Pokok
Bahasan : TASAWUF
Judul : JUHUD
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Hendaknya
kamu bersifat juhud, yaitu berpaling dari dunia, jangan to’ma/ serakah terhadap
dunia. Semua waktu dan tenaga kita habiskan untuk mencari dunia.
Bila
kita bersifat juhud, kita akan hidup bahagia dunia dan akhirat. Sikap juhud
juga dapat menampakkan innayah/ pertolongan Alloh kepada kita. Sifat juhud juga
dapat menampakkan alamat/ tanda kewalian. Orang akan menjadi WaliyAlloh bila ia
sudah dapat juhud terhadap dunia.
Adapun
yang namanya juhud bukan berarti ia tidak punya uang ataupun miskin, bukan
berarti ia tidak mencari dunia. “Tidak dikatakan orang itu juhud bila ia tidak
punya harta. Sesungguhnya orang juhud itu yang mana hartanya tidak
membimbangkan ia punya hati.” Dunianya berlimpah, ia bergelimang harta, tetapi
hartanya itu tidak membimbangkan hatinya, ia tetap ibadah, shalat lima waktu
dan tuma’ninahnya, shalat-shalat sunnah, silaturahmi, berkumpul dengan ulama-ulama
sholihin di majlis-majlis ilmu, membantu kegiatan keagamaan, dll. Dunianya dia
gunakan untuk menghantarkannya dekat kepada Alloh. Bukan sebaliknya dunianya
membimbangkan hatinya, bimbang dengan tokonya, bimbang takut mobilnya dicuri,
takut rumahnya kemalingan, dll. “Hendaknya harta hanya ada di kantong, jangan
ada di hati.”
Meskipun
dia punya harta sama seperti ‘Qorun’, tetap bisa dikatakan juhud selama ia
punya hati tidak dibimbangkan dengan hartanya. Sebagaimana cinta kepada dunia
adalah pokok dari segala kesalahan dan kecelakaan.
Kita
tidak perlu menjauhi dunia, Nabi memuji dunia sebagaimana dalam hadist: “Jangan kamu cerca dunia, maka dunia itu
sebaik-baiknya tunggangan bagi si-mu’min untuk menuju kebahagian akhirat.” Dengan dunia kita dapat pergi haji, membangun
pesantren, membangun masjid, menyekolahkan anak, dll. Dengan dunialah kita
mendapatkan kebaikan dan dengan dunia kita dapat selamat dari kejahatan.
Syech Imam Al
Gozali,
berkata: “Tanda-tanda orang yang akan
mengalami su’ul khotimah adalah semakin tambah harta semakin kikir, semakin
tambah ilmu semakin sombong.”
“Pengusaha
yang jujur kelak akan dikumpulkan di hari Qiamat bersama Shidiqin (orang yang
benar kata dan perilakunya) dan Syuhada (orang yang mati Syahid).”
Kebencian
seseorang kepada dunia adalah pokok dari segala ke-toat-an dan kebaikan.
Hendaknya dalam berdoa meminta ridzki yang halal dan barokah.
Ada
seorang lelaki yang mendapatkan malam Lailatul Qodar selama 20 tahun
berturut-turut, ia menyampaikannya kepada keluarganya dengan maksud tahadus
bi’ni’mah, kabar tersebut sampai di telinga anaknya, anaknya menemuinya dan
berkata: “Wahai abi, aku mendengar dari ummi, bahwa engkau mendapatkan malam
Lailatul Qodar selama 20 tahun, tolong doakan aku wahai abi, agar aku dapat
hidup makmur berkecukupan.” Si-bapak menjawab: “Engkau anak yang tidak baik,
selama aku mendapatkan malam Lailatul Qodar selama 20 tahun, aku tidak pernah
meminta Syurga apalagi dunia. Cukup bagi kamu dari ayat-ayat Alloh akan membuat
kamu menjadi orang yang juhud di alam dunia.”
Sesungguhnya
Alloh menamakan ini dunia di beberapa tempat dalam Al Qur’an bahwa dunia ini
adalah kesenangan yang menipu dan mengelabui. Syaidina Hasan Al Basry berkata: “Dunia adalah kesenangan yang menipu dan mengelabui seperti kebun yang
sedang menghijau dan permainan tangan.”
Ada
seorang sohabat Nabi yang begitu terpana melihat kebun qurma miliknya, sehingga
menyebabkan ia luput dari shalat berjama’ah bersama Rasululloh. Sadar bahwa
dunia telah membuatnya lupa, maka ia menjumpai Rasululloh dan ia berkata:
“Wahai Rasululloh saat ini juga kebun qurma (yang paling bagus, yang paling
mahal) milikku yang ada di Madinah, aku waqafkan di jalan Alloh.”
Abu Tholib Al
Makki Al Maliki
berkata: “Dunia yang menipu adalah nama
bagi bangkai yang busuk.” Sungguh Alloh
sudah membatasi dunia ini dalam permainan dan senda gurau belaka, yang mana
tidak akan menoleh kepada keduanya orang yang akalnya waras, dan tidak akan
beranjak kepada keduanya kecuali orang yang Qobii (buruk) dan Jahil (bodoh).
Kehidupan
dunia ini adalah permainan/ sandiwara/ senda gurau saja. Dunia ini lebih dapat
menyihir orang dari pada ahli sihirnya Fir’aun. Kehidupan dunia yang diisi
dengan toat kepada Alloh terbilang dari urusan-urusan akhirat.
Tidak
semua kehidupan dunia tercela, dunia yang dapat mendekatkan diri kepada Alloh
adalah ladang untuk akhirat dan kehidupan dunia yang dapat melupakan toat
kepada Alloh adalah suatu penyesalan di akhirat kelak.
Ketahuilah
oleh kamu sesungguhnya juhud di alam dunia ini bagi orang yang menjalankannya
adalah suatu ni’mat yang datangnya segera, sebelum mendapatkan ni’mat-ni’mat
yang banyak dari Alloh di akhirat kelak.
Sungguh
sangat sulit bagi seseorang untuk dapat bersikap juhud apalagi di akhir zaman
seperti sekarang ini, kecuali bagi orang-orang yang Alloh lapangkan ia punya
dada dengan jalan Alloh pancarkan nur (cahaya) ma’rifah kepada Alloh dan yaqin.
Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Nur/Cahaya Alloh bila sudah masuk ke dalam
hati seseorang mu’min, maka Alloh lapangkan ia punya hati seluas-luasnya.” Sohabat bertanya kepada Rasululloh: “Adakah alamat/ ciri-ciri dari orang yang
sudah Alloh lapangkan ia punya hati?”
Rasululloh menjawab: “Ya, Seorang
mu’min yang Alloh sudah pancarkan nur di hatinya, ia akan menjauh dari negeri
tipuan, yaitu dunia. Dan ia kembali ke negeri akhirat yang kekal dan abadi.”
Dalam
hadist yang lain Rasululloh bersabda:
“Juhud di alam dunia ini akan
menyamankan/ menenangkan kita punya hati dan badan.” Kita tidak perlu terlalu sibuk mengejar
dunia, karena Alloh sudah menentukan bagian kita di alam dunia ini. Ada waktu
bagi kita untuk ibadah kepada Alloh, mengaji, mencari nafkah, istirahat, tidak
semua waktu kita habis untuk mengejar/ mencari dunia. Dunia sudah Alloh atur,
jika rizki kita segitu, betapa keraspun kita mengejar/ mencarinya akan tetap
segitu. Kita tetap mencari dunia, akan tetapi kita tidak habiskan seluruh waktu
kita dalam mencari dunia, sehingga melupakan urusan akhirat.
Jika
kita lebih condong/ mengutamakan kepada dunia, maka hal ini dapat menimbulkan
kegelisahan, keresahan, kebingungan dan keresahan kita punya hati. Dalam sebuah
hadist Rasululloh bersabda: “Juhudlah kamu di alam dunia niscaya Alloh
akan cinta kepada kamu. Dan juhudlah kamu kepada sesuatu yang ada di tangan
orang, niscaya manusia akan cinta kepada kamu.” Jangan selalu berharap terhadap pemberian
orang, selalu menadah dan meminta, sehingga pada akhirnya orang tidak senang
kepada kita.
Syaidina Umar
bin Abdul Aziz,
saat meninggal ia meninggalkan anak sebanyak 15 orang anak laki dan perempuan,
saat ia akan menemui ajal banyak orang yang menjenguknya, orang yang
menjenguknya bertanya kepadanya: “Apa
yang engkau tinggalkan/ wariskan kepada anak-anakmu untuk masa depannya kelak?” Syaidina Umar Abdul Aziz berkata: “Taqwa kepada Alloh.” Dia seorang khalifah, baitul mall ada di
tangannya, dia dapat saja menghimpun kekayaan untuk di wariskan kepada
anak-anaknya, tetapi yang ia wariskan hanya taqwa kepada Alloh saja, tanpa
meniggalkan warisan harta kepada mereka. Kemudian Umar Abdul Aziz berkata
kembali: “Jika anak-anakku termasuk
orang-orang Sholihin, maka Alloh yang
akanmenanggung segala kebutuhan/ ridzki orang-orang sholeh. Andaikata mereka
bukan termasuk dalam golongan orang-orang sholeh, maka tidak aku tinggalkan
harta kepada mereka yang akan membantu mereka untuk berbuat maksiat kepada Alloh.” Hartanya tidak di wariskan kepada
anak-anaknya, tetapi ia gunakankan untuk membantu para fuqoro wal masakin.
Asal
atau dasar pokok dari juhud adalah jika orang mengetahui bahwa dunia itu hina
dalam pandangan/ sisi Alloh. Andaikata dunia ini ada nilainya di sisi Alloh
senilai 1 sayap nyamuk saja, niscaya Alloh pasti tidak akan memberi minum
kepada orang kafir setegukpun juga. Karena tidak ada nilainya, maka Alloh
memberikan dunia kepada orang kafir, bila orang mu’min Alloh berikan dunia
pantas bagi mereka, tetapi karena dunia tidak ada nilainya di sisi Alloh maka
orang kafirpun Alloh berikan dunia, bahkan terkadang harta mereka berlebih.
Dunia
itu Alloh laknat/ kutuk dan Alloh laknat/ kutuk juga apa yang ada di dalamnya
atau isi dari dunia. Kecuali apa yang digunakan untuk mencapai ridho Alloh dari
keduniaan tadi. Adapun dunia yang digunakan untuk berfoya-foya apalagi untuk
durhaka dan bermaksiat kepada Alloh, maka dunia yang semacam itu yang dilaknat/
dikutuk.
Siapa
orang yang mengambil dunia melebihi dari kebutuhannya, berarti tanpa di sadari
ia telah menuju kepada kebinasaannya tanpa dia sadari. Dunia dapat membuat ia
lalai sehingga tanpa sadar ia menuju kepada kebinasaannya.
Buah/
hasil dari ma’rifah yang dimaksud disini, yaitu meninggalkan kecondrongan
kepada dunia, dibahtinnya ia tidak condrong kepada dunia, sehingga dia tidak
mencari dunia semaksimal mungkin, dia hanya mencari dunia untuk kebutuhan
dirinya dan keluarganya. Dan dia meninggalkan bersenang-senang dengan sahwat
dunia pada zohir(kelihatan)-nya. Ia tidak menumpuk-numpuk kekayaan, tetapi
kekayaannya dia gunakan untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Alloh,
menyantuni fuqoro wal masakin, menyantunin anak-anak yatim, membantu
kegiatan-kegiatan keagamaan, dll.
Derajat
Juhud yang paling rendah adalah menghindari dunia agar tidak jatuh/ terjerembab
untuk berbuata maksiat kepada Alloh dan tidak pula meninggalkan toat kepada Alloh.
Sedangkan derajat juhud yang paling tinggi adalah ia tidak mengambil dunia
sedikitpun juga. Jangan salah pengertian, yang dinamakan dunia adalah apa yang
lebih dari kebutuhan kita. Setelah kebutuhan dirinya dan keluarganya terpenuhi,
sisanya ia dishodaqohkan, diinfaqkan, dijariahkan kepada fuqoro wal masakin
ataupun orang yang membutuhkan.
Ada
seorang lelaki menemui Ja’far Shodiq RA. dan ia berkata bahwa ia kehilangan
kantong uang yang didalamnya ada uang sebanyak 1.000 dinnar (1 dinnar = 4 gram
emas). Orang lelaki tersebut berkata, bahwa tidak ada yang datang ketempat ini
setelah aku kecuali kamu. Karena ia dituduh mengambil uang tersebut, Ja’far
Shodiq RA. tidak marah ataupun membela diri atas tuduhan orang tadi, kemudian
dia memberikan uang sebanyak 1.000 dinnar kepada orang lelaki tersebut. Setelah
mendapatkan uang pengganti, lelaki tersebut kembali ke rumahnya, ia merasa
senang karena uang yang hilang telah kembali dan ia merasa tuduhannya benar,
terbukti dengan diganti uangnya. Ternyata di rumahnya, lelaki tersebut menemukan
kantong uang yang telah disangkanya hilang, ia merasa telah berbuat salah
kepada Ja’far Shodiq RA. Kemudian lelaki tersebut kembali menjumpai Ja’far
Shodiq RA. untuk meminta maaf, karena tuduhannya tidak benar dan bermaksud
mengembalikan uang milik Ja’far Shodiq RA. Ja’far Shodiq berkata kepada orang
tersebut: “Segala sesuatu yang telah aku
keluarkan tidak akan kembali kepadaku, silahkan ambil uang yang telah aku
keluarkan.”
Nabi Ibrahim
AS.
suatu saat ditimpa kesulitan, ia butuh akan suatu hajat, ia datang menjumpai
temannya bermaksud meminta tolong kepada temannya, akan tetapi ternyata
temannya tidak dapat membantunya. Karena hajatnya tidak terpenuhi, maka
kembalilah ia ke rumah dalam keadaan resah dan gelisah, maka Alloh mewahyukan
kepada Nabi Ibrahim AS.: “Wahai Ibrahim,
andaikata engkau meminta kepada-KU, niscaya AKU berikan.” Ibrahim AS.
berkata: “Ya Rabbi, aku tahu betul
kebencian-MU kepada dunia, maka aku takut meminta dunia kepada-MU.” Alloh mewahyukan kepada Nabi Ibrahim AS.: “Apa yang kita butuhkan bukan termasuk
dunia.” Hajat/kebutuhan bukan
termasuk dunia.
Bukan
berarti untuk menjadi juhud kita tidak boleh mencari dunia, kita cari dunia
untuk kebutuhan kita dan anak istri kita, berapapun besarnya kebutuhan kita itu
bukan termasuk dunia, setiap orang mempunyai kebutuhan yang berbeda, dan
kelebihan dari apa yang kita butuhkan kita salurkan di jalan Alloh.
Derajat
yang paling tinggi dari juhud adalah ia tidak mengambil sedikitpun juga dari
dunia, hingga ia tahu betul bahwa mengambil dunia lebih dari kebutuhannya lebih
Alloh sukai dari pada meninggalkannya. Jika ia sudah mendapatkan keyaqinan
bahwa apabila ia mengambil dunia yang lebih dari kebutuhannya, lebih Alloh
sukai, maka baru ia ambil. Sampai saatnya Alloh telah menentukan bahwa ia akan
ada kebutuhan untuk perjuangan kaum muslimin, sehingga dengan harta yang
berlebih yang ada padanya, ia dapat membantu perjuangan kaum muslimin.
Diantara
dua tingkatan derajat juhud ini, masih banyak tingkatan derajat juhud yang
lainnya lagi. Dalam kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam Gozali banyak disebutkan
tingkatan-tingkatan derajat dari juhud.
Ada
beberapa ciri dari orang yang bersifat juhud, diantaranya:
-
Ia
tidak bergembira dengan apa yang ada padanya, sehingga tidak menjadikan ia
sombong atas dunia yang ada padanya.
-
Ia
tidak bersusah hati atas sesuatu yang tidak ada padanya dari pada dunia.
-
Tidak
membimbangkan hatinya untuk beribadah kepada Alloh dalam mencari dunia.
-
Tidak
bersenang-senang dia dengan dunia yang membuatnya lupa terhadap sesuatu yang
lebih baik di sisi Alloh, yaitu ibadah kepada Alloh. Silahkan kita
bersenang-senang dengan harta yang kita miliki, akan tetapi jangan sampai
melalaikan kewajiban kita untuk beribadah kepada Alloh.
Anjuran
dari pengarang ini kitab, hendaknya kamu mengeluarkan dari hati kamu kecintaan
pada Dinnar dan Dirham (uang, baik uang Dinnar, Dirham, Rupiah, Dollar dll.),
hingga menjadilah keduanya (uang tadi)kedudukan nilainya di hati kamu seperti
batu dan tanah liat. Uang hanya ada di kantong jangan sampai ada di hati,
sehingga pada saatnya ada kepentingan umat yang membutuhkannya maka menjadi
mudah dan ringan untuk mengeluarkannya. Jadikan diri kita sebagai kasir,
sehingga apabila ada orang yang membutuhkannya, siapapun dia, maka sangat mudah
dan ringan bagi kita mengeluarkannya.
Dalam
sebuah Hadist Qudsy Alloh berfirman: “Harta (berupa uang dan lain-lainnya) adalah harta-KU, Orang-orang kaya
sebagai wakil-wakil-KU, dan orang faqir adalah keluarga-KU. Andaikan ada dari
wakil-wakil-KU yang pelit/ kikir/ bahil terhadap keluarga-KU, pasti AKU akan
adzab mereka tanpa di tunda.”
Kita
hanya sebagai wakil Alloh, dititipkan harta kepada kita, kita jangan berlaku
pelit/kikir karena disana ada yang membutuhkan untuk kepentingan agama ataupun
untuk kepentingan pribadi karena ia susah dan lain-lain, hendaknya kita bantu,
jangan kita berlaku pelit/kikir.
Dalam
sebuah Hadist Qudsy yang lain Alloh berfirman: “Hai dunia (dinnar, dirham, dollar, rupiah dll.), siapa orang yang
berkhidmat kepada AKU (melayani kepentingan AKU) di muka bumi ini, maka layani
(bantu/ permudah segala urusan) dia. Dan siapa orang yang berkhidmat
kepadamu(dunia, bukan berkhidmat kepada Alloh), maka jadikan dia sebagai budaq/
khodam/ hamba kamu.”
Orang
yang berkidmat kepada dunia, dia selalu memikirkan dunia, takut kehilangan
hartanya sehingga ia diperbudaq oleh dunia. Dunia lebih berbahaya, karena dia
lebih mampu menyihir orang sehingga lupa daratan dari pada ahli-ahli sihir
Fir’aun.
Nabi bersabda dalam sebuah
Hadist: “Kefaqiran tidak aku takuti
terhadap umatku, tetapi yang aku takkuti adalah dihamparkannya dunia kepada
umatku, sebagaimana telah Alloh hamparkan dunia kepada umat-umat sebelumnya,
sehingga mereka saling berlomba-lomba dalam mencari dunia sebagaimana telah
berlomba-lombanya dalam mencari dunia orang-orang sebelum kamu, yang pada
akhirnya Alloh telah hancurkan orang-orang sebelum kamu.”
Jangan
sampai ada di hati kita kesenangan dengan kedudukan/ jabatan di sisi manusia,
saat ini banyak orang yang bersedia mengeluarkan banyak uang untuk memperoleh
jabatan baik formal maupun informal.
Imam Abu
Hanifah,
adalah seorang yang alim di zamannya, dia menguasai hukum-hukum Islam, sehingga
raja bermaksud mengangkatnya menjadi hakim (Qody), akan tetapi dia menolak
jabatan yang diberikan oleh raja, sehingga raja murka dan ia dimasukan ke dalam
penjara. Jangan suka mencari-cari jabatan, serahkan semuanya kepada Alloh. Kita
keluarkan dari hati kita cinta terhadap kedudukan/ jabatan di sisi manusia,
sehingga sama saja di hati kamu, bila ada yang memuji kamu maka tidak
menjadikan kamu angkuh dan sombong dan bila ada yang mencela kamu tidak membuat
kamu menjadi susah hati. Disaat mereka mendekat/ menghampiri kita, tidak
membuat kita menjadi bangga dan disaat mereka meninggalkan/ menjauh dari kita
tidak membuat resah dan susah hati kita.
Orang
yang senang pada pangkat/ kedudukan/ kemulyaan akan membahayakan dirinya dari
pada kecintaan kepada harta. Mencintai harta adalah sumber dari segala
kesalahan, tetapi bila cinta pada pangkat/ jabatan maka akan lebih berbahaya
lagi. Jangan sampai kita menjadi gila kehormatan, ingin dipuji, ingin di panggil
ustdz atau kyai misalnya, jangan meminta orang untuk memanggil kita ustdz/ kyai
atau jabatan lainnya, tetapi bila orang memanggil kita dengan sebutan tersebut
karena menilai kita pantas memakainya maka itu kehormatan untuk kita. Jangan
membuat hati kita susah karena orang tidak memanggil sesuai dengan jabatan/
pangkat kita.
Kecintaan
kepada keduanya (harta/uang dan jabatan/kedudukan), maka itu menunjukkan
kecintaan kepada dunia.
Ada
suatu riwayat tentang Syech Ibnu Hajjar,
beliau betul-betul menjauh dari dunia, dia tidak silau dengan gemerlap dunia,
padahal orang yang seangkatan/ se-zaman dengan dia hidup dengan berlimpah ruah
harta. Suatu saat istri dari Syech Ibnu Hajjar ingin mandi di tempat pemandian
khusus untuk perempuan, kemudian Syech Ibnu Hajjar berkata kepada istrinya:
Bila engkau ingin pergi ke tempat pemandian hendaknya sabar, aku akan
mengumpulkan uang terlebih dahulu untuk biaya masuknya. Setiap Alloh berikan
rizki kepadanya, maka ia sisihkan sedikit untuk istrinya, sehingga terkumpullah
uang sebanyak setengah real. Kemudian uang tersebut diberikan kepada istrinya
untuk biaya masuk ke tempat pemandian. Sesampainya istri dari Syech Ibnu Hajjar
ke tempat pemandian, ternyata ia dicegah masuk oleh penjaga dari tempat
pemandian tersebut, karena tempat tersebut telah disewa oleh istri dari Syech
Muhammad Romli dan rombongannya. Syech Muhammad Romli adalah orang yang
“merojih” (menyeleksi) mana qoul yang lebih mu’tamat antara qoul Imam Nawawi
dan qoul Imam Rofi’i. Karena tidak dapat masuk ke tempat pemandian, maka
pulanglah istri dari Syech Ibnu Hajjar, dia mengatakan kepada suaminya bahwa
tempat pemandian telah di sewa oleh istri dari Syech Romli dan rombongannya dan
dia telah membayar sebanyak 25 real. Mendengar perkataan istrinya, Syech Ibnu
Hajjar barkata, aku tidak menginginkan dunia, aku ridho dengan apa yang Alloh
berikan kepadaku. Wahai istriku bila kamu menginginkan dunia, ikutlah dengan ku
ke sumur zam-zam. Setelah sampai di sumur zam-zam, Syech Ibnu Hajjar menurunkan
ember ke dalam sumur zam-zam, setelah diangkat maka terlihatlah ember tersebut
telah berisi penuh dengan uang dinnar, kemudian Syech Ibnu Hajjar berkata
kepada istrinya, apakah uang dinnar sebanyak ini cukup bagimu, istrinya
menjawab: tidak. Maka Syech Ibnu Hajjar kembali menurunkan ember ke dalam sumur
zam-zam untuk yang kedua kalinya dan setelah di tarik maka kembali ember
tersebut telah penuh dengan uang dinnar, kemudian ia kembali bertanya kepada
istrinya apakah uang ini sudah cukup untukmu? Istrinya menjawab: tidak. Maka
kembali Syech Ibnu Hajjar menurunkan ember ke dalam sumur zam-zam untuk yang
ketiga kalinya dan setelah diangakat, kembali ember tersebut telah penuh dengan
uang dinnar. Kemudian Syech Ibnu Hajjar berkata kepada istrinya: Aku lebih
memilih kepada kefaqiran, aku lebih memilih apa yang ada di sisi Alloh, aku
tidak memilih dunia, dunia semuanya sama, dunia akan berlalu dan umurnya pun
tidak lama. Sekarang aku kasih dua pilihan kepadamu wahai istriku, pilihan yang
pertama uang dinnar yang banyak ini kau kembalikan seluruhnya ke sumur zam-zam
dan engkau pulang bersamaku, karena aku lebih memilih kefaqiran. Atau engkau
pilih pilihan yang kedua, engkau ambil semua uang dinnar tersebut dan engkau
kembali ke rumah orang tuamu, artinya engkau aku talaq/ ceraikan, karena engkau
memilih dunia. Istrinya tidak mau diceraikan, tetapi tidak maupula membuang
uang dinnar tersebut kembali ke sumur zam-zam. Istrinya berkata: Berikan
kepadaku kesempatan untuk bersenang-senang dengan uang dinnar seperti manusia
yang lainnya. Syech Ibnu Hajjar berkata: Tidak, aku tidak izinkan engkau untuk
bersenang-senang dengan dunia. Istrinya kembali membujuk, kembalikan satu ember
saja, atau bila tidak kembalikan dua ember saja dan sisakan satu ember untuk
kita. Syech Ibnu Hajjar berkata: Tidak, aku tidak izinkan. Istrinya kembali
membujuk, bagaimana jika 1 (satu) dinnar saja untuk aku bersenang-senang
dengannya? Tidak, aku tidak izinkan kamu walau hanya mengambil 1 dinnar saja.
Pilihannya cuma 2, kamu kembalikan seluruh uang dinnar itu ke sumur zam-zam
atau kau ambil uang dinnar itu dan kembali ke rumah orang tuamu. Karena dalam
hati istrinya masih ada nur ke sholehan, maka ia lebih memilih mengembalikan
seluruh uang dinnar tersebut ke dalam sumur zam-zam dan tetap memilih
mendampingi Syech Ibnu Hajjar. Istrinya berkata: Aku sudah mendampingimu cukup
lama dan engkau telah menampakkan karomah kepadaku bahwa engkau adalah seorang
Waliyullah Besar, maka aku lebih memilih tinggal bersamamu dan meninggalkan
kesenangan dunia.
Asal
mula/ pokok kecintaan pada kedudukan/ pangkat adalah ingin di agung-agungkan/
diangkat-angakat. Ada orang yang senang bila diagung-agungkan atau
diangkat-angkat, dia akan marah bila tidak diagung-agungkan padahal itu akan
menjerumuskan dia, karena akan membuatnya menjadi sombong dan lupa daratan.
Keagungan/ Kebesaran adalah terbilang dari sifat-sifat Alloh, jangan sampai
kita mempunyai keinginan untuk di agung-agungkan/ dimulyakan, biarkan mengalir
apa adanya seperti air, jika ahlaq kita baik, sholeh, berilmu maka suatu saat Alloh
yang akan mulyakan kita.
Sifat
Azomah (mengagungkan diri) berarti melucuti sifat Ketuhanan. Hanya Alloh yang
berhaq menyandang sifat Azomah, Qibir (sombong), bila ada orang mempunyai sifat
ingin di agung-agungkan/ dimulyakan, maka berarti dia telah melucuti sifat
Ketuhanan atau menantang Alloh. Kita tidak perlu mencari-cari kehormatan, bila
kita rendah hati maka orang lain akan menghormati kita, maka itu adalah
kehormatan dari Alloh.
Asal
mula/ pokok kecintaan pada harta adalah kita senang untuk bermegah-megahan atau
bersenang-senang dengan syahwat/nafsu dunia itu termasuk sifat-sifat binatang.
Nabi bersabda
dari Alloh SWT.
dalam sebuah Hadist Qudsy: “Keagungan/kebesaran adalah pakaian/kain
AKU, Kesombongan adalah Selendang AKU. Siapa saja yang melucuti satu dari dua
sifat-KU berarti dia sudah menantang AKU, maka AKU hemapaskan kelak ke api
neraka jahanam.” Kita hendaknya
bersikap rendah hati, jangan angkuh dan sombong, suatu saat Alloh akan gerakan
hati orang untuk dapat menghormati kita.
Nabi bersabda dalam sebuah
hadist: “Tidaklah dua ekor serigala yang
sedang lapar di lepas di kandang kambing dapat lebih merusak bagi si-kambing
dari pada kecintaan kemulyaan di dalam agama seorang muslim.” Kita dapat membayangkan 2 ekor serigala yang
sedang kelaparan, yang dilepas di dalam kandang kambing tentulah akan merusak
kambing yang ada di dalamnya, dia akan mengoyak-ngoyak kambing dengan buasnya.
Akan tetapi cinta pada harta dan cinta pada kemulyaan itu jauh lebih berbahaya
dari keimananan diri seorang muslim.
Hendaknya
kamu memilih dan mengutamakan menyedikitkan menyimpan harta/dunia, sekedar
kebutuhan dan jangan berlebihan, membatasi atas sesuatu yang mesti tidak boleh
tidak dari padanya, kita perlu memenuhi kebutuhan kita, memberi nafkah anak
istri kita. Kita perlu mencari dunia, tapi hendaknya kita batasi sekedar untuk
kebutuhan kita, anak istri kita. Kebutuhan makannya cukup gizinya, kebutuhan
pakaian yang pantas untuk menutup aurot. Kurangi segala perabot-perabot rumah
tangga kita yang mewah, biar hidup sesederhana mungkin.
Bila
orang-orang sholeh dahulu, bila usia mereka sudah masuk 40 tahun, maka tempat
tidurnya dia singkirkan karena dia tidak mau enak-enak tidur, istrinya di
pulangkan ke rumah orang tuanya karena dia akan fokus untuk ibadah kepada Alloh.
Hati-hati
kamu menuruti/ mengumbar hawa nafsu syahwat/ keinginan kamu yang sifatnya
duniawiyah. Meskipun dibolehkan/halal, tetapi lihat siapa kita dan kemampuan
kita. Tahan kita punya nafsu, berfikirlah yang masak-masak sebelum bertindak.
Jangan
kamu mengumbar dan menuruti hawa nafsu duniawi kamu, tetapi kamu mengaku-ngaku
sebagai orang yang juhud di alam dunia ini, menghindar dari keduniaan. Dan
kamupun berhujjah/ berdalil/ berargumentasi dengan dalil/ argumentasi yang
bahtil/ tidak benar dari ayat-ayat Al Qur’an, Hadist dan lainnya. Salah dalam
menggunakan dalil, ayat Al Qur’an ataupun Hadistnya betul, tetapi salah dalam
memposisikan ayat Qur’an dan Hadist tersebut. Seperti misalnya orang menjadi
tergiur ingin kawin lagi, karena dengan alasan mengikuti sunnah Rasul, padahal
asal hukum dari nikah bukan sunnah melainkan mubbah. Jangan mengumbar nafsu
dengan beralasan sunnah Rasul. Ulama-ulama lebih mengerti, hendaknya kita
instropeksi diri, siapa kita, bagaimana kemampuan kita, apakah kita sudah
mengusai ilmu munakahad? Jadi jangan berhujjah dengan dalil Al Qur’an, Hadist
dan lain-lain, tetapi kita salah dalam memposisikan dalil ayat Al Qur’an dan
Hadist tersebut.
Kamu
mencari-cari ta’wilat atau arti-arti yang jauh dari kebenaran ayat-ayat Qur’an
dan Hadist, untuk membenarkan alasan mengumbar hawa nafsu kamu. Dalil ayat
Qur’an dan Hadistnya benar, tetapi salah dalam menyetelnya/ memposisikannya.
Bukan maqom kita untuk menta’wilkan/ mengartikan ayat dan hadist, lihat dari
ta’wilat-ta’wilat yang sudah dijelaskan oleh ulama-ulama.
Rasululloh
SAW. berpaling demikian pula dengan Abiya-anbiya sebelum Nabi Muhammad SAW. dan
imam-imam kita serta sohabat-sohabat Nabi, mereka menjauhkan diri dari
bersenang-senang dengan keduniaan. Seperti contohnya Imam Abdul Aziz, dia punya
gaji yang cukup sebagai khalifah, dia mampu untuk menghimpun harta dari jalan
yang halal, dia mampu untuk dapat bersenang-senang dengan harta yang dia dapat
dari jalan yang halal, akan tetapi sampai akhir hayatnya di mempunyai harta sangat
minim untuk keluarganya, sangat jauh dari kebutuhan.
Tidak
mengapa bila kamu tidak mampu untuk bersikap juhud di alam dunia, kamu secara
tulus (tidak munafik) mengatakan bahwa kamu gemar pada dunia. Kita mengaku
bahwa kita gemar kepada dunia itu tidak dosa, terkecuali bila kita mencari
dunia dan bersenang-senang dengan dunia itu dengan cara yang haram. Ukuran/
timbangannya adalah syara/ agama, lihat baik/ pantas tidak bila kita lakukan?
Juhud
maqom yang lebih bagus/ mulia dari pada mengumpulkan harta dari jalan yang
halal. Andaikata kita bermotivasi dalam mencari dunia untuk membantu perjuangan
Islam, itu bagus. Tetapi juhud jauh lebih bagus/ mulia dari pada itu. Terkadang
orang yang sudah sibuk terhadap dunia menjadi lupa, sehingga tidak sempat
ibadah dengan tuma’nina sebagaimana ibadah sewaktu ia sebelum kaya.
Andaikata
Alloh wajibkan kepada kita selaku hambanya untuk berluas-luasan dalam mencari
dunia sebanyak-banyaknya, bagaimana kemampuan kita untuk mencari dunia
sebanyak-banyaknya, tentulah kita tidak akan mampu mencari dunia
sebanyak-banyaknya. Nanti di akhir zaman rezki yang halal sangatlah sulit di
dapat, sehingga banyak orang yang mengumpulkan harta dengan menghalalkan segala
cara. Bagaimana kita punya kemampuan untuk menghimpun dunia sebanyak-banyaknya
di zaman/ masa/ waktu yang jarang sekali/ sangat sulit pada itu masa untuk
dapat membeli sesuatu untuk menutup aurot dari hasil rizky yang halal. Sekedar
untuk menutupi kelaparan kita saja sudah sulit, apalagi untuk mendapatkan harta
sebanyak-banyaknya. Begitulah kondisi/ keadaan di akhir zaman, uang yang halal
sedikit dan kawan yang bisa dipercayapun jarang sekali.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih
al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk
menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar