Rabu, 16 September 2015

FIQIH (HAJI & UMROH) - Muharamatul Ihrom Haji & Umroh



Pokok Bahasan     :  FIQIH (HAJI & UMROH)
Judul                    :  Muharamatul Ihrom Haji & Umroh
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.



Muharamatul Ihrom yaitu: Sesuatu hal yang diharamkan dikerjakan/ dilakukan dengan sebab Ihrom. Semua Muharamatul Ihrom (yang diharamkan saat Ihrom Haji dan Umroh) semuanya terbilang sebagai dosa-dosa kecil, apabila kita langgar/ kerjakan. Kecuali membunuh binatang/ hewan yang Muhtarom, yaitu binatang yang dihormati/ tidak boleh dibunuh oleh Syara, binatang yang tidak ada anjuran untuk membunuhnya. Bila kita membunuh binatang yang Muhtarom tentunya ada sangsinya, binatang yangn muhtarom yaitu binatang liar yang dimakan dagingnya, bukan binatang peliharaan (ternak) seperti sapi liar, kambing liar, dll. Binatang liar yang keluar dari hutan-hutan misalnya, lalu masuk ke kota-kota. Bahkan meskipun kita tidak sedang Ihrom, tetapi kita berada di tanah suci, maka kita tidak dibolehkan membunuh binatang yang Muhtarom.

Terkadang orang salah dalam pengertian/ pemahaman, mereka menganggap bahwa saat sedang Ihrom, maka dilarang membunuh semua/ segala jenis binatang, tidak terkecuali dengan lalat atau nyamuk. Padahal yang dimaksud disini adalah tidak boleh membunuh binatang liar yang dimakan dagingnya. Apakah kita memakan daging lalat atau nyamuk? Tentunya tidak, oleh karena itu kita dibolehkan membunuh lalat atau nyamuk. Bahkan kita dibolehkan membunuh binatang yang dapat membahayakan diri kita semacam ular, kalajengking, kelabang dll. karena mereka bukan termasuk binatang liar yang dimakan dagingnya.

Membunuh binatang yang Muhtarom termasuk dosa besar. Dan yang termasuk dosa besar pula adalah Jimaa’ Mufsid, yaitu Jimaa’ yang merusak haji kita. Jimaa’ ada yang merusak ibadah Haji kita adapula yang tidak merusak ibadah haji kita. Jimaa’ Mufsid (Jimaa’ yang merusak) adalah manakala ia sudah niat Ihrom Haji atau Ihrom Umroh, misalkan ia telahWuquf di Padang Arafah, akan tetapi  ia belum Tahalul Awal dan dia melakukan Jimaa’ bersama istrinya, maka hal itu merusak ibadah Hajinya, tetapi tidak membatalkan ibadah hajinya, artinya dia harus tetap menuntaskan ibadah manasik hajinya. Selama dia belum Tahalul Awal, maka Jimaa’ yang dilakukannya termasuk Jimaa’ Mufsid.

Yang dimaksud Tahalul Awal, yaitu melakukan 2 dari 3 rukun haji. Misalkan dia sudah mengerjakan Wuquf di Padang Arafah, kemudian Mabid di Muzdalifah dan dilanjutkan ke Mina untuk melontar, selanjutnya dia bercukur, setelah bercukur maka dia disebut sudah melakukan Tahalul Awal. Apabila setelah Tahalul Awal dia melakukan Jimaa’ bersama istrinya, maka hal itu tidak merusak ibadah hajinya. Akan tetapi dia tetap terkena sangsi ringan. Bila dia sudah mengerjakan 3 rukun haji, maka dia disebut sudah melakukan Tahalul Tsani.



Ada 2 Cara Untuk Sampai Pada Tahalul Awal, yaitu:
a.     Setelah Wuquf di Padang Arafah dan Bermalam di Muzdalifah, maka jama’ah Haji melakukan/ mengerjakan:
1. Melontar di Minna
2. Tahalul (Bercukur).
b.     Apabila ternyata Minna sudah dipenuhi oleh jama’ah sehingga kita tidak di izinkan memasuki Minna, maka setelah Wuquf di Padang Arafah dan Bermalam di Muzdalifah, jama’ah Haji melakukan/ mengerjakan:
1.Thawaf & Sa’ii (dihitung satu)
2. Tahalul (Bercukur).  

Bila kita sudah melakukan Tahalul Awal, maka halal segala sesuatu yang semula diharamkan saat berpakaian Ihrom, kecuali Jimaa’ dan Mukadimahnya (ciuman, cumbu rayu, berpelukan, berpegangan, merangkul dll.). Bila melakukan Jimaa’ setelah Tahalul Awal, tetapi sebelum Tahalul Tsani, hal tersebut tidak merusak ibadah hajinya, tetapi terkena sangsi.

Misalkan setelah menyelesaikan Thawaf & Sa’ii di Makkah dan Bercukur, kemudian di ke Minna untuk melontar, maka dia sudah selesai mengerjakan Tahalul Tsani. Atau Tahalul Tsani dapat juga ditempuh dengan cara dia melontar terlebih dahulu di Minna, dilanjutkan dengan bercukur, kemudian selanjutnya dia menuju Makkah untuk melakukan Thawaf & Sa’ii. Setelah dia melakukan Tahalul Tsani, maka menjadi halal segala sesuatu yang tadinya diharamkan (tidak ada sangsi lagi) pada saat kita sedang memakai pakaian Ihrom.

Sedangkan orang yang melakukan Jimaa’ Mufsid (melakukan Jimaa’ sebelum Tahalul Awal) dia harus tetap melanjutkan ibadah manasik hajinya meskipun manasik hajinya telah rusak dan dia wajib  mengkodho ibadah hajinya pada tahun yang akan datang dengan segera (fauron).

Apabila dia melakukan Jimaa’ setelah Tahalul Awal (sebelum Tahalul Tsani), maka dia terkena sangsi berupa menyembelih 1 ekor onta, bila tidak ada onta maka dapat diganti dengan 1 ekor sapi, dan bila tidak ada sapi maka dapat diganti dengan 7 ekor kambing. Bila ternyata tidak ada juga 7 ekor kambing, maka dia wajib menaksir harga dari 1 ekor onta, dan uangnya digunakan untuk membeli makanan pokok (gandum atau beras). Kemudian makanan pokok tersebut di shadaqohkan kepada faqir miskin yang ada disana. Apabila dia tidak sanggup untuk mengeluarkan shadaqoh sebanyak itu, maka dia wajib menggantinya dengan berpuasa. Jumlah hari puasanya sebilangan/ sebanding  dengan banyaknya orang yang mendapatkan shadaqoh dari makanan pokok yang dibagikan. Artinya dari uang yang ditaksir seharga 1 ekor onta tadi, bila dibelikan makanan pokok, maka cukup untuk diberikan kepada berapa orang? Misalkan cukup untuk diberikan sebanyak 200 orang, maka sebanyak 200 hari ia harus berpuasa.

Saat ini ada wacana dari kaum liberalis untuk memindahkan dam/ denda haji ke Indonesia, dengan alasan karena di Makkah sudah terlalu banyak dan berlebihan sedangkan disini masih banyak yang masih kekurangan. Pemikiran mereka sudah lepas dari tuntunan Al Qur’an dan Hadist, mereka sudah tidak memperhatikan/ mempertimbangkan dalil yang mengatur sah atau tidaknya bila dam dikeluarkan/ diabayarkan di luar kota Makkah. Dam/ denda haji tidak dapat dipindahkan disini ataupun dimanapun karena ada dalil Al Qur’an yang mengatur, yang tidak boleh dikeluarkan dam itu kecuali di Makkah.

Muharamatul Ihrom Umroh & Haji Ada 10, yaitu:
1.  Diharamkan Menggunakan Pakaian yang Berjahit/ Bersarung
Semacam gamis (pakaian yang tidak terbuka dari depan), dan baju koko,  kemeja, baju toga, jubah (pakaian yang terbuka dari depan). Diharamkan juga memakai sepatu ataupun slop yang menutupi mata kaki dan bagian atas dari kaki, sedangkan memakai sandal jepit/ terompah dibolehkan. Tidak dibolehkan juga memakai sesuatu yang dijahit dengan tenunan atau di sulam. Semacam baju perang yang tidak dijahit, tetapi bentuknya terkurung. Pakaian Ihrom yang dipakai jama’ah haji berjahit, tetapi ia tidak terkurung. Dan diharamkan pula memakai sesutu yang diikat/ dilipat/ ditempel, semacam kantong untuk menampung jenggot. Serta diharamkan memakai sarung tangan (baik laki-laki ataupun perempuan), sedangkan sarung kaki bagi perempuan wajib memakainya, sedangkan laki-laki tetap diharamkan.

2.  Diharamkan Mengunakan Penutup Kepala
Bagi laki-laki diharamkan menutup kepalanya sebagian kecil ataupun seluruh kepalanya, baik halnya rambutnya ataupun kulit kepalanya bagi yang tidak memiliki rambut. Akan tetapi tidak haram menutup rambut yang sudah keluar dari batasan kepala, misalnya untuk orang yang rambutnya panjang/ gondrong. Akan tetapi orang gondrong bukan termasuk ciri dari orang-orang sholeh. Nabi pernah memuji seorang sohabat yang bernama Huraain. Nabi berkata: “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Huraain, tetapi malang hilang kebaikan tadi mana kala rambutnya sudah melewati pundaknya.”
Haram menutup bagian kepala bagi laki-laki baik sebagian atau seluruhnya, baik untuk Ihrom Haji ataupun Ihrom Umroh. Sedangkan bagi perempuan menutup kepala adalah wajib. Bagi laki-laki yang jelas kelaki-lakiannya, yaitu yang hanya punya satu alat kelamin laki-laki saja. Yang dimaksud sebagai penutup (satir) kepala adalah yang menurut pendapat umum disebut sebagai penutup. Jadi bukan sekedar menutup kepala, tetapi penutup kepala yang dianggap oleh pendapat umum sebagai penutup. Meskipun terlihat jelas batok kepala atau rambutnya karena akibat terlalu tipisnya penutup kepala tersebut, misalnya dari bahan pelastik atau kain yang sangat tipis. Meskipun sangat tipisnya, selama menurut pendapat umum hal itu disebut menutup, maka selama itu pula haram digunakan bagi laki-laki untuk menutup kepalanya.
Dalam hal Ihrom kain atau bahan yang sangat tipis masih dianggap menutupi. Akan tetapi lain halnya dengan Shalat, ada kewajiban bagi kita menutup aurot. Tetapi manakala kita menutup aurot dengan kain yang tipis, maka itu belum disebut sebagai menutup aurot. Jadi tidak sah shalat kita, bila kain penutup yang kita gunakan menampakkan kulit kita, sehingga menampakkan aurot yang mestinya tertutup.
Dalam hal Ihrom Haji/ Umroh kain/bahan yang tipis disebut menutup, tetapi dalam hal Shalat kain/ bahan yang tipis dianggap tidak menutup aurot.
-        Memakai Imamah/ Sorban diharamkan karena menutupi sebagian kepala kita.
-        Haram juga menggunakan Aroqiah, yaitu sesuatu yang dipakai di bawah Imamah, berupa kain untuk menyerap keringat, jangan sampai imamahnya menjadi cepat kotor dan basah.
-        Diharamkan juga memakai Torbus, semacam peci orang-orang Turki.
-        Diharamkan juga menutup kepala dengan tanah atau dengan Hena/ Pacar, sehingga batok kepala/ rambut kita tidak kelihatan. Yang dilarang digunakan adalah Tanah atau Hena/ pacar yang digunakan secara tebal/ kental, sehingga menutupi warna rambut dan batok kepala, jika tidak tebal maka dibolehkan.

Jika memang suatu benda dianggap tidak menutup, menurut pendapat umum (public opini), maka hal itu tidak diharamkan dan tidak terkena resiko membayar dam 1 ekor kambing, bila kita menggunakannya. Banyak masalah-masalah fiqih yang kembali kepada pendapat umum.
-         Meletakkan tangannya di sebagian kepalanya tanpa hajat (misalnya karena sakit atau lainnya), maka hal ini tidak disebut sebagai penutup, karena tidak ada orang yang menganggap tangan sebagai penutup kepala. Sehingga tidak haram bila kita melakukannya, asalkan tidak ada niat ataupun tujuan untuk menutupi kepalanya dari sengatan matahari ataupun lainnya. Lain halnya bila menggunakan penutup yang berupa benda, semacam kain, tanah/ hena yang tebal dan lainnya, ada atau tidak adanya niat/ tujuan, tetap di haramkan.
-        Memasukkan/ menceburkan/ mengguyur kepalanya dengan air, air tidak dapat dikatakan sebagai penutup, meskipun faktanya air tersebut menutupi kepalanya. Karena air menurut pendapat umum bukan sebagai penutup.
-        Berteduh dengan mahmal (payung), Rumah/Tenda pada kendaraan Onta, menaiki kendaraan (bis, mobil ataupun lainnya) yang ada kap/ penutupnya. Semua itu menutupi, tetapi menurut pendapat umum tidak dikatakan sebagai penutup. Meskipun ada niat darinya untuk menutupi, tetapi masih dianggap tidak menutupi, karena pendapat umum tidak menganggapnya sebagai penutup. Meskipun mahmal/ payung/ kap tadi menyentuh/ menempel pada kepalanya karena badannya tinggi, maka hal itu masih tidak mengapa atau tidak dianggap menutup.
Hukum-hukum dalam Fiqih banyak dikembalikan kepada pendapat umum, selama tidak ada batasan hukum agama yang pas.
-        Manakala orang yang sedang Ihrom Haji atau Umroh memakai baju yang berlapis, memakai baju di atas baju (memakai baju double), tetapi masa/ zamannya berbeda (tidak langsung pada saat itu juga). Jika baju yang kedua menutupi sesuatu/ bagian tubuh yang tidak tertutup oleh baju yang pertama, misalnya baju yang pertama tidak ada tangannya dan baju yang kedua ada tangannya, maka berbilang-bilang sangsinya, sangsinya menjadi 2 atau damnya menjadi double 2 ekor kambing. Jika pakaian yang kedua tidak menutupi bagian tubuh yang tidak tertutup oleh pakaian yang pertama, atau pemakaian antara baju yang pertama dengan baju yang kedua tidak berbeda zamannya (langsung memakai 2 baju saat itu juga), maka sangsi/ damnya tidak double, artinya sangsinya hanya 1 ekor kambing saja.
Sama halnya dengan baju, bila ia memakai penutup kepada double tetapi tidak satu masa/ zaman, maka sangsi damnya juga double (2 ekor kambing). Tetapi bila penutup yang kedua tidak menutupi bagian kepala yang tidak tertutup oleh penutup yang pertama, atau pemakaian penutup yang pertama dan penutup kedua tidak berbeda masa/ zaman, maka sangsi damnya hanya 1 ekor kambing saja.
Sangsi membayar dam ini berlaku bila ia tahu hukumnya haram dan ia sengaja melakukannya, lain halnya bila ia tidak tahu hukumnya, atau ia tidak sengaja melakukannya ataupun karena ia lupa, maka ia tidak terkena sangsi membayar dam. Karena hal ini merupakan bab (masalah) Tarofuh (sifatnya hanya untuk bersenang-senang), jadi bila ia lupa atau dia tidak tahu, maka tidak terkena dam. Tetapi bila menyangkut bab (masalah) It’laq (sifatnya membinasakan), seperti membunuh binatang yang muhtarom, menggunting kuku, menggunting rambut/ kumis/ jenggot, maka tahu atau tidak tahu, lupa atau tidak lupa, tetap terkena sangsi/ dam.   

Hal-hal yang diharamkan bagi perempuan baik sedang Ihrom Haji ataupun sedang Ihrom Umroh, yaitu menutup muka/ wajahnya, baik sebagian atau seluruhnya dengan sesuatu yang oleh pendapat umum dianggap sebagai ‘satir’ (penutup). Bersalahan hukumnya bila ia (si-perempuan)menutup muka/ wajahnya dengan sesuatu yang tidak dianggap ‘satir’ (penutup) oleh pendapat umum, maka tidak haram. Maka tidak haram bagi perempuan menaruh/ meletakkan tangannya di atas sebagian mukanya, karena tangan tidak dianggap sebagai ‘satir’ oleh pendapat umum, meskipun zohirnya, tangan tersebut menutupi sabagian wajahnya.

Dan wajib atas si-perempuan, menutup sebagian wajahnya  yang tidak mungkin/ tidak dapat menutup seluruh kepala kecuali dengan menutup sebagian kecil muka/wajah tersebut. Tadi disebutkan haram menutup muka/ wajah, tetapi sebagian muka wajib ditutup, asalkan tidak menutup seluruhnya atau sebagian besarnya, tetapi hanya sebagian kecil saja, yaitu ujung kening/ jidat. Karena bila hal itu tidak dilakukan, maka kepala tidak akan tertutup seluruhnya. Kaidah Fiqih:
-        Suatu kewajiban yang tidak mungkin dilakukan/ dikerjakan dengannya, maka menjadi wajib hukumnya.
-        Sesuatu yang wajib yang tidak mungkin dilakuan dengan menutup sebagian yang tidak wajib, maka menutup yang tidak wajib menjadi wajib hukumnya.
Karena tidak mungkin dapat menutup seluruh kepala, maka menjadi wajib hukumnya menutup sebagian dari kening/jidat. Dalam pakaian Ihrom, perempuan wajib menutup seluruh kepalanya, demikian pula saat ia mengerjakan shalat, karena kepala adalah aurot bagi perempuan dalam shalat. Hal ini dilakukan dengan tujuan dalam rangka menutup seluruh kepalanya.

Sedangkan budak perempuan tidak di wajibkan menutup kepala, karena aurot budak perempuan dihukumkan sama dengan aurot dari laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut. Aurot perempuan yang merdeka adalah seluruh anggota badan kecuali muka dan dua telapak tangan.

Perempuan dibolehkan menurunkan dari atas wajahnya baju, kain, kerudung atau apa saja, asalkan kain tadi yang menutupi wajahnya jauh dari wajahnya/ tidak menempel dari kulit wajahnya. Bila kain tadi sampai menempel pada kulit wajah, maka tidak diperbolehkan, karena hal itu sama saja dengan menutup wajah. Agar kain tersebut tidak menempel pada kulit wajahnya, maka dapat digunakan penghalang berupa kayu, besi, batu ataupun yang serupa dengannya. Kain tersebut digunakan baik untuk tujuan menangkal panas atau dingin atau tidak ada tujuan apapun.
Jika ternyata kain penghalang tadi sampai menyentuh kulit wajahnya, karena akibat perbuatannya sendiri, atau akibat tertiup angin atau tersenggol orang tetapi dia biarkan saja, tidak cepat dia tangkal/ singkirkan sehingga menjauh lagi dari kulit mukanya, maka wajib baginya membayar fidyah/ dam 1 ekor kambing.
Bila jatuhnya penutup muka karena terpaksa/ tidak sengaja, sehingga mengenai kulit mukanya, tetapi segera diangkat dengan cepat/ segera, maka tidak wajib membayar fidyah/ dam.

Adapun Un’sa (banci= yang mempunyai dua alat kelamin), sebagaimana dikatakan oleh Abu Toyib Al Qodry: Banci diperintahkan untuk menutup kepalanya, karena dia diihtimalkan kemungkinan dia perempuan. Dan dibolehkan bagi si-banci untuk memakai pakaian yang berjahit, tetapi disunnahkan baginya untuk tidak mememakai pakaian yang berjahit, karena diihtimalkan kemungkinan dia laki-laki. Penentuan apakah dia sebagai laki-laki atau perempuan, ditentukan oleh hasil pemeriksaan dari dokter muslim yang ahli dan adil. Saat dia buang air kecil, dilihat dimana keluarnya, apakah di alat kelamin laki-lakinya atau alat kelamin perempuannya? 

Adapun fidyah/ dam berupa kambing, atas pendapat mayoritas (sebagian besar) ulama, apabila si-banci menutup wajahnya, sedangkan perempuan yang normal haram menutup wajahnya saat ia sedang Ihrom. Apabila si-banci:
1.    Menutup wajanya dan kepalanya di buka.
2.    Menutup kepalanya dan wajahnya di buka
3.    Membuka keduanya (wajah dan kepala) secara bersamaan.
4.    Menutup keduanya (wajah dan kepala) secara bersamaan.

Hal itu tidak ada sangsinya membayar fidyah/ dam, karena adanya syak/ keraguan kemungkinan dia laki-laki atau dia perempuan.

Bila dia melakukan/ mengerjakan yang ke-1 dan yang ke-3, maka hanya dosa saja dan tidak terkena fidyah/ dam. Karena haram dilakukan atas keduanya (membuka kepalanya) tadi apabila saat ia sedang shalat, ataupun  dihadapan laki-laki yang bukan mahromnya. Keharamnya bukan dari sudut Ihromnya, tetapi dari sudut shalat. Karena bagi perempuan dalam shalat, tidak boleh/ haram menutup wajahnya dan tidak boleh/ haram membuka kepalanya.

Apabila si-banci melakukan/ mengerjakan yang ke-2 (menutup kepalanya dan membuka wajahnya), maka tidak berdosa baginya dan tidak terkena fidyah/ dam. Karena adanya kewajiban bagi perempuan untuk menutup kepala dan membuka wajahnya, dan banci dihukumkan sebagai perempuan.

Apabila si-banci melakukan/ mengerjakan yang ke-4 (menutup keduanya, yaitu wajah dan kepalanya), maka dia berdosa dan terkena sangsi membayar fidyah/ dam. Karena bila dia kemungkinan perempuan, maka diharamkan menutup wajahnya, tetapi dia wajib menutup kepalanya. Sedangkan bila dia laki-laki, maka diharamkan menutup kepalanya.

3.  Diharamkan Menyisir Rambut
Menurut pengarang dari kitab ini (Abu Qosim Al Godzi) disaat Ihrom, lelaki dan perempuan diharamkan mengurai rambut dengan mengunakan sisir dan meminyaki rambut kepala atau rambut yang ada di wajah (kumis/ jenggot), sekalipun hanya satu rambut saja yang ada di kepala atau di wajah yang dengan tujuannya untuk berhias/ bersolek, sekalipun minyak yang digunakannya tidak wangi (seperti: minyak zaitun, minyak kelapa, minyak kemiri, lilin cair dan lain sebagainya). Akan tetapi hal ini termasuk qaul/ pendapat yang Marjuh/ Dhoif (tidak Mu’tamat). Sedangkan yang tertulis dalam Kitab Maj’mu karangan Imam Nawawi, menyisir rambut tanpa diminyakin hukumnya makruh saja, inilah pendapat yang Mu’tamat.

Dan dibolehkan bagi orang yang sedang Ihrom, membasuh/ menyiram ia punya badan dan kepala dengan seumpama shibir (campuran air dengan bidara). Tetapi sekalipun dibolehkan melakukannya saat sedang Ihrom
disunnahkan untuk tidak melakukannya, itu yang terbaik.
Berdasarkan pendapat dari Imam Syafi’i saat beliau berada di Bagdad (Qaul Qodim), membasuh/ menyiram ia punya badan dan kepala dengan seumpama shibir (campuran air dengan bidara) saat sedang Ihrom  hukumnya makruh saja, sekalipun dibolehkan sebaiknya jangan dilakukan. Karena kerjaan tersebut mengandung berhias/ bersolek diri. Gambaran haji berdasarkan perkataan Nabi, bahwa orang yang pergi haji itu disebutkan rambutnya kusut dan mukanya berdebu. Jadi sekalipun dibolehkan, tetapi hukumnya makruh dan untuk yang melakukannya/ mengerjakannya tidak terkena sangsi fidyah ataupun dam.
Pendapat dari pengarang kitab, bahwa dengan hanya menyisir rambut/ mengurai rambut/ melepas rambut (tidak dalam keadaan terikat/ terkepang) ke bawah dengan mengunakan sisir saja sudah termasuk hal yang diharamkan, meskipun tidak menggunakan minyak rambut.
Semestinya tidak seperti itu, bila hanya menyisir rambut saja tanpa minyak, maka hukumnya tidak haram, hanya sebatas makruh saja. Sedangakan yang haram adalah menyisir rambut dengan menggunakan minyak apa saja ataupun lilin cair, karena itu termasuk berhias/ bersolek.
Jadi pengertiannya bukan menyisir ramut yang diharamkan, melainkan meminyakkan ia punya rambut, sebagaimana di tafsirkan dalam Kamus Al Muchtar.

Menggaruk rambut dengan kuku, hukumnya makruh juga, karena dikhawatirkan rambutnya akan rontok/ lepas. Sebab mencabut rambut saat sedang Ihrom tidak dibolehkan.
Makruh juga hukumnya menggaruk seumpama tangan atau kaki di atas seumpama pelana binatang ternak (kuda/ onta), yaitu kita menggaruk tangan atau kaki kita dengan cara menggosokkannya ke pelana binatang ternak/ tunggangan. Karena dikwatirkan ada bulu tangan atau bulu kaki yang rontok/ lepas.

4.  Diharamkan Mencukur Rambut
Bila larangan meminyakin rambut terbatas pada rambut yang ada di bagian kepala dan rambut yang ada di bagian muka saja (jenggot, kumis, cambang, alis dll.), tetapi meminyakin rambut yang ada di tangan, kaki, ketiak dll. dibolehkan. Sedangkan yang diharamkan dicukur/ dicabut  bukan hanya rambut yang ada di kepala dan di muka saja, tetapi juga rambut yang ada diseluruh tubuh kita dibagian manapun juga. Karena sangat-sangat haramnya, maka diharamkan mencukur/ mencabut rambut sekalipun rambut yang ada di dalam tubuh kita, misalnya seperti mencabut rambut yang berada di dalam hidung kita.

Yang dimaksud mencukur disini tidak hanya terbatas dengan menggunakan alat semacam pisau atau gunting, tetapi juga termasuk dengan cara mencabut menggunakan tangan, atau dengan cara dibakar, atau dengan cara apapun juga untuk menghilangkan rambut yang ada di seluruh bagian tubuh kita tidak dibolehkan/ diharamkan.

Mencukur/ mencabut diharamkan bila rambut yang kita cukur/ cabut tadi tidak mengikut pada kulit (hanya semata-mata rambut saja), lain halnya bila kulit kita mengelupas dan rambut tadi ikut tercabut, maka hal itu tidak menjadi haram, karena tujuannya adalah mencabut kulit bukan mencabut rambut, sedangkan rambut hanya mengikuti kulit.

Segala sesuatu yang dilakukan yang berakibat It’laq (membinasakan/ memusnahkan/ menghilangkan), lepas/ tanggal dari badan kita (bercukur melepaskan rambut dari tubuh kita), maka sekalipun ia lupa ataupun ia tidak tahu hukumnya, maka tetap terkena sangsi/ wajib membayar fidyah/ dam. Terkena sangsi fidyah/ dam karena ia tidak tahu hukumnya ataupun ia tidak sengaja/ lupa, hal ini munasabahnya untuk fidyah/ dam, tetapi tidak dihukumkan haram, karena ada unsur ia tidak tahu atau ia tidak sengaja atau ia lupa melakukannya. Sedangkan untuk disebut haram apabila ia melakuannya karena ia memenuhi syarat: aliman (tahu hukumnya), amidan (sengaja melakukannya) dan mukhtaron (tidak ada unsur paksaan).

Tetapi bila yang bersifat Tarofuh, tidak membinasakan/ menghilangkan, seperti memakai minyak wangi ataupun memakai pakaian yang berjahit, maka bila ia tidak tahu hukumnya ataupun ia tidak sengaja atau lupa, maka tidak terkena sangsi fidyah/ dam.

5.  Diharamkan Menggunting Kuku
Pada saat Ihrom Haji ataupun Ihrom Umroh diharamkan mengguting kuku, yaitu dengan menghilangkan kuku dari tangan atau kaki kita dengan jalan digunting, dipotong, dicabut, atau dengan cara menggigitnya atau dengan cara apa saja. Kecuali tidak diharamkan jika kukunya pecah/ patah sebagian saat sedang Ihrom dan ia terganggu dan sakit karenanya, maka ia boleh menghilangkan/ mencabut/ memotong kuku yang pecah/ patah saja dan kuku yang tidak rusak/ sehat tidak boleh dihilangkan/ dipotong. Menghilangkan kuku yang patah/ pecah tersebut tidak terkena fidyah/ dam. Tetapi bila memotong/ menghilangkan kuku tanpa udzur yang membolehkan, maka terkena fidyah/ dam.

Sama hukumnya, andaikata ada rambut yang tumbuh/ keluar dari mata kita dan kita terganggu karenanya, maka kita dibolehkan mencabutnya, meskipun saat kita sedang ihrom haji ataupun ihrom umroh. Hal ini dibolehkan dan tidak terkena sangsi dam, karena tumbuhnya rambut tersebut mengganggu pandangan kita.

Andaikata ia potong jarinya beserta kukunya (misalnya karena amputasi), maka tidak haram dan tidak terkena dam. Karena yang dipotong jarinya dan kuku hanya mengikut pada jarinya.

6.  Diharamkan Memakai Minyak Wangi
Diharamkan memakai minyak wangi saat sedang ihrom haji ataupun ihrom umroh, apabila ia aliman (tahu hukumnya), amidan (sengaja melakukannya) dan mukhtaron (tidak ada unsur paksaan). Yang dimaksud minyak wangi disini adalah segala sesuatu yang dipakai yang dikehendaki dari padanya bau/ wanginya.

Dibolehkan/ tidak haramkan bila kita menggunakan minyak kayu putih, minyak angin, minyak tawon, atau minyak lainnya, yang meskipun ada bau/ wanginya tetapi yang di kehendaki darinya bukan baunya melainkan untuk tujuan melegakan hidungnya ataupun untuk menghilangkan pusing di kepalanya dan lain-lain, bukan untuk tujuan bersolek/ berhias.

Yang tidak dibolehkan adalah minyak wangi atau suatu benda yang wangi tadi di tempelkan/ dioleskan/ dilumuri pada bagian tubuhnya ataupun pada bajunya, di ikat pada bagian bajunya (misalnya kantong).

Dikecualikan dari yang disebutkan di atas, apabila kita sedang ihrom dan kita membeli minyak wangi dan kita bawa atau kita taruh di dalam kantong baju kita, maka hal itu dibolehkan/ tidak diharamkan, karena hal itu tidak dimaksudkan memakai minyak wangi. Atau misalnya sambil ihrom, dia mengantongi minyak wangi untuk tujuan berjualan, maka hal itu dibolehkan/ tidak diharamkan.

Memakai minyak wangi dengan cara dipakai dibadannya yang zhohir (ditempelkan/ dioleskan ke badannya), atau ia berhimpun/ berkumpul di tempat orang yang sedang membakar dupa (kayu gahru, mustaki dll.), atau ia menyiramkan/ mencipratkan air mawar, atau ia memakai ramuan tumbuh-tumbuhan semacam spa, atau ia memakai wangi-wangian secara bahtin dengan cara meminum minyak wangi ataupun meminum ramuan, atau ia teteskan di anggota badannya (seperti: hidung/telinga/mata), atau ia suntikkan minyak wangi ke dalam tubuhnya, maka itu semua diharamkan untuk dikerjakan. Sama saja/ tidak beda antara minyak wangi yang murni ataupun minyak wangi yang telah dicampur, hal tersebut tetap di haramkan.

Terkecuali bila kadar minyak wangi yang dipakai sudah hilang/ binasa wangi/ baunya karena sudah terlalu lama dibuka atau terlalu lama disimpan, sehingga wanginya sudah hilang, meskipun masih ada warnanya, maka hal tersebut tidak menjadi haram bila dipakai. 

Padahal dalam beberapa ibadah, seperti shalat kita malah dianjurkan memakai minyak wangi, karena untuk menghadap Alloh. Meskipun ibadah haji dan umroh juga bertujuan menghadap Alloh, tetapi tujuan utama dari ibadah haji/ umroh adalah untuk menunjukkan kesusahan kita, I’tiqot kita, kerendahan hati kita dihadapan Alloh, jadi tidak ada unsur kemewahan dalam pelaksanaan ibadah haji/ umroh, minyak wangi termasuk dalam unsur kemewahan.

Tidak ada bedanya dalam hal menggunakan minyak wangi, sama saja baik laki-laki ataupun perempuan. Artinya baik laki-laki ataupun perempuan sama-sama diharamkan menggunakan minyak wangi pada saat sedang ihrom haji/ umroh. Sama halnya dengan orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk mencium bau sesuatu (misalnya karena ada penyakit pada hidungnya), maka tetap diharamkan memakai minyak wangi. Syarat diharamkannya adalah: aliman (tahu hukumnya), amidan (sengaja melakukannya) dan mukhtaron (tidak ada unsur paksaan).

Keluar dari syarat tersebut, apabila minyak wangi tumpah atau terlempar  akibat dari tiupan angin, sehingga terkena badan atau baju kita. Setelah mengetahui minyak wangi terkena badan atau bajunya, maka ia segera membersihkannya/ menghilangkannya disaat ia mampu untuk  membersihkannya/ menghilangkannya (misalnya dengan cara mencucinya), maka tidak haram dan tidak ada  sangsi baginya.

Atau keluar dari syarat tersebut di atas, apabila dia dipaksa/ diancam untuk dibunuh apabila tidak memakai minyak wangi, setelah orang yang mengancamnya sudah tidak ada (kondisinya sudah aman), maka ia segera menghilangkan minyak wangi yang ada dibadan ataupun di bajunya, maka tidak haram dan tidak ada sangsi baginya.

Atau keluar dari syarat tersebut di atas, apabila ia tidak tahu hukumnya memakai minyak wangi saat ihrom haji atau umroh adalah haram. Misalkan karena dia baru masuk Islam, atau jauh dari ulama, atau lainnya.
Atau misalkan dia tidak tahu bahwa yang dipegang/ disentuhnya/ melekat di tangan atau bajunya adalah minyak wangi. Setelah ia tahu bahwa yang disentuh/ dipegangnya adalah minyak wangi, maka ia segera membuangnya/ menghilangkannya, maka tidak haram dan tidak ada sangsi baginya.

Atau dia lupa bahwa ia sedang ihrom haji atau umroh, dan setelah ia ingat maka segera dihilangkannya, maka tidak haram dan tidak terkena sangsi fidyah/ dam baginya. 

Jika orang tahu bahwa menggunakan minyak wangi saat ihrom haji/ umroh adalah haram, tetapi ia tidak tahu bahwa ada sangsi fidyahnya, maka ia wajib membayar fidyah. Seharusnya orang ini menghindar/ menjauhi dari minyak wangi, karena ia tahu memakai minyak wangi hukumnya haram saat ihrom haji/ umroh. Oleh karena orang ini tahu keharamannya memakai minyak wangi saat sedang ihrom haji/ umroh, yang tidak diketahuinya hanya tentang sangsi/ fidyahnya saja, maka diberatkan baginya terkena sangsi berupa fidyah.

7.  Diharamkan membunuh binatang buruan (liar) yang hidup di darat dan dimakan dagingnya.
Di saat sedang ihrom haji/ umroh diharamkan membunuh binatang liar yang hidup di darat dan keluar dari hutan (bukan binatang ternak), serta dagingnya boleh untuk dimakan. Terkadang karena kurangnya ilmu, mereka menganggap bahwa membunuh semua binatang, termasuk jenis serangga juga diharamkan. Serangga penggangu semacam lalat ataupun nyamuk tidak termasuk binatang yang diharamkan untuk di bunuh saat kita sedang ihrom haji/ umroh.

Asal dari binatang yang haram dibunuh tersebut adalah binatang liar, sebelum pada akhirnya ia telah menjadi binatang yang jinak. Misalkan asal mulanya dari binatang liar dari hutan, kemudian dipelihara/ dirawat sehingga menjadi jinak, maka tetap tidak dibolehkan untuk dibunuh.
Atau binatang yang asalnya binatang jinak (tidak liar), boleh dimakan dagingnya, dan hidup di darat, semacam sapi atau keledai (himar) yang kemudian menjadi liar karena hidup di alam bebas, maka diharamkan pula untuk di bunuh.

Yang diharamkan dibunuh pula adalah binatang semacam burung yang hidup di air, semacam bebek.
Sebagaimana haram membunuh binatang liar yang hidup di darat yang dimakan dagingnya, maka kita diharamkan pula untuk memburunya, kita tangkap, kita kuasai (disimpan/ dikandangkan). Sekira-kira binatang buruan tadi dalam kekuasaannya, dia bisa membunuhnya, mememotongnya atau melepaskannya. Sekalipun dia dapat mengusai binatang tersebut dengan jalan dia beli dari pasar, atau dengan jalan orang memberi hadiah kepadanya (hibah), atau dengan jalan dia sewa, atau dengan jalan orang meminjamkannya.

Diharamkan pula mengganggu bagian dari anggota badan dari binatang liar yang hidup di darat yang dimakan dagingnya. Seperti mengganggu/ mengusir binatang semacam burung dara/ merpati yang berada di pelataran masjid, juga tidak dibolehkan. Mengganggu bagian dari anggota binatang, seperti kita ganggu tangannya, kita sepak kakinya, kita cabut bulu/ rambutnya, atau kita ambil telur/ anaknya.

Bagi pemilik binatang-binatang buruan yang berada di sekitar tanah haram, manakala ia akan ihrom haji/ umroh maka wajib baginya untuk melepaskan ia punya binatangnya, karena tidak boleh menguasai binatang buruan. Dengan sebab ihrom, maka hilanglah kepemilikannya atas binatang buruan tadi. Dan ia dapat kembali memiliki binatang buruan tersebut dengan sebab tahalul (setelah selesai ihrom haji/umroh), dengan jalan ia menangkapnya kembali atau dengan jalan membeli atau dengan jalan sewa dan lainnya. 

8.  Diharamkan Melakukan Nikah, baik Ijab (dari Wali Perempuan) dan Qobul (dari Calon Pengantin Pria)
Dalam transaksi jual-beli, ada Ijab dan Qobul, Ijab-Qobul dalam jual-beli  adalah suatu lafadz yang memindahkan hak kepemilikan. Dalam jual-beli, Ijab-Qobul menjadi milik. Sedangkan dalam nikah, Ijab-Qobul tidak menjadikan istri kita sebagai  milik kita, sehingga kita tidak dapat memperlakukan istri kita semau kita. Jika Ijab-Qobul dalam pernikahan dapat menjadi milik, maka perempuan bisa dijual, dikontrakkan ataupun disewakan. Ijab-Qobul dalam pernikahan hanya memberikan kesempatan atau dibolehkan oleh Syara’/ Agama untuk memanfaatkan kehormatan perempuan (farjinya) dengan kalimat Alloh. Kita ambil perempuan dari rumah orang tuanya dengan amanat dari Alloh kepada kita, lepas tanggung jawab orang tua perempuan dan berpindah tanggung jawabnya kepada kita. Kalimat: “Qobiltu Nikahaha ….(dst.)”, kalimat itu yang menjadikan kita halal menggauli istri kita.

Haram dan tidak sah bagi seorang wali yang sedang Ihrom Haji/ Umroh menikahkan anaknya, demikian juga dengan calon pengantin ataupun wakil dari calon pengantin yang sedang Ihrom Haji/ Umroh. Haram dan tidak sah pula bila wali yang sedang Ihrom Haji/ Umroh memberikan izin kepada anak perempuannya untuk menikah atau memberikan izin kepada orang lain untuk menikahkan anak perempuannya. Dan tidak sah pula bagi seorang tuan memberikan izin kepada budaknya untuk menikah. Haram dan tidak sah pula ia melakukan akad nikah untuk dirinya sendiri padahal ia sedang Ihrom Haji/ Umroh.

Haram dan tidak sah bila bapak (wali) yang akan menikahkan anak gadisnya sedang Ihrom Haji/ Umroh dan ia mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan anaknya yang ada di tanah air. Atau bila bapak (wali) dari anak  perempuannya ada di tanah air, dan ia mewakilkan kepada orang lain yang sedang Ihrom Haji/ Umroh untuk menikahkan anak perempuannya. Demikian pula halnya bila calon pengantin prianya sedang Ihrom Haji/ Umroh dan ia mewakilkannya kepada orang lain yang ada di tanah air. Atau si-pengantin prianya ada di tanah air dan yang menjadi wakilnya sedang Ihrom Haji/ Umroh, maka hal itu juga diharamkan dan tidak sah pernikahannya. Jadi tidak sah dan haram hukum pernikahannya apabila salah satunya Muwakil atau Muwakalnya sedang Ihrom Haji/ Umroh. Orang yang sedang Ihrom Haji/ Umroh tidak boleh menikah dan menikahkan.

Tidak tercegah/ tidak terlarang/ dibolehkan/ tetap sah, mengakad-nikahkan atau menikahkan bagi  Kepala Negara atau Wakil Kepala Negara/ Imam/ Pemimpin Negara/ Presiden/ Raja dan Qodhi/ Hakim saat mereka sedang Ihrom Haji/ Umroh. Kepala Negara atau Qodhi (Hakim) sedang Ihrom Haji/ Umroh, mereka tetap sah/ dibolehkan menikahkan orang.

Ketentuan seperti ini membuat timbul pertanyaan bagi orang, tadi disebutkan bahwa orang yang sedang Ihrom Haji/ Umroh dilarang untuk menikah (untuk dirinya) dan menikahkan orang lain (sebagai wali). Tetapi ternyata seorang Kepala Negara, Qodhi/ Hakim dapat menikahkan orang. Padahal Kepala Negara dan Qodhi tadi tahu hukumnya (aliman), sengaja melakukannya (amidan) dan tidak ada unsur paksaan (mukhtaron), pernikahannya tetap sah dan tidak menjadi dosa.

9.  Diharamkan Berhubungan Badan (Bersetubuh/ Jimaa’)
Diharamkan pula berhubungan badan di saat sedang Ihrom Haji/ Umroh padahal dia belum Tahalul Tsani. Dikatakan berhubungan badan dan wajib mandi apabila ia memasukan ia punya hasafah (kepala kemaluannya) tengelam/ tidak terlihat sepenuhnya. Apabila lelaki yang tidak mempunyai hasafah, maka diperkirakan kadar/ perkiraan sepanjang ukuran normal dari hasafah. Bila ia memasukannya hasafahnya ke farji, maka batal puasanya, bila ia puasa, dan wajib mandi serta haram hukumnya saat ia sedang Ihrom Haji/ Umroh dan terkena membayar dam dan sangat besar sangsinya. Yang membuat jimaa’ haram dikerjakan saat Ihrom Haji/ Umroh adalah apabila: ia normal (tidak gila), ia tahu hukumnya (aliman), bahwa orang yang belum Tahalul Tsani, haram hukumnya melakukan jimaa’, baik dengan istrinya, budaqnya ataupun dengan orang lain (zina), baik sedang Haji ataupun Umroh, baik dilakukan di qubul (lewat kemaluan depan) ataupun melalui dubul (kemaluan belakang), baik kemaluan yang masih nyambung dengan badan ataupun kemaluan yang sudah terlepas dari badan/ terpotong. Misalkan ada badan perempuan yang sudah terpotong/ tidak utuh lagi, kemudian dia memasukan hasafahnya kedalam farji perempuan yang sudah terpotong tadi, atau ada hasafah yang sudah terputus dari badan laki-laki, kemudian perempuan memasukkannya ke dalam farjinya, maka tetap tidak dibolehkan/ haram hukumnya. Sekalipun alat vitalnya dibungkus dengan penghalang, semacam kain, pelastik ataupun kondom. Ia melakukan jimaa’ dengan farji perempuan ataupun dengan farji laki-laki/ unsa’, dan jimaa’ dengan binatang juga tetap tidak dibolehkan/ haram.


10.                Diharamkan Berhubungan/ Bersentuhan Antara Kulit pada Selain Farji (Bukan Berhubungan Badan)
Bersentuhan kulit (mubaasyaroh) pada selain farji, berpegangan/ bersentuhan tangan, mencium istri atau orang lain dengan syahwat, hal ini haram hukumnya saat sedang Ihrom Haji/ Umroh padahal ia belum Tahalul Awal. Adapun bila bersentuhan/ mencium istri, tetapi tidak dengan syahwat maka tidak haram. 

Kesimpulannya apabila kita bersentuhan langsung dengan istri kita disertai dengan syahwat (nafsu birahi), maka hukumnya haram dan ada sangsinya/ kewajibannya membayar fidyah. Sekalipun bersentuhan dengan istri tersebut, tidak sampai mengeluarkan mani, hukumnya tetap haram dan terkena sangsi membayar fidyah.

Melakukan Istim’na (onani/ masturbasi), mengeluarkan ia punya sperma dengan tangan, itupun hukumnya haram manakala ia sedang Ihrom Haji/ Umroh dan ia belum Tahalul. Melakukan Istim’na (onani/ masturbasi), apabila dilakukan tidak sampai keluar mani, maka hukumnya haram tetapi tidak terkena sangsi fidyah. Akan tetap bila sampai keluar mani, maka hukumnya haram dan wajib mengelurkan fidyah.

Memandang dengan penuh syahwatpun hukumnya haram, bagi orang yang belum tahalul. Memandang dengan syahwat, menyentuh/ memegang istri dengan syahwat, tetapi dengan dinding/ penghalang/ kain, tidak langsung melihat/ menyentuh kulitnya, maka tiap satu dari keduanya hukumnya haram saja, tetapi tidak wajib fidyah, sekalipun sampai keluar mani.

Andaikata ia melakukan wathi’ (bersetubuh) dengan istrinya, setelah sebelumnya ia mubaasyaroh (bersentuhan kulit), dan atau sebelumnya ia istim’na (onani/ masturbasi), maka masuklah fidyah keduanya (fidyah mubaasyaroh dan fidyah istim’na) kedalam fidyah jimaa’. Jadi fidyahnya cukup satu saja, yaitu fidyah jimaa’. Sekalipun timbul/ terbitnya jimaa’-nya tadi tidak disebabkan oleh mubaasyaroh ataupun istim’na. Jadi yang mendorong dia jimaa’ bukan karena mubaasyaroh ataupun istim’na. Sekalipun masa/ waktu antara mubaasyaroh dengan jimaa’ atau istim’na dengan jimaa’ itu panjang/ lama. Karena masuknya yang kuat atas yang lemah. Mubaasyaroh atau Istim’na hukumnya lemah, sedangkan jimaa’ sangsinya keras. Oleh karena itu damnya cukup satu saja, yaitu melebur/ menjadi satu dengan dam jimaa’, jadi tidak perlu mengelurkan dam lagi untuk mubaasyaroh dan dam untuk istim’na.

Dan tiap-tiap satu dari yang sepuluh yang telah disebutkan dalam Muharamatul Ihrom Haji & Umroh ada fidyahnya/ sangsinya/ konsekwensinya. Keterangan tentang fidyahya akan dibahas pada pasal yang akan datang, pada pasal: “Dam-dam yang wajib di saat Ihrom karena meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram.”

Jimaa’ membuat rusak haji kita, gara-gara kita jimaa’ umroh kita menjadi rusak, manakala kita belum menuntaskan rukun-rukun umroh. Jimaa’ yang dilakukan saat kita sedang ihrom, menjadi rusak umroh kita yang semata-mata umroh, umroh yang menyendiri (umroh yang tidak disertai dengan haji). Misalkan kita umroh bukan pada bulan haji, atau kita melakukan haji tamat’tu dengan niat saat masuk ke Makkah: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha lillahi taala.”

Manakala terjadi itu jimaa’ pada umroh yang menyendiri (semata-mata umroh), sebelum tuntasnya amalan-amalan (rukun-rukun) umroh kita, maka rusaklah ibadah umroh kita. Rukun Umroh hanya 4, yaitu: Ihrom (niat Umroh), Thawaf, Sa’ii dan Tahalul (cukur).

Lain halnya dengan Haji Qiroon (mengabungkan antara Ibadah Haji dan Umroh), dengan niat: “Nawaitul hajja wa umrotta wa ahromtu bihi lillahi taala.” Jika hajinya rusak, maka otomatis umrohnya rusak. Adapun umroh yang ada dalam kandungan haji, umroh masuk dalam kandungan haji (digabung dengan haji) pada haji Qiroon, maka umrohnya mengikuti hajinya dalam segi sah dan rusaknya. Manakala sah hajinya maka sah pula umrohnya dan bila rusak hajinya maka rusak pula umrohnya.

Gambarannya mengikutinya rusak atau tidak rusaknya si-umroh atas si-haji, misalkan dia menggauli istrinya setelah melontar Jumbrotil Aqobah (1 rukun), Thawaf Ifadhoh dan Sa’ii (digabung menjadi 1 rukun), maka ia sudah melakukan 2 rukun. Jika sudah melakukan 2 rukun dari 3 rukun, maka disebut sudah Tahalul Awal. Dan jika sudah tuntas/ selesai melakukan ketiga rukun baru disebut sudah Tahalul Tsani. Dalam hal ini ia melakukan jimaa’ sebelum bercukur, maka ia baru disebut tahlul awal, belum tahalul tsani, maka sah  hajinya, tetapi haram hukumnya. Bila itu dilakukan, maka sangsinya berat, dia wajib membayar dam 1 ekor onta dan hajinya tetap harus dilanjutkan. Bila sudah tahlul awal, maka semua yang tadinya diharamkan saat ihrom menjadi halal, misalnya memakai pakaian yang berjahit, memakai minyak wangi dll. kecuali jimaa’ dan muqadimahnya (pembukaan/ pemanasannya). Jimaa’ dan muqadimahnya baru boleh dilakukan setelah tahalul tsani. Urutan rukun haji yang dikerjakan dapat ditempuh dengan 2 cara, yaitu:
1.    Jumbrotil Aqobah (melontar) – Thawaf Ifadhoh & Sai – Bercukur.
2.    Thawaf Ifadhoh & Sai – Bercukur – Jumbrotil Aqobah (melontar).

Sahnya haji ba’da tahalul awal, jadi bila hajinya sah maka umrohnya juga sah. Jika jimaa’ terjadinya setelah tahalul awal, maka sah hajinya dan sah pula umrohnya. Tetapi haram hukumnya dan ada sangsinya, yaitu wajib membayar dam berupa 1 ekor onta. Jika jimaa’ dilakukan sebelum tahalul awal, maka rusak hajinya dan rusak pula umrohnya.

Jika ia hanya mengerjakan umroh saja, maka rusak ibadah umrohnya. Karena terjadinya jimaa’ sebelum halaq (bercukur). Rusaknya dia punya umroh karena dia baru mengerjakan Thawaf dan Sa’ii, belum bercukur (halaq) tetapi ia sudah melakukan jimaa’, maka rusak ia punya ibadah umrohnya. Rukun Umroh ada 5, yaitu: Ihrom (niat) – Thawaf – Sa’ii – Halaq (bercukur) – Tertib.

Gambaran mengikutinya Umroh atas Haji dalam hal rusaknya, ia menggauli istrinya (wathi’) ba’da Thawaf Quduum, Sa’ii dan Halaq (bercukur), tetapi ia belum Thawaf Ifadhoh dan Jumbrotil Aqobah. Maka rusak hajinya, karena terjadinya wathi’ sebelum tahalul awal. Karena ia baru mengerjakan 1 rukun, yaitu Halaq (bercukur) saja, sedangkan sa’ii tidak dapat dihitung sebagai rukun dengan Thawaf Quduum, karena Thawaf Quduum bukan termasuk rukun haji. Sa’iinya baru dapat dihitung sebagi rukun setelah ia mengerjakan Thawaf Ifadhoh. Dalam hal ini meskipun rusak hajinya, tetapi dia wajib melanjutkan ibadah hajinya sampai selesai/ tuntas dan ia ada kewajiban membayar dam berupa 1 ekor onta. Karena rusak hajinya, maka rusak pula umrohnya. 
Thawaf Quduum adalah Thawaf yang dikerjakan saat ia tiba di Makkah dan ia niat mengerjakan Haji Qiroon. Sedangkan Thawaf Ifadhoh dikerjakan setelah Wuquf di Padang Arafah.

Apabila ia melakukan umroh saja (tidak disertai haji), maka tidak rusak ia punya umroh, karena terjadinya jimaa’ setelah ia selesai melaksanakan 3 rukun umroh yaitu: Thawaf, Sa’ii dan Halaq (bercukur).

Adapun jimaa’ (hubungan badan suami-istri) dapat merusak ibadah hajinya, manakala ia sedang ihrom haji dan belum tahalul awal (mengerjakan 2 dari 3 rukun), baik sebelum ataupun sesudah wuquf di Padang Arafah. Makanya bagi pengantin baru dianjurkan untuk tidak melaksanakan ibadah umroh atau haji terlebih dahulu, karena dikhawatirkan tidak dapat menahan syahwatnya. Imam Maliq mengatakan: “Tanah haram Makkah dapat membangkitkan gairah syahwat.” Sehingga Imam Maliq tidak mau tinggal menetap terlalu lama di tanah haram Makkah, karena khawatir dapat membangkitkan syahwatnya.

Sentral peribadatan haji adalah Wuquf di Padang Arafah, bila ia beranggapan bahwa bila ia sudah wuquf di Padang Arafah, maka sudah sempurna hajinya, sehingga karenanya ia melakukan jimaa’ padahal belum tahalul awal, maka rusaklah ia punya hajinya. Seperti ia melakukan jimaa’ sebelum mengerjakan 2 dari 3 rukun haji (tahalul awal). Bila ia jimaa’ setelah tahlul awal, maka tidak rusak ia punya haji, tetapi tetap haram hukumnya dan ada sangsinya/ damnya. Tetapi bila sudah melakuan 3 rukun haji (tahalul tsani), maka tidak ada sangsi/ dam baginya.

Bila seseorang sudah tahalul awal, maka halal semua yang semula diharamkan/ dilarang dalam ihrom haji, kecuali jimaa’ dan muqadimahnya (cumbu-rayu/ pemanasan). Apabila sudah tahalul tsani, maka semua Muharamatul Ihrom dibolehkan, termasuk jimaa’ dan muqodimahnya.

Mengerjakan 2 rukun dari yang 3 rukun haji, yaitu: Melontar Jumrotil Aqobah di Minna pada malam ke-10, kemudian dia bercukur, maka hitungannya dia mengerjakan 2 rukun. Atau setelah Jumrotil Aqobah dia tidak mencukur tetapi langsung mengerjakan Thawaf Ifadoh dan Sa’ii , maka hitungannya ia mengerjakan 2 rukun juga. Bila ia sudah mengerjakan rukun yang ke-3 yaitu thawaf dan sa’ii atau bercukur, maka ia sudah mengerjakan tahalul tsani.

Thawaf Ifadoh adalah Thawaf yang dikerjakan setelah Wuquf di Padang Arafah, Thawaf Ifadoh termasuk rukun haji. Sedangkan Thawaf Quduum adalah Thawaf yang dikerjakan apabila kita mengerjakan Haji Ifrood.

Thawaf Ifadoh dan sa’ii digabung menjadi 1 rukun, bila ia sudah mengerjakan sa’ii setelah thawaf Quduum, maka setelah thawaf Ifadoh dia tidak perlu mengerjakan sa’ii lagi, bila setelah thawaf Ifadoh ia mengerjakan sa’ii lagi padahal ia telah mengerjakan sa’ii setelah thawaf Quduum, maka dibolehkan tetapi hukumnya makruh.

Sebelum pergi haji hendaknya kita mempersiapkan diri dengan ilmu tentang manasik haji, sehingga ibadah kita menjadi benar dan sesuai aturan syariat. Bila ingin membayar dam hendaknya kita membayarnya sendiri, karena dikhawatirkan orang yang kita serahkan untuk membayar dam kita tidak amanah. Begitu juga bila ingin membuat badal haji untuk orang tua atau saudara kita, hendaknya kita sendiri yang mengerjakan/ membuatnya. Karena seperti sabda Nabi: “Nanti pada akhir zaman manusia pergi haji dibagi menjadi 4 golongan:
1.    Para pejabatnya, pergi haji untuk jalan-jalan.
2.    Orang yang kaya,  pergi haji untuk berdagang.
3.    Orang yang faqir, pergi haji untuk meminta-minta.
4.    Ustadz-Ustadznya, pergi haji untuk sum’ah (kebanggaan/gengsi).

Bila sudah mengerjakan 3 rukun haji, Jumrotil Aqobah, Thawaf & Sa’ii dan Tahalul (bercukur), maka hasillah bagi orang yang sudah mengerjakan 3 rukun tadi tahalul tsani. Dan halAlloh bagi orang ini semua hal yang tadinya di haramkan saat baru tahalul awal, yaitu jimaa’ dan muqadimahnya (cumbu-rayu/ pemanasan).

Adapun jimaa’ yang dilakukan setelah tahalul awal, maka tidak rusak hajinya, sekalipun hukumnya haram. Karena belum halal baginya mengerjakan hal yang berkaitan dengan perempuan sebelum tahalul tsani.

Aqdun Nikah setelah tahalul awal tidak sah nikahnya, nikahnya dianggap tidak ada atau nikahnya dianggap tidak pernah terjadi. Aqdun Nikah yang dilakukan setelah tahalul awal (sebelum tahalul tsani), maka tidak merusak hajinya, dan tidak ada damnya karena tidak haram, tetapi pernikahannya dianggap tidak sah. Terkecuali bila terjadi wathi’ (bersetubuh) dengan istrinya setelah akad nikah tadi, meskipun tidak sampai keluar manni. Bila terjadi sebelum selesai amalan umroh, ia melakukan Wathi’ (bersetubuh dengan farjinya) meskipun tidak sampai keluar manni, bagi mumayis (anak yang belum baligh tetapi sudah tamyis), aliman (tahu hukumnya), amidan (sengaja melakukannya) dan mukhtaron (tidak ada unsur paksaan), maka menjadi rusak hajinya, karena dilakuan sebelum tahalul awal. Lain halnya bila bersentuhan selain farji (mubasyaroh), maka tidak merusak haji/ umrohnya.

Apabila ia melakukan jimaa’/ wathi’ sebelum tahalul awal, maka meskipun rusak hajinya, ia tetap harus meneruskan/ melanjutkan ibadah hajinya hingga tuntas, dan tidak boleh keluar dari pelaksanaan ibadah hajinya. Bahkan wajib bagi orang yang rusak ibadah hajinya karena sebelum tahalul awal (belum tuntas hajinya) sudah jimaa’ untuk meneruskan/ melanjutkan dalam kerusakannya sampai selesai ibadah hajinya. Karena ibadah haji ini saling berkaitan, ia tidak dapat lepas/ melepaskan diri dari ibadah hajinya meskipun sudah meninggal, nanti mesti di kodho oleh keluarganya.

Beda halnya dengan saat kita puasa kemudian kita jimaa’, maka batalah puasa kita dan tidak bisa diteruskan. Sedangkan haji, meskipun melakukan jimaa’ yang berakibat rusaknya ia punya haji, masih wajib meneruskan manasik hajinya hingga tuntas. Bila melakukan jimaa’ saat sedang puasa, kafarot/ sangsinya berat yaitu harus puasa selama 2 bulan berturut-turut. Bila puasa yang dijalankan sudah hampir selesai 2 bulan kurang 1 hari lagi dan ia batal puasanya, maka ia harus mengulang puasanya dari awal lagi.

Ibadah haji/ umroh yang sudah rusak masih wajib dilanjutkan/ dijalankan/ diteruskan dengan jalan mendatangkan seluruh amal-amalan haji/ umrohnya, jalankan sisa-sisa amalan yang belum dikerjakan. Disamping itu juga dia mesti I’adah/ qodho dengan fawroon (segera), karena sudah rusak hajinya, meskipun pada asalnya hajinya merupakan haji sunnah. Kewajiban ibadah haji hanya 1 kali seumur hidup, demikian juga dengan ibadah umroh hanya 1 kali seumur hidup, sedangkan haji berikutnya/ selanjutnya hanya merupakan sunnah saja. Tapi manakala kita sudah niat haji/ umroh, maka menjadi wajib hukumnya untuk menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji/ umrohnya dan tidak dapat keluar seperti ia menjalankan haji/ umroh yang wajib. Dan wajib bagi orang yang rusak haji/ umrohnya untuk mengerjakan I’adah/ qodho haji/ umrohnya di tempat di mana ia memulai ihrom haji/ umrohnya yang dahulu. Miqot Makanni (tempat) awal ihrom haji/ umrohnya, misalnya di Bir’ali, maka dia memulai ihrom I’adah/ qodhonya di Bir’ali pula, tidak boleh miqot makanni-nya pindah ke tempat lain.

Wajib atas orang yang rusak hajinya dengan sebab ia jimaa’ sebelum tahalul awal untuk mengkodhonya dan ia memulai Ihromnya ditempat dimana ia dahulu memulai Ihrom (Miqot Makanni) hajinya. Misalnya di: Bir’ali, Juhfah, Yalamlam, Qorn Manazil, Dzatu Irqin, Jeddah atau Hudaibiyah. Dan tidak wajib atas Miqot Zamanni (masa/ waktu). Artinya hari atau jamnya saat pelaksanaan qodho haji/ umrohnya tidak harus sama.

Keluar dari kata-kata fasiq (rusak) haji/ umrohnya adalah bila ia murtad (keluar dari Agama Islam), maka dihukumkan sudah batal haji/ umrohnya dengan sebab murtad tadi dan tidak boleh melanjutkan haji/ umrohnya, maka tidak wajib baginya meneruskan ibadah haji/ umrohnya. Perbuatan Murtad, seperti dia menyakini dan mengucapkan bahwa Alloh ada 3 atau dia sujud kepada selain Alloh, maka dia sudah dapat disebut murtad.

Bila kita sedang puasa dan kita diundang untuk menghadiri jamuan makan, dan tuan rumah sangat menginginkan agar kita memakan makanan yang disajikannya, maka membatalkan puasa lebih afdol baginya untuk menyenangkan hati dari tuan rumah.


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

1 komentar:

  1. Slot Machine Apps On Google Play - JTA Hub
    You may have 속초 출장샵 downloaded the app, but only if 안양 출장안마 you are using the Google Play 양산 출장안마 version of the game. To play 평택 출장마사지 the slot machine, go to 여수 출장안마 your

    BalasHapus