Senin, 10 Agustus 2015

TAUHID - Hukum Meninggalkan Shalat



Pokok Bahasan     :  TAUHID
Judul                    :  Hukum Meninggalkan Shalat
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Hadist Riwayat Imam Tabrani dari Anas RA., Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Siapa orang (lelaki/wanita, tua/muda) yang meninggalkan shalat yang lima waktu dengan sengaja, maka orang itu telah jelas-jelas kufur hukumnya.”  Akan tetapi kita tidak menterjemahkan hadist secara harfiah/ leterlux, kita perlu melihat tuntunan  dari ulama-ulama apa yang dimaksud dengan “kufur ” disini. Jika kita mengartikan secara harfiah/apa adanya dari hadist di atas, bahwa orang yang meninggalkan shalat hukumnya kufur, maka pada akhirnya kita tidak akan menshalatkan jenazah dari orang yang meninggalkan shalat, dengan alasan orang yang tidak pernah shalat maka tidak usah dishalatkan.

Maksud “dihukumkan kafir” disini adalah: dia sudah ber-haq mendapatkan siksaan seperti siksaan untuk orang-orang yang kufur (kafir), tetapi ia tidak menjadi kafir. Bila jelas-jelas kafir maka tidak boleh dishalatkan jenazahnya, jadi ulama mengartikan bahwa bila ia meninggalkan shalat yang lima waktu dengan sengaja, maka ia ber-haq mendapatkan siksaan di akhirat kelak semacam siksaan untuk orang-orang kafir. Atau dapat diartikan pula “hampir mendekati ke-kufur-an”. Bila ada orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka kekufuran sudah mendekati dia, kemungkinan besar dia mati su’ul khotimah.

Kapan dia menjadi kafir yang sesungguhnya? Jika  dia meninggalkan shalat karena dia mengingkari adanya kewajiban shalat yang lima waktu, maka bila dia mati, dia tidak berhaq di shalatkan, meskipun dia orang tua kita, saudara kita, kerabat ataupun tetangga kita. Adapun orang yang meninggalkan shalat karena dia malas (meskipun sepanjang hidupnya tidak pernah shalat), maka tidak dihukumkan kafir, asalkan dia tidak mengingkari adanya kewajiban shalat yang lima waktu.

Al Qur’an dan Hadist jangan diartikan sendiri, lihat dan berpedoman kepada Tafsir Qur’an dan Sarah-sarah Hadits dari ulama-ulama yang berhaq dan ahli dalam bidangnya. Sehingga kita tidak sembarangan mengkafirkan orang, paham sekarang ada yang mengatakan: membaca tahlil, yasin, maulid menjadi kafir, padahal meninggalkan shalat saja tidak menjadi kafir. Itu adalah pemahaman yang dangkal karena tidak merujuk kepada pendapat/ pandangan dari ulama-ulama yang ahli di bidangnya.

Hadist yang riwayat sanadnya hasan: “Kejayaan Islam ( Izul Islam) dan sendi-sendi agama ada 3, yaitu siapa orang yang meninggalkan satu saja dari tiga sendi ini maka ia menjadi kafir dan halal darahnya. Dua kalimat Syahadat, shalat lima waktu, dan puasa Ramadhan.”   Yang dimaksud “halal darahnya” disini adalah untuk menolak sangkaan dan dugaan bahwa yang dimaksud disini adalah kafir I’tiqot bukan kufur ni’mat. Misalkan ni’mat Alloh di ingkari maka dia bukan termasuk kafir I’tiqot, tapi kafir fi’lian, orang yang kafir ni’mat tidak menjadi kafir. Bila benar-benar meninggalkan syahadat atau dia tidak mau mengucapkan 2 kalimat Syahadat itu kufur, siapapun non muslim yang tidak mengucapkan syahadat masih di sebut kafir. Seperti ada kasus di Depok, dia sudah mengucapkan syahadat kemudian dia ingkari lagi, maka dia sudah menjadi murtad. Mengingkari adanya Alloh dan Rasulnya bisa juga menjadi kufur. Jadi yang di sebut kufur disini bila dinisbahkan pada syahadat, bila ia mengingkari adanya kewajiban shalat, maka ia menjadi kufur, lain halnya dengan orang yang meninggalkan shalat karena malas, tetapi dia tidak mengingkari adanya kewajiban shalat atas dirinya. Orang yang lahir dari bapak dan ibu muslim, tetapi seumur hidupnya tidak pernah mengerjakan shalat, maka dia tidak disebut sebagai kafir, asal dia tidak mengingkari adanya kewajiban shalat. Kapan orang yang meninggalkan Shalat lima waktu dan meninggalkan Puasa Ramadhan di sebut kafir? Pada saat ia mengingkari adanya kewajiban Shalat dan Puasa Ramadhan, seperti ia berkata: Tidak ada kewajiban Shalat dan Puasa Ramadhan, maka saat itu ia sudah kufur. Bila ia meninggalkan Shalat lima waktu dan Puasa Ramadhan seumur hidupnya, tetapi ia tidak pernah menganggap bahwa Shalat dan Puasa Ramadhan tidak wajib, maka ia tidak dapat dikatakan kafir, bila ia meninggal maka shalatkan sebagaimana orang Islam, kuburkan di tempat orang Islam dan tidak halal darahnya. Bagi orang yang meninggalkan Shalat yang lima waktu dan Puasa Ramadhan, maka hadist di atas sebagai tahwil (peringatan), bahwa bagi mereka ada siksaan yang dahsyat dari Alloh.

Hadist di riwayat yang lain, yang sanadnyapun hasan: “Siapa orang yang meninggalkan satu saja dari tiga sendi, maka dia telah kufur terhadap Alloh, dan tidak diterima dari orang yang semacam ini ibadah-ibadah wajibnya dan ibadah-ibadah sunnahnya, dan jadi halal darah dan hartanya.”   Tetapi tidak semua orang dapat bertindak secara individu, tidak sembarang orang dapat menghukum orang semacam ini, karena ini merupakan haq dari Negara (Negara Islam tentunya).

Hadist Riwayat Tirmizi: “Adalah sohabat-sohabat dari Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak beranggap/ berpendapat/ berpandangan pada sesuatu amal-amal kerjaan yang bila ditinggalkannya menjadi kafir, kecuali shalat.”  Mereka (para sohabat Nabi) berpendapat bila meninggalkan kewajiban-kewajiban yang lain tidak menjadi kufur, tapi bila meninggalkan shalat maka menjadi kufur. Karena ada hadist soheh yang mengatakan: “Antara hamba Alloh dan antara kekufuran dan iman adalah Shalat yang membedakannya.”  Yang membedakan antara hamba yang mu’min dan hamba yang tidak mu’min adalah Shalat.

Hadist Riwayat Ibnu Syaibah dan Imam Bukhari dalam Tarikhnya, dari Ali RA. Rasululloh bersabda: “Siapa orang yang meninggalkan Shalat maka dia kafir.” Akan tetapi perlu diingat, bahwa yang dimaksud kafir disini bila ia meyakini bahwa tidak ada kewajiban shalat.

Akan tetapi kita jangan menggampangkan kewajiban shalat, karena ini merupakan haq Alloh, Iman Abdullah Al Haddad berkata dalam kitabnya, bila ada orang yang tinggal dirumah kita tidak shalat, maka usir dari rumah. Dalam sebuah ayat Al Qur’an, Alloh berfirman: “Kamu tidak akan mendapatkan suatu kaum (sekelompok orang) yang mengaku beriman kepada Alloh dan Rasulnya tetapi dia bercinta-cintaan (bersayang-sayangan/ bergandeng-gandengan tangan) kepada orang yang melawan Alloh dan Rasulnya.”  Bila ada orang yang tidak shalat di rumah kita, maka kita akan ikut tertimpa sialnya, ada tetangga yang berbuat maksiat kita kebagian sialnya, ada tetangga kita yang sholeh kita kebagian keberkahannya.

Hadist Riwayat Muhammad bin Nasser dari Ibnu Abbas RA.: “Siapa orang yang meninggalkan shalat maka dia jelas-jelas kufur.”  Apabila dia tidak meyakini bahkan mengingkari akan adanya kewajiban shalat. Hadist Riwayat Abdul Bar dari Ali Al Jabirin: “Siapa yang tidak shalat maka dia kafir.”  Jika mengingkari kewajiban shalat. Hadist Riwayat Ibnu Hajjem dari Umar ibnu Khotob RA.: “Siapa orang yang meninggalkan shalat satu waktu saja sampai keluar waktu shalat, maka dia telah kafir murtad.”  Dari hadist-hadist di atas menunjukkan sangat pentingnya kewajiban Shalat, sehingga kita perlu menjaga keluarga kita jangan sampai meninggalkan shalat.

Berkata mayoritas/ sekelompok sohabat-sohabat Nabi, Tabiin dan Tabii-Tabiin: “kufurlah orang yang meninggalkan shalat.” Menurut pendapat mereka benar-benar kafir. Jika masuk kedalam mahzab mereka dan ada yang meninggalkan shalat maka halal darahnya dan boleh dibunuh. Diantara Sohabat-sohabat Nabi yang berpendapat demikian adalah: Umar ibnu Khotob RA., Ibnu Abbas RA., Abdullah bin Mas’ud RA., Abdurahman bin Auf  RA., Muas bin Jabbal, Abu Hurairota RA., Abu Darda RA., Ibnu Jabiir bin Abdillah RA. Dan yang bukan termasuk Sohabat Nabi yang berpendapat seperti demikian itu adalah Imam Ahmad bin Hambal (Murid dari Imam Syafi’i), Ishaq bin Rauhaweh, Abdullah bin Mubaroq, Luqoi, Hakim, Ibnu Unainata,  Ayub Assaqiyani,  Abu Dauda At Toyalisi, Abubaqar bin Abi Saybah, dan Juhaer bin Harbim. Akan tetapi menurut pendapat dari Mahzab Imam Syafi’i tidak demikian.

Bila kita shalat 5 waktu di luar waktu (misalnya Shalat Dzuhur di waktu Ashar) tanpa ada udzur syar’i, maka itu terbilang dosa yang paling besar diantara dosa-dosa besar. Bila ada udzur syar’i, misalkan karena ketiduran, tetapi syaratnya tidurnya kita belum masuk waktu shalat. Tetapi tidak dibolehkan kita tidur, bila kita yakin apabila kita tidur maka akan lewat waktu shalat atau bila tidak ada orang lain di rumah yang akan membangunkan kita saat masuk waktu shalat.

Mengerjakan shalat di luar waktu terbilang dosa-dosa besar yang akan mengakibatkan kita terkena adzab, baik adzab di dunia maupun adzab di akhirat kelak. Maka wajib atas orang yang melalaikan shalat sampai keluar waktu tanpa ada udzur syar’i, mengkodho shalatnya harus segera (fauron), jangan ditunda-tunda bila ada kesempatan waktu.

Dia harus memalingkan semua waktunya/ masanya yang ada saat itu untuk mengkodho shalat yang ditinggalkannya tanpa udzur syar’i, tidak boleh bersantai-santai mengerjakan yang lain, bahkan shalat sunnah, membaca Al Qur’an, Dzikir, Ratib tidak boleh dikerjakan sebelum mengkodho shalat yang ditinggalkannya, karena hal ini wajib.

Meninggalkan 1 waktu shalat yang lima waktu tanpa udzur syar’i, maka tidak dapat diganti dengan 1.000 kali pergi haji (1.000 tahun pergi haji), dan tidak dapat diganti dengan shalat sunnah  sebanyak-banyaknya. Kecuali waktu yang dia butuh digunakan untuk mendapatkan sesuatu yang wajib atas dirinya dan atas anak dan istrinya untuk biaya hidup (mencari nafkah). Jadi bila bukan untuk kebutuhan mencari nafkah/ makan maka tidak dibolehkan. Jika seluruh waktunya digunakan khusus untuk kodho shalat, dan tidak ada waktu mencari nafkah, maka tidak dibolehkan. Jadi sisihkan sebagian waktu untuk kodho dan sebagian waktu lagi untuk mencari nafkah.

Haram mengerjakan shalat sunnah atas orang yang mempunyai kewajiban kodho karena meninggalkan shalat tanpa ada udzur syar’i. Shalat sunnah 1.000 rakaatpun tidak dapat menggantikan kedudukan shalat wajib di alam dunia. Meskipun di akhirat kelak shalat sunnah dapat menggantikan shalat fardhu. Bila sewaktu di hisab nanti ada shalat fardhu yang kurang, maka 1 rakaat shalat sunnah dapat menggantikan 1 rakaat shalat fardhu.

Bila kita meninggalkan beberapa waktu shalat fardhu tanpa ada udzur syar’i, maka kita disunnahkan mengkodho shalat secara tertib/ berurutan. Misalkan kerjakan shalat kodho Shubuh terlebih dahulu, kemudian baru kodho shalat Dzuhur dan seterusnya. Dan disunnahkan mendahulukan mengkodho shalat terlebih dahulu atas shalat yang adaan. Shalat di luar waktu disebut kodho dan shalat di dalam waktu disebut ada’. Misalkan dia meninggalkan shalat Dzuhur (tanpa udzur syar’i) sampai masuk waktu Ashar, maka dia harus mendahulukan mengerjakan shalat Dzuhur (kodho) terlebih dahulu, baru kemudian mengerjakan shalat Ashar (ada’).

Akan tetapi mendahulukan shalat yang kodho dibandingkan shalat yang ada’ apabila dia yakin tidak akan luputnya shalat yang hadir (ada’), karena waktu shalatnya masih luas. Apabila waktu shalat ada’-nya sudah sempit/ picik, maka dahulukan shalat ada’ terlebih dahulu. Misalkan kita meninggalkan shalat Dzuhur dan mengkodhonya di waktu Ashar, sedangkan waktu shalat Ashar tinggal 5 menit lagi sebelum masuk waktu shalat Maghrib. Maka kita harus mendahulukan shalat Ashar terlebih dahulu, karena bila kita mengkodho shalat Dzuhur terlebih dahulu, maka akibatnya shalat Ashar akan jatuh di kodho lagi.

Sebagaimana haram mengeluarkan shalat dari waktunya, haram juga mendahulukan shalat dari waktunya dengan sengaja. Misalkan shalat Maghrib jam 6 sore, kita ada keperluan dan harus segera berangkat, akhirnya kita shalat Maghrib sebelum masuk waktunya, maka hal itu haram hukumnya.

Shalat, wajibnya begitu masuk waktu shalat, yaitu saat berkumandangnya adzan. Shalat wajib di kerjakan diawal waktu, begitu masuk waktu disitu ada kewajiban kita shalat. Misalkan shalat Dzuhur jam 12 siang, saat sebelum masuk waktu Dzuhur (misalkan jam 11 siang), ada orang yang bertanya kepada kita, apakah kita ada kewajiban shalat Dzuhur? Dan kita menjawabnya: tidak, saya tidak ada kewajiban shalat Dzuhur, maka kita tidak berdosa dan tidak dihukumkan kafir mengatakan seperti itu, karena shalat Dzuhur belum masuk waktunya. Maka dari itu bila kita belum menguasai ilmu fiqih secara mendalam, jangan terlalu gampang mengkafirkan orang.

Shalat wajibnya di awal waktu, tetapi wajib yang waktunya luas/flexible (wajiban muasa’an). Misalkan kita shalat 10 menit sebelum waktu shalat berakhir masih boleh, tidak mesti begitu masuk waktu kita langsung shalat, tetapi shalat diawal waktu lebih afdol/ utama. Ada sebagian para mualimin/ kyai tidak shalat di awal waktu, karena mungkin pada saat masuk waktu shalat mereka masih sibuk mengajar.

Kita dibolehkan menunda shalat dari awal waktu, selama tidak sampai keluar waktu shalat, tetapi kita tidak mendapatkan fadillah awal waktu. Tetapi yang terbaik jangan mengambil cara ini, ini hanya sebagai bahasan boleh dilakukan, tetapi tidak bagus bila dikerjakan.

Sampai kapan kita boleh menunda waktu shalat? Sampai masih muat waktu kita untuk mengerjakan shalat tersebut sebelum masuk waktu shalat yang lainnya/ berikutnya. Dan syarat yang lainnya adalah selama ia duga/ kira bahwa dia tidak akan keluputan sampai keluar waktu. Bila ia sudah dapat menduga bahwa bila ia menunda shalatnya maka akan keluar waktu, maka tidak boleh baginya menunda shalat. Misalkan bila ia sering buang angin atau buang air kecil, maka diperlukan waktu cukup lama sebelum ia dapat mengerjakan shalat, ini yang harus dipertimbangkan juga sebelum memutuskan menunda shalat.

Bila telah masuk waktu shalat, dan kita masih sibuk dengan pekerjaan/ usaha kita, maka kita perlu ajjam (niat/ tekad) akan mengerjakan shalat pada waktu tertentu. Misalkan telah masuk waktu shalat Dzuhur, tetapi kita masih sibuk dengan pekerjaan kita, maka kita mesti ajjam : “Ya Rabb….aku akan melaksanakan shalat Dzuhur pada jam 3 kurang 10 (misalnya Shalat Ashar jam 3).”  Misalkan sebelum waktu yang kita ajjam  (niatkan), kita keburu meninggal dunia, maka kita tidak dosa, karena kita sudah ajjam. Jika dia tidak ajjam dan meninggal sebelum mengerjakan shalat, maka dia dosa dengan sebab mentakhirkan shalat.

Lain halnya dengan ibadah haji, misalkan pada tahun ini kita sudah mampu untuk pergi haji, tetapi dia berniat menunda selama 2 atau 3 tahun lagi, dan bila ia meninggal sebelum waktu yang diniatkannya tersebut, maka dia jatuh dosa. Karena sudah jatuh kewajiban baginya untuk menunaikan ibadah haji.

Orang yang tidur yang dia tidak terpaksa dia tidur ( bukan karena mengantuk sekali), setelah masuk waktu dia tidur sebelum mengerjakan shalat, dan dia tidak dapat menduga bahwa dia akan bangun sebelum sempitnya waktu atau dia tidak menduga ada orang yang akan membangunkannya atau ada orang tetapi tidak berani membangunkannya, maka haram hukumnya dia tidur. Jangan suka berdalil macam-macam, ikuti atuaran syara, jangan menggampang-gampangkan, apalagi pemahaman-pemahaman fiqih yang dapat membahayakan. Bagi mualimin/ kyai lebih afdol bagi mereka untuk meneruskan mengajar dengan menunda shalatnya, tetapi bagi kita yang tidak ada kesibukan yang mendesak, maka lebih afdol/ utama shalat di awal waktu.

Ajjam Khosh (Ajjam yang khusus), yaitu bila sudah masuk waktu shalat dan kita masih sibuk dengan pekerjaan kita, maka kita ber-ajjam akan melaksanakan shalat pada waktu tertentu (sebelum keluar waktu shalat). Contoh: “Ya Rabb….aku akan melaksanakan shalat Dzuhur pada jam 3 kurang 10 (misalnya Shalat Ashar jam 3).”

Adapun bagi mu’min yang telah muqalaf (baligh), ada kewajiban mengucapkan ajjam amm (ajjam yang umum). Begitu kita baligh (sudah berumur 15 tahun, atau bagi lelaki sudah mimpi keluar manni dan bagi perempuan sudah keluar haid), disaat itu dia mesti ajjam amm: “Ya Rabb….saat ini aku telah baligh, ada kewajiban syara atas diriku, aku akan melaksanakan semua kewajiban-kewajiban agama atas diriku tanpa terkecuali, dan aku juga tahu hal-hal yang haram yang sifatnya maksiat dan aku akan tinggalkan.” Sampaikan hal kepada anak kita dan saudara kita yang telah menjelang aqil baligh, agar mereka mengucapkan ajjam amm (ajjam yang umum).


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar