Senin, 10 Agustus 2015

FIQIH (HAJI & UMROH) - Wajib Haji & Wajib Umroh



Pokok Bahasan     :  FIQIH  (HAJI & UMROH)
Judul                    :  Wajib Haji & Wajib Umroh
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.


WAJIB  HAJI
Dalam peribadatan Haji dibagi menjadi 2, ada Rukun Haji dan ada Wajib Haji. Pada permasalahan-permasalahan ibadah yang lainnya antara Rukun dan Wajib adalah sama saja. Dalam ibadah Shalat Rukun Shalat adalah Wajib Shalat, jadi hanya sinomim (persamaan kata) saja. Tetapi dalam Ibadah Haji, ada perbedaan antara Rukun Haji dengan Wajib Haji.
Wajib Haji ada 3, dan dia bukan Rukun Haji. Maka tiap-tiap yang rukun itu pasti wajib, tetapi tidak semua yang wajib itu rukun (ilmu Logika/Mantiq).
Karena yang Wajib itu terkadang bukan Rukun. Seperti Syarat, dia bukan rukun tetapi dia wajib. Karena yang wajib ini terkadang tidak menjadi rukun tetapi hanya sebagai syarat saja, tetapi wajib juga kita jalankan.

Rukun Haji yaitu: Sesuatu yang tidak di dapat Hakekat Haji, kecuali bila menjalankan rukun. Selama dia tidak menjalankan rukun haji, maka dia belum dapat disebut haji.
Wajib haji yaitu: Sesuatu yang harus di tambal dengan membayar dam bila kita tidak mengerjakan/ meninggalkannya.
Bila yang wajib kita tinggalkan, haji kita tetap sah. Tetapi bila kita tinggalkan yang Rukun seperti: tidak Wukuf di Padang Arafah, atau tidak Thawaf Ifadoh di Ka’bah, atau tidak Sa’ii antara Sofa dan Marwah, maka tidak sah haji kita, meskipun semua wajib haji kita jalankan/ kerjakan.

Tidak mesti kita mengerjakan wajib-wajib haji untuk mendapatkan predikat haji, asalkan kita menjalankan semua rukun-rukun haji. Akan tetapi konsekwensinya kita harus membayar dam atas kerjaan wajib haji yang kita tinggalkan.

1.  Ihrom (Niat Haji) Dari Miqot
Salah satu dari pada wajib haji adalah Ihrom (niat haji) minnal Miqot, Ihrom haji hukumnya rukun, tetapi Ihrom minnal Miqot (niat haji dari Miqot) adalah wajib haji. Ada batas-batas Miqot yang telah ditentukan oleh Nabi, dimana kita mesti niat haji di situ, meskipun kita niatnya di akhir batas miqot, asalkan belum meliwati batas akhir miqot. Andaikata kita terobos Miqot (batas dimana kita harus niat), maka sah kita punya haji, tetapi konsekwensinya  kita harus bayar dam.

Orang yang datang dari arah Madinah, miqotnya dari Abyar Ali (Bir’ ali), jammah haji yang datang dari arah Madinah tidak mesti niat di awal miqotnya, tetapi kita dapat Ihrom (niat haji) di Dzulhulaifah (saat dulu, sekarang orang lebih mengenal dengan sebutan Bir’ali), disitu ada masjid dan kita dapat mandi, wudhu dan memakai pakaian ihrom serta niat umroh: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha lillahi taala.” (bagi yang menjalankan Haji Tamattu). Bagi yang ingin mengerjakan Haji Ifrood maka niatnya: “Nawaitul hajja wa ahromtu bihi lillahi taala.” Jika kita Ihrom (niat haji atau niat umroh) di masjid tersebut, itu lebih afdol/ utama.

Miqot meliputin Miqot Zamanni dan Miqot Makanni.
A. Miqot Zamani Haji, yaitu waktu atau masa dimana kita diperbolehkannya niat haji, niat haji dapat dimulai sejak tanggal 1 Syawal sampai masuk waktu Shubuh tanggal 10 Dzulhijah. Niat haji boleh diniatkan sejak tanggal 1 Syawal, tetapi pelaksanaan ibadah hajinya tetap menunggu tanggal 9 Dzulhijah ba’da jawal. Misalkan dia niat haji tanggal 1 Syawal, maka dia mulai memakai pakaian ihrom (bagi laki-laki memakai pakaian tidak berjahit) sampai selesainya seluruh proses ibadah haji, itulah yang dinamakan Haji Ifrood (mendahulukan ibadah Haji dibandingkan dengan ibadah Umroh). Sekalipun dia belum dapat mendatangkan ibadah haji pada itu waktu, prosesi ibadah haji baru dimulai pada tanggal 9 Dzulhijah ba’da jawal. Sedangkan waktu niat untuk Ibadah Umroh dapat dilakukan kapan saja, sepanjang tahun. 

B.   Miqot Makanni, yaitu tempat di mana miqot itu berada. Orang yang akan melaksanakan haji miqotnya dari tanah Haram yaitu ditempat kita mukim (maktab), sedangkan miqot untuk Umroh di tanah Halal (Ja’rona, Tan’im dll.)  Adapun Miqot Makanni untuk orang yang akan melaksanakan ibadah haji bagi orang yang mukim, yaitu orang yang sudah berada di Makkah, baik penduduk asli/ pribumi  atau jama’ah haji yang sudah lebih dari 4 hari tinggal di Makkah (afaaqiyaa), maka niat hajinya di maktabnya atau di masjid yang masih berada di tanah haram (Makkah). Yang dimaksud ahli Makkah/ orang yang berada di Makkkah yaitu penduduk pribumi Makkah itu sendiri dan orang asing (bukan penduduk pribumi), semacam orang Cina, Indonesia dll. yang sudah berada di Makkah lebih dari 4 hari, termasuk juga orang yang sekedar lewat saja di Makkah(abiroshabil). Adapun untuk orang yang tidak tinggal (mukim) di Makkah, maka Miqotnya Makanni-nya di:
-        Orang yang berasal dari Madinah, maka Miqot Makanni(niat ihrom haji) di mulai di Dzulhulaifah (sekarang lebih dikenal dengan sebutan: Abyar Ali atau Bir’ Ali), adalah nama tempat yang jaraknya sekitar 10 marhalah dari Makkah (1 marhalah = 41 Km) dan jarak antara Dzulhulaifah dengan Madinah sekitar 10 Mil. Dzulhulaifah/ Bir’Ali adalah seafdol-afdolnya tempat untuk Miqot, karena Nabi Miqot Makanni-nya dari situ.
-        Adapun Miqot Makanni untuk orang yang berasal dari Negri Syam (Syria), Mesir, Magribi (Maroko), adalah di Juhfah. Jarak antara Juhfah dengan Makkah sekitar 4 ½  marhalah. Bila orang-orang Syam lewat/ melalaui dari arah Madinah, sebagaimana perjalanan yang berlaku sekarang, maka miqotnya di Dzulhulaifah juga(seperti miqotnya orang-orang yang berasal dari Mandinah). Tidak dibolehkan bagi mereka menunda Ihrom dengan mengambil miqot di Juhfah, apabila mereka datangnya dari arah Madinah dengan alasan karena mereka berasal dari negeri Syam (Syiria), Mesir, Magribi (Maroko). Karena jarak antara Juhfah ke Makkah hanya berjarak 4 ½ marhalah, sedangkan jarak antara Dzulhulaifah / Bir’Ali ke Makkah 10 marhalah. Karena bila itu mereka lakukan, berarti mereka telah memasuki bagian dari tanah haram, akibatnya mereka terkena dam, karena melewati miqot-miqot yang telah ditentukan. Bila mereka tidak ingin terkena dam, maka mereka mesti kembali ke arah semula.
-        Tempat miqot bagi orang-orang yang berasal dari dataran rendah Yaman adalah Yalamlam, jaraknya 2 marhalah dari Makkah. Dahulu saat pergi haji masih menggunakan kapal laut, orang Indonesia miqotnya dari Yalamlam. Tetapi untuk saat sekarang, setelah menggunakan pesawat, maka untuk orang Indonesia dapat mengambil miqotnya dari bandara King Abdul Aziz, meskipun sudah melewati batas miqotnya ( batas Miqotnya sebelum bandara King Abdul Aziz) tetapi menurut para ulama masih dibolehkan, asalkan belum sampai memasuki tanah haram.
-        Adapun Miqot untuk orang-orang yang berasal dari dataran tinggi Hijaz (Najed) dan dataran tinggi Yaman, miqotnya dari Qorn/ Qorn Manazil/ Qorn Ta’alib adalah suatu gunung yang jaraknya 2 marhalah dari Makkah.
-        Miqot untuk orang-orang yang berasal dari negeri Mashriq (arah Timur), Iraq, Khurosan (Iran), miqotnya di Dzatu Irqin adalah nama kampung yang jaraknya 2 marhalah dari Makkah.

Ini semua adalah miqot-miqot hajii untuk orang-orang yang bukan mukimin.

2.  Melontar / Jamroh
Biasanya setelah kita Wuquf di Padang Arafah (9 Dzulhijah ba’da jawal), kemudian Mabit di Muzdalifah (pada malam ke-10 Dzulhijah), kemudian setelah lewat tengah malam baru menuju Minna untuk melakukan Jamrotul Aqobah sebanyak 7 kali, saat malam ke-10 Dzulhijah ini kita hanya melontar Jamrotul Aqobah saja. Selanjutnya kita bercukur minimal 3 helai rambut, maka selesailah tahalul awal kita. Jika sudah tahalul awal, maka halal-lah semua yang tadinya di haramkan dalam pelaksanaan ibadah haji, kecuali zima dan mukadimahnya. Masuknya waktu Jamrotul Aqobah adalah pada malam ke-10 bulan Dzulhijah (malam taqbiran bila di sini). Andaikan kita keluar dari Muzdalifah sebelum tengah malam dan akibatnya kita terkena dam, karena meninggalkan salah satu wajib haji yaitu mabit di Muzdalifah, tetapi sesampainya di Minna kita belum dapat melakukan Jamrotul Aqobah sebelum masuk waktu tengah malam.
Waktu Fadhilah (utama): waktu yang paling utama melakukan Jamrotul Aqobah yaitu antara terbitnya matahari dan tergelincirnya matahari (dari pagi sampai masuk waktu Dzuhur pada hari tanggal 10 Dzulhijah).
Adapun melontar Jamroh yang tiga (Uulaa, Wustho dan Aqobah) tiap-tiap hari dari hari-hari Tasrik (11,12, 13 Dzulhijah). Masuk waktu melontar untuk yang Jamroh yang 3 ini adalah dimulai sejak tergelincirnya matahari (masuk waktu Dzuhur) pada tanggal 11 Dzulhijah. Beda dengan Jamrotil Aqobah tanggal 10 Dzulhijah boleh dilakukan pada pagi hari, tetapi untuk Jamroh yang 3 (Uulaa, Wustho dan Aqobah) belum dapat dilakukan sebelum masuk waktu Dzuhur (tergelincirnya matahari), bila kita melakukannya pada pagi hari maka tidak sah melontarnya (dari 4 mahzab tidak ada yang membolehkan). Terkadang ada pimpinan rombongan jama’ah haji yang tidak mau berdesakan sehingga mereka memilih melontar yang 3 (Uulaa, Wustho dan Aqobah) pada pagi hari, padahal ini tidak sah bila dikerjakan.
Waktu Ikhtiar: yaitu waktu setelah setelah berakhirnya waktu Fadhilah, atau dari mulai masuk waktu Dzuhur sampai masuk waktu Maghrib (mulai masuk tanggal 11 Dzulhijah).
Waktu Jawaz: yaitu waktu setelah berakhirnya waktu Ikhtiar atau sejak masuk waktu Maghrib tanggal 11 Dzulhijah sampai akhir hari Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijah).
Misalkan pada hari ke-11 dan 12 kita tidak melontar, karena mungkin akibat terganggu kesehatan kita ataupun alasan lainnya, maka untuk melontar Jamroh yang 3 (Uulaa, Wustho dan Aqobah) untuk Jamroh tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijah dapat dilakukan pada hari akhir Tasriq (tanggal 13 Dzulhijah). Lontaran yang pertama kita niatkan untuk melontar untuk tanggal 11, setelah selesai melontar Uulaa, Wustho dan Aqobah, kemudian kembali lagi ketempat semula untuk melanjutkan melontar untuk tanggal 12 Dzulhijah. Untuk melontar hari yang ke-11 dan hari yang ke-12 dapat dilakukan pada pagi hari atau malam hari, karena waktunya sudah masuk (waktunya sudah lewat/ waktu qodho). Sedangkan untuk lontaran yang tanggal 13 Dzulhijah, baru boleh dilakukan setelah tergelincirnya matahari (masuk waktu Dzuhur).
Atau dapat pula dilakukan untuk ketiga lontaran itu (11,12, 13 Dzulhijah) pada tanggal 13 Dzulhijah setelah tergelincir matahari (masuk waktu Dzuhur).
Disunnahkan membaca untuk setiap satu batu yang dilontarkan, Uulaa 7 batu, Wustho 7 batu dan Aqobah 7 batu dengan membaca: “Bismillahi Wallaahu Akbaru ShadaqAllohu Wa’dahu Wanashara ‘Abdahu Wa’azza Jundahu Wahazamal Ahzaaba Wahdahu Laa Ilaaha Illallaahu Walaa Na’budu Illa Iyyaahu Mukhlishiina Lahuddina Walaukarihal Kaafiruuna.”  Jadi dalam satu hari kita membaca 21 kali (Uulaa 7x, Wustho 7x dan Aqobah 7x).

Syarat-syarat Melontar ada 6, yaitu:
1.    Menertibkan Jamroh (melontarnya), pertama Uulaa dahulu 7x lontaran, kemudian Wustho 7x lontaran, baru yang terakhir Aqobah 7x lontaran. Untuk malam 10 Dzulhijah hanya melontar 1 saja, yaitu Jamrotul Aqobah. Letak Uulaa (Qubro) dekat dengan Masjidil Khiif (Mina), sedangkan Aqobah dekat dengan Makkah dan Arafah.
2.    Tiap-tiap lontaran mengunakan batu-batu kecil (krikil). Tiap lontaran hanya menggunakan satu batu, bila terlempar 2 batu atau lebih, maka tetap dihitung 1 batu, dan tidak boleh sekaligus 7 batu. Jadi 7 lontaran batu dilempar satu per satu, bila dilempar sekaligus 7 batu, maka tidah sah. Yang dipandang lontarannya, bukan batu yang dilontarnya. Andaikata dia melontar 1 batu untuk 7 kali lontaran dengan batu yang sama, maka hal itu dibolehkan. Misalnya dia melemar 1 kali, kemudian batu yang telah dilempar tadi diambil lagi untuk lemparan berikutnya, hal tersebut masih dibolehkan. Jadi 1 batu untuk 7 kali lontaran dibolehkan/sah, tetapi hampir mendekati batas makruh(hilaful afdol/ hilaful aula), sedangkan 7 batu untuk 1 kali lontaran tidak sah.
3.    Yang dilemparkannya itu harus batu, batu apa saja dibolehkan. Tidak cukup/ tidak sah selain batu. Karena kebodohan/ tidak tahu ilmunya terkadang mereka  melemparkan apa saja, misalnya: kayu, sandal jepit, sepatu, payung, botol minuman dan lain sebagainya sebagai pengganti batu. Karena mereka beranggapan bahwa tujuannya adalah melontar, sedangkan bendanya bisa apa saja, padahal bila selain batu tidak sah lontarannya. Sekalipun benda berharga semacam mutiara, tetap tidak sah. Tanah yang keras karena di bakar dengan api(semacam batu bata) tidak dibolehkan, tetapi apabila kerasnya karena terjemur matahari maka dibolehkan. Semen juga tidak dibolehkan untuk digunakan melontar.
4.    Syarat melontar batunya dengan tangan, tidak cukup/ tidak boleh dengan kaki (seperti menendang bola), tidak boleh dengan mulut (dengan cara sumpit), tidak boleh pula melontarnya dengan ketapel. Tidak boleh diletakan/ ditaruh saja, melainkan harus dilontarkan.
5.    Kita niatkan lontarannya menuju sasarannya (sumur/lubangnya). Jangan kita niatkan melontar mengenai tugunya, meskipun lontaran kita mengenai tugunya, tetapi lontran kita tidak sah. Tugunya hanya sebagai sarana agar batu tidak jatuh kemana-mana. Jadi kita lempar ke arah tugu, tetapi tidak kita niatkan melempar tugu, melainkan kita niatkan ke lubang. Jadi kita niatkan menuju sasaran/ lobangnya, jangan ada niatan untuk melempar tugunya. Sekalipun kita niat melempar tugunya, kemudian batunya jatuh ke lubang, hal itu tetap tidak sah, karena niat kita di awal adalah melontar tugunya. Jika dia niatkan melontar lobangnya, tetapi mengenai tiangnya, maka tetap sah. Atau dia tidak ada niatan melontar ke arah lubang atau tugunya, asalkan lontarannya jatuh ke arah lubangnya maka itu sudah cukup/ sah.
6.    Kita harus yakin bahwa batu yang kita lontarkan masuk ke dalam lubang sasarannya, bila batu yang kita lontarkan keluar/ lewat, maka lontaran kita tidak sah. Lontaran kita harus mengenai sasarannya (jatuh di lubangnya), tidak keluar dari lubang, atau tidak jatuh di luar lubang. Bila ia ragu dalam hal mengenai sasaran (lobangnya), maka lemparan tadi tidak dihitung (tidak sah).   

3.  Halaq / Taqshiir
Makna Halaq yaitu mencukur/ membuang habis rambut yang ada di kepala dengan pisau cukur. Atau dengan Taqshiir yaitu dengan menggunting/ memotong rambut tanpa dibuang habis. Ada Khilaful Ulama, menurut Qoul Rojih/ Qoul Mu’tamat, sesungguhnya membuang/ menghilangkan rambut adalah termasuk rukun. Yang paling utama (lebih afdhol) untuk laki-laki adalah Halaq (cukur habis/ botakin), jika ia nazarkan maka menjadi wajib. Misalkan dia bernazar bila saatnya ia pergi haji, dia bernazar akan mencukur habis rambutnya saat tahalul, maka mencukur habis rambutnya menjadi wajib baginya. Bila dinazarkan, sesuatu yang sunnah dapat jatuh menjadi wajib. Bagi perempuan tidak ada perintah untuk mencukur habis, karena rambut adalah mahkota bagi  perempuan. Bagi perempuan cukup memotong rambut sekedar panjang ruas-ruas jari saja, lebih boleh asal jangan dicukur habis. Apabila dia nazar untuk Taqshiir (mengunting/ memotong rambut), maka menjadi wajib, bukan lagi sunnah. Sekurang-kurangnya wajib dari seumpama Halaq adalah menghilangkan minimal 3 helai rambut kepala, bukan rambut jenggot, bewok atau kumis kita. Kita hilangkan dengan cara apa saja, bisa dengan menggunting, dengan mencabut, dengan cara di bakar, atau dengan di potong, minimal 3 helai rambut. Rambut yang lainnya tidak dapat menempatan untuk menggantikan rambut kepala, selain rambut kepala maka tidak sah Halaq atau Taqshiirnya.
Untuk Taqshiir boleh (sah) hanya memotong ujung rambut yang panjang terurai. Jika kita wudhu maka tidak sah hanya membasuh ujung rambut saja melainkan harus membasuh rambut yang ada di batok kepala, akan tetapi untuk Taqshiir boleh memotong rambut yang ada diujung (jauh dari batok kepala). Dan boleh juga kita memotong rambutnya tidak hanya di satu tempat, tetapi dapat di potong di beberapa tempat (depan, belakang, samping).
Bagi orang yang tidak mempunyai rambut di kepalanya (misalnya karena usia atau karena penyakit), maka di sunnahkan baginya menjalankan pisau cukur di atas kepalanya, guna menyerupai orang-orang yang mencukur.
Dan tidak dapat menempatkan dan mengganti rambut selain rambut kepala, misalkan wajib mencukur minimal 3 helai rambut, tetapi dia tidak mencukur rambutnya melainkan mencukur habis jenggotnya atau mencukur habis kumisnya misalnya, maka hal itu tidak memadai (tidak sah). Sebanyak apapun rambut yang ada di badan kita yang kita buang, hal tersebut tidak dapat menggantikan rambut kepala.

WAJIB  UMROH
Hal yang diwajibkan saat kita umroh hanya 2 saja, yaitu:
1.  Ikhrom Minal Miqot
Jika kita sudah muqim (tinggal lebih dari 4 hari) di Makkah, maka miqotnya di tanah Halal (bukan tanah Haram, artinya keluar dulu ke tanah halal, karena Makkah ada di tanah Haram), kita dapat mengambil miqot dari Ja’roonah, Tan’iim, Hudaibiyah. Lain halnya bila nanti saat akan melaksanakan ibadah haji, bila kita sudah berada di Makkah, maka miqotnya adalah di tanah haram itu sendiri, dapat mengambil miqot di maqtab/ pondokan/ hotel/ Masjidil Haram . Sambil menunggu waktu sampai tanggal 9 Dzulhijah untuk mulai pelaksanaan ibadah haji yaitu Wuquf di Padang Arafah, biasanya kita mengisinya dengan bikin Umroh Sunnah atau membikin Umroh untuk saudara atau orang tua kita. Miqot yang paling dekat adalah Tan’iim (+ 7 km dari Makkah), disitu ada Masjid Aisyan RA. Nabi pernah memerintahkan Aisyah RA. untuk mengambil miqotnya dari Tan’iim karena pertimbangan Aisyah seorang perempuan. Sedangkan yang paling utama adalah miqot dari Ja’roonah( + 6 farsah atau + 20 km dari Makkah), karena Nabi mengambil miqot untuk melaksanakan Umroh dari Ja’roonah. Nabi ada keinginan akan mengambil miqot Ikhrom dari Hudaibiyah, tetapi belum sempat terlaksana. Hudaibiyah adalah nama sumur yang berada antara dua jalan yaitu antara Jeddah dengan Madinah. Balasan Alloh bergantung pada amal kita, semakin berat kerjaan yang kita lakukan, maka semakin besar lagi pahlanya.
Maka bagi orang sudah berada di tanah haram dan dia akan membikin Umroh, maka baginya wajib keluar dari tanah haram menuju ke tanah halal sekurang-kurangnya tanah halal yang terdekat. Sekurang-kurangnya 1 langkah lagi memasuki tanah haram, maka sudah sah dia niat Umrohnya  disitu, hal ini untuk orang yang posisinya berada di bagian akhir miqot.
Tujuan dari Umroh agar hasil baginya menghimpun antara tanah halal dengan tanah haram. Seperti juga dengan ibadah haji yang menghimpun antara tanah haram dan tanah halal, Padang Arafah adalah bagian dari tanah halal, sedangkan Thawaf di Kabbah ada di tanah haram.
Seafdol-afdolnya tempat untuk miqot umroh adalah di Ja’roonah, dulu saat orang pergi haji membawa air dari Ja’roonah karena dipercaya mengandung obat, Ja’roonah adalah nama sumur milik seorang perempuan yang bernama Ja’roonah. Nabi pernah meludahi sumur itu, sehingga orang-orang banyak yang mengeambil berkah pada sumur tersebut. Saat dahulu orang lebih memilih miqot dari Ja’roonah meskipun lebih jauh, karena ingin mengambil tabaruk dari Nabi. Akan tetapi sekarang sumur tersebut telah di tutup oleh pemerintah Arab Saudi yang beraliran Wahabi, karena mereka menganggap hal itu sebagai perbuatan musyrik, padahal ada tabaruk di situ, karena Nabi pernah berludah di sumur itu.
Miqot Makanni untuk Umroh bagi orang-orang yang berada di luar tanah haram, sama dengan Miqot Haji, yaitu miqotnya dapat di ambil dari Bir’ Ali, Juhfah, Yalamlam, Qorn, Dzatu Irqin atau di Bandara King Abdul Aziz.

2.  Menjauhkan dari hal-hal yang di haramkan dalam Ikhrom.
Sama antara yang diharamkan waktu Ikhrom Haji dan Ikhrom Umroh. Seperti tidak boleh memakai pakaian yang berjahit, tidak boleh memakai minyak wangi, tidak boleh memotong rambut sebelum tahalul.


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar