Pokok
Bahasan : FIQIH (HAJI & UMROH)
Judul : Muharamatul Ihrom Haji & Umroh
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Muharamatul
Ihrom yaitu: Sesuatu hal yang diharamkan dikerjakan/ dilakukan dengan sebab
Ihrom. Semua Muharamatul Ihrom (yang diharamkan saat Ihrom Haji dan Umroh)
semuanya terbilang sebagai dosa-dosa kecil, apabila kita langgar/ kerjakan.
Kecuali membunuh binatang/ hewan yang Muhtarom, yaitu binatang yang dihormati/
tidak boleh dibunuh oleh Syara, binatang yang tidak ada anjuran untuk
membunuhnya. Bila kita membunuh binatang yang Muhtarom tentunya ada sangsinya,
binatang yangn muhtarom yaitu binatang liar yang dimakan dagingnya, bukan
binatang peliharaan (ternak) seperti sapi liar, kambing liar, dll. Binatang
liar yang keluar dari hutan-hutan misalnya, lalu masuk ke kota-kota. Bahkan
meskipun kita tidak sedang Ihrom, tetapi kita berada di tanah suci, maka kita
tidak dibolehkan membunuh binatang yang Muhtarom.
Terkadang
orang salah dalam pengertian/ pemahaman, mereka menganggap bahwa saat sedang
Ihrom, maka dilarang membunuh semua/ segala jenis binatang, tidak terkecuali
dengan lalat atau nyamuk. Padahal yang dimaksud disini adalah tidak boleh
membunuh binatang liar yang dimakan dagingnya. Apakah kita memakan daging lalat
atau nyamuk? Tentunya tidak, oleh karena itu kita dibolehkan membunuh lalat
atau nyamuk. Bahkan kita dibolehkan membunuh binatang yang dapat membahayakan
diri kita semacam ular, kalajengking, kelabang dll. karena mereka bukan
termasuk binatang liar yang dimakan dagingnya.
Membunuh
binatang yang Muhtarom termasuk dosa besar. Dan yang termasuk dosa besar pula
adalah Jimaa’ Mufsid, yaitu Jimaa’
yang merusak haji kita. Jimaa’ ada yang merusak ibadah Haji kita adapula yang
tidak merusak ibadah haji kita. Jimaa’ Mufsid (Jimaa’ yang merusak) adalah
manakala ia sudah niat Ihrom Haji atau Ihrom Umroh, misalkan ia telahWuquf di
Padang Arafah, akan tetapi ia belum
Tahalul Awal dan dia melakukan Jimaa’ bersama istrinya, maka hal itu merusak
ibadah Hajinya, tetapi tidak membatalkan ibadah hajinya, artinya dia harus
tetap menuntaskan ibadah manasik hajinya. Selama dia belum Tahalul Awal, maka
Jimaa’ yang dilakukannya termasuk Jimaa’ Mufsid.
Yang
dimaksud Tahalul Awal, yaitu melakukan 2 dari 3 rukun haji. Misalkan dia sudah
mengerjakan Wuquf di Padang Arafah, kemudian Mabid di Muzdalifah dan
dilanjutkan ke Mina untuk melontar, selanjutnya dia bercukur, setelah bercukur
maka dia disebut sudah melakukan Tahalul Awal. Apabila setelah Tahalul Awal dia
melakukan Jimaa’ bersama istrinya, maka hal itu tidak merusak ibadah hajinya.
Akan tetapi dia tetap terkena sangsi ringan. Bila dia sudah mengerjakan 3 rukun
haji, maka dia disebut sudah melakukan Tahalul Tsani.
Ada 2 Cara
Untuk Sampai Pada Tahalul Awal, yaitu:
a. Setelah Wuquf
di Padang Arafah dan Bermalam di Muzdalifah, maka jama’ah Haji melakukan/
mengerjakan:
1. Melontar di Minna
2. Tahalul (Bercukur).
b. Apabila
ternyata Minna sudah dipenuhi oleh jama’ah sehingga kita tidak di izinkan
memasuki Minna, maka setelah Wuquf di Padang Arafah dan Bermalam di Muzdalifah,
jama’ah Haji melakukan/ mengerjakan:
1.Thawaf & Sa’ii (dihitung satu)
2. Tahalul (Bercukur).
Bila
kita sudah melakukan Tahalul Awal, maka halal segala sesuatu yang semula
diharamkan saat berpakaian Ihrom, kecuali Jimaa’ dan Mukadimahnya (ciuman,
cumbu rayu, berpelukan, berpegangan, merangkul dll.). Bila melakukan Jimaa’
setelah Tahalul Awal, tetapi sebelum Tahalul Tsani, hal tersebut tidak merusak
ibadah hajinya, tetapi terkena sangsi.
Misalkan
setelah menyelesaikan Thawaf & Sa’ii di Makkah dan Bercukur, kemudian di ke
Minna untuk melontar, maka dia sudah selesai mengerjakan Tahalul Tsani. Atau
Tahalul Tsani dapat juga ditempuh dengan cara dia melontar terlebih dahulu di
Minna, dilanjutkan dengan bercukur, kemudian selanjutnya dia menuju Makkah
untuk melakukan Thawaf & Sa’ii. Setelah dia melakukan Tahalul Tsani, maka
menjadi halal segala sesuatu yang tadinya diharamkan (tidak ada sangsi lagi)
pada saat kita sedang memakai pakaian Ihrom.
Sedangkan
orang yang melakukan Jimaa’ Mufsid (melakukan Jimaa’ sebelum Tahalul Awal) dia
harus tetap melanjutkan ibadah manasik hajinya meskipun manasik hajinya telah
rusak dan dia wajib mengkodho ibadah
hajinya pada tahun yang akan datang dengan segera (fauron).
Apabila
dia melakukan Jimaa’ setelah Tahalul Awal (sebelum Tahalul Tsani), maka dia
terkena sangsi berupa menyembelih 1 ekor onta, bila tidak ada onta maka dapat
diganti dengan 1 ekor sapi, dan bila tidak ada sapi maka dapat diganti dengan 7
ekor kambing. Bila ternyata tidak ada juga 7 ekor kambing, maka dia wajib
menaksir harga dari 1 ekor onta, dan uangnya digunakan untuk membeli makanan
pokok (gandum atau beras). Kemudian makanan pokok tersebut di shadaqohkan
kepada faqir miskin yang ada disana. Apabila dia tidak sanggup untuk
mengeluarkan shadaqoh sebanyak itu, maka dia wajib menggantinya dengan
berpuasa. Jumlah hari puasanya sebilangan/ sebanding dengan banyaknya orang yang mendapatkan
shadaqoh dari makanan pokok yang dibagikan. Artinya dari uang yang ditaksir
seharga 1 ekor onta tadi, bila dibelikan makanan pokok, maka cukup untuk
diberikan kepada berapa orang? Misalkan cukup untuk diberikan sebanyak 200
orang, maka sebanyak 200 hari ia harus berpuasa.
Saat
ini ada wacana dari kaum liberalis untuk memindahkan dam/ denda haji ke
Indonesia, dengan alasan karena di Makkah sudah terlalu banyak dan berlebihan
sedangkan disini masih banyak yang masih kekurangan. Pemikiran mereka sudah
lepas dari tuntunan Al Qur’an dan Hadist, mereka sudah tidak memperhatikan/
mempertimbangkan dalil yang mengatur sah atau tidaknya bila dam dikeluarkan/
diabayarkan di luar kota Makkah. Dam/ denda haji tidak dapat dipindahkan disini
ataupun dimanapun karena ada dalil Al Qur’an yang mengatur, yang tidak boleh
dikeluarkan dam itu kecuali di Makkah.
Muharamatul Ihrom
Umroh & Haji Ada 10, yaitu:
1. Diharamkan Menggunakan Pakaian yang Berjahit/
Bersarung
Semacam gamis (pakaian yang tidak
terbuka dari depan), dan baju koko,
kemeja, baju toga, jubah (pakaian yang terbuka dari depan). Diharamkan
juga memakai sepatu ataupun slop yang menutupi mata kaki dan bagian atas dari
kaki, sedangkan memakai sandal jepit/ terompah dibolehkan. Tidak dibolehkan
juga memakai sesuatu yang dijahit dengan tenunan atau di sulam. Semacam baju
perang yang tidak dijahit, tetapi bentuknya terkurung. Pakaian Ihrom yang
dipakai jama’ah haji berjahit, tetapi ia tidak terkurung. Dan diharamkan pula
memakai sesutu yang diikat/ dilipat/ ditempel, semacam kantong untuk menampung
jenggot. Serta diharamkan memakai sarung tangan (baik laki-laki ataupun
perempuan), sedangkan sarung kaki bagi perempuan wajib memakainya, sedangkan
laki-laki tetap diharamkan.
2. Diharamkan Mengunakan Penutup Kepala
Bagi laki-laki diharamkan menutup
kepalanya sebagian kecil ataupun seluruh kepalanya, baik halnya rambutnya
ataupun kulit kepalanya bagi yang tidak memiliki rambut. Akan tetapi tidak
haram menutup rambut yang sudah keluar dari batasan kepala, misalnya untuk
orang yang rambutnya panjang/ gondrong. Akan tetapi orang gondrong bukan
termasuk ciri dari orang-orang sholeh. Nabi pernah memuji seorang sohabat yang
bernama Huraain. Nabi berkata: “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Huraain, tetapi
malang hilang kebaikan tadi mana kala rambutnya sudah melewati pundaknya.”
Haram menutup bagian kepala bagi
laki-laki baik sebagian atau seluruhnya, baik untuk Ihrom Haji ataupun Ihrom
Umroh. Sedangkan bagi perempuan menutup kepala adalah wajib. Bagi laki-laki
yang jelas kelaki-lakiannya, yaitu yang hanya punya satu alat kelamin laki-laki
saja. Yang dimaksud sebagai penutup (satir) kepala adalah yang menurut pendapat
umum disebut sebagai penutup. Jadi bukan sekedar menutup kepala, tetapi penutup
kepala yang dianggap oleh pendapat umum sebagai penutup. Meskipun terlihat
jelas batok kepala atau rambutnya karena akibat terlalu tipisnya penutup kepala
tersebut, misalnya dari bahan pelastik atau kain yang sangat tipis. Meskipun
sangat tipisnya, selama menurut pendapat umum hal itu disebut menutup, maka
selama itu pula haram digunakan bagi laki-laki untuk menutup kepalanya.
Dalam hal Ihrom kain atau bahan yang
sangat tipis masih dianggap menutupi. Akan tetapi lain halnya dengan Shalat,
ada kewajiban bagi kita menutup aurot. Tetapi manakala kita menutup aurot
dengan kain yang tipis, maka itu belum disebut sebagai menutup aurot. Jadi
tidak sah shalat kita, bila kain penutup yang kita gunakan menampakkan kulit
kita, sehingga menampakkan aurot yang mestinya tertutup.
Dalam hal Ihrom Haji/ Umroh
kain/bahan yang tipis disebut menutup, tetapi dalam hal Shalat kain/ bahan yang
tipis dianggap tidak menutup aurot.
-
Memakai
Imamah/ Sorban diharamkan karena menutupi sebagian kepala kita.
-
Haram
juga menggunakan Aroqiah, yaitu sesuatu yang dipakai di bawah Imamah, berupa
kain untuk menyerap keringat, jangan sampai imamahnya menjadi cepat kotor dan
basah.
-
Diharamkan
juga memakai Torbus, semacam peci orang-orang Turki.
-
Diharamkan
juga menutup kepala dengan tanah atau dengan Hena/ Pacar, sehingga batok
kepala/ rambut kita tidak kelihatan. Yang dilarang digunakan adalah Tanah atau
Hena/ pacar yang digunakan secara tebal/ kental, sehingga menutupi warna rambut
dan batok kepala, jika tidak tebal maka dibolehkan.
Jika memang suatu benda dianggap
tidak menutup, menurut pendapat umum (public opini), maka hal itu tidak
diharamkan dan tidak terkena resiko membayar dam 1 ekor kambing, bila kita
menggunakannya. Banyak masalah-masalah fiqih yang kembali kepada pendapat umum.
-
Meletakkan tangannya di sebagian kepalanya
tanpa hajat (misalnya karena sakit atau lainnya), maka hal ini tidak disebut
sebagai penutup, karena tidak ada orang yang menganggap tangan sebagai penutup
kepala. Sehingga tidak haram bila kita melakukannya, asalkan tidak ada niat
ataupun tujuan untuk menutupi kepalanya dari sengatan matahari ataupun lainnya.
Lain halnya bila menggunakan penutup yang berupa benda, semacam kain, tanah/
hena yang tebal dan lainnya, ada atau tidak adanya niat/ tujuan, tetap di haramkan.
-
Memasukkan/
menceburkan/ mengguyur kepalanya dengan air, air tidak dapat dikatakan sebagai
penutup, meskipun faktanya air tersebut menutupi kepalanya. Karena air menurut
pendapat umum bukan sebagai penutup.
-
Berteduh
dengan mahmal (payung), Rumah/Tenda pada kendaraan Onta, menaiki kendaraan
(bis, mobil ataupun lainnya) yang ada kap/ penutupnya. Semua itu menutupi,
tetapi menurut pendapat umum tidak dikatakan sebagai penutup. Meskipun ada niat
darinya untuk menutupi, tetapi masih dianggap tidak menutupi, karena pendapat
umum tidak menganggapnya sebagai penutup. Meskipun mahmal/ payung/ kap tadi
menyentuh/ menempel pada kepalanya karena badannya tinggi, maka hal itu masih
tidak mengapa atau tidak dianggap menutup.
Hukum-hukum dalam Fiqih banyak
dikembalikan kepada pendapat umum, selama tidak ada batasan hukum agama yang
pas.
-
Manakala
orang yang sedang Ihrom Haji atau Umroh memakai baju yang berlapis, memakai
baju di atas baju (memakai baju double), tetapi masa/ zamannya berbeda (tidak
langsung pada saat itu juga). Jika baju yang kedua menutupi sesuatu/ bagian
tubuh yang tidak tertutup oleh baju yang pertama, misalnya baju yang pertama
tidak ada tangannya dan baju yang kedua ada tangannya, maka berbilang-bilang
sangsinya, sangsinya menjadi 2 atau damnya menjadi double 2 ekor kambing. Jika
pakaian yang kedua tidak menutupi bagian tubuh yang tidak tertutup oleh pakaian
yang pertama, atau pemakaian antara baju yang pertama dengan baju yang kedua
tidak berbeda zamannya (langsung memakai 2 baju saat itu juga), maka sangsi/
damnya tidak double, artinya sangsinya hanya 1 ekor kambing saja.
Sama halnya dengan baju, bila ia
memakai penutup kepada double tetapi tidak satu masa/ zaman, maka sangsi damnya
juga double (2 ekor kambing). Tetapi bila penutup yang kedua tidak menutupi
bagian kepala yang tidak tertutup oleh penutup yang pertama, atau pemakaian
penutup yang pertama dan penutup kedua tidak berbeda masa/ zaman, maka sangsi
damnya hanya 1 ekor kambing saja.
Sangsi membayar dam ini berlaku bila
ia tahu hukumnya haram dan ia sengaja melakukannya, lain halnya bila ia tidak
tahu hukumnya, atau ia tidak sengaja melakukannya ataupun karena ia lupa, maka
ia tidak terkena sangsi membayar dam. Karena hal ini merupakan bab (masalah)
Tarofuh (sifatnya hanya untuk bersenang-senang), jadi bila ia lupa atau dia
tidak tahu, maka tidak terkena dam. Tetapi bila menyangkut bab (masalah) It’laq
(sifatnya membinasakan), seperti membunuh binatang yang muhtarom, menggunting
kuku, menggunting rambut/ kumis/ jenggot, maka tahu atau tidak tahu, lupa atau
tidak lupa, tetap terkena sangsi/ dam.
Hal-hal yang diharamkan bagi
perempuan baik sedang Ihrom Haji ataupun sedang Ihrom Umroh, yaitu menutup
muka/ wajahnya, baik sebagian atau seluruhnya dengan sesuatu yang oleh pendapat
umum dianggap sebagai ‘satir’ (penutup). Bersalahan hukumnya bila ia
(si-perempuan)menutup muka/ wajahnya dengan sesuatu yang tidak dianggap ‘satir’
(penutup) oleh pendapat umum, maka tidak haram. Maka tidak haram bagi perempuan
menaruh/ meletakkan tangannya di atas sebagian mukanya, karena tangan tidak
dianggap sebagai ‘satir’ oleh pendapat umum, meskipun zohirnya, tangan tersebut
menutupi sabagian wajahnya.
Dan wajib atas si-perempuan, menutup
sebagian wajahnya yang tidak mungkin/
tidak dapat menutup seluruh kepala kecuali dengan menutup sebagian kecil
muka/wajah tersebut. Tadi disebutkan haram menutup muka/ wajah, tetapi sebagian
muka wajib ditutup, asalkan tidak menutup seluruhnya atau sebagian besarnya,
tetapi hanya sebagian kecil saja, yaitu ujung kening/ jidat. Karena bila hal
itu tidak dilakukan, maka kepala tidak akan tertutup seluruhnya. Kaidah Fiqih:
-
Suatu
kewajiban yang tidak mungkin dilakukan/ dikerjakan dengannya, maka menjadi
wajib hukumnya.
-
Sesuatu
yang wajib yang tidak mungkin dilakuan dengan menutup sebagian yang tidak
wajib, maka menutup yang tidak wajib menjadi wajib hukumnya.
Karena tidak mungkin dapat menutup
seluruh kepala, maka menjadi wajib hukumnya menutup sebagian dari kening/jidat.
Dalam pakaian Ihrom, perempuan wajib menutup seluruh kepalanya, demikian pula
saat ia mengerjakan shalat, karena kepala adalah aurot bagi perempuan dalam
shalat. Hal ini dilakukan dengan tujuan dalam rangka menutup seluruh kepalanya.
Sedangkan budak perempuan tidak di
wajibkan menutup kepala, karena aurot budak perempuan dihukumkan sama dengan
aurot dari laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut. Aurot perempuan yang
merdeka adalah seluruh anggota badan kecuali muka dan dua telapak tangan.
Perempuan dibolehkan menurunkan dari
atas wajahnya baju, kain, kerudung atau apa saja, asalkan kain tadi yang
menutupi wajahnya jauh dari wajahnya/ tidak menempel dari kulit wajahnya. Bila
kain tadi sampai menempel pada kulit wajah, maka tidak diperbolehkan, karena
hal itu sama saja dengan menutup wajah. Agar kain tersebut tidak menempel pada
kulit wajahnya, maka dapat digunakan penghalang berupa kayu, besi, batu ataupun
yang serupa dengannya. Kain tersebut digunakan baik untuk tujuan menangkal
panas atau dingin atau tidak ada tujuan apapun.
Jika ternyata kain penghalang tadi sampai
menyentuh kulit wajahnya, karena akibat perbuatannya sendiri, atau akibat
tertiup angin atau tersenggol orang tetapi dia biarkan saja, tidak cepat dia
tangkal/ singkirkan sehingga menjauh lagi dari kulit mukanya, maka wajib
baginya membayar fidyah/ dam 1 ekor kambing.
Bila jatuhnya penutup muka karena
terpaksa/ tidak sengaja, sehingga mengenai kulit mukanya, tetapi segera
diangkat dengan cepat/ segera, maka tidak wajib membayar fidyah/ dam.
Adapun Un’sa (banci= yang mempunyai
dua alat kelamin), sebagaimana dikatakan oleh Abu Toyib Al Qodry: Banci
diperintahkan untuk menutup kepalanya, karena dia diihtimalkan kemungkinan dia
perempuan. Dan dibolehkan bagi si-banci untuk memakai pakaian yang berjahit,
tetapi disunnahkan baginya untuk tidak mememakai pakaian yang berjahit, karena
diihtimalkan kemungkinan dia laki-laki. Penentuan apakah dia sebagai laki-laki
atau perempuan, ditentukan oleh hasil pemeriksaan dari dokter muslim yang ahli
dan adil. Saat dia buang air kecil, dilihat dimana keluarnya, apakah di alat
kelamin laki-lakinya atau alat kelamin perempuannya?
Adapun fidyah/ dam berupa kambing,
atas pendapat mayoritas (sebagian besar) ulama, apabila si-banci menutup
wajahnya, sedangkan perempuan yang normal haram menutup wajahnya saat ia sedang
Ihrom. Apabila si-banci:
1. Menutup
wajanya dan kepalanya di buka.
2. Menutup
kepalanya dan wajahnya di buka
3. Membuka
keduanya (wajah dan kepala) secara bersamaan.
4. Menutup
keduanya (wajah dan kepala) secara bersamaan.
Hal itu tidak ada sangsinya membayar
fidyah/ dam, karena adanya syak/ keraguan kemungkinan dia laki-laki atau dia
perempuan.
Bila dia melakukan/ mengerjakan yang
ke-1 dan yang ke-3, maka hanya dosa saja dan tidak terkena fidyah/ dam. Karena
haram dilakukan atas keduanya (membuka kepalanya) tadi apabila saat ia sedang
shalat, ataupun dihadapan laki-laki yang
bukan mahromnya. Keharamnya bukan dari sudut Ihromnya, tetapi dari sudut
shalat. Karena bagi perempuan dalam shalat, tidak boleh/ haram menutup wajahnya
dan tidak boleh/ haram membuka kepalanya.
Apabila si-banci melakukan/
mengerjakan yang ke-2 (menutup kepalanya dan membuka wajahnya), maka tidak
berdosa baginya dan tidak terkena fidyah/ dam. Karena adanya kewajiban bagi
perempuan untuk menutup kepala dan membuka wajahnya, dan banci dihukumkan
sebagai perempuan.
Apabila si-banci melakukan/
mengerjakan yang ke-4 (menutup keduanya, yaitu wajah dan kepalanya), maka dia
berdosa dan terkena sangsi membayar fidyah/ dam. Karena bila dia kemungkinan
perempuan, maka diharamkan menutup wajahnya, tetapi dia wajib menutup
kepalanya. Sedangkan bila dia laki-laki, maka diharamkan menutup kepalanya.
3. Diharamkan Menyisir Rambut
Menurut pengarang dari kitab ini (Abu
Qosim Al Godzi) disaat Ihrom, lelaki dan perempuan diharamkan mengurai rambut
dengan mengunakan sisir dan meminyaki rambut kepala atau rambut yang ada di
wajah (kumis/ jenggot), sekalipun hanya satu rambut saja yang ada di kepala
atau di wajah yang dengan tujuannya untuk berhias/ bersolek, sekalipun minyak
yang digunakannya tidak wangi (seperti: minyak zaitun, minyak kelapa, minyak
kemiri, lilin cair dan lain sebagainya). Akan tetapi hal ini termasuk qaul/
pendapat yang Marjuh/ Dhoif (tidak Mu’tamat). Sedangkan yang tertulis dalam
Kitab Maj’mu karangan Imam Nawawi, menyisir rambut tanpa diminyakin hukumnya
makruh saja, inilah pendapat yang Mu’tamat.
Dan dibolehkan bagi orang yang sedang
Ihrom, membasuh/ menyiram ia punya badan dan kepala dengan seumpama shibir
(campuran air dengan bidara). Tetapi sekalipun dibolehkan melakukannya saat
sedang Ihrom
disunnahkan untuk tidak melakukannya,
itu yang terbaik.
Berdasarkan pendapat dari Imam
Syafi’i saat beliau berada di Bagdad (Qaul Qodim), membasuh/ menyiram ia punya
badan dan kepala dengan seumpama shibir (campuran air dengan bidara) saat
sedang Ihrom hukumnya makruh saja,
sekalipun dibolehkan sebaiknya jangan dilakukan. Karena kerjaan tersebut
mengandung berhias/ bersolek diri. Gambaran haji berdasarkan perkataan Nabi,
bahwa orang yang pergi haji itu disebutkan rambutnya kusut dan mukanya berdebu.
Jadi sekalipun dibolehkan, tetapi hukumnya makruh dan untuk yang melakukannya/
mengerjakannya tidak terkena sangsi fidyah ataupun dam.
Pendapat dari pengarang kitab, bahwa
dengan hanya menyisir rambut/ mengurai rambut/ melepas rambut (tidak dalam
keadaan terikat/ terkepang) ke bawah dengan mengunakan sisir saja sudah
termasuk hal yang diharamkan, meskipun tidak menggunakan minyak rambut.
Semestinya tidak seperti itu, bila
hanya menyisir rambut saja tanpa minyak, maka hukumnya tidak haram, hanya
sebatas makruh saja. Sedangakan yang haram adalah menyisir rambut dengan
menggunakan minyak apa saja ataupun lilin cair, karena itu termasuk berhias/
bersolek.
Jadi pengertiannya bukan menyisir
ramut yang diharamkan, melainkan meminyakkan ia punya rambut, sebagaimana di
tafsirkan dalam Kamus Al Muchtar.
Menggaruk rambut dengan kuku,
hukumnya makruh juga, karena dikhawatirkan rambutnya akan rontok/ lepas. Sebab
mencabut rambut saat sedang Ihrom tidak dibolehkan.
Makruh juga hukumnya menggaruk
seumpama tangan atau kaki di atas seumpama pelana binatang ternak (kuda/ onta),
yaitu kita menggaruk tangan atau kaki kita dengan cara menggosokkannya ke
pelana binatang ternak/ tunggangan. Karena dikwatirkan ada bulu tangan atau
bulu kaki yang rontok/ lepas.
4. Diharamkan Mencukur Rambut
Bila larangan meminyakin rambut
terbatas pada rambut yang ada di bagian kepala dan rambut yang ada di bagian
muka saja (jenggot, kumis, cambang, alis dll.), tetapi meminyakin rambut yang
ada di tangan, kaki, ketiak dll. dibolehkan. Sedangkan yang diharamkan dicukur/
dicabut bukan hanya rambut yang ada di
kepala dan di muka saja, tetapi juga rambut yang ada diseluruh tubuh kita
dibagian manapun juga. Karena sangat-sangat haramnya, maka diharamkan mencukur/
mencabut rambut sekalipun rambut yang ada di dalam tubuh kita, misalnya seperti
mencabut rambut yang berada di dalam hidung kita.
Yang dimaksud mencukur disini tidak
hanya terbatas dengan menggunakan alat semacam pisau atau gunting, tetapi juga
termasuk dengan cara mencabut menggunakan tangan, atau dengan cara dibakar,
atau dengan cara apapun juga untuk menghilangkan rambut yang ada di seluruh
bagian tubuh kita tidak dibolehkan/ diharamkan.
Mencukur/ mencabut diharamkan bila
rambut yang kita cukur/ cabut tadi tidak mengikut pada kulit (hanya semata-mata
rambut saja), lain halnya bila kulit kita mengelupas dan rambut tadi ikut
tercabut, maka hal itu tidak menjadi haram, karena tujuannya adalah mencabut
kulit bukan mencabut rambut, sedangkan rambut hanya mengikuti kulit.
Segala sesuatu yang dilakukan yang
berakibat It’laq (membinasakan/ memusnahkan/ menghilangkan), lepas/ tanggal
dari badan kita (bercukur melepaskan rambut dari tubuh kita), maka sekalipun ia
lupa ataupun ia tidak tahu hukumnya, maka tetap terkena sangsi/ wajib membayar
fidyah/ dam. Terkena sangsi fidyah/ dam karena ia tidak tahu hukumnya ataupun
ia tidak sengaja/ lupa, hal ini munasabahnya untuk fidyah/ dam, tetapi tidak
dihukumkan haram, karena ada unsur ia tidak tahu atau ia tidak sengaja atau ia
lupa melakukannya. Sedangkan untuk disebut haram apabila ia melakuannya karena
ia memenuhi syarat: aliman (tahu hukumnya), amidan (sengaja melakukannya) dan mukhtaron
(tidak ada unsur paksaan).
Tetapi bila yang bersifat Tarofuh,
tidak membinasakan/ menghilangkan, seperti memakai minyak wangi ataupun memakai
pakaian yang berjahit, maka bila ia tidak tahu hukumnya ataupun ia tidak
sengaja atau lupa, maka tidak terkena sangsi fidyah/ dam.
5. Diharamkan Menggunting Kuku
Pada saat Ihrom Haji ataupun Ihrom
Umroh diharamkan mengguting kuku, yaitu dengan menghilangkan kuku dari tangan
atau kaki kita dengan jalan digunting, dipotong, dicabut, atau dengan cara
menggigitnya atau dengan cara apa saja. Kecuali tidak diharamkan jika kukunya
pecah/ patah sebagian saat sedang Ihrom dan ia terganggu dan sakit karenanya,
maka ia boleh menghilangkan/ mencabut/ memotong kuku yang pecah/ patah saja dan
kuku yang tidak rusak/ sehat tidak boleh dihilangkan/ dipotong. Menghilangkan
kuku yang patah/ pecah tersebut tidak terkena fidyah/ dam. Tetapi bila
memotong/ menghilangkan kuku tanpa udzur yang membolehkan, maka terkena fidyah/
dam.
Sama hukumnya, andaikata ada rambut
yang tumbuh/ keluar dari mata kita dan kita terganggu karenanya, maka kita
dibolehkan mencabutnya, meskipun saat kita sedang ihrom haji ataupun ihrom
umroh. Hal ini dibolehkan dan tidak terkena sangsi dam, karena tumbuhnya rambut
tersebut mengganggu pandangan kita.
Andaikata ia potong jarinya beserta kukunya
(misalnya karena amputasi), maka tidak haram dan tidak terkena dam. Karena yang
dipotong jarinya dan kuku hanya mengikut pada jarinya.
6. Diharamkan Memakai Minyak Wangi
Diharamkan memakai minyak wangi saat
sedang ihrom haji ataupun ihrom umroh, apabila ia aliman (tahu hukumnya),
amidan (sengaja melakukannya) dan mukhtaron (tidak ada unsur paksaan). Yang
dimaksud minyak wangi disini adalah segala sesuatu yang dipakai yang
dikehendaki dari padanya bau/ wanginya.
Dibolehkan/ tidak haramkan bila kita
menggunakan minyak kayu putih, minyak angin, minyak tawon, atau minyak lainnya,
yang meskipun ada bau/ wanginya tetapi yang di kehendaki darinya bukan baunya
melainkan untuk tujuan melegakan hidungnya ataupun untuk menghilangkan pusing
di kepalanya dan lain-lain, bukan untuk tujuan bersolek/ berhias.
Yang tidak dibolehkan adalah minyak
wangi atau suatu benda yang wangi tadi di tempelkan/ dioleskan/ dilumuri pada
bagian tubuhnya ataupun pada bajunya, di ikat pada bagian bajunya (misalnya
kantong).
Dikecualikan dari yang disebutkan di
atas, apabila kita sedang ihrom dan kita membeli minyak wangi dan kita bawa
atau kita taruh di dalam kantong baju kita, maka hal itu dibolehkan/ tidak
diharamkan, karena hal itu tidak dimaksudkan memakai minyak wangi. Atau
misalnya sambil ihrom, dia mengantongi minyak wangi untuk tujuan berjualan,
maka hal itu dibolehkan/ tidak diharamkan.
Memakai minyak wangi dengan cara
dipakai dibadannya yang zhohir (ditempelkan/ dioleskan ke badannya), atau ia
berhimpun/ berkumpul di tempat orang yang sedang membakar dupa (kayu gahru,
mustaki dll.), atau ia menyiramkan/ mencipratkan air mawar, atau ia memakai
ramuan tumbuh-tumbuhan semacam spa, atau ia memakai wangi-wangian secara bahtin
dengan cara meminum minyak wangi ataupun meminum ramuan, atau ia teteskan di
anggota badannya (seperti: hidung/telinga/mata), atau ia suntikkan minyak wangi
ke dalam tubuhnya, maka itu semua diharamkan untuk dikerjakan. Sama saja/ tidak
beda antara minyak wangi yang murni ataupun minyak wangi yang telah dicampur,
hal tersebut tetap di haramkan.
Terkecuali bila kadar minyak wangi
yang dipakai sudah hilang/ binasa wangi/ baunya karena sudah terlalu lama
dibuka atau terlalu lama disimpan, sehingga wanginya sudah hilang, meskipun
masih ada warnanya, maka hal tersebut tidak menjadi haram bila dipakai.
Padahal dalam beberapa ibadah,
seperti shalat kita malah dianjurkan memakai minyak wangi, karena untuk
menghadap Alloh. Meskipun ibadah haji dan umroh juga bertujuan menghadap Alloh,
tetapi tujuan utama dari ibadah haji/ umroh adalah untuk menunjukkan kesusahan
kita, I’tiqot kita, kerendahan hati kita dihadapan Alloh, jadi tidak ada unsur
kemewahan dalam pelaksanaan ibadah haji/ umroh, minyak wangi termasuk dalam
unsur kemewahan.
Tidak ada bedanya dalam hal
menggunakan minyak wangi, sama saja baik laki-laki ataupun perempuan. Artinya
baik laki-laki ataupun perempuan sama-sama diharamkan menggunakan minyak wangi
pada saat sedang ihrom haji/ umroh. Sama halnya dengan orang yang tidak
mempunyai kemampuan untuk mencium bau sesuatu (misalnya karena ada penyakit
pada hidungnya), maka tetap diharamkan memakai minyak wangi. Syarat
diharamkannya adalah: aliman (tahu
hukumnya), amidan (sengaja melakukannya) dan mukhtaron (tidak ada unsur
paksaan).
Keluar dari syarat tersebut, apabila
minyak wangi tumpah atau terlempar
akibat dari tiupan angin, sehingga terkena badan atau baju kita. Setelah
mengetahui minyak wangi terkena badan atau bajunya, maka ia segera
membersihkannya/ menghilangkannya disaat ia mampu untuk membersihkannya/ menghilangkannya (misalnya
dengan cara mencucinya), maka tidak haram dan tidak ada sangsi baginya.
Atau keluar dari syarat tersebut di
atas, apabila dia dipaksa/ diancam untuk dibunuh apabila tidak memakai minyak
wangi, setelah orang yang mengancamnya sudah tidak ada (kondisinya sudah aman),
maka ia segera menghilangkan minyak wangi yang ada dibadan ataupun di bajunya,
maka tidak haram dan tidak ada sangsi baginya.
Atau keluar dari syarat tersebut di
atas, apabila ia tidak tahu hukumnya memakai minyak wangi saat ihrom haji atau
umroh adalah haram. Misalkan karena dia baru masuk Islam, atau jauh dari ulama,
atau lainnya.
Atau misalkan dia tidak tahu bahwa
yang dipegang/ disentuhnya/ melekat di tangan atau bajunya adalah minyak wangi.
Setelah ia tahu bahwa yang disentuh/ dipegangnya adalah minyak wangi, maka ia
segera membuangnya/ menghilangkannya, maka tidak haram dan tidak ada sangsi
baginya.
Atau dia lupa bahwa ia sedang ihrom
haji atau umroh, dan setelah ia ingat maka segera dihilangkannya, maka tidak
haram dan tidak terkena sangsi fidyah/ dam baginya.
Jika orang tahu bahwa menggunakan
minyak wangi saat ihrom haji/ umroh adalah haram, tetapi ia tidak tahu bahwa
ada sangsi fidyahnya, maka ia wajib membayar fidyah. Seharusnya orang ini menghindar/
menjauhi dari minyak wangi, karena ia tahu memakai minyak wangi hukumnya haram
saat ihrom haji/ umroh. Oleh karena orang ini tahu keharamannya memakai minyak
wangi saat sedang ihrom haji/ umroh, yang tidak diketahuinya hanya tentang
sangsi/ fidyahnya saja, maka diberatkan baginya terkena sangsi berupa fidyah.
7. Diharamkan membunuh binatang buruan (liar) yang
hidup di darat dan dimakan dagingnya.
Di saat sedang ihrom haji/ umroh
diharamkan membunuh binatang liar yang hidup di darat dan keluar dari hutan
(bukan binatang ternak), serta dagingnya boleh untuk dimakan. Terkadang karena
kurangnya ilmu, mereka menganggap bahwa membunuh semua binatang, termasuk jenis
serangga juga diharamkan. Serangga penggangu semacam lalat ataupun nyamuk tidak
termasuk binatang yang diharamkan untuk di bunuh saat kita sedang ihrom haji/
umroh.
Asal dari binatang yang haram dibunuh
tersebut adalah binatang liar, sebelum pada akhirnya ia telah menjadi binatang
yang jinak. Misalkan asal mulanya dari binatang liar dari hutan, kemudian
dipelihara/ dirawat sehingga menjadi jinak, maka tetap tidak dibolehkan untuk
dibunuh.
Atau binatang yang asalnya binatang
jinak (tidak liar), boleh dimakan dagingnya, dan hidup di darat, semacam sapi
atau keledai (himar) yang kemudian menjadi liar karena hidup di alam bebas,
maka diharamkan pula untuk di bunuh.
Yang diharamkan dibunuh pula adalah
binatang semacam burung yang hidup di air, semacam bebek.
Sebagaimana haram membunuh binatang
liar yang hidup di darat yang dimakan dagingnya, maka kita diharamkan pula
untuk memburunya, kita tangkap, kita kuasai (disimpan/ dikandangkan).
Sekira-kira binatang buruan tadi dalam kekuasaannya, dia bisa membunuhnya,
mememotongnya atau melepaskannya. Sekalipun dia dapat mengusai binatang
tersebut dengan jalan dia beli dari pasar, atau dengan jalan orang memberi
hadiah kepadanya (hibah), atau dengan jalan dia sewa, atau dengan jalan orang
meminjamkannya.
Diharamkan pula mengganggu bagian
dari anggota badan dari binatang liar yang hidup di darat yang dimakan
dagingnya. Seperti mengganggu/ mengusir binatang semacam burung dara/ merpati
yang berada di pelataran masjid, juga tidak dibolehkan. Mengganggu bagian dari
anggota binatang, seperti kita ganggu tangannya, kita sepak kakinya, kita cabut
bulu/ rambutnya, atau kita ambil telur/ anaknya.
Bagi pemilik binatang-binatang buruan
yang berada di sekitar tanah haram, manakala ia akan ihrom haji/ umroh maka
wajib baginya untuk melepaskan ia punya binatangnya, karena tidak boleh
menguasai binatang buruan. Dengan sebab ihrom, maka hilanglah kepemilikannya
atas binatang buruan tadi. Dan ia dapat kembali memiliki binatang buruan
tersebut dengan sebab tahalul (setelah selesai ihrom haji/umroh), dengan jalan
ia menangkapnya kembali atau dengan jalan membeli atau dengan jalan sewa dan
lainnya.
8. Diharamkan Melakukan Nikah, baik Ijab (dari Wali Perempuan) dan Qobul (dari Calon
Pengantin Pria)
Dalam transaksi jual-beli, ada Ijab
dan Qobul, Ijab-Qobul dalam jual-beli
adalah suatu lafadz yang memindahkan hak kepemilikan. Dalam jual-beli,
Ijab-Qobul menjadi milik. Sedangkan dalam nikah, Ijab-Qobul tidak menjadikan
istri kita sebagai milik kita, sehingga
kita tidak dapat memperlakukan istri kita semau kita. Jika Ijab-Qobul dalam
pernikahan dapat menjadi milik, maka perempuan bisa dijual, dikontrakkan
ataupun disewakan. Ijab-Qobul dalam pernikahan hanya memberikan kesempatan atau
dibolehkan oleh Syara’/ Agama untuk memanfaatkan kehormatan perempuan
(farjinya) dengan kalimat Alloh. Kita ambil perempuan dari rumah orang tuanya
dengan amanat dari Alloh kepada kita, lepas tanggung jawab orang tua perempuan
dan berpindah tanggung jawabnya kepada kita. Kalimat: “Qobiltu Nikahaha
….(dst.)”, kalimat itu yang menjadikan kita halal menggauli istri kita.
Haram dan tidak sah bagi seorang wali
yang sedang Ihrom Haji/ Umroh menikahkan anaknya, demikian juga dengan calon
pengantin ataupun wakil dari calon pengantin yang sedang Ihrom Haji/ Umroh.
Haram dan tidak sah pula bila wali yang sedang Ihrom Haji/ Umroh memberikan
izin kepada anak perempuannya untuk menikah atau memberikan izin kepada orang
lain untuk menikahkan anak perempuannya. Dan tidak sah pula bagi seorang tuan
memberikan izin kepada budaknya untuk menikah. Haram dan tidak sah pula ia
melakukan akad nikah untuk dirinya sendiri padahal ia sedang Ihrom Haji/ Umroh.
Haram dan tidak sah bila bapak (wali)
yang akan menikahkan anak gadisnya sedang Ihrom Haji/ Umroh dan ia mewakilkan
kepada orang lain untuk menikahkan anaknya yang ada di tanah air. Atau bila
bapak (wali) dari anak perempuannya ada
di tanah air, dan ia mewakilkan kepada orang lain yang sedang Ihrom Haji/ Umroh
untuk menikahkan anak perempuannya. Demikian pula halnya bila calon pengantin
prianya sedang Ihrom Haji/ Umroh dan ia mewakilkannya kepada orang lain yang
ada di tanah air. Atau si-pengantin prianya ada di tanah air dan yang menjadi
wakilnya sedang Ihrom Haji/ Umroh, maka hal itu juga diharamkan dan tidak sah
pernikahannya. Jadi tidak sah dan haram hukum pernikahannya apabila salah
satunya Muwakil atau Muwakalnya sedang Ihrom Haji/ Umroh. Orang yang sedang
Ihrom Haji/ Umroh tidak boleh menikah dan menikahkan.
Tidak tercegah/ tidak terlarang/
dibolehkan/ tetap sah, mengakad-nikahkan atau menikahkan bagi Kepala Negara atau Wakil Kepala Negara/ Imam/
Pemimpin Negara/ Presiden/ Raja dan Qodhi/ Hakim saat mereka sedang Ihrom Haji/
Umroh. Kepala Negara atau Qodhi (Hakim) sedang Ihrom Haji/ Umroh, mereka tetap
sah/ dibolehkan menikahkan orang.
Ketentuan seperti ini membuat timbul
pertanyaan bagi orang, tadi disebutkan bahwa orang yang sedang Ihrom Haji/
Umroh dilarang untuk menikah (untuk dirinya) dan menikahkan orang lain (sebagai
wali). Tetapi ternyata seorang Kepala Negara, Qodhi/ Hakim dapat menikahkan
orang. Padahal Kepala Negara dan Qodhi tadi tahu hukumnya (aliman), sengaja
melakukannya (amidan) dan tidak ada unsur paksaan (mukhtaron), pernikahannya
tetap sah dan tidak menjadi dosa.
9. Diharamkan Berhubungan Badan (Bersetubuh/ Jimaa’)
Diharamkan pula berhubungan badan di
saat sedang Ihrom Haji/ Umroh padahal dia belum Tahalul Tsani. Dikatakan
berhubungan badan dan wajib mandi apabila ia memasukan ia punya hasafah (kepala
kemaluannya) tengelam/ tidak terlihat sepenuhnya. Apabila lelaki yang tidak
mempunyai hasafah, maka diperkirakan kadar/ perkiraan sepanjang ukuran normal
dari hasafah. Bila ia memasukannya hasafahnya ke farji, maka batal puasanya,
bila ia puasa, dan wajib mandi serta haram hukumnya saat ia sedang Ihrom Haji/
Umroh dan terkena membayar dam dan sangat besar sangsinya. Yang membuat jimaa’
haram dikerjakan saat Ihrom Haji/ Umroh adalah apabila: ia normal (tidak gila),
ia tahu hukumnya (aliman), bahwa orang yang belum Tahalul Tsani, haram hukumnya
melakukan jimaa’, baik dengan istrinya, budaqnya ataupun dengan orang lain
(zina), baik sedang Haji ataupun Umroh, baik dilakukan di qubul (lewat kemaluan
depan) ataupun melalui dubul (kemaluan belakang), baik kemaluan yang masih
nyambung dengan badan ataupun kemaluan yang sudah terlepas dari badan/
terpotong. Misalkan ada badan perempuan yang sudah terpotong/ tidak utuh lagi,
kemudian dia memasukan hasafahnya kedalam farji perempuan yang sudah terpotong
tadi, atau ada hasafah yang sudah terputus dari badan laki-laki, kemudian
perempuan memasukkannya ke dalam farjinya, maka tetap tidak dibolehkan/ haram
hukumnya. Sekalipun alat vitalnya dibungkus dengan penghalang, semacam kain,
pelastik ataupun kondom. Ia melakukan jimaa’ dengan farji perempuan ataupun
dengan farji laki-laki/ unsa’, dan jimaa’ dengan binatang juga tetap tidak
dibolehkan/ haram.
10.
Diharamkan Berhubungan/
Bersentuhan Antara Kulit pada Selain Farji (Bukan Berhubungan Badan)
Bersentuhan kulit (mubaasyaroh) pada
selain farji, berpegangan/ bersentuhan tangan, mencium istri atau orang lain
dengan syahwat, hal ini haram hukumnya saat sedang Ihrom Haji/ Umroh padahal ia
belum Tahalul Awal. Adapun bila bersentuhan/ mencium istri, tetapi tidak dengan
syahwat maka tidak haram.
Kesimpulannya apabila kita
bersentuhan langsung dengan istri kita disertai dengan syahwat (nafsu birahi),
maka hukumnya haram dan ada sangsinya/ kewajibannya membayar fidyah. Sekalipun
bersentuhan dengan istri tersebut, tidak sampai mengeluarkan mani, hukumnya
tetap haram dan terkena sangsi membayar fidyah.
Melakukan Istim’na (onani/
masturbasi), mengeluarkan ia punya sperma dengan tangan, itupun hukumnya haram
manakala ia sedang Ihrom Haji/ Umroh dan ia belum Tahalul. Melakukan Istim’na
(onani/ masturbasi), apabila dilakukan tidak sampai keluar mani, maka hukumnya
haram tetapi tidak terkena sangsi fidyah. Akan tetap bila sampai keluar mani,
maka hukumnya haram dan wajib mengelurkan fidyah.
Memandang dengan penuh syahwatpun
hukumnya haram, bagi orang yang belum tahalul. Memandang dengan syahwat,
menyentuh/ memegang istri dengan syahwat, tetapi dengan dinding/ penghalang/
kain, tidak langsung melihat/ menyentuh kulitnya, maka tiap satu dari keduanya
hukumnya haram saja, tetapi tidak wajib fidyah, sekalipun sampai keluar mani.
Andaikata ia melakukan wathi’
(bersetubuh) dengan istrinya, setelah sebelumnya ia mubaasyaroh (bersentuhan
kulit), dan atau sebelumnya ia istim’na (onani/ masturbasi), maka masuklah
fidyah keduanya (fidyah mubaasyaroh dan fidyah istim’na) kedalam fidyah jimaa’.
Jadi fidyahnya cukup satu saja, yaitu fidyah jimaa’. Sekalipun timbul/
terbitnya jimaa’-nya tadi tidak disebabkan oleh mubaasyaroh ataupun istim’na.
Jadi yang mendorong dia jimaa’ bukan karena mubaasyaroh ataupun istim’na.
Sekalipun masa/ waktu antara mubaasyaroh dengan jimaa’ atau istim’na dengan jimaa’
itu panjang/ lama. Karena masuknya yang kuat atas yang lemah. Mubaasyaroh atau
Istim’na hukumnya lemah, sedangkan jimaa’ sangsinya keras. Oleh karena itu
damnya cukup satu saja, yaitu melebur/ menjadi satu dengan dam jimaa’, jadi
tidak perlu mengelurkan dam lagi untuk mubaasyaroh dan dam untuk istim’na.
Dan
tiap-tiap satu dari yang sepuluh yang telah disebutkan dalam Muharamatul Ihrom
Haji & Umroh ada fidyahnya/ sangsinya/ konsekwensinya. Keterangan tentang
fidyahya akan dibahas pada pasal yang akan datang, pada pasal: “Dam-dam yang
wajib di saat Ihrom karena meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram.”
Jimaa’
membuat rusak haji kita, gara-gara kita jimaa’ umroh kita menjadi rusak,
manakala kita belum menuntaskan rukun-rukun umroh. Jimaa’ yang dilakukan saat
kita sedang ihrom, menjadi rusak umroh kita yang semata-mata umroh, umroh yang
menyendiri (umroh yang tidak disertai dengan haji). Misalkan kita umroh bukan
pada bulan haji, atau kita melakukan haji tamat’tu dengan niat saat masuk ke
Makkah: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha
lillahi taala.”
Manakala
terjadi itu jimaa’ pada umroh yang menyendiri (semata-mata umroh), sebelum
tuntasnya amalan-amalan (rukun-rukun) umroh kita, maka rusaklah ibadah umroh
kita. Rukun Umroh hanya 4, yaitu: Ihrom (niat Umroh), Thawaf, Sa’ii dan Tahalul
(cukur).
Lain
halnya dengan Haji Qiroon (mengabungkan antara Ibadah Haji dan Umroh), dengan
niat: “Nawaitul hajja wa umrotta wa
ahromtu bihi lillahi taala.” Jika hajinya rusak, maka otomatis umrohnya
rusak. Adapun umroh yang ada dalam kandungan haji, umroh masuk dalam kandungan
haji (digabung dengan haji) pada haji Qiroon, maka umrohnya mengikuti hajinya
dalam segi sah dan rusaknya. Manakala sah hajinya maka sah pula umrohnya dan
bila rusak hajinya maka rusak pula umrohnya.
Gambarannya
mengikutinya rusak atau tidak rusaknya si-umroh atas si-haji, misalkan dia
menggauli istrinya setelah melontar Jumbrotil Aqobah (1 rukun), Thawaf Ifadhoh
dan Sa’ii (digabung menjadi 1 rukun), maka ia sudah melakukan 2 rukun. Jika
sudah melakukan 2 rukun dari 3 rukun, maka disebut sudah Tahalul Awal. Dan jika
sudah tuntas/ selesai melakukan ketiga rukun baru disebut sudah Tahalul Tsani.
Dalam hal ini ia melakukan jimaa’ sebelum bercukur, maka ia baru disebut tahlul
awal, belum tahalul tsani, maka sah
hajinya, tetapi haram hukumnya. Bila itu dilakukan, maka sangsinya
berat, dia wajib membayar dam 1 ekor onta dan hajinya tetap harus dilanjutkan.
Bila sudah tahlul awal, maka semua yang tadinya diharamkan saat ihrom menjadi
halal, misalnya memakai pakaian yang berjahit, memakai minyak wangi dll. kecuali
jimaa’ dan muqadimahnya (pembukaan/ pemanasannya). Jimaa’ dan muqadimahnya baru
boleh dilakukan setelah tahalul tsani. Urutan rukun haji yang dikerjakan dapat
ditempuh dengan 2 cara, yaitu:
1. Jumbrotil
Aqobah (melontar) – Thawaf Ifadhoh & Sai – Bercukur.
2. Thawaf
Ifadhoh & Sai – Bercukur – Jumbrotil Aqobah (melontar).
Sahnya
haji ba’da tahalul awal, jadi bila hajinya sah maka umrohnya juga sah. Jika
jimaa’ terjadinya setelah tahalul awal, maka sah hajinya dan sah pula umrohnya.
Tetapi haram hukumnya dan ada sangsinya, yaitu wajib membayar dam berupa 1 ekor
onta. Jika jimaa’ dilakukan sebelum tahalul awal, maka rusak hajinya dan rusak
pula umrohnya.
Jika
ia hanya mengerjakan umroh saja, maka rusak ibadah umrohnya. Karena terjadinya
jimaa’ sebelum halaq (bercukur). Rusaknya dia punya umroh karena dia baru
mengerjakan Thawaf dan Sa’ii, belum bercukur (halaq) tetapi ia sudah melakukan
jimaa’, maka rusak ia punya ibadah umrohnya. Rukun Umroh ada 5, yaitu: Ihrom (niat) – Thawaf – Sa’ii – Halaq
(bercukur) – Tertib.
Gambaran
mengikutinya Umroh atas Haji dalam hal rusaknya, ia menggauli istrinya (wathi’)
ba’da Thawaf Quduum, Sa’ii dan Halaq (bercukur), tetapi ia belum Thawaf Ifadhoh
dan Jumbrotil Aqobah. Maka rusak hajinya, karena terjadinya wathi’ sebelum
tahalul awal. Karena ia baru mengerjakan 1 rukun, yaitu Halaq (bercukur) saja,
sedangkan sa’ii tidak dapat dihitung sebagai rukun dengan Thawaf Quduum, karena
Thawaf Quduum bukan termasuk rukun haji. Sa’iinya baru dapat dihitung sebagi
rukun setelah ia mengerjakan Thawaf Ifadhoh. Dalam hal ini meskipun rusak
hajinya, tetapi dia wajib melanjutkan ibadah hajinya sampai selesai/ tuntas dan
ia ada kewajiban membayar dam berupa 1 ekor onta. Karena rusak hajinya, maka
rusak pula umrohnya.
Thawaf
Quduum adalah Thawaf yang dikerjakan saat ia tiba di Makkah dan ia niat
mengerjakan Haji Qiroon. Sedangkan Thawaf Ifadhoh dikerjakan setelah Wuquf di
Padang Arafah.
Apabila
ia melakukan umroh saja (tidak disertai haji), maka tidak rusak ia punya umroh,
karena terjadinya jimaa’ setelah ia selesai melaksanakan 3 rukun umroh yaitu:
Thawaf, Sa’ii dan Halaq (bercukur).
Adapun
jimaa’ (hubungan badan suami-istri) dapat merusak ibadah hajinya, manakala ia
sedang ihrom haji dan belum tahalul awal (mengerjakan 2 dari 3 rukun), baik
sebelum ataupun sesudah wuquf di Padang Arafah. Makanya bagi pengantin baru
dianjurkan untuk tidak melaksanakan ibadah umroh atau haji terlebih dahulu,
karena dikhawatirkan tidak dapat menahan syahwatnya. Imam Maliq mengatakan:
“Tanah haram Makkah dapat membangkitkan gairah syahwat.” Sehingga Imam Maliq
tidak mau tinggal menetap terlalu lama di tanah haram Makkah, karena khawatir
dapat membangkitkan syahwatnya.
Sentral
peribadatan haji adalah Wuquf di Padang Arafah, bila ia beranggapan bahwa bila
ia sudah wuquf di Padang Arafah, maka sudah sempurna hajinya, sehingga
karenanya ia melakukan jimaa’ padahal belum tahalul awal, maka rusaklah ia
punya hajinya. Seperti ia melakukan jimaa’ sebelum mengerjakan 2 dari 3 rukun
haji (tahalul awal). Bila ia jimaa’ setelah tahlul awal, maka tidak rusak ia
punya haji, tetapi tetap haram hukumnya dan ada sangsinya/ damnya. Tetapi bila
sudah melakuan 3 rukun haji (tahalul tsani), maka tidak ada sangsi/ dam
baginya.
Bila
seseorang sudah tahalul awal, maka halal semua yang semula diharamkan/ dilarang
dalam ihrom haji, kecuali jimaa’ dan muqadimahnya (cumbu-rayu/ pemanasan).
Apabila sudah tahalul tsani, maka semua Muharamatul Ihrom dibolehkan, termasuk
jimaa’ dan muqodimahnya.
Mengerjakan
2 rukun dari yang 3 rukun haji, yaitu: Melontar Jumrotil Aqobah di Minna pada
malam ke-10, kemudian dia bercukur, maka hitungannya dia mengerjakan 2 rukun.
Atau setelah Jumrotil Aqobah dia tidak mencukur tetapi langsung mengerjakan
Thawaf Ifadoh dan Sa’ii , maka hitungannya ia mengerjakan 2 rukun juga. Bila ia
sudah mengerjakan rukun yang ke-3 yaitu thawaf dan sa’ii atau bercukur, maka ia
sudah mengerjakan tahalul tsani.
Thawaf
Ifadoh adalah Thawaf yang dikerjakan setelah Wuquf di Padang Arafah, Thawaf
Ifadoh termasuk rukun haji. Sedangkan Thawaf Quduum adalah Thawaf yang
dikerjakan apabila kita mengerjakan Haji Ifrood.
Thawaf
Ifadoh dan sa’ii digabung menjadi 1 rukun, bila ia sudah mengerjakan sa’ii
setelah thawaf Quduum, maka setelah thawaf Ifadoh dia tidak perlu mengerjakan
sa’ii lagi, bila setelah thawaf Ifadoh ia mengerjakan sa’ii lagi padahal ia
telah mengerjakan sa’ii setelah thawaf Quduum, maka dibolehkan tetapi hukumnya
makruh.
Sebelum
pergi haji hendaknya kita mempersiapkan diri dengan ilmu tentang manasik haji,
sehingga ibadah kita menjadi benar dan sesuai aturan syariat. Bila ingin
membayar dam hendaknya kita membayarnya sendiri, karena dikhawatirkan orang
yang kita serahkan untuk membayar dam kita tidak amanah. Begitu juga bila ingin
membuat badal haji untuk orang tua atau saudara kita, hendaknya kita sendiri
yang mengerjakan/ membuatnya. Karena seperti sabda Nabi: “Nanti pada akhir
zaman manusia pergi haji dibagi menjadi 4 golongan:
1. Para
pejabatnya, pergi haji untuk jalan-jalan.
2. Orang yang
kaya, pergi haji untuk berdagang.
3. Orang yang
faqir, pergi haji untuk meminta-minta.
4. Ustadz-Ustadznya,
pergi haji untuk sum’ah (kebanggaan/gengsi).
Bila
sudah mengerjakan 3 rukun haji, Jumrotil Aqobah, Thawaf & Sa’ii dan Tahalul
(bercukur), maka hasillah bagi orang yang sudah mengerjakan 3 rukun tadi
tahalul tsani. Dan halAlloh bagi orang ini semua hal yang tadinya di haramkan
saat baru tahalul awal, yaitu jimaa’ dan muqadimahnya (cumbu-rayu/ pemanasan).
Adapun
jimaa’ yang dilakukan setelah tahalul awal, maka tidak rusak hajinya, sekalipun
hukumnya haram. Karena belum halal baginya mengerjakan hal yang berkaitan
dengan perempuan sebelum tahalul tsani.
Aqdun
Nikah setelah tahalul awal tidak sah nikahnya, nikahnya dianggap tidak ada atau
nikahnya dianggap tidak pernah terjadi. Aqdun Nikah yang dilakukan setelah
tahalul awal (sebelum tahalul tsani), maka tidak merusak hajinya, dan tidak ada
damnya karena tidak haram, tetapi pernikahannya dianggap tidak sah. Terkecuali
bila terjadi wathi’ (bersetubuh) dengan istrinya setelah akad nikah tadi,
meskipun tidak sampai keluar manni. Bila terjadi sebelum selesai amalan umroh,
ia melakukan Wathi’ (bersetubuh dengan farjinya) meskipun tidak sampai keluar
manni, bagi mumayis (anak yang belum
baligh tetapi sudah tamyis), aliman (tahu hukumnya), amidan (sengaja
melakukannya) dan mukhtaron (tidak ada unsur paksaan), maka menjadi rusak
hajinya, karena dilakuan sebelum tahalul awal. Lain halnya bila bersentuhan
selain farji (mubasyaroh), maka tidak merusak haji/ umrohnya.
Apabila
ia melakukan jimaa’/ wathi’ sebelum tahalul awal, maka meskipun rusak hajinya,
ia tetap harus meneruskan/ melanjutkan ibadah hajinya hingga tuntas, dan tidak
boleh keluar dari pelaksanaan ibadah hajinya. Bahkan wajib bagi orang yang
rusak ibadah hajinya karena sebelum tahalul awal (belum tuntas hajinya) sudah
jimaa’ untuk meneruskan/ melanjutkan dalam kerusakannya sampai selesai ibadah
hajinya. Karena ibadah haji ini saling berkaitan, ia tidak dapat lepas/
melepaskan diri dari ibadah hajinya meskipun sudah meninggal, nanti mesti di
kodho oleh keluarganya.
Beda
halnya dengan saat kita puasa kemudian kita jimaa’, maka batalah puasa kita dan
tidak bisa diteruskan. Sedangkan haji, meskipun melakukan jimaa’ yang berakibat
rusaknya ia punya haji, masih wajib meneruskan manasik hajinya hingga tuntas.
Bila melakukan jimaa’ saat sedang puasa, kafarot/ sangsinya berat yaitu harus
puasa selama 2 bulan berturut-turut. Bila puasa yang dijalankan sudah hampir
selesai 2 bulan kurang 1 hari lagi dan ia batal puasanya, maka ia harus
mengulang puasanya dari awal lagi.
Ibadah
haji/ umroh yang sudah rusak masih wajib dilanjutkan/ dijalankan/ diteruskan
dengan jalan mendatangkan seluruh amal-amalan haji/ umrohnya, jalankan
sisa-sisa amalan yang belum dikerjakan. Disamping itu juga dia mesti I’adah/
qodho dengan fawroon (segera),
karena sudah rusak hajinya, meskipun pada asalnya hajinya merupakan haji
sunnah. Kewajiban ibadah haji hanya 1 kali seumur hidup, demikian juga dengan
ibadah umroh hanya 1 kali seumur hidup, sedangkan haji berikutnya/ selanjutnya
hanya merupakan sunnah saja. Tapi manakala kita sudah niat haji/ umroh, maka
menjadi wajib hukumnya untuk menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji/
umrohnya dan tidak dapat keluar seperti ia menjalankan haji/ umroh yang wajib.
Dan wajib bagi orang yang rusak haji/ umrohnya untuk mengerjakan I’adah/ qodho
haji/ umrohnya di tempat di mana ia memulai ihrom haji/ umrohnya yang dahulu. Miqot
Makanni (tempat) awal ihrom haji/ umrohnya, misalnya di Bir’ali, maka dia
memulai ihrom I’adah/ qodhonya di Bir’ali pula, tidak boleh miqot makanni-nya
pindah ke tempat lain.
Wajib
atas orang yang rusak hajinya dengan sebab ia jimaa’ sebelum tahalul awal untuk
mengkodhonya dan ia memulai Ihromnya ditempat dimana ia dahulu memulai Ihrom
(Miqot Makanni) hajinya. Misalnya di: Bir’ali, Juhfah, Yalamlam, Qorn Manazil,
Dzatu Irqin, Jeddah atau Hudaibiyah. Dan tidak wajib atas Miqot Zamanni (masa/
waktu). Artinya hari atau jamnya saat pelaksanaan qodho haji/ umrohnya tidak
harus sama.
Keluar
dari kata-kata fasiq (rusak) haji/ umrohnya adalah bila ia murtad (keluar dari
Agama Islam), maka dihukumkan sudah batal haji/ umrohnya dengan sebab murtad
tadi dan tidak boleh melanjutkan haji/ umrohnya, maka tidak wajib baginya
meneruskan ibadah haji/ umrohnya. Perbuatan Murtad, seperti dia menyakini dan
mengucapkan bahwa Alloh ada 3 atau dia sujud kepada selain Alloh, maka dia
sudah dapat disebut murtad.
Bila
kita sedang puasa dan kita diundang untuk menghadiri jamuan makan, dan tuan
rumah sangat menginginkan agar kita memakan makanan yang disajikannya, maka
membatalkan puasa lebih afdol baginya untuk menyenangkan hati dari tuan rumah.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang
al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Slot Machine Apps On Google Play - JTA Hub
BalasHapusYou may have 속초 출장샵 downloaded the app, but only if 안양 출장안마 you are using the Google Play 양산 출장안마 version of the game. To play 평택 출장마사지 the slot machine, go to 여수 출장안마 your