Pokok
Bahasan : TASAWUF
Judul : Tawaqal Kepada Alloh
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Hendaknya
kamu Tawaqal/ berpasrah diri kepada Alloh, segala urusan kita serahkan saja
kepada Alloh. Sesungguhnya orang yang tawaqal kepada Alloh, maka Alloh akan
cukupi segala kebutuhannya. Meskipun ia tidak kaya harta, paling tidak ia kaya
hati, meskipun kehidupannya sulit luar biasa tetapi ia masih dapat tersenyum
dan hidup harmonis dengan keluarganya. Sebaliknya ada orang yang kaya luar
biasa, tetapi ia tidak dapat tersenyum, ia hidup di balik jeruji besi/ penjara
dan kehidupan keluarganya tidak harmonis.
Orang
yang Tawaqal kepada Alloh, maka langkah dan hatinya Alloh bimbing, tidak
meleset/ melenceng dari kebenaran, tidak meleset dari tuntunan orang-orang
sholeh. Ulama-ulama sering menganjurkan kita untuk memperbanyak membaca: “HasbunAlloh wanni’mal waqil ni’mal maula
wanni’mannasir.”
Siapa
orang yang tawaqal kepada Alloh, maka Alloh-lah yang akan mencukupi segala
kebutuhannya. Apapun hajad dan kebutuhannya serahkan dan bertawaqal kepada Alloh.
Yang wajib dari seorang mu’min adalah menyerahkan segala urusan kepada Alloh.
Keinginan apapun dari kita dan urusan apapun dari kita, hendaknya serahkan semuanya
kepada Alloh.
Ridho
dengan ketentuan dan apa yang Alloh berikan. Bila suatu saat ada kesempitan,
serahkan kepada Alloh dan ridho dengan ketentuan Alloh. Dan Kita berharap
Karunia dan Rahmat Alloh dari segala kesempitan dan halangan.
Bukan
namanya berpasrah diri/ bertawaqal kepada Alloh dengan jalan melupakan/
melalaikan usaha sama sekali. Hendaknya kita berusaha dan bekerja
sungguh-sungguh baru kemudian bertawaqal kepada Alloh. Jangan hanya berpangku
tangan di rumah tanpa usaha, kita ada kewajiban untuk memberi nafkah anak dan
istri. Jangan hanya berdoa dan berziqir berharap rizki turun dari Alloh, tanpa
adanya usaha, bukan maqom kita disitu, maqom kita belum sampai disana.
Akan
tetapi kita jangan berpegang/ bergantung pada usaha kita, karena bila usaha
kita tidak berhasil kita akan kecewa, usaha sebatas usaha, sedangkan hasil Alloh
yang menentukan. Sesudah berusaha kemudian untuk hasilnya serahkan dan
bertawaqal kepada Alloh sambil kita berdoa dan berharap agar hasilnya sesuai
dengan apa yang kita inginkan. Contoh yang mempunyai tawaqal yang tinggi adalah
petani, mereka menebar benih/ bibit, memupuk, menyiram, dan merawat tanamannya,
akan tetapi terkadang hasilnya dikemudian hari belum tentu sesuai dengan
harapan, bisa jadi ada gangguan hama yang mengakibatkan gagal panen.
Tawaqal
terbilang hasil/ buah dari tauhid, kebenarannya kita punya tauhid, benarnya dan
mantap kita punya iman. Jika iman sudah menguasai kita akan timbul sifat
tawaqal dalam diri kita.
Sebut-sebut
oleh kamu nama Tuhan kamu pada malam dan siang hari dengan cara apapun juga,
dapat dengan membaca tasbih, tahlil, tahmid, doa, sholat dan qiroatil Qur’an.
Agar tidak menimbulkan kebosenan/ kejenuhan maka Alloh memberikan berbagai
macam cara untuk mengingat Alloh. Mempelajari ilmupun termasuk dzikir kepada Alloh.
Tidak
ada alasan bagi manusia untuk tidak bersifat Tawaqal kepada Alloh. Dan Alloh
pun memerintahkan hamba-hambanya untuk bertawaqal kepada-Nya. Hanya kepada Alloh
sajalah hendaknya orang-orang mu’min bertawaqal.
Dalam
sebuah ayat Al Qur’an Alloh berfirman:
“TawaqAlloh kepada Alloh, sesungguhnya Alloh
suka dan senang kepada orang-orang yang bertawaqal kepada-Nya.”
Dalam
sebuah Hadist Rasululloh bersabda: “Andaikata kamu bertawaqal kepada Alloh,
pasti Alloh akan memberikan ridzki kepada kamu sebagaimana Alloh memberikan
ridzki kepada burung. Waktu dia pergi di pagi hari dalam keadaan kosong
perutnya dan sore hari waktu dia kembali ke sarangnya dalam keadaan kenyang dia
punya perut.”
Suatu
saat Nabi Musa lewat di satu kaum laki-laki yang sedang duduk-duduk. Maka Nabi
Musa bertanya: “Apa yang kamu lakukan disini?” Mereka menjawab: “Kami ibadah
kepada Alloh wahai Nabi Musa.” Nabi Musa bertanya lagi: “Siapa yang membiayai
kamu?” Mereka menjawab kembali: “Yang membiayai hidup ana adalah ana punya
saudara.” Nabi Musa berkata: “Saudara kamu ibadahnya jauh lebih tinggi dari
pada kamu, karena ia yang membiayai hidup kamu.”
Imam Ahmad
bin Hambal
ditanya tentang seorang laki-laki yang kerjaannya hanya duduk dirumahnya saja
atau di masjid. Orang tersebut berkata: “Ana tidak bekerja apa-apa nanti pada
saatnya Alloh akan berikan kepada ana ridzki. Imam Ahmad bin Hambal berkata:
“Orang ini tidak tahu ilmu/ bodoh, hujahnya tidak benar. Jadi yang benar adalah
jangan hanya bertopang dagu, tetapi berusaha dengan sungguh-sungguh dan untuk
hasilnya bertawaqAlloh kepada Alloh.
Ketahui
oleh kamu bahwa dasar/ pokok dari tawaqal kepada Alloh yaitu mantapnya
keyakinan di hati bahwa semua hal/ perkara yang terjadi adalah dalam kekuasaan Alloh,
baik hal-hal yang membawa manfaat ataupun hal-hal yang membawa mudhorot/
bahaya. Semua yang tidak menyenangkan hati kita datangnya dari Alloh,
begitupula sebaliknya semua yang menyenangkan hati kita datangnya dari Alloh.
Jadi tidak ada kaitannya dengan usaha kita dan orang yang diluar kita, semua
datangnya dari Alloh.
Andaikata
seluruh makhluk yang ada di dunia semuanya berkumpul, dengan tekad, tujuan dan
motivasi yang satu untuk memberikan manfaat/ kesenangan/ kegembiraan atau
menyusahan/ membahayakan kepada suatu makhluk, maka mereka tidak dapat memberi
manfaat atau menyusahkan makhluk itu kecuali dengan sesuatu yang telah Alloh
tentukan untuknya. Yang telah Alloh tentukan itulah yang berjalan.
Jika
hati kita sudah mantap keyakinan seperti ini, maka kita tidak akan resah,
gelisah hidup di alam dunia ini. Hati kita menjadi mantap dan tentram kita
punya jiwa dengan apapun yang kita hadapi.
Dan
disyaratkan untuk sahnya tawaqal kita kepada Alloh yaitu kamu tidak durhaka dan
maksiat kepada Alloh dengan sebab tawaqal kamu. Ini syarat mutlak yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi. Kita mempunyai anak dan istri, maqom kita belum sampai
seperti waliyullah, jangan sampai dengan sebab kita tawaqal, maka kita mentelantarkan
anak dan istri kita, kita tidak memberi mereka nafkah, hal ini mengakibatkan
kita durhaka kepada Alloh. Mestinya kita mempersiapkan kebutuhan mereka
terlebih dahulu.
Syarat
kedua untuk sahnya kita punya tawaqal kepada Alloh adalah kamu menjauhkan
sesuatu yang Alloh larang daripada-Nya. Apa yang Alloh larang jangan kita
kerjakan. Dan kamu mengerjakan apa yang Alloh perintahkan daripada-Nya. Dan
kita sandarkan dari semua yang kita lakukan hanya kepada Alloh, bukan kita
sandarkan pada hasil usaha kita. Dan kita mohon juga bantuan Alloh dengan apa
yang kita lakukan/ kerjakan agar berhasil apa yang kita usahakan. Dan kita
serahkan apa yang sudah kita kerjakan/ usahakan kepada Alloh. Inilah cara-cara
dari Auliya-auliya Alloh, mereka betul-betul tawaqal kepada Alloh.
Suatu
saat Imam Bustomi Arifin (188 H - 261 H), mendapat gelar Sultonul Arifin, ia
pemimpin aulia-aulia di zamannya, cukup tinggi kedudukan maqomnya, sehingga
tidak ada dalam hatinya kecuali Alloh, dia menganggap yang lain tidak ada dan ia
juga menggap dirinya tidak ada. Ada yang bertanya kepadanya: “Kamu makan dari
mana, kamu hanya berdzikir dan beribadah kepada Alloh, tidak ada pekerjaanmu
yang lain?” Ia menjawab: “Tuhan Kami, Dialah yang memberi makan anjing dan
babi, apakah kamu berpendapat bahwa Alloh tidak akan memberi makan kepada abi
yazid? Pasti Alloh akan memberi makan kepada abi yazid seorang hamba Alloh dan
semua makhluk-makhluk lainnya. Ini tawaqal yang maqomnya tinggi, maqom kita
belum sampai disini, mereka tidak ada kerjaan-kerjaan yang sifatnya duniawi.
Tidak
mencedrai, tidak menodai, tidak membuat cacat dalam hal tawaqal kamu jika kamu
melakukan sesuatu asbab-asbab duniawi. Jika misalnya kita mencari nafkah dengan
cara bekerja, berdagang, bertani, dll., hal itu tidak membuat tawaqal kita
menjadi cedera ataupun cacat ataupun tidak masuk dalam kelompok orang yang
tidak tawaqal. Arti tawaqal tidak mutlak harus tidak kerja, tidak mencari
nafkah.
Kapan
itu usaha duniawiyah (mencari nafkah) yang kita lakukan tidak mencederai/menodai
kita punya tawaqal? Jika kita tidak
bersandar kepada usaha kita, kepintaran kita ataupun bersandar kepada orang
lain, melainkan kita menyandarkan segala usah kita hanya kepada Alloh. Ini yang
umumnya kita lakukan, terkadang keimanan kita masih sangat tipis, belum percaya
betul dengan apa yang telah Alloh janjikan kepada kita, tetapi hal ini masih
dapat dimaklum dan masih dianggap wajar.
Nabi
Musa AS. diperintahkan oleh Alloh melalui Malaikat Jibril AS. untuk berda’wah
kepada Fir’aun lanatullah, Nabi Musa tahu bahwa Fir’aun adalah orang yang ganas
dan kejam. Timbul lintasan dalam hati Nabi Musa AS.: “Aku mempunyai anak istri
dan aku tahu sekali bahwa Fir’aun ini sangat kejam, dia tidak segan-segan
membunuh lawan-lawannya. Jika aku dibunuh siapa yang akan merawat dan memberi
makan anak dan istriku?” Alloh maha mengetahui lintasan hati siapapun juga,
kemudian Alloh memerintahkan Malaikat Jibril untuk menemui Nabi Musa AS. dan
menyuruhnya memecahkan batu kali besar yang ada di depan rumahnya dengan tongkatnya.
Satu kali pukulan tidak pecah, dua kali belum pecah, pada pukulan ketiga baru
batu kali itu pecah. Dan dari batu kali yang pecah itu keluarlah cacing yang
sehat dan gemuk sedang mengeliat, padahal tidak ada celah sedikitpun dari batu
itu untuk keluar masuk makanan dari situlah Nabi Musa AS. timbul keyakinannya
bahwa Alloh akan menjamin dan memberi makan anak istrinya, makhluk yang
kelihatan dan yang masih dapat berusaha, buktinya cacing yang berada di dalam
batu yang besar tidak ada lobang pada batu, tetapi masih Alloh kasih makan,
sehingga timbul keyakinan kuat dan berani untuk berda’wah kepada Fir’aun
lanatullah.
Orang
yang betul-betul tawaqal kepada Alloh akan berkurang/ lemah aktifitas
keduniaannya, tidak banyak mencari dunia, jika mencari secukup/seperlunya saja
tidak berlebihan. Adapun melepaskan/ membebaskan diri pada asbab duniawiyah
(tidak mau usaha/kerja), diam dirumah/dimasjid/dimushola, pegang tasbeh, baca
dzikir, baca aurot, baca qur’an, shalat dan ibadah lainya, itu tidak dipuji/
tidak terpuji. Nabi saja saja dagang, Imam Syafi’i, Imam Hanafi mereka juga
berdagang.
Hadist
Riwayat Sahal RA.: “Tawaqal sifatku, usaha adalah sunnahku.” Jika orang tidak
bisa tawaqal kepada Alloh secara benar, maka jangan tinggalkan sunnahnya, yaitu
usaha. Siapa orang yang mengecam/ menghinakan orang yang usaha, dianggap tidak
tawaqal kepada Alloh, maka orang itu sudah mengecam sunnah rasul, karena dia
mengecam dan menikam keimanan seseorang, sehingga diragukan keimanannya.
Keimanan
yang Kamillah (keimanan yang betul-betul sempurna) meninggalkan sama sekali
asbab-asbab duniawiyah, itu maqomnya aulia-aulia dan anbiya-anbiya. Sedangkan
Nabi usaha itu untuk menunjukkan kepada kita bahwa boleh tawaqal juga, usaha
juga, bukan berarti Nabi tidak percaya atas jaminan Alloh. Nabi hanya ingin
menujukkan bahwa usaha tidak mencederai ketawaqalan.
Tidak
terpuji kecuali kepada orang-orang yang selalu menghadap Alloh, tidak lepas
dari dzikir kepada Alloh, ibadah kepada Alloh dan suci dia punya hati dan
perpaling kepada selain Alloh, dia tidak punya niat dzikir dan ibadahnya untuk
mendapatkan sesuatu/ pemberian dari orang, dia hanya fokus beribadah kepada Alloh.
Dan dia pun tidak menyia-nyiakan dengan sebab tawaqalnya dia, kebutuhan/ nafkah
dari keluarga yang menjadi tanggungannya.
Nabi
Muhammas SAW. bersabda: “Cukup besar dosa
seseorang bahwa dia mensia-siakan orang yang menjadi tanggungjawab dia.” Dia tidak mau tahu kebutuhan/ nafkah
keluaganya, dia mau fokus ibadah saja, hal ini tidak benar, kita tidak dapat
melepas tanggung jawab atas orang yang menjadi tanggungan kita.
Ketahui
oleh kamu bahwa menabung (uang)/ menyimpan (padi/gandum dll.), berobat dari
bermacam-macam penyakit, tidak menodai/ mencederai/ membuat cacat kepada dasar/
asal tawaqal dari orang yang mengetahui/ meyakinkan bahwa yang membuat kita
kaya, yang memberi kita manfaat dan yang dapat membahayakan hanya Alloh saja.
Jadi bila orang mempunyai keyakinan seperti ini, dia berobat tidak memberi
bekas, obat hanya sebagai asbab saja. Jika dia meyakini bahwa obat dan dokter
yang menyembuhkan dia, maka hal itu mencederai ketawaqalannya.
Nabi
kita Muhammad SAW. juga menyimpan gandum
untuk keluarganya, Nabi berbuat seperti itu bukan berarti Nabi tidak percaya
atas jaminan Alloh. Nabi hanya ingin menunjukkan bahwa boleh kita menyimpan,
tidak haram menyimpan, tidak mencederai tawaqal kita, asalkan kita tetap
bersandar kepada Alloh dan tidak berpendapat bahwa itu akan memberi manfaat
kepada kita.
Akan
tetapi Nabi kita Muhammad SAW. tidak menyimpan untuk dirinya apapun juga, walau
sedikitpun juga. Nabi hanya menyimpan untuk keluarganya, anak dan cucunya,
bukan untuk keperluan pribadi. Nabi tidak pernah menyimpan sampai besok, apa
yang didapat hari ini, dimakan dan selebihnya disedekahkan. Terkadang sohabat
menyimpan gandum untuk Nabi, akan tetapi bila Nabi mengetahui ada sohabat yang
menyimpan gandum untuk dirinya, Nabi melarang, itu menandakan kwalitas keimanan
dan ketawaqalannya sudah sangat tinggi.
Ketika
Nabi ditanya oleh seorang sohabat tentang adanya 70.000 umat Nabi yang kelak akan masuk syurga tanpa melalui proses
hisab. Jumlah 70.000 nantinya akan dilipatgandakan lagi hingga sekian kali
lipat. Nabi Menjawab: “Mereka adalah orang
yang tidak pernah meminta mantra/ ruqyah (dengan ruqyah orang sehat menjadi
sakit, orang sadar menjadi pingsan). Hendaknya segala urusan kita serahkan
kepada Alloh. Ada seorang ustdz menceritakan melalui telephone, bahwa istrinya
mengikuti ruqyah di satu tempat yang di iklankan di TV, setelah di ruqyah
timbul hal-hal yang tidak nyaman dalam diri istrinya, sehingga kembali lagi
ketempat ruqyah tersebut, orang yang me-ruqyah mengatakan bahwa istrinya
diganggu jin dan macam-macam yang lainya dan untuk mengeluarkan gangguan jin
tersebut dikenakan biaya sebesar 6 juta rupiah. Ini semua bohong belaka,
tujuannya adalah dunia, untuk mencari uang. Yang kedua adalah orang yang tidak melakukan pengobatan kay,
yaitu besi yang dipanaskan kemudian ditempelkan di salah satu anggota tubuh
kita. Dan yang ketiga adalah orang yang
tidak percaya pada ramalan, seperti ramalan zodiac, ramalan nasib, garis
tangan, dan macam-macam ramalan lainnya.
Para
ulama berbeda pendapat tentang hadist di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa
berobat itu makruh, tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa berobat tidak
makruh, mereka ber-hujjah dengan hadist-hadist yang banyak, dimana dalam hadist
Nabi menyebutkan manfaat-manfaat dari obat-obatan dan makanan, seperti
habbatussaudah (jinten hitam). Adapun yang berpendapat makruh apabila orang
yang berobat meng-i’tiqotkan bahwa obat wataknya/tobiatnya dapat memberikan
manfaat, orang ini dihukumkan fasiq. Tetapi bila ia mengatakan bahwa zatnya
dari obat tersebut dapat memberi manfaat untuk kesembuhannya, maka dia bisa
menjadi kufur. Jadi untuk selamatnya, berobat berobat saja, jangan sampai ada
I’tiqot bahwa obat ini memberi manfaat bagi kita. Berobat hanya dijadikan
ikhtiar, sedangkan kesembuhan kita harapkan dari Alloh SWT.
Ada
3 ciri orang yang benar-benar dapat disebut sebagai orang yang tawaqal/
berpasrah diri kepada Alloh:
1. Ia tidak
mengharapkan sesuatu kecuali hanya kepada Alloh saja, tidak mengharapkan
bantuan dari makhluk. Segala hambatan, tantangan, kesulitan apapun juga hanya
meminta kepada Alloh, tidak mengharapkan bantuan dari selain Alloh. Dan dia
tidak takut kepada siapapun juga, kecuali kepada Alloh. Dia berani menyampaikan
yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil, sekalipun pahit dan membahayakan
jiwanya. Dia tidak meninggalkan kata yang benar sekalipun kepada orang yang
diharapkan bantuannya. Orang yang sangat murah tangannya, suka membantu dan
memberi pertolongan kepada kita, saat ia berbuat menyimpang, maka kita berani
mengatakan bahwa perbuatannya tidak benar. “Al
insan abdul ihsan” : “Manusia adalah hamba dari orang yang berbuat baik
kepadanya.” Biasanya orang akan
sulit menyampaikan kebenaran kepada orang yang telah banyak berbuat baik
kepadanya. Kita tidak perlu khawatir rezeki Alloh yang jamin, maka jangan takut
untuk menyampaikan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Hadist Nabi
SAW. : “Bila umatku sudah takut
mengatakan perbutan zholim itu zholim, maka sudah hilang kebaikan darinya.” Bila kita berani menyampaikan kritik kepada
orang yang dictator/otoriter yang dapat berakibat kita diculik atau dilenyapkan
nyawa kita dan kita tetap berani meyampaikan yang benar itu benar dan yang
salah itu salah, maka baru kita bisa di sebut sebagai orang yang tidak takut
keculi kepada Alloh dan hanya mengharapkan bantuan Alloh saja.
2.
Tidak masuk dalam hatinya kecemasan rizki, tidak
masuk dalam hatinya kecemasan tidak mendapatkan rizki. Dia tidak takut bila ia
menyampaikan yang benar, maka dia tidak akan mendapatkan rizki. Karena ia
percaya dengan jaminan Alloh, bahwa rizki bukan dari manusia, rezki bukan dari
hasil usaha, tetapi rizki semata-mata Alloh yang jamin, bila ia sudah dapat
bersikap seperti itu baru ia bisa disebut benar-benar tawaqal kepada Alloh.
Seperti orang-orang sekarang takut memasukkan anaknya ke pondok-pondok
pesantren yang murni hanya mengajarkan ilmu agama (salafi), mereka takut bila
sudah keluar dari pesantren, anaknya tidak bisa kerja dan bagaimana dengan masa
depannya? Lihat orang-orang tua kita, mereka tidak berpendidikan, tetapi rezki
mereka luar biasa. Bila ada pemikiran semacam itu, maka kita belum dapat
dikatakan tawaqal kepada Alloh. Mereka tidak yakin dengan jaminan dari Alloh: “Tidak ada binatang yang melata di bumi ini
kecuali Alloh yang jamin rizkinya.”
Ada seorang sufi yang istrinya selalu
mengeluh tentang kesusahan hidupnya. Karena istrinya selalu mengeluh, pada
akhirnya si-sufi mendapatkan petunjuk bahwa di dalam tanah di belakang
rumahnya, ada bungkusan uang berisi 1.000 dinar. Pergilah si-sufi ke belakang
rumahnya, bermaksud untuk menggali tanah, tetapi ia ingat dengan Firman Alloh
SWT.: “Rizkimu ada dilangit” Maka ia batalkan niat menggali tanah dan
kembali pulang. Sesampainya di rumah istrinya bertanya: “Mengapa kau batalkan
niat menggali tanah.” Si-sufi menjawab: “Aku mempunyai keyakinan bahwa rizkiku
bukan ada di dalam tanah, melainkan dari langit.” Pada akhirnya si-istri cerita
kepada tetangganya, bahwa di belakang rumah mereka ada bungkusan yang berisi
uang 1.000 dirham. Mendengar cerita tersebut, tetangganya diam-diam menggali
tanah di belakang rumah si-sufi. Setelah digali ternyata benar ada bungkusan,
tetangga tersebut segera membawa bungkusan tersebut ke dalam rumahnya, setelah
dibuka ternyata isi dalam bungkusan itu bukanlah uang melainkan ular yang
banyak jumlahnya. Tetangga tersebut merasa di bohongi oleh istri si-sufi, ia
segera mengikat kembali bungkusan itu, dan pada malam itu juga ia membawa
bungkusan yang berisi ular tersebut naik ke atas loteng dan melemparkannya ke
rumah si-sufi. Si-sufi dan istrinya mendengar ada benda yang jatuh di atap
rumahnya, segera mereka melihat dan mendapati ada bungkusan, yang setelah
dibuka ternyata isinya uang sebanyak 1.000 dinar. Itulah ketawaqalan dari
si-sufi bahwa ia yakin dengan janji Alloh melalui firmannya bahwa rizki itu ada
di atas langit.
Ukuran tidak cemasnya dia dalam urusan
rizki adalah saat dia butuh uang ataupun butuh terhadap sesuatu, keadaan
hatinya sama seperti saat ia sedang ada uang. Jadi sama suasana hatinya saat
ada uang ataupun tidak ada uang, ia tidak resah dan gelisah, bahkan lebih
tenang lagi. Tentunya maqom kita belum sampai disini, tetapi silahkan kita
riyadhoh (melatih diri), mudah-mudahan suatu saat kita bisa sampai pada maqom
ini. Jadi ketenangan hatinya disaat ketiadaan yang dia butuhkan sama seperti
tenangnya dia di saat ada, bahkan lebih dahsyat lagi bila dia dapat bertambah
tenang dalam kondisi kekurangan. Dia berkeyakinan dibalik semua kesulitan ini
ada hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.
3. Tidak goncang
dia punya hati pada tempat-tempat/ sangkaan datangnya rasa takut. Tidak goncang
hatinya di saat terjadinya fitnah yang luar biasa, paceklik yang luar biasa,
krisis ekonomi yang sedang kacau, banyak terjadi PHK dll. Itu semua tidak
membuat hatinya resah dan gelisah, tetapi ia tetap beribadah kepada Alloh dan
menyerahkan semua permasalahannya hanya kepada Alloh. Karena ia tahu dari
ilmu-ilmu tauhid yang dipelajarinya, bahwa segala sesuatu yang Alloh tidak
tentukan untuknya, maka tidak akan menimpa/ terjadi padanya. Bagaimanapun
krisis ekonomi terjadi begitu hebatnya, bila Alloh tidak tentukan dia terkena
PHK, maka dia tidak akan terkena PHK. Meskipun banyak orang tertimpa musibah,
apabila Alloh tidak tentukan musibah menimpa dia, maka dia tidak akan terkena
musibah seperti orang lain. Mengapa tidak Alloh tentukan musibah untuk kita?
Itu mungkin dari sebab tawaqal kita, ibadah kita, sehingga Alloh selamatkan
kita.
Dari
sudut inilah apa yang dihikayatkan tentang Syech Abdul Qodir Al Jailani
(Sultonul Aulia dan mudah-mudahan Alloh memberikan manfaat kepada kita dengan
sebab beliau). Hikayat bukanlah dongeng/ cerita hayalan. Hikayat adalah salah
satu dari bala tentara Alloh yang akan memperkuat keimanan kita. Di hikayatkan,
Syech Abdul Qodir Al Jailani sedang mengajar dihadapan murid-muridnya membahas
tentang qodar/taqdir. Tiba-tiba jatuh menimpa dia ular yang besar,
murid-muridnya terkejut dan melarikan diri dari ular besar tersebut. Pada
akhirnya ular tersebut dengan leluasa melilit leher dari Syech Abdul Qodir Al
Jailani, ular tersebut masuk dari lengan baju Syech Abdul Qodir Al Jailani yang
satu dan keluar pada lengan baju yang lainnya. Syech Abdul Qodir Al Jailani
tetap tenang dan ia tidak memutuskan pembicaraanya tentang qodar. Ia bertawaqal
kepada Alloh, ia yakin Alloh yang akan menjamin keselamatannya.
Dikatakan
oleh sebagian Syech/ulama, tentang adanya seorang Syech yang dilemparkan ke
tempat binatang buas oleh orang-orang yang tidak senang terhadapnya. Ternyata
binatang buas tidak ada yang mengganggunya apalagi sampai mencabik-cabik
badannya, mendekatinyapun tidak. Setelah keluar dari tempat tersebut, ada
seorang yang bertanya kepadanya: “Hai Syech, apa yang engkau fikirkan saat
engkau berada di tempat binatang buas tersebut?” Syech tersebut menjawab: “Saat
aku berada disana, aku berfikir tentang hukum dari air liur binatang buas tadi,
apakah hukumnya najis atau tidak, apabila aku sampai dijilat oleh binatang buas
tadi. Inilah bukti ketawaqalannya kepada Alloh, ditempat yang menakutkan luar
biasa, dia tidak memikirkan keselamatan jiwanya, tetapi ia masih memikirkan
tentang ilmu.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar