Senin, 10 Agustus 2015

TASAWUF - Tawaqal Kepada Alloh



Pokok Bahasan     :  TASAWUF
Judul                    :  Tawaqal Kepada Alloh
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Hendaknya kamu Tawaqal/ berpasrah diri kepada Alloh, segala urusan kita serahkan saja kepada Alloh. Sesungguhnya orang yang tawaqal kepada Alloh, maka Alloh akan cukupi segala kebutuhannya. Meskipun ia tidak kaya harta, paling tidak ia kaya hati, meskipun kehidupannya sulit luar biasa tetapi ia masih dapat tersenyum dan hidup harmonis dengan keluarganya. Sebaliknya ada orang yang kaya luar biasa, tetapi ia tidak dapat tersenyum, ia hidup di balik jeruji besi/ penjara dan kehidupan keluarganya tidak harmonis.

Orang yang Tawaqal kepada Alloh, maka langkah dan hatinya Alloh bimbing, tidak meleset/ melenceng dari kebenaran, tidak meleset dari tuntunan orang-orang sholeh. Ulama-ulama sering menganjurkan kita untuk memperbanyak membaca: “HasbunAlloh wanni’mal waqil ni’mal maula wanni’mannasir.”

Siapa orang yang tawaqal kepada Alloh, maka Alloh-lah yang akan mencukupi segala kebutuhannya. Apapun hajad dan kebutuhannya serahkan dan bertawaqal kepada Alloh. Yang wajib dari seorang mu’min adalah menyerahkan segala urusan kepada Alloh. Keinginan apapun dari kita dan urusan apapun dari kita, hendaknya serahkan semuanya kepada Alloh.

Ridho dengan ketentuan dan apa yang Alloh berikan. Bila suatu saat ada kesempitan, serahkan kepada Alloh dan ridho dengan ketentuan Alloh. Dan Kita berharap Karunia dan Rahmat Alloh dari segala kesempitan dan halangan.

Bukan namanya berpasrah diri/ bertawaqal kepada Alloh dengan jalan melupakan/ melalaikan usaha sama sekali. Hendaknya kita berusaha dan bekerja sungguh-sungguh baru kemudian bertawaqal kepada Alloh. Jangan hanya berpangku tangan di rumah tanpa usaha, kita ada kewajiban untuk memberi nafkah anak dan istri. Jangan hanya berdoa dan berziqir berharap rizki turun dari Alloh, tanpa adanya usaha, bukan maqom kita disitu, maqom kita belum sampai disana. 

Akan tetapi kita jangan berpegang/ bergantung pada usaha kita, karena bila usaha kita tidak berhasil kita akan kecewa, usaha sebatas usaha, sedangkan hasil Alloh yang menentukan. Sesudah berusaha kemudian untuk hasilnya serahkan dan bertawaqal kepada Alloh sambil kita berdoa dan berharap agar hasilnya sesuai dengan apa yang kita inginkan. Contoh yang mempunyai tawaqal yang tinggi adalah petani, mereka menebar benih/ bibit, memupuk, menyiram, dan merawat tanamannya, akan tetapi terkadang hasilnya dikemudian hari belum tentu sesuai dengan harapan, bisa jadi ada gangguan hama yang mengakibatkan gagal panen.

Tawaqal terbilang hasil/ buah dari tauhid, kebenarannya kita punya tauhid, benarnya dan mantap kita punya iman. Jika iman sudah menguasai kita akan timbul sifat tawaqal dalam diri kita.

Sebut-sebut oleh kamu nama Tuhan kamu pada malam dan siang hari dengan cara apapun juga, dapat dengan membaca tasbih, tahlil, tahmid, doa, sholat dan qiroatil Qur’an. Agar tidak menimbulkan kebosenan/ kejenuhan maka Alloh memberikan berbagai macam cara untuk mengingat Alloh. Mempelajari ilmupun termasuk dzikir kepada Alloh.

Tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bersifat Tawaqal kepada Alloh. Dan Alloh pun memerintahkan hamba-hambanya untuk bertawaqal kepada-Nya. Hanya kepada Alloh sajalah hendaknya orang-orang mu’min bertawaqal.

Dalam sebuah ayat Al Qur’an Alloh berfirman: “TawaqAlloh kepada Alloh, sesungguhnya Alloh suka dan senang kepada orang-orang yang bertawaqal kepada-Nya.”

Dalam sebuah Hadist Rasululloh bersabda: “Andaikata kamu bertawaqal kepada Alloh, pasti Alloh akan memberikan ridzki kepada kamu sebagaimana Alloh memberikan ridzki kepada burung. Waktu dia pergi di pagi hari dalam keadaan kosong perutnya dan sore hari waktu dia kembali ke sarangnya dalam keadaan kenyang dia punya perut.”

Suatu saat Nabi Musa lewat di satu kaum laki-laki yang sedang duduk-duduk. Maka Nabi Musa bertanya: “Apa yang kamu lakukan disini?” Mereka menjawab: “Kami ibadah kepada Alloh wahai Nabi Musa.” Nabi Musa bertanya lagi: “Siapa yang membiayai kamu?” Mereka menjawab kembali: “Yang membiayai hidup ana adalah ana punya saudara.” Nabi Musa berkata: “Saudara kamu ibadahnya jauh lebih tinggi dari pada kamu, karena ia yang membiayai hidup kamu.” 

Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang seorang laki-laki yang kerjaannya hanya duduk dirumahnya saja atau di masjid. Orang tersebut berkata: “Ana tidak bekerja apa-apa nanti pada saatnya Alloh akan berikan kepada ana ridzki. Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Orang ini tidak tahu ilmu/ bodoh, hujahnya tidak benar. Jadi yang benar adalah jangan hanya bertopang dagu, tetapi berusaha dengan sungguh-sungguh dan untuk hasilnya bertawaqAlloh kepada Alloh.

Ketahui oleh kamu bahwa dasar/ pokok dari tawaqal kepada Alloh yaitu mantapnya keyakinan di hati bahwa semua hal/ perkara yang terjadi adalah dalam kekuasaan Alloh, baik hal-hal yang membawa manfaat ataupun hal-hal yang membawa mudhorot/ bahaya. Semua yang tidak menyenangkan hati kita datangnya dari Alloh, begitupula sebaliknya semua yang menyenangkan hati kita datangnya dari Alloh. Jadi tidak ada kaitannya dengan usaha kita dan orang yang diluar kita, semua datangnya dari Alloh.

Andaikata seluruh makhluk yang ada di dunia semuanya berkumpul, dengan tekad, tujuan dan motivasi yang satu untuk memberikan manfaat/ kesenangan/ kegembiraan atau menyusahan/ membahayakan kepada suatu makhluk, maka mereka tidak dapat memberi manfaat atau menyusahkan makhluk itu kecuali dengan sesuatu yang telah Alloh tentukan untuknya. Yang telah Alloh tentukan itulah yang berjalan.

Jika hati kita sudah mantap keyakinan seperti ini, maka kita tidak akan resah, gelisah hidup di alam dunia ini. Hati kita menjadi mantap dan tentram kita punya jiwa dengan apapun yang kita hadapi.

Dan disyaratkan untuk sahnya tawaqal kita kepada Alloh yaitu kamu tidak durhaka dan maksiat kepada Alloh dengan sebab tawaqal kamu. Ini syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kita mempunyai anak dan istri, maqom kita belum sampai seperti waliyullah, jangan sampai dengan sebab kita tawaqal, maka kita mentelantarkan anak dan istri kita, kita tidak memberi mereka nafkah, hal ini mengakibatkan kita durhaka kepada Alloh. Mestinya kita mempersiapkan kebutuhan mereka terlebih dahulu.

Syarat kedua untuk sahnya kita punya tawaqal kepada Alloh adalah kamu menjauhkan sesuatu yang Alloh larang daripada-Nya. Apa yang Alloh larang jangan kita kerjakan. Dan kamu mengerjakan apa yang Alloh perintahkan daripada-Nya. Dan kita sandarkan dari semua yang kita lakukan hanya kepada Alloh, bukan kita sandarkan pada hasil usaha kita. Dan kita mohon juga bantuan Alloh dengan apa yang kita lakukan/ kerjakan agar berhasil apa yang kita usahakan. Dan kita serahkan apa yang sudah kita kerjakan/ usahakan kepada Alloh. Inilah cara-cara dari Auliya-auliya Alloh, mereka betul-betul tawaqal kepada Alloh.

Suatu saat Imam Bustomi Arifin (188 H - 261 H), mendapat gelar Sultonul Arifin, ia pemimpin aulia-aulia di zamannya, cukup tinggi kedudukan maqomnya, sehingga tidak ada dalam hatinya kecuali Alloh, dia menganggap yang lain tidak ada dan ia juga menggap dirinya tidak ada. Ada yang bertanya kepadanya: “Kamu makan dari mana, kamu hanya berdzikir dan beribadah kepada Alloh, tidak ada pekerjaanmu yang lain?” Ia menjawab: “Tuhan Kami, Dialah yang memberi makan anjing dan babi, apakah kamu berpendapat bahwa Alloh tidak akan memberi makan kepada abi yazid? Pasti Alloh akan memberi makan kepada abi yazid seorang hamba Alloh dan semua makhluk-makhluk lainnya. Ini tawaqal yang maqomnya tinggi, maqom kita belum sampai disini, mereka tidak ada kerjaan-kerjaan yang sifatnya duniawi.

Tidak mencedrai, tidak menodai, tidak membuat cacat dalam hal tawaqal kamu jika kamu melakukan sesuatu asbab-asbab duniawi. Jika misalnya kita mencari nafkah dengan cara bekerja, berdagang, bertani, dll., hal itu tidak membuat tawaqal kita menjadi cedera ataupun cacat ataupun tidak masuk dalam kelompok orang yang tidak tawaqal. Arti tawaqal tidak mutlak harus tidak kerja, tidak mencari nafkah.

Kapan itu usaha duniawiyah (mencari nafkah) yang kita lakukan tidak mencederai/menodai kita punya tawaqal?  Jika kita tidak bersandar kepada usaha kita, kepintaran kita ataupun bersandar kepada orang lain, melainkan kita menyandarkan segala usah kita hanya kepada Alloh. Ini yang umumnya kita lakukan, terkadang keimanan kita masih sangat tipis, belum percaya betul dengan apa yang telah Alloh janjikan kepada kita, tetapi hal ini masih dapat dimaklum dan masih dianggap wajar.

Nabi Musa AS. diperintahkan oleh Alloh melalui Malaikat Jibril AS. untuk berda’wah kepada Fir’aun lanatullah, Nabi Musa tahu bahwa Fir’aun adalah orang yang ganas dan kejam. Timbul lintasan dalam hati Nabi Musa AS.: “Aku mempunyai anak istri dan aku tahu sekali bahwa Fir’aun ini sangat kejam, dia tidak segan-segan membunuh lawan-lawannya. Jika aku dibunuh siapa yang akan merawat dan memberi makan anak dan istriku?” Alloh maha mengetahui lintasan hati siapapun juga, kemudian Alloh memerintahkan Malaikat Jibril untuk menemui Nabi Musa AS. dan menyuruhnya memecahkan batu kali besar yang ada di depan rumahnya dengan tongkatnya. Satu kali pukulan tidak pecah, dua kali belum pecah, pada pukulan ketiga baru batu kali itu pecah. Dan dari batu kali yang pecah itu keluarlah cacing yang sehat dan gemuk sedang mengeliat, padahal tidak ada celah sedikitpun dari batu itu untuk keluar masuk makanan dari situlah Nabi Musa AS. timbul keyakinannya bahwa Alloh akan menjamin dan memberi makan anak istrinya, makhluk yang kelihatan dan yang masih dapat berusaha, buktinya cacing yang berada di dalam batu yang besar tidak ada lobang pada batu, tetapi masih Alloh kasih makan, sehingga timbul keyakinan kuat dan berani untuk berda’wah kepada Fir’aun lanatullah.

Orang yang betul-betul tawaqal kepada Alloh akan berkurang/ lemah aktifitas keduniaannya, tidak banyak mencari dunia, jika mencari secukup/seperlunya saja tidak berlebihan. Adapun melepaskan/ membebaskan diri pada asbab duniawiyah (tidak mau usaha/kerja), diam dirumah/dimasjid/dimushola, pegang tasbeh, baca dzikir, baca aurot, baca qur’an, shalat dan ibadah lainya, itu tidak dipuji/ tidak terpuji. Nabi saja saja dagang, Imam Syafi’i, Imam Hanafi mereka juga berdagang.

Hadist Riwayat Sahal RA.: “Tawaqal sifatku, usaha adalah sunnahku.” Jika orang tidak bisa tawaqal kepada Alloh secara benar, maka jangan tinggalkan sunnahnya, yaitu usaha. Siapa orang yang mengecam/ menghinakan orang yang usaha, dianggap tidak tawaqal kepada Alloh, maka orang itu sudah mengecam sunnah rasul, karena dia mengecam dan menikam keimanan seseorang, sehingga diragukan keimanannya.

Keimanan yang Kamillah (keimanan yang betul-betul sempurna) meninggalkan sama sekali asbab-asbab duniawiyah, itu maqomnya aulia-aulia dan anbiya-anbiya. Sedangkan Nabi usaha itu untuk menunjukkan kepada kita bahwa boleh tawaqal juga, usaha juga, bukan berarti Nabi tidak percaya atas jaminan Alloh. Nabi hanya ingin menujukkan bahwa usaha tidak mencederai ketawaqalan.

Tidak terpuji kecuali kepada orang-orang yang selalu menghadap Alloh, tidak lepas dari dzikir kepada Alloh, ibadah kepada Alloh dan suci dia punya hati dan perpaling kepada selain Alloh, dia tidak punya niat dzikir dan ibadahnya untuk mendapatkan sesuatu/ pemberian dari orang, dia hanya fokus beribadah kepada Alloh. Dan dia pun tidak menyia-nyiakan dengan sebab tawaqalnya dia, kebutuhan/ nafkah dari keluarga yang menjadi tanggungannya.

Nabi Muhammas SAW. bersabda: “Cukup besar dosa seseorang bahwa dia mensia-siakan orang yang menjadi tanggungjawab dia.”  Dia tidak mau tahu kebutuhan/ nafkah keluaganya, dia mau fokus ibadah saja, hal ini tidak benar, kita tidak dapat melepas tanggung jawab atas orang yang menjadi tanggungan kita.

Ketahui oleh kamu bahwa menabung (uang)/ menyimpan (padi/gandum dll.), berobat dari bermacam-macam penyakit, tidak menodai/ mencederai/ membuat cacat kepada dasar/ asal tawaqal dari orang yang mengetahui/ meyakinkan bahwa yang membuat kita kaya, yang memberi kita manfaat dan yang dapat membahayakan hanya Alloh saja. Jadi bila orang mempunyai keyakinan seperti ini, dia berobat tidak memberi bekas, obat hanya sebagai asbab saja. Jika dia meyakini bahwa obat dan dokter yang menyembuhkan dia, maka hal itu mencederai ketawaqalannya.

Nabi kita Muhammad SAW. juga menyimpan gandum untuk keluarganya, Nabi berbuat seperti itu bukan berarti Nabi tidak percaya atas jaminan Alloh. Nabi hanya ingin menunjukkan bahwa boleh kita menyimpan, tidak haram menyimpan, tidak mencederai tawaqal kita, asalkan kita tetap bersandar kepada Alloh dan tidak berpendapat bahwa itu akan memberi manfaat kepada kita.

Akan tetapi Nabi kita Muhammad SAW. tidak menyimpan untuk dirinya apapun juga, walau sedikitpun juga. Nabi hanya menyimpan untuk keluarganya, anak dan cucunya, bukan untuk keperluan pribadi. Nabi tidak pernah menyimpan sampai besok, apa yang didapat hari ini, dimakan dan selebihnya disedekahkan. Terkadang sohabat menyimpan gandum untuk Nabi, akan tetapi bila Nabi mengetahui ada sohabat yang menyimpan gandum untuk dirinya, Nabi melarang, itu menandakan kwalitas keimanan dan ketawaqalannya sudah sangat tinggi.

Ketika Nabi ditanya oleh seorang sohabat tentang adanya 70.000 umat Nabi yang kelak akan masuk syurga tanpa melalui proses hisab. Jumlah 70.000 nantinya akan dilipatgandakan lagi hingga sekian kali lipat. Nabi Menjawab: “Mereka adalah orang yang tidak pernah meminta mantra/ ruqyah (dengan ruqyah orang sehat menjadi sakit, orang sadar menjadi pingsan). Hendaknya segala urusan kita serahkan kepada Alloh. Ada seorang ustdz menceritakan melalui telephone, bahwa istrinya mengikuti ruqyah di satu tempat yang di iklankan di TV, setelah di ruqyah timbul hal-hal yang tidak nyaman dalam diri istrinya, sehingga kembali lagi ketempat ruqyah tersebut, orang yang me-ruqyah mengatakan bahwa istrinya diganggu jin dan macam-macam yang lainya dan untuk mengeluarkan gangguan jin tersebut dikenakan biaya sebesar 6 juta rupiah. Ini semua bohong belaka, tujuannya adalah dunia, untuk mencari uang. Yang kedua adalah orang yang tidak melakukan pengobatan kay, yaitu besi yang dipanaskan kemudian ditempelkan di salah satu anggota tubuh kita. Dan yang ketiga adalah orang yang tidak percaya pada ramalan, seperti ramalan zodiac, ramalan nasib, garis tangan, dan macam-macam ramalan lainnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang hadist di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa berobat itu makruh, tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa berobat tidak makruh, mereka ber-hujjah dengan hadist-hadist yang banyak, dimana dalam hadist Nabi menyebutkan manfaat-manfaat dari obat-obatan dan makanan, seperti habbatussaudah (jinten hitam). Adapun yang berpendapat makruh apabila orang yang berobat meng-i’tiqotkan bahwa obat wataknya/tobiatnya dapat memberikan manfaat, orang ini dihukumkan fasiq. Tetapi bila ia mengatakan bahwa zatnya dari obat tersebut dapat memberi manfaat untuk kesembuhannya, maka dia bisa menjadi kufur. Jadi untuk selamatnya, berobat berobat saja, jangan sampai ada I’tiqot bahwa obat ini memberi manfaat bagi kita. Berobat hanya dijadikan ikhtiar, sedangkan kesembuhan kita harapkan dari Alloh SWT.

Ada 3 ciri orang yang benar-benar dapat disebut sebagai orang yang tawaqal/ berpasrah diri kepada Alloh:
1.    Ia tidak mengharapkan sesuatu kecuali hanya kepada Alloh saja, tidak mengharapkan bantuan dari makhluk. Segala hambatan, tantangan, kesulitan apapun juga hanya meminta kepada Alloh, tidak mengharapkan bantuan dari selain Alloh. Dan dia tidak takut kepada siapapun juga, kecuali kepada Alloh. Dia berani menyampaikan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil, sekalipun pahit dan membahayakan jiwanya. Dia tidak meninggalkan kata yang benar sekalipun kepada orang yang diharapkan bantuannya. Orang yang sangat murah tangannya, suka membantu dan memberi pertolongan kepada kita, saat ia berbuat menyimpang, maka kita berani mengatakan bahwa perbuatannya tidak benar. “Al insan abdul ihsan” : “Manusia adalah hamba dari orang yang berbuat baik kepadanya.”  Biasanya orang akan sulit menyampaikan kebenaran kepada orang yang telah banyak berbuat baik kepadanya. Kita tidak perlu khawatir rezeki Alloh yang jamin, maka jangan takut untuk menyampaikan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Hadist Nabi SAW. : “Bila umatku sudah takut mengatakan perbutan zholim itu zholim, maka sudah hilang kebaikan darinya.”  Bila kita berani menyampaikan kritik kepada orang yang dictator/otoriter yang dapat berakibat kita diculik atau dilenyapkan nyawa kita dan kita tetap berani meyampaikan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, maka baru kita bisa di sebut sebagai orang yang tidak takut keculi kepada Alloh dan hanya mengharapkan bantuan Alloh saja. 
2.    Tidak masuk dalam hatinya kecemasan rizki, tidak masuk dalam hatinya kecemasan tidak mendapatkan rizki. Dia tidak takut bila ia menyampaikan yang benar, maka dia tidak akan mendapatkan rizki. Karena ia percaya dengan jaminan Alloh, bahwa rizki bukan dari manusia, rezki bukan dari hasil usaha, tetapi rizki semata-mata Alloh yang jamin, bila ia sudah dapat bersikap seperti itu baru ia bisa disebut benar-benar tawaqal kepada Alloh. Seperti orang-orang sekarang takut memasukkan anaknya ke pondok-pondok pesantren yang murni hanya mengajarkan ilmu agama (salafi), mereka takut bila sudah keluar dari pesantren, anaknya tidak bisa kerja dan bagaimana dengan masa depannya? Lihat orang-orang tua kita, mereka tidak berpendidikan, tetapi rezki mereka luar biasa. Bila ada pemikiran semacam itu, maka kita belum dapat dikatakan tawaqal kepada Alloh. Mereka tidak yakin dengan jaminan dari Alloh: “Tidak ada binatang yang melata di bumi ini kecuali Alloh yang jamin rizkinya.”
Ada seorang sufi yang istrinya selalu mengeluh tentang kesusahan hidupnya. Karena istrinya selalu mengeluh, pada akhirnya si-sufi mendapatkan petunjuk bahwa di dalam tanah di belakang rumahnya, ada bungkusan uang berisi 1.000 dinar. Pergilah si-sufi ke belakang rumahnya, bermaksud untuk menggali tanah, tetapi ia ingat dengan Firman Alloh SWT.: “Rizkimu ada dilangit”  Maka ia batalkan niat menggali tanah dan kembali pulang. Sesampainya di rumah istrinya bertanya: “Mengapa kau batalkan niat menggali tanah.” Si-sufi menjawab: “Aku mempunyai keyakinan bahwa rizkiku bukan ada di dalam tanah, melainkan dari langit.” Pada akhirnya si-istri cerita kepada tetangganya, bahwa di belakang rumah mereka ada bungkusan yang berisi uang 1.000 dirham. Mendengar cerita tersebut, tetangganya diam-diam menggali tanah di belakang rumah si-sufi. Setelah digali ternyata benar ada bungkusan, tetangga tersebut segera membawa bungkusan tersebut ke dalam rumahnya, setelah dibuka ternyata isi dalam bungkusan itu bukanlah uang melainkan ular yang banyak jumlahnya. Tetangga tersebut merasa di bohongi oleh istri si-sufi, ia segera mengikat kembali bungkusan itu, dan pada malam itu juga ia membawa bungkusan yang berisi ular tersebut naik ke atas loteng dan melemparkannya ke rumah si-sufi. Si-sufi dan istrinya mendengar ada benda yang jatuh di atap rumahnya, segera mereka melihat dan mendapati ada bungkusan, yang setelah dibuka ternyata isinya uang sebanyak 1.000 dinar. Itulah ketawaqalan dari si-sufi bahwa ia yakin dengan janji Alloh melalui firmannya bahwa rizki itu ada di atas langit.
Ukuran tidak cemasnya dia dalam urusan rizki adalah saat dia butuh uang ataupun butuh terhadap sesuatu, keadaan hatinya sama seperti saat ia sedang ada uang. Jadi sama suasana hatinya saat ada uang ataupun tidak ada uang, ia tidak resah dan gelisah, bahkan lebih tenang lagi. Tentunya maqom kita belum sampai disini, tetapi silahkan kita riyadhoh (melatih diri), mudah-mudahan suatu saat kita bisa sampai pada maqom ini. Jadi ketenangan hatinya disaat ketiadaan yang dia butuhkan sama seperti tenangnya dia di saat ada, bahkan lebih dahsyat lagi bila dia dapat bertambah tenang dalam kondisi kekurangan. Dia berkeyakinan dibalik semua kesulitan ini ada hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.
3.    Tidak goncang dia punya hati pada tempat-tempat/ sangkaan datangnya rasa takut. Tidak goncang hatinya di saat terjadinya fitnah yang luar biasa, paceklik yang luar biasa, krisis ekonomi yang sedang kacau, banyak terjadi PHK dll. Itu semua tidak membuat hatinya resah dan gelisah, tetapi ia tetap beribadah kepada Alloh dan menyerahkan semua permasalahannya hanya kepada Alloh. Karena ia tahu dari ilmu-ilmu tauhid yang dipelajarinya, bahwa segala sesuatu yang Alloh tidak tentukan untuknya, maka tidak akan menimpa/ terjadi padanya. Bagaimanapun krisis ekonomi terjadi begitu hebatnya, bila Alloh tidak tentukan dia terkena PHK, maka dia tidak akan terkena PHK. Meskipun banyak orang tertimpa musibah, apabila Alloh tidak tentukan musibah menimpa dia, maka dia tidak akan terkena musibah seperti orang lain. Mengapa tidak Alloh tentukan musibah untuk kita? Itu mungkin dari sebab tawaqal kita, ibadah kita, sehingga Alloh selamatkan kita.

Dari sudut inilah apa yang dihikayatkan tentang Syech Abdul Qodir Al Jailani (Sultonul Aulia dan mudah-mudahan Alloh memberikan manfaat kepada kita dengan sebab beliau). Hikayat bukanlah dongeng/ cerita hayalan. Hikayat adalah salah satu dari bala tentara Alloh yang akan memperkuat keimanan kita. Di hikayatkan, Syech Abdul Qodir Al Jailani sedang mengajar dihadapan murid-muridnya membahas tentang qodar/taqdir. Tiba-tiba jatuh menimpa dia ular yang besar, murid-muridnya terkejut dan melarikan diri dari ular besar tersebut. Pada akhirnya ular tersebut dengan leluasa melilit leher dari Syech Abdul Qodir Al Jailani, ular tersebut masuk dari lengan baju Syech Abdul Qodir Al Jailani yang satu dan keluar pada lengan baju yang lainnya. Syech Abdul Qodir Al Jailani tetap tenang dan ia tidak memutuskan pembicaraanya tentang qodar. Ia bertawaqal kepada Alloh, ia yakin Alloh yang akan menjamin keselamatannya.

Dikatakan oleh sebagian Syech/ulama, tentang adanya seorang Syech yang dilemparkan ke tempat binatang buas oleh orang-orang yang tidak senang terhadapnya. Ternyata binatang buas tidak ada yang mengganggunya apalagi sampai mencabik-cabik badannya, mendekatinyapun tidak. Setelah keluar dari tempat tersebut, ada seorang yang bertanya kepadanya: “Hai Syech, apa yang engkau fikirkan saat engkau berada di tempat binatang buas tersebut?” Syech tersebut menjawab: “Saat aku berada disana, aku berfikir tentang hukum dari air liur binatang buas tadi, apakah hukumnya najis atau tidak, apabila aku sampai dijilat oleh binatang buas tadi. Inilah bukti ketawaqalannya kepada Alloh, ditempat yang menakutkan luar biasa, dia tidak memikirkan keselamatan jiwanya, tetapi ia masih memikirkan tentang ilmu.



CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar