rombongan kita sudah di ajak melaksanakan Thawaf Wadaa’ dan setelah selesai melaksanakan Thawaf Wadaa’ kembali lagi ke hotel untuk menginap lagi, maka Thawaf Wadaa’ kita tidak sah, sehingga kita ada kewajiban membayar dam. Jadi seharusnya setelah kita melaksanakan Thawaf Wadaa’ maka kita langsung berangkat meninggalkan Makkah, kita tidak boleh kembali untuk istirahat atau duduk atau makan di hotel lagi, apalagi sampai menginap. Bila hal itu kita lakukan, maka kita wajib mengulangi Thawaf Wadaa’ kita.

Bila dia tetap tinggal di hotel/ penginapan setelah Thawaf Wadaa’ bukan untuk melaksanakan Shalat, atau untuk mempersiapan perjalanan/ pelayaran seperti untuk membeli bekal dalam perjalanan, maka dia wajib mengulangi Thawaf Wadaa’-nya.

Siapa orang yang berada di tanah haram Makkah padahal dia tidak sedang melaksanakan ibadah Haji atau Umroh, misalnya keberadaannya dia disitu untuk urusan bisnis, dagang, belajar, ataupun urusan lainnya. Kemudian dia ada keinginan untuk keluar dari Makkah, baik untuk kembali ke tanah airnya ataupun meneruskan perjalanannya, ataupun dia merupakan penduduk asli kota Makkah yang akan mengangadakan perjalanan keluar dari kota Makkah, maka wajib atas mereka melakukan Thawaf Wadaa’ (Thawaf Perpisahan) terlebih dahulu sebelum meninggalkan kota Makkah, menurut qoul yang Mu’tamat. Alasan diwajibkannya melaksanakan Thawaf Wadaa’ bagi orang yang akan meninggalkan kota Makkah adalah:
1.    Guna menghormati tanah Haram Makkah.
2.    Diserupakan/ di Qias/ di Analogi bagi diwajibkannya orang yang akan keluar dari tanah haram Makkah untuk melaksanakan Thawaf Wadaa’ terlebih dahulu, karena di wajibkannya atas orang yang masuk ke tanah haram Makkah untuk melaksanakan Thawaf Quduum ataupun Thawaf Umroh terlebih dahulu, sebagai bentuk penghormatan kepada tanah haram Makkah. Sebagaimana di awal di datang ke tanah haram Makkah di awali dengan Thawaf (Thawaf Quduum/ Thawaf Umroh), maka di akhir perpisahannya dengan tanah haram Makkah juga di akhiri dengan Thawaf (Thawaf Wadaa’). Dalam suatu qoul (Qoul yang tidak Mu’tamat), ada pendapat ulama yang menyatakan: “Dijadikannya Thawaf Wadaa’ ini terbilang sebagai bagian dari manasik, maka di khususkan Thawaf Wadaa’ ini untuk orang yang sedang melaksanakan Mansik Haji ataupun Manasik Umroh.” Apabila keberadaannya di Makkah tidak untuk melaksanakan Manasik Haji ataupun Umroh, maka tidak diwajibkan atasnya untuk melaksanakan Thawaf Wadaa’. Sebagai catatan, qoul yang do’if (tidak mu’tamat), boleh dipakai sendiri tetapi jangan di fatwakan.

Bagi seorang laki-laki (baik masih kecil/ belum baligh), sekalipun orang tersebut tidak berakal/ gila, yang sedang melaksanakan manasik Haji ataupun manasik Umroh, maka wajib baginya untuk melepaskan/ menanggalkan diri dari pakaian-pakaian yang berjahit. Lain halnya dengan perempuan dan banci (un’saa), di bolehkan baginya menggunakan pakaian-pakaian yang berjahit, di selain wajah dan dua tangan, wajah dan tangan harus terbuka/ tidak boleh tertutup. Maka haram bagi perempuan menggunakan kaus tangan pada saat sedang ber-ihrom, sedangkan kaus kaki bagi perempuan wajib memakainya, sedangkan bagi laki-laki diharamkan memakainya. Ini adalah pendapat yang mu’tamat, sebagaimana tertulis dalam Kitab Majmu.

Wajib melepaskan diri dari pakaian berjahit bagi laki-laki adalah di saat dia akan niat Ihrom (berpakaian ihrom) dan setelah dia niat ihrom (saat melaksanakan manasik Haji/ Umroh) hingga selesai Manasik Haji/ Umrohnya, yaitu sampai Tahalul (bercukur). Setelah bercukur baru dibolehkan menggunakan pakaian yang berjahit. Pakaian yang berjahit tidak boleh dipakai meskipun hanya di sebagian badan kita, misalkan kantong/ tempat untuk menampung jenggot yang panjang, hal itu tidak dibolehkan juga.

Jika dituturkan/ diuraikan dengan “Muhit”, maka lebih utama lagi, karena cakupannya lebih luas lagi, karena pengertian dari Muhit adalah tidak boleh menggunakan pakainan yang melindungi/ menyarungi. Sedangkan pengertian dari “Mahit” adalah tidak dibolehkannya menggunakan pakaian yang berjahit. Andaikata ada konsensus yang menyatakan bahwa yang dilarang adalah pakaian yang Muhit (bukan Mahit), maka lebih utama lagi, karena cakupannya lebih luas lagi. Muhit disini termasuk juga pakaian yang di tenun, yang di sulam, yang di ikat (semacam Torbus = peci khas Turki). Jadi bila “Muhit” yang jadi acuan, maka bukan hanya baju berjahit yang tidak dibolehan, tetap juga termasuk baju yang dari tenunan atau sulaman. Termasuk juga memakai sepatu yang menutupi seluruh jari-jari dua kaki dan mata kaki, dan semacam sandal model slop ataupun sepatu bot, tidak boleh digunakan. Sedangkan sandal semacam sandal jepit dibolehkan, karena tidak menutupi semua jari-jari kaki. Nabi mensunnahkan kita memakai sandal saat sedang ikhom, asalkan sandal tadi tidak menutupi seluruh jari-jari kaki.

Diwajibkan memakai Ijjar (kain ihrom) dan Ridda yang tidak berjahit. Serta disunnahkan Ijjar dan Ridda-nya yang berwarna putih dan masih baru. Bila tidak mampu membeli yang baru, maka silahkan/ diboleh menggunakan yang lama tetapi yang masih bersih. Makruh menggunakan ijjar (kain ihrom) dan ridda yang mutanajis yang sudah kering. Makruh pula menggunakan kain yang di celup warna/ di wantek, baik sebagian ataupun seluruhnya, sekalipun pewarnaan (wantek) tadi sebelum benang tersebut di tenun menjadi kain. Ketentuan ini berdasarkan qoul yang nyata dan jelas.

Disunnahkan memakai dua sandal saat sedang Ihrom, karena ada Hadist Nabi yang menyatakan: “Hendaknya kalian ihrom salah seorang daripada kamu dengan menggunakan ijjar (kain ihrom), ridda dan dua sandal.”  


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar