Pokok
Bahasan : FIQIH
(HAJI & UMROH)
Judul : Wajib Haji & Wajib Umroh
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
WAJIB HAJI
Dalam
peribadatan Haji dibagi menjadi 2, ada Rukun Haji dan ada Wajib Haji. Pada
permasalahan-permasalahan ibadah yang lainnya antara Rukun dan Wajib adalah
sama saja. Dalam ibadah Shalat Rukun Shalat adalah Wajib Shalat, jadi hanya
sinomim (persamaan kata) saja. Tetapi dalam Ibadah Haji, ada perbedaan antara
Rukun Haji dengan Wajib Haji.
Wajib
Haji ada 3, dan dia bukan Rukun Haji. Maka tiap-tiap yang rukun itu pasti
wajib, tetapi tidak semua yang wajib itu rukun (ilmu Logika/Mantiq).
Karena
yang Wajib itu terkadang bukan Rukun. Seperti Syarat, dia bukan rukun tetapi
dia wajib. Karena yang wajib ini terkadang tidak menjadi rukun tetapi hanya
sebagai syarat saja, tetapi wajib juga kita jalankan.
Rukun
Haji yaitu: Sesuatu yang tidak di dapat Hakekat Haji, kecuali bila menjalankan
rukun. Selama dia tidak menjalankan rukun haji, maka dia belum dapat disebut
haji.
Wajib
haji yaitu: Sesuatu yang harus di tambal dengan membayar dam bila kita tidak
mengerjakan/ meninggalkannya.
Bila
yang wajib kita tinggalkan, haji kita tetap sah. Tetapi bila kita tinggalkan
yang Rukun seperti: tidak Wukuf di Padang Arafah, atau tidak Thawaf Ifadoh di
Ka’bah, atau tidak Sa’ii antara Sofa dan Marwah, maka tidak sah haji kita,
meskipun semua wajib haji kita jalankan/ kerjakan.
Tidak
mesti kita mengerjakan wajib-wajib haji untuk mendapatkan predikat haji,
asalkan kita menjalankan semua rukun-rukun haji. Akan tetapi konsekwensinya
kita harus membayar dam atas kerjaan wajib haji yang kita tinggalkan.
1. Ihrom (Niat Haji) Dari Miqot
Salah satu dari pada wajib haji
adalah Ihrom (niat haji) minnal Miqot, Ihrom haji hukumnya rukun, tetapi Ihrom
minnal Miqot (niat haji dari Miqot) adalah wajib haji. Ada batas-batas Miqot
yang telah ditentukan oleh Nabi, dimana kita mesti niat haji di situ, meskipun
kita niatnya di akhir batas miqot, asalkan belum meliwati batas akhir miqot.
Andaikata kita terobos Miqot (batas dimana kita harus niat), maka sah kita
punya haji, tetapi konsekwensinya kita
harus bayar dam.
Orang yang datang dari arah Madinah,
miqotnya dari Abyar Ali (Bir’ ali), jammah haji yang datang dari arah Madinah
tidak mesti niat di awal miqotnya, tetapi kita dapat Ihrom (niat haji) di Dzulhulaifah
(saat dulu, sekarang orang lebih mengenal dengan sebutan Bir’ali), disitu ada
masjid dan kita dapat mandi, wudhu dan memakai pakaian ihrom serta niat umroh: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha lillahi
taala.” (bagi yang menjalankan Haji Tamattu). Bagi yang ingin mengerjakan
Haji Ifrood maka niatnya: “Nawaitul hajja
wa ahromtu bihi lillahi taala.” Jika kita Ihrom (niat haji atau niat umroh)
di masjid tersebut, itu lebih afdol/ utama.
Miqot
meliputin Miqot Zamanni dan Miqot Makanni.
A. Miqot Zamani Haji, yaitu waktu atau masa dimana kita diperbolehkannya niat haji,
niat haji dapat dimulai sejak tanggal 1 Syawal sampai masuk waktu Shubuh
tanggal 10 Dzulhijah. Niat haji boleh diniatkan sejak tanggal 1 Syawal, tetapi
pelaksanaan ibadah hajinya tetap menunggu tanggal 9 Dzulhijah ba’da jawal.
Misalkan dia niat haji tanggal 1 Syawal, maka dia mulai memakai pakaian ihrom
(bagi laki-laki memakai pakaian tidak berjahit) sampai selesainya seluruh
proses ibadah haji, itulah yang dinamakan Haji Ifrood (mendahulukan ibadah Haji
dibandingkan dengan ibadah Umroh). Sekalipun dia belum dapat mendatangkan
ibadah haji pada itu waktu, prosesi ibadah haji baru dimulai pada tanggal 9
Dzulhijah ba’da jawal. Sedangkan waktu niat untuk Ibadah Umroh dapat dilakukan
kapan saja, sepanjang tahun.
B.
Miqot Makanni, yaitu
tempat di mana miqot itu berada. Orang yang akan melaksanakan haji miqotnya
dari tanah Haram yaitu ditempat kita mukim (maktab), sedangkan miqot untuk
Umroh di tanah Halal (Ja’rona, Tan’im dll.)
Adapun Miqot Makanni untuk orang yang akan melaksanakan ibadah haji bagi
orang yang mukim, yaitu orang yang sudah berada di Makkah, baik penduduk asli/
pribumi atau jama’ah haji yang sudah lebih
dari 4 hari tinggal di Makkah (afaaqiyaa), maka niat hajinya di maktabnya atau
di masjid yang masih berada di tanah haram (Makkah). Yang dimaksud ahli Makkah/
orang yang berada di Makkkah yaitu penduduk pribumi Makkah itu sendiri dan
orang asing (bukan penduduk pribumi), semacam orang Cina, Indonesia dll. yang
sudah berada di Makkah lebih dari 4 hari, termasuk juga orang yang sekedar
lewat saja di Makkah(abiroshabil). Adapun untuk orang yang tidak tinggal
(mukim) di Makkah, maka Miqotnya Makanni-nya di:
-
Orang
yang berasal dari Madinah, maka Miqot Makanni(niat ihrom haji) di mulai di Dzulhulaifah
(sekarang lebih dikenal dengan sebutan: Abyar Ali atau Bir’ Ali), adalah nama
tempat yang jaraknya sekitar 10 marhalah dari Makkah (1 marhalah = 41 Km) dan
jarak antara Dzulhulaifah dengan Madinah sekitar 10 Mil. Dzulhulaifah/ Bir’Ali
adalah seafdol-afdolnya tempat untuk Miqot, karena Nabi Miqot Makanni-nya dari
situ.
-
Adapun
Miqot Makanni untuk orang yang berasal dari Negri Syam (Syria), Mesir, Magribi
(Maroko), adalah di Juhfah. Jarak antara Juhfah dengan Makkah sekitar 4 ½ marhalah. Bila orang-orang Syam lewat/
melalaui dari arah Madinah, sebagaimana perjalanan yang berlaku sekarang, maka
miqotnya di Dzulhulaifah juga(seperti miqotnya orang-orang yang berasal dari
Mandinah). Tidak dibolehkan bagi mereka menunda Ihrom dengan mengambil miqot di
Juhfah, apabila mereka datangnya dari arah Madinah dengan alasan karena mereka
berasal dari negeri Syam (Syiria), Mesir, Magribi (Maroko). Karena jarak antara
Juhfah ke Makkah hanya berjarak 4 ½ marhalah, sedangkan jarak antara Dzulhulaifah
/ Bir’Ali ke Makkah 10 marhalah. Karena bila itu mereka lakukan, berarti mereka
telah memasuki bagian dari tanah haram, akibatnya mereka terkena dam, karena
melewati miqot-miqot yang telah ditentukan. Bila mereka tidak ingin terkena
dam, maka mereka mesti kembali ke arah semula.
-
Tempat
miqot bagi orang-orang yang berasal dari dataran rendah Yaman adalah Yalamlam,
jaraknya 2 marhalah dari Makkah. Dahulu saat pergi haji masih menggunakan kapal
laut, orang Indonesia miqotnya dari Yalamlam. Tetapi untuk saat sekarang,
setelah menggunakan pesawat, maka untuk orang Indonesia dapat mengambil
miqotnya dari bandara King Abdul Aziz, meskipun sudah melewati batas miqotnya (
batas Miqotnya sebelum bandara King Abdul Aziz) tetapi menurut para ulama masih
dibolehkan, asalkan belum sampai memasuki tanah haram.
-
Adapun
Miqot untuk orang-orang yang berasal dari dataran tinggi Hijaz (Najed) dan
dataran tinggi Yaman, miqotnya dari Qorn/
Qorn Manazil/ Qorn Ta’alib adalah
suatu gunung yang jaraknya 2 marhalah dari Makkah.
-
Miqot
untuk orang-orang yang berasal dari negeri Mashriq (arah Timur), Iraq, Khurosan
(Iran), miqotnya di Dzatu Irqin adalah
nama kampung yang jaraknya 2 marhalah dari Makkah.
Ini semua adalah miqot-miqot hajii
untuk orang-orang yang bukan mukimin.
2. Melontar / Jamroh
Biasanya setelah kita Wuquf di Padang
Arafah (9 Dzulhijah ba’da jawal), kemudian Mabit di Muzdalifah (pada malam
ke-10 Dzulhijah), kemudian setelah lewat tengah malam baru menuju Minna untuk
melakukan Jamrotul Aqobah sebanyak 7 kali, saat malam ke-10 Dzulhijah ini kita
hanya melontar Jamrotul Aqobah saja. Selanjutnya kita bercukur minimal 3 helai
rambut, maka selesailah tahalul awal kita. Jika sudah tahalul awal, maka
halal-lah semua yang tadinya di haramkan dalam pelaksanaan ibadah haji, kecuali
zima dan mukadimahnya. Masuknya waktu Jamrotul Aqobah adalah pada malam ke-10
bulan Dzulhijah (malam taqbiran bila di sini). Andaikan kita keluar dari
Muzdalifah sebelum tengah malam dan akibatnya kita terkena dam, karena
meninggalkan salah satu wajib haji yaitu mabit di Muzdalifah, tetapi
sesampainya di Minna kita belum dapat melakukan Jamrotul Aqobah sebelum masuk
waktu tengah malam.
Waktu
Fadhilah (utama):
waktu yang paling utama melakukan Jamrotul Aqobah yaitu antara terbitnya
matahari dan tergelincirnya matahari (dari pagi sampai masuk waktu Dzuhur pada
hari tanggal 10 Dzulhijah).
Adapun melontar Jamroh yang tiga (Uulaa,
Wustho dan Aqobah) tiap-tiap hari dari hari-hari Tasrik (11,12, 13 Dzulhijah).
Masuk waktu melontar untuk yang Jamroh yang 3 ini adalah dimulai sejak
tergelincirnya matahari (masuk waktu Dzuhur) pada tanggal 11 Dzulhijah. Beda
dengan Jamrotil Aqobah tanggal 10 Dzulhijah boleh dilakukan pada pagi hari,
tetapi untuk Jamroh yang 3 (Uulaa, Wustho dan Aqobah) belum dapat dilakukan sebelum masuk waktu Dzuhur (tergelincirnya
matahari), bila kita melakukannya pada pagi hari maka tidak sah melontarnya
(dari 4 mahzab tidak ada yang membolehkan). Terkadang ada pimpinan rombongan
jama’ah haji yang tidak mau berdesakan sehingga mereka memilih melontar yang 3
(Uulaa, Wustho dan Aqobah) pada pagi hari, padahal ini tidak sah bila
dikerjakan.
Waktu
Ikhtiar:
yaitu waktu setelah setelah berakhirnya waktu Fadhilah, atau dari mulai masuk
waktu Dzuhur sampai masuk waktu Maghrib (mulai masuk tanggal 11 Dzulhijah).
Waktu
Jawaz:
yaitu waktu setelah berakhirnya waktu Ikhtiar atau sejak masuk waktu Maghrib
tanggal 11 Dzulhijah sampai akhir hari Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijah).
Misalkan pada hari ke-11 dan 12 kita
tidak melontar, karena mungkin akibat terganggu kesehatan kita ataupun alasan
lainnya, maka untuk melontar Jamroh yang 3 (Uulaa, Wustho dan Aqobah) untuk Jamroh tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijah dapat dilakukan
pada hari akhir Tasriq (tanggal 13 Dzulhijah). Lontaran yang pertama kita
niatkan untuk melontar untuk tanggal 11, setelah selesai melontar Uulaa, Wustho
dan Aqobah, kemudian kembali lagi ketempat semula untuk melanjutkan melontar
untuk tanggal 12 Dzulhijah. Untuk melontar hari yang ke-11 dan hari yang ke-12
dapat dilakukan pada pagi hari atau malam hari, karena waktunya sudah masuk
(waktunya sudah lewat/ waktu qodho). Sedangkan untuk lontaran yang tanggal 13
Dzulhijah, baru boleh dilakukan setelah tergelincirnya matahari (masuk waktu
Dzuhur).
Atau dapat pula dilakukan untuk
ketiga lontaran itu (11,12, 13 Dzulhijah) pada tanggal 13 Dzulhijah setelah
tergelincir matahari (masuk waktu Dzuhur).
Disunnahkan membaca untuk setiap satu
batu yang dilontarkan, Uulaa 7 batu, Wustho 7 batu dan Aqobah 7 batu dengan membaca: “Bismillahi Wallaahu Akbaru ShadaqAllohu Wa’dahu Wanashara ‘Abdahu
Wa’azza Jundahu Wahazamal Ahzaaba Wahdahu Laa Ilaaha Illallaahu Walaa Na’budu
Illa Iyyaahu Mukhlishiina Lahuddina Walaukarihal Kaafiruuna.” Jadi dalam satu hari kita membaca 21 kali (Uulaa
7x, Wustho 7x dan Aqobah 7x).
Syarat-syarat
Melontar ada 6, yaitu:
1. Menertibkan
Jamroh (melontarnya), pertama Uulaa dahulu 7x lontaran, kemudian Wustho 7x
lontaran, baru yang terakhir Aqobah 7x lontaran. Untuk malam 10 Dzulhijah hanya
melontar 1 saja, yaitu Jamrotul Aqobah. Letak Uulaa (Qubro) dekat dengan Masjidil
Khiif (Mina), sedangkan Aqobah dekat
dengan Makkah dan Arafah.
2. Tiap-tiap
lontaran mengunakan batu-batu kecil (krikil). Tiap lontaran hanya menggunakan
satu batu, bila terlempar 2 batu atau lebih, maka tetap dihitung 1 batu, dan
tidak boleh sekaligus 7 batu. Jadi 7 lontaran batu dilempar satu per satu, bila
dilempar sekaligus 7 batu, maka tidah sah. Yang dipandang lontarannya, bukan
batu yang dilontarnya. Andaikata dia melontar 1 batu untuk 7 kali lontaran
dengan batu yang sama, maka hal itu dibolehkan. Misalnya dia melemar 1 kali,
kemudian batu yang telah dilempar tadi diambil lagi untuk lemparan berikutnya,
hal tersebut masih dibolehkan. Jadi 1 batu untuk 7 kali lontaran
dibolehkan/sah, tetapi hampir mendekati batas makruh(hilaful afdol/ hilaful
aula), sedangkan 7 batu untuk 1 kali lontaran tidak sah.
3. Yang
dilemparkannya itu harus batu, batu apa saja dibolehkan. Tidak cukup/ tidak sah
selain batu. Karena kebodohan/ tidak tahu ilmunya terkadang mereka melemparkan apa saja, misalnya: kayu, sandal
jepit, sepatu, payung, botol minuman dan lain sebagainya sebagai pengganti
batu. Karena mereka beranggapan bahwa tujuannya adalah melontar, sedangkan
bendanya bisa apa saja, padahal bila selain batu tidak sah lontarannya.
Sekalipun benda berharga semacam mutiara, tetap tidak sah. Tanah yang keras
karena di bakar dengan api(semacam batu bata) tidak dibolehkan, tetapi apabila
kerasnya karena terjemur matahari maka dibolehkan. Semen juga tidak dibolehkan
untuk digunakan melontar.
4. Syarat melontar
batunya dengan tangan, tidak cukup/ tidak boleh dengan kaki (seperti menendang
bola), tidak boleh dengan mulut (dengan cara sumpit), tidak boleh pula
melontarnya dengan ketapel. Tidak boleh diletakan/ ditaruh saja, melainkan
harus dilontarkan.
5. Kita niatkan
lontarannya menuju sasarannya (sumur/lubangnya). Jangan kita niatkan melontar
mengenai tugunya, meskipun lontaran kita mengenai tugunya, tetapi lontran kita
tidak sah. Tugunya hanya sebagai sarana agar batu tidak jatuh kemana-mana. Jadi
kita lempar ke arah tugu, tetapi tidak kita niatkan melempar tugu, melainkan
kita niatkan ke lubang. Jadi kita niatkan menuju sasaran/ lobangnya, jangan ada
niatan untuk melempar tugunya. Sekalipun kita niat melempar tugunya, kemudian
batunya jatuh ke lubang, hal itu tetap tidak sah, karena niat kita di awal
adalah melontar tugunya. Jika dia niatkan melontar lobangnya, tetapi mengenai
tiangnya, maka tetap sah. Atau dia tidak ada niatan melontar ke arah lubang
atau tugunya, asalkan lontarannya jatuh ke arah lubangnya maka itu sudah cukup/
sah.
6. Kita harus
yakin bahwa batu yang kita lontarkan masuk ke dalam lubang sasarannya, bila
batu yang kita lontarkan keluar/ lewat, maka lontaran kita tidak sah. Lontaran
kita harus mengenai sasarannya (jatuh di lubangnya), tidak keluar dari lubang,
atau tidak jatuh di luar lubang. Bila ia ragu dalam hal mengenai sasaran
(lobangnya), maka lemparan tadi tidak dihitung (tidak sah).
3. Halaq / Taqshiir
Makna Halaq yaitu mencukur/ membuang
habis rambut yang ada di kepala dengan pisau cukur. Atau dengan Taqshiir yaitu
dengan menggunting/ memotong rambut tanpa dibuang habis. Ada Khilaful Ulama,
menurut Qoul Rojih/ Qoul Mu’tamat, sesungguhnya membuang/ menghilangkan rambut
adalah termasuk rukun. Yang paling utama (lebih afdhol) untuk laki-laki adalah Halaq (cukur habis/ botakin), jika ia
nazarkan maka menjadi wajib. Misalkan dia bernazar bila saatnya ia pergi haji,
dia bernazar akan mencukur habis rambutnya saat tahalul, maka mencukur habis
rambutnya menjadi wajib baginya. Bila dinazarkan, sesuatu yang sunnah dapat jatuh
menjadi wajib. Bagi perempuan tidak ada perintah untuk mencukur habis, karena
rambut adalah mahkota bagi perempuan.
Bagi perempuan cukup memotong rambut sekedar panjang ruas-ruas jari saja, lebih
boleh asal jangan dicukur habis. Apabila dia nazar untuk Taqshiir (mengunting/
memotong rambut), maka menjadi wajib, bukan lagi sunnah. Sekurang-kurangnya
wajib dari seumpama Halaq adalah menghilangkan minimal 3 helai rambut kepala,
bukan rambut jenggot, bewok atau kumis kita. Kita hilangkan dengan cara apa saja,
bisa dengan menggunting, dengan mencabut, dengan cara di bakar, atau dengan di
potong, minimal 3 helai rambut. Rambut yang lainnya tidak dapat menempatan
untuk menggantikan rambut kepala, selain rambut kepala maka tidak sah Halaq
atau Taqshiirnya.
Untuk Taqshiir boleh (sah) hanya
memotong ujung rambut yang panjang terurai. Jika kita wudhu maka tidak sah
hanya membasuh ujung rambut saja melainkan harus membasuh rambut yang ada di
batok kepala, akan tetapi untuk Taqshiir boleh memotong rambut yang ada diujung
(jauh dari batok kepala). Dan boleh juga kita memotong rambutnya tidak hanya di
satu tempat, tetapi dapat di potong di beberapa tempat (depan, belakang,
samping).
Bagi orang yang tidak mempunyai
rambut di kepalanya (misalnya karena usia atau karena penyakit), maka di
sunnahkan baginya menjalankan pisau cukur di atas kepalanya, guna menyerupai
orang-orang yang mencukur.
Dan tidak dapat menempatkan dan
mengganti rambut selain rambut kepala, misalkan wajib mencukur minimal 3 helai
rambut, tetapi dia tidak mencukur rambutnya melainkan mencukur habis jenggotnya
atau mencukur habis kumisnya misalnya, maka hal itu tidak memadai (tidak sah).
Sebanyak apapun rambut yang ada di badan kita yang kita buang, hal tersebut
tidak dapat menggantikan rambut kepala.
WAJIB UMROH
Hal
yang diwajibkan saat kita umroh hanya 2 saja, yaitu:
1. Ikhrom Minal Miqot
Jika kita sudah muqim (tinggal lebih
dari 4 hari) di Makkah, maka miqotnya di tanah Halal (bukan tanah Haram,
artinya keluar dulu ke tanah halal, karena Makkah ada di tanah Haram), kita
dapat mengambil miqot dari Ja’roonah, Tan’iim, Hudaibiyah. Lain halnya bila nanti saat akan melaksanakan ibadah haji, bila
kita sudah berada di Makkah, maka miqotnya adalah di tanah haram itu sendiri,
dapat mengambil miqot di maqtab/ pondokan/ hotel/ Masjidil Haram . Sambil
menunggu waktu sampai tanggal 9 Dzulhijah untuk mulai pelaksanaan ibadah haji
yaitu Wuquf di Padang Arafah, biasanya kita mengisinya dengan bikin Umroh
Sunnah atau membikin Umroh untuk saudara atau orang tua kita. Miqot yang paling
dekat adalah Tan’iim (+ 7 km dari Makkah), disitu ada Masjid Aisyan RA.
Nabi pernah memerintahkan Aisyah RA. untuk mengambil miqotnya dari Tan’iim
karena pertimbangan Aisyah seorang perempuan. Sedangkan yang paling utama
adalah miqot dari Ja’roonah( + 6 farsah atau + 20 km dari
Makkah), karena Nabi mengambil miqot untuk melaksanakan Umroh dari Ja’roonah.
Nabi ada keinginan akan mengambil miqot Ikhrom dari Hudaibiyah, tetapi belum
sempat terlaksana. Hudaibiyah adalah nama sumur yang berada antara dua jalan
yaitu antara Jeddah dengan Madinah. Balasan Alloh bergantung pada amal kita,
semakin berat kerjaan yang kita lakukan, maka semakin besar lagi pahlanya.
Maka bagi orang sudah berada di tanah
haram dan dia akan membikin Umroh, maka baginya wajib keluar dari tanah haram
menuju ke tanah halal sekurang-kurangnya tanah halal yang terdekat.
Sekurang-kurangnya 1 langkah lagi memasuki tanah haram, maka sudah sah dia niat
Umrohnya disitu, hal ini untuk orang
yang posisinya berada di bagian akhir miqot.
Tujuan dari Umroh agar hasil baginya
menghimpun antara tanah halal dengan tanah haram. Seperti juga dengan ibadah
haji yang menghimpun antara tanah haram dan tanah halal, Padang Arafah adalah
bagian dari tanah halal, sedangkan Thawaf di Kabbah ada di tanah haram.
Seafdol-afdolnya tempat untuk miqot
umroh adalah di Ja’roonah, dulu saat orang pergi haji membawa air dari
Ja’roonah karena dipercaya mengandung obat, Ja’roonah adalah nama sumur milik
seorang perempuan yang bernama Ja’roonah. Nabi pernah meludahi sumur itu,
sehingga orang-orang banyak yang mengeambil berkah pada sumur tersebut. Saat dahulu
orang lebih memilih miqot dari Ja’roonah meskipun lebih jauh, karena ingin
mengambil tabaruk dari Nabi. Akan tetapi sekarang sumur tersebut telah di tutup
oleh pemerintah Arab Saudi yang beraliran Wahabi, karena mereka menganggap hal
itu sebagai perbuatan musyrik, padahal ada tabaruk di situ, karena Nabi pernah
berludah di sumur itu.
Miqot
Makanni
untuk Umroh bagi orang-orang yang berada di luar tanah haram, sama dengan Miqot
Haji, yaitu miqotnya dapat di ambil dari Bir’ Ali, Juhfah, Yalamlam, Qorn, Dzatu
Irqin atau di Bandara King Abdul Aziz.
2. Menjauhkan dari hal-hal yang di haramkan dalam
Ikhrom.
Sama antara yang diharamkan waktu
Ikhrom Haji dan Ikhrom Umroh. Seperti tidak boleh memakai pakaian yang
berjahit, tidak boleh memakai minyak wangi, tidak boleh memotong rambut sebelum
tahalul.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar