Pokok
Bahasan : TAUHID
Judul : Hukum Meninggalkan Shalat
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Hadist
Riwayat Imam Tabrani dari Anas RA., Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Siapa orang (lelaki/wanita, tua/muda) yang
meninggalkan shalat yang lima waktu dengan sengaja, maka orang itu telah
jelas-jelas kufur hukumnya.” Akan
tetapi kita tidak menterjemahkan hadist secara harfiah/ leterlux, kita perlu
melihat tuntunan dari ulama-ulama apa
yang dimaksud dengan “kufur ” disini. Jika kita mengartikan secara harfiah/apa
adanya dari hadist di atas, bahwa orang yang meninggalkan shalat hukumnya
kufur, maka pada akhirnya kita tidak akan menshalatkan jenazah dari orang yang
meninggalkan shalat, dengan alasan orang yang tidak pernah shalat maka tidak
usah dishalatkan.
Maksud
“dihukumkan kafir” disini adalah: dia sudah ber-haq mendapatkan siksaan seperti
siksaan untuk orang-orang yang kufur (kafir), tetapi ia tidak menjadi kafir.
Bila jelas-jelas kafir maka tidak boleh dishalatkan jenazahnya, jadi ulama
mengartikan bahwa bila ia meninggalkan shalat yang lima waktu dengan sengaja,
maka ia ber-haq mendapatkan siksaan di akhirat kelak semacam siksaan untuk
orang-orang kafir. Atau dapat diartikan pula “hampir mendekati ke-kufur-an”.
Bila ada orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka kekufuran sudah
mendekati dia, kemungkinan besar dia mati su’ul khotimah.
Kapan
dia menjadi kafir yang sesungguhnya? Jika
dia meninggalkan shalat karena dia mengingkari adanya kewajiban shalat
yang lima waktu, maka bila dia mati, dia tidak berhaq di shalatkan, meskipun
dia orang tua kita, saudara kita, kerabat ataupun tetangga kita. Adapun orang
yang meninggalkan shalat karena dia malas (meskipun sepanjang hidupnya tidak
pernah shalat), maka tidak dihukumkan kafir, asalkan dia tidak mengingkari
adanya kewajiban shalat yang lima waktu.
Al
Qur’an dan Hadist jangan diartikan sendiri, lihat dan berpedoman kepada Tafsir
Qur’an dan Sarah-sarah Hadits dari ulama-ulama yang berhaq dan ahli dalam
bidangnya. Sehingga kita tidak sembarangan mengkafirkan orang, paham sekarang
ada yang mengatakan: membaca tahlil, yasin, maulid menjadi kafir, padahal
meninggalkan shalat saja tidak menjadi kafir. Itu adalah pemahaman yang dangkal
karena tidak merujuk kepada pendapat/ pandangan dari ulama-ulama yang ahli di
bidangnya.
Hadist
yang riwayat sanadnya hasan: “Kejayaan
Islam ( Izul Islam) dan sendi-sendi agama ada 3, yaitu siapa orang yang
meninggalkan satu saja dari tiga sendi ini maka ia menjadi kafir dan halal
darahnya. Dua kalimat Syahadat, shalat lima waktu, dan puasa Ramadhan.” Yang dimaksud “halal darahnya” disini adalah
untuk menolak sangkaan dan dugaan bahwa yang dimaksud disini adalah kafir
I’tiqot bukan kufur ni’mat. Misalkan ni’mat Alloh di ingkari maka dia bukan
termasuk kafir I’tiqot, tapi kafir fi’lian, orang yang kafir ni’mat tidak
menjadi kafir. Bila benar-benar meninggalkan syahadat atau dia tidak mau
mengucapkan 2 kalimat Syahadat itu kufur, siapapun non muslim yang tidak
mengucapkan syahadat masih di sebut kafir. Seperti ada kasus di Depok, dia
sudah mengucapkan syahadat kemudian dia ingkari lagi, maka dia sudah menjadi
murtad. Mengingkari adanya Alloh dan Rasulnya bisa juga menjadi kufur. Jadi
yang di sebut kufur disini bila dinisbahkan pada syahadat, bila ia mengingkari
adanya kewajiban shalat, maka ia menjadi kufur, lain halnya dengan orang yang
meninggalkan shalat karena malas, tetapi dia tidak mengingkari adanya kewajiban
shalat atas dirinya. Orang yang lahir dari bapak dan ibu muslim, tetapi seumur
hidupnya tidak pernah mengerjakan shalat, maka dia tidak disebut sebagai kafir,
asal dia tidak mengingkari adanya kewajiban shalat. Kapan orang yang
meninggalkan Shalat lima waktu dan meninggalkan Puasa Ramadhan di sebut kafir?
Pada saat ia mengingkari adanya kewajiban Shalat dan Puasa Ramadhan, seperti ia
berkata: Tidak ada kewajiban Shalat dan Puasa Ramadhan, maka saat itu ia sudah
kufur. Bila ia meninggalkan Shalat lima waktu dan Puasa Ramadhan seumur
hidupnya, tetapi ia tidak pernah menganggap bahwa Shalat dan Puasa Ramadhan
tidak wajib, maka ia tidak dapat dikatakan kafir, bila ia meninggal maka
shalatkan sebagaimana orang Islam, kuburkan di tempat orang Islam dan tidak
halal darahnya. Bagi orang yang meninggalkan Shalat yang lima waktu dan Puasa
Ramadhan, maka hadist di atas sebagai tahwil (peringatan), bahwa bagi mereka
ada siksaan yang dahsyat dari Alloh.
Hadist
di riwayat yang lain, yang sanadnyapun hasan: “Siapa orang yang meninggalkan satu saja dari tiga sendi, maka dia
telah kufur terhadap Alloh, dan tidak diterima dari orang yang semacam ini
ibadah-ibadah wajibnya dan ibadah-ibadah sunnahnya, dan jadi halal darah dan
hartanya.” Tetapi tidak semua orang
dapat bertindak secara individu, tidak sembarang orang dapat menghukum orang
semacam ini, karena ini merupakan haq dari Negara (Negara Islam tentunya).
Hadist
Riwayat Tirmizi:
“Adalah sohabat-sohabat dari Nabi
Muhammad SAW. Mereka tidak beranggap/ berpendapat/ berpandangan pada sesuatu
amal-amal kerjaan yang bila ditinggalkannya menjadi kafir, kecuali shalat.” Mereka (para sohabat Nabi) berpendapat bila
meninggalkan kewajiban-kewajiban yang lain tidak menjadi kufur, tapi bila
meninggalkan shalat maka menjadi kufur. Karena ada hadist soheh yang mengatakan: “Antara
hamba Alloh dan antara kekufuran dan iman adalah Shalat yang membedakannya.” Yang membedakan antara hamba yang mu’min dan
hamba yang tidak mu’min adalah Shalat.
Hadist
Riwayat Ibnu Syaibah dan Imam Bukhari
dalam Tarikhnya, dari Ali RA. Rasululloh
bersabda: “Siapa orang yang meninggalkan
Shalat maka dia kafir.” Akan tetapi perlu diingat, bahwa yang dimaksud
kafir disini bila ia meyakini bahwa tidak ada kewajiban shalat.
Akan
tetapi kita jangan menggampangkan kewajiban shalat, karena ini merupakan haq Alloh,
Iman Abdullah Al Haddad berkata
dalam kitabnya, bila ada orang yang tinggal dirumah kita tidak shalat, maka
usir dari rumah. Dalam sebuah ayat Al
Qur’an, Alloh berfirman: “Kamu tidak
akan mendapatkan suatu kaum (sekelompok orang) yang mengaku beriman kepada Alloh
dan Rasulnya tetapi dia bercinta-cintaan (bersayang-sayangan/
bergandeng-gandengan tangan) kepada orang yang melawan Alloh dan Rasulnya.” Bila ada orang yang tidak shalat di rumah
kita, maka kita akan ikut tertimpa sialnya, ada tetangga yang berbuat maksiat
kita kebagian sialnya, ada tetangga kita yang sholeh kita kebagian
keberkahannya.
Hadist
Riwayat Muhammad bin Nasser dari Ibnu
Abbas RA.: “Siapa orang yang
meninggalkan shalat maka dia jelas-jelas kufur.” Apabila dia tidak meyakini bahkan mengingkari
akan adanya kewajiban shalat. Hadist Riwayat Abdul Bar dari Ali Al Jabirin: “Siapa
yang tidak shalat maka dia kafir.”
Jika mengingkari kewajiban shalat. Hadist Riwayat Ibnu Hajjem dari Umar ibnu Khotob RA.: “Siapa orang yang meninggalkan shalat satu waktu saja sampai keluar
waktu shalat, maka dia telah kafir murtad.”
Dari hadist-hadist di atas menunjukkan sangat pentingnya kewajiban
Shalat, sehingga kita perlu menjaga keluarga kita jangan sampai meninggalkan
shalat.
Berkata
mayoritas/ sekelompok sohabat-sohabat Nabi, Tabiin dan Tabii-Tabiin: “kufurlah
orang yang meninggalkan shalat.” Menurut pendapat mereka benar-benar kafir.
Jika masuk kedalam mahzab mereka dan ada yang meninggalkan shalat maka halal
darahnya dan boleh dibunuh. Diantara Sohabat-sohabat Nabi yang berpendapat
demikian adalah: Umar ibnu Khotob RA., Ibnu Abbas RA., Abdullah bin Mas’ud RA.,
Abdurahman bin Auf RA., Muas bin Jabbal,
Abu Hurairota RA., Abu Darda RA., Ibnu Jabiir bin Abdillah RA. Dan yang bukan
termasuk Sohabat Nabi yang berpendapat seperti demikian itu adalah Imam Ahmad
bin Hambal (Murid dari Imam Syafi’i), Ishaq bin Rauhaweh, Abdullah bin Mubaroq,
Luqoi, Hakim, Ibnu Unainata, Ayub
Assaqiyani, Abu Dauda At Toyalisi,
Abubaqar bin Abi Saybah, dan Juhaer bin Harbim. Akan tetapi menurut pendapat
dari Mahzab Imam Syafi’i tidak demikian.
Bila
kita shalat 5 waktu di luar waktu (misalnya Shalat Dzuhur di waktu Ashar) tanpa
ada udzur syar’i, maka itu terbilang dosa yang paling besar diantara dosa-dosa
besar. Bila ada udzur syar’i, misalkan karena ketiduran, tetapi syaratnya
tidurnya kita belum masuk waktu shalat. Tetapi tidak dibolehkan kita tidur,
bila kita yakin apabila kita tidur maka akan lewat waktu shalat atau bila tidak
ada orang lain di rumah yang akan membangunkan kita saat masuk waktu shalat.
Mengerjakan
shalat di luar waktu terbilang dosa-dosa besar yang akan mengakibatkan kita
terkena adzab, baik adzab di dunia maupun adzab di akhirat kelak. Maka wajib
atas orang yang melalaikan shalat sampai keluar waktu tanpa ada udzur syar’i,
mengkodho shalatnya harus segera (fauron), jangan ditunda-tunda bila ada
kesempatan waktu.
Dia
harus memalingkan semua waktunya/ masanya yang ada saat itu untuk mengkodho
shalat yang ditinggalkannya tanpa udzur syar’i, tidak boleh bersantai-santai
mengerjakan yang lain, bahkan shalat sunnah, membaca Al Qur’an, Dzikir, Ratib
tidak boleh dikerjakan sebelum mengkodho shalat yang ditinggalkannya, karena
hal ini wajib.
Meninggalkan
1 waktu shalat yang lima waktu tanpa udzur syar’i, maka tidak dapat diganti
dengan 1.000 kali pergi haji (1.000 tahun pergi haji), dan tidak dapat diganti
dengan shalat sunnah sebanyak-banyaknya.
Kecuali waktu yang dia butuh digunakan untuk mendapatkan sesuatu yang wajib
atas dirinya dan atas anak dan istrinya untuk biaya hidup (mencari nafkah).
Jadi bila bukan untuk kebutuhan mencari nafkah/ makan maka tidak dibolehkan.
Jika seluruh waktunya digunakan khusus untuk kodho shalat, dan tidak ada waktu
mencari nafkah, maka tidak dibolehkan. Jadi sisihkan sebagian waktu untuk kodho
dan sebagian waktu lagi untuk mencari nafkah.
Haram
mengerjakan shalat sunnah atas orang yang mempunyai kewajiban kodho karena
meninggalkan shalat tanpa ada udzur syar’i. Shalat sunnah 1.000 rakaatpun tidak
dapat menggantikan kedudukan shalat wajib di alam dunia. Meskipun di akhirat
kelak shalat sunnah dapat menggantikan shalat fardhu. Bila sewaktu di hisab
nanti ada shalat fardhu yang kurang, maka 1 rakaat shalat sunnah dapat
menggantikan 1 rakaat shalat fardhu.
Bila
kita meninggalkan beberapa waktu shalat fardhu tanpa ada udzur syar’i, maka
kita disunnahkan mengkodho shalat secara tertib/ berurutan. Misalkan kerjakan
shalat kodho Shubuh terlebih dahulu, kemudian baru kodho shalat Dzuhur dan
seterusnya. Dan disunnahkan mendahulukan mengkodho shalat terlebih dahulu atas
shalat yang adaan. Shalat di luar waktu disebut kodho dan shalat di dalam waktu
disebut ada’. Misalkan dia meninggalkan shalat Dzuhur (tanpa udzur syar’i)
sampai masuk waktu Ashar, maka dia harus mendahulukan mengerjakan shalat Dzuhur
(kodho) terlebih dahulu, baru kemudian mengerjakan shalat Ashar (ada’).
Akan
tetapi mendahulukan shalat yang kodho dibandingkan shalat yang ada’ apabila dia
yakin tidak akan luputnya shalat yang hadir (ada’), karena waktu shalatnya
masih luas. Apabila waktu shalat ada’-nya sudah sempit/ picik, maka dahulukan
shalat ada’ terlebih dahulu. Misalkan kita meninggalkan shalat Dzuhur dan
mengkodhonya di waktu Ashar, sedangkan waktu shalat Ashar tinggal 5 menit lagi sebelum
masuk waktu shalat Maghrib. Maka kita harus mendahulukan shalat Ashar terlebih
dahulu, karena bila kita mengkodho shalat Dzuhur terlebih dahulu, maka
akibatnya shalat Ashar akan jatuh di kodho lagi.
Sebagaimana
haram mengeluarkan shalat dari waktunya, haram juga mendahulukan shalat dari
waktunya dengan sengaja. Misalkan shalat Maghrib jam 6 sore, kita ada keperluan
dan harus segera berangkat, akhirnya kita shalat Maghrib sebelum masuk
waktunya, maka hal itu haram hukumnya.
Shalat,
wajibnya begitu masuk waktu shalat, yaitu saat berkumandangnya adzan. Shalat
wajib di kerjakan diawal waktu, begitu masuk waktu disitu ada kewajiban kita
shalat. Misalkan shalat Dzuhur jam 12 siang, saat sebelum masuk waktu Dzuhur
(misalkan jam 11 siang), ada orang yang bertanya kepada kita, apakah kita ada
kewajiban shalat Dzuhur? Dan kita menjawabnya: tidak, saya tidak ada kewajiban
shalat Dzuhur, maka kita tidak berdosa dan tidak dihukumkan kafir mengatakan
seperti itu, karena shalat Dzuhur belum masuk waktunya. Maka dari itu bila kita
belum menguasai ilmu fiqih secara mendalam, jangan terlalu gampang mengkafirkan
orang.
Shalat
wajibnya di awal waktu, tetapi wajib yang waktunya luas/flexible (wajiban
muasa’an). Misalkan kita shalat 10 menit sebelum waktu shalat berakhir masih
boleh, tidak mesti begitu masuk waktu kita langsung shalat, tetapi shalat
diawal waktu lebih afdol/ utama. Ada sebagian para mualimin/ kyai tidak shalat
di awal waktu, karena mungkin pada saat masuk waktu shalat mereka masih sibuk
mengajar.
Kita
dibolehkan menunda shalat dari awal waktu, selama tidak sampai keluar waktu
shalat, tetapi kita tidak mendapatkan fadillah awal waktu. Tetapi yang terbaik
jangan mengambil cara ini, ini hanya sebagai bahasan boleh dilakukan, tetapi
tidak bagus bila dikerjakan.
Sampai
kapan kita boleh menunda waktu shalat? Sampai masih muat waktu kita untuk
mengerjakan shalat tersebut sebelum masuk waktu shalat yang lainnya/
berikutnya. Dan syarat yang lainnya adalah selama ia duga/ kira bahwa dia tidak
akan keluputan sampai keluar waktu. Bila ia sudah dapat menduga bahwa bila ia
menunda shalatnya maka akan keluar waktu, maka tidak boleh baginya menunda
shalat. Misalkan bila ia sering buang angin atau buang air kecil, maka
diperlukan waktu cukup lama sebelum ia dapat mengerjakan shalat, ini yang harus
dipertimbangkan juga sebelum memutuskan menunda shalat.
Bila
telah masuk waktu shalat, dan kita masih sibuk dengan pekerjaan/ usaha kita,
maka kita perlu ajjam (niat/ tekad)
akan mengerjakan shalat pada waktu tertentu. Misalkan telah masuk waktu shalat
Dzuhur, tetapi kita masih sibuk dengan pekerjaan kita, maka kita mesti ajjam : “Ya Rabb….aku akan melaksanakan
shalat Dzuhur pada jam 3 kurang 10 (misalnya Shalat Ashar jam 3).” Misalkan sebelum waktu yang kita ajjam
(niatkan), kita keburu meninggal dunia, maka kita tidak dosa, karena
kita sudah ajjam. Jika dia tidak
ajjam dan meninggal sebelum mengerjakan shalat, maka dia dosa dengan sebab
mentakhirkan shalat.
Lain
halnya dengan ibadah haji, misalkan pada tahun ini kita sudah mampu untuk pergi
haji, tetapi dia berniat menunda selama 2 atau 3 tahun lagi, dan bila ia
meninggal sebelum waktu yang diniatkannya tersebut, maka dia jatuh dosa. Karena
sudah jatuh kewajiban baginya untuk menunaikan ibadah haji.
Orang
yang tidur yang dia tidak terpaksa dia tidur ( bukan karena mengantuk sekali),
setelah masuk waktu dia tidur sebelum mengerjakan shalat, dan dia tidak dapat
menduga bahwa dia akan bangun sebelum sempitnya waktu atau dia tidak menduga
ada orang yang akan membangunkannya atau ada orang tetapi tidak berani
membangunkannya, maka haram hukumnya dia tidur. Jangan suka berdalil
macam-macam, ikuti atuaran syara, jangan menggampang-gampangkan, apalagi
pemahaman-pemahaman fiqih yang dapat membahayakan. Bagi mualimin/ kyai lebih
afdol bagi mereka untuk meneruskan mengajar dengan menunda shalatnya, tetapi
bagi kita yang tidak ada kesibukan yang mendesak, maka lebih afdol/ utama
shalat di awal waktu.
Ajjam
Khosh (Ajjam yang khusus), yaitu bila sudah masuk waktu shalat dan kita masih
sibuk dengan pekerjaan kita, maka kita ber-ajjam akan melaksanakan shalat pada
waktu tertentu (sebelum keluar waktu shalat). Contoh: “Ya Rabb….aku akan
melaksanakan shalat Dzuhur pada jam 3 kurang 10 (misalnya Shalat Ashar jam 3).”
Adapun
bagi mu’min yang telah muqalaf (baligh), ada kewajiban mengucapkan ajjam amm (ajjam yang umum). Begitu kita
baligh (sudah berumur 15 tahun, atau bagi lelaki sudah mimpi keluar manni dan
bagi perempuan sudah keluar haid), disaat itu dia mesti ajjam amm: “Ya
Rabb….saat ini aku telah baligh, ada kewajiban syara atas diriku, aku akan
melaksanakan semua kewajiban-kewajiban agama atas diriku tanpa terkecuali, dan
aku juga tahu hal-hal yang haram yang sifatnya maksiat dan aku akan
tinggalkan.” Sampaikan hal kepada anak kita dan saudara kita yang telah
menjelang aqil baligh, agar mereka mengucapkan ajjam amm (ajjam yang umum).
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz
Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar