Senin, 06 Juli 2015

FIQIH - Wudhu



Pokok Bahasan     :  FIQIH
Judul                    :  Wudhu
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Dalam melakukan wudhu harus dilakukan secara tertib (berurutan). Bila ragu ada anggota badan yang belum terbasuh setelah selesai wudhu, maka wudhu tidak perlu diulang. Keyakinan yang awal tidak dapat dikalahkan dengan keraguan yang timbul kemudian.

Apabila ragu sebelum selesai wudhu, maka wajib ia mengulang untuk rukun wudhu yang tertinggal. Misalkan ia terlupa belum membasuh tangan, maka segera ia membasuh tangan, kemudian baru membasuh kepala, meskipun ia yakin bahwa tadi telah membasuh kepala, karena wudhu itu wajib tertib.

Sunnah-sunnah Wudhu:
-        Membaca bismillah sewaktu membasuh tangan.
“Tidak sah shalat orang yang tanpa wudhu, dan tidak sempurna wudhu seseorang bagi yang tidak membaca “bismillah” (HR. Ahmad & Abu Daud)
-        Niatkan sunnah sewaktu membasuh tangan, tanpa niat maka sunnah yang kita kerjakan tidak ada pahlanya.
-        Bersiwak sebelum berkumur atau dengan benda keras lainnya seperti sapu tangan, lengan baju dll. Kecuali bagi orang yang berpuasa setelah terbitnya matahari, karena bersiwak tersebut akan menghilangkan bau mulut, sebab Alloh sangat menyukai bau  mulut orang yang berpuasa.
“Andaikan aku tidak takut memberatkan umatku untuk bersiwak, niscaya aku wajibkan umatku untuk bersiwak.” (Hadist)

Dalam Mahzab Imam Safi’i bertemunya/bersentuhan dua kulit lelaki dan perempuan yang sudah dewasa (aqil balig) dan bukan mahromnya adalah batal. Jika menurut Mahzab Imam Hanafi tidak batal. Dan menurut Mahzab Imam Maliki tidak batal asal dengan syarat tidak ada syahwat diantara keduanya.

Dalam sebuah Hadist Soheh meriwayatkan bahwa Rasululloh pernah mencium istrinya yaitu Syaidatuna Aisah, kemudian Rasululloh langsung Sholat tanpa berwudhu lagi. Ulama dari Mahzab Iman Syafi’i berpendapat bahwa itu adalah kekhususan dari Alloh untuk Baginda Nabi. Dan ada pula yang berpendapat bahwa Hadist tersebut ada sebelum turunnya Ayat Al Qur’an  yang melarangnya, setelah turun ayat Al Qur’an yang melarangnya, Rasululloh tidak melakukannya lagi.

Harom kita Shalat saat kita menanggung hadast kecil ataupun hadast besar dan kita belum berwudhu. Baik itu shalat Sunnah maupun wajib, Sujud Syukur, Sujud Tilawah dan Tawaf (baik tawaf rukun, tawaf sunnah ataupun tawaf wada). Tawaf kedudukannya sama dengan Shalat, hanya bedanya Shalat tidak boleh berbicara, sedangkan Tawaf boleh bicara, akan tetapi jika kita berbicara saat tawaf hendaknya bicara yang baik-baik, tetapi kita rugi jika ini kita lakukan karena meninggalkan zikir kepada Alloh.

Dalam Sujud Syukur dan Sujud Tilawah harus dengan wudhu, karena makna kedua sujud tersebut sama dengan Shalat. Sering kita menyaksikan orang yang mendapat berita gembira ataupun memperoleh kemenangan dia langsung Sujud Syukur, tanpa wudhu, kadang tanpa menutup aurot dan tidak menghadap qiblat, sesungguhnya Sujud Syukur-nya tidak sah.

Menyentuh/membawa Al Qur’an tidak boleh tanpa wudhu, sedangkan membaca Al Qur’an boleh tanpa wudhu, akan tetapi nilai pahlanya tentu berbeda dengan yang memakai wudhu. Membalik-balik Al Qur’an dengan menggunakan kayu dibolehkan, karena hukumnya bukan membawa, tetapi dengan syarat membaliknya secara penuh tanpa tersentuh tangan. Tidak boleh membawa sesuatu yang di dalamnya ada tertulis tulisan Al Qur’an, seperti pada buku, papan tulis dll.

Dibolehkan/tidak haram membawa Tafsir Al Qur’an, asal huruf Tafsirnya lebih banyak dari pada Al Qur’an-nya dengan keyakinan. Jika diragukan bahwa huruf Al Qur’an-nya lebih banyak dari pada huruf Tafsir-nya atau sama antara huruf Al Qur’an dengan huruf Tafsir-nya, maka haram membawanya menurut pendapat dari Syech Romli. Akan tetapi menurut pendapat dari Syech Ibnu Hajjar dibolehkan/tidak haram bila yang diragukan adalah jumlahnya.

Ada seorang ulama Yaman yang mencoba menghitung huruf Al Qur’an dan huruf Tafsir pada “Kitab Tafsir Jalalain” dan setelah dihitung ternyata huruf Tafsir-nya lebih  banyak dari pada huruf Al Qur’an-nya meskipun perbedaannya hanya beberapa huruf saja. Pendapat yang mu’tamat (kuat) adalah jangan membawa Tafsir Jalalain tanpa wudhu.

Wali/orang tua/guru wajib mencegah anak yang belum Tam’yis untuk membawa Al Qur’an ataupun buku/papan yang bertuliskan Al Qur’an (meskipun hanya sebagian ayat saja) walaupun papannya berukuran besar semacam pintu, dibolehkan memegang bagian yang tidak ada tulisan Al Qur’annya. Akan tetapi Anak yang sudah Tam’yis dibolehkan memegang Al Qur’an karena adanya suatu hajad, misalnya untuk mempelajarinya.


Hendaknya kamu memperbaharui wudhu setiap akan melaksanakan shalat fardhu, meskipun kita masih dalam keadaan suci (belum batal wudhu).


Niat untuk memperbaharui wudhu berbeda dengan niat wudhu karena berhadas. Apabila kita berwudhu karena berhadas maka niatnya adalah: “Nawaitul wudhua’ lirobbhil hadasil asgor ada’ lilahitaala”. Sedangkan apabila kita berwudhu karena ingin memperbaharui kita punya wudhu, maka niatnya adalah: “Nawaitu tajidul wudhu ada’ lillahitaala”.

Alloh berpesan kepada Nabi Musa AS.: “Apabila kamu kena musibah dalam keadaan tidak berwudhu, maka jangan sesali diri dan menyalahkan orang lain.”

Wudhu banyak khasiat dan faedahnya. Salah satunya Wudhu adalah Silahul Mu’min (Senjatanya orang Mu’min),  musuh tidak akan mendekat apabila seseorang memiliki senjata. Syech Sa’roni berkata: “Hendaknya kamu menjaga punya wudhu, agar kamu menjadi orang ahli kasyaf (dapat melihat apa-apa yang terhalang oleh mata biasa). 

Pada saat Baginda Nabi Muhammad SAW. sedang bermi’raj, di surga Nabi mendengar suara sandal atau terompah, kemudian Nabi bertanya kepada Malikat Jibril AS.:  “Suara apakah itu wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Suara itu adalah terompah salah seorang sohabatMu yang bernama Bilal.” Nabi heran amalan apakah yang dilakukan Bilal sehingga mendapatkan kemulyaan seperti itu. Dilain waktu Nabi bertanya kepada Sohabat  Bilal: “Wahai Bilal amalan apakah yang engkau harapkan akan diterima di sisi Alloh SWT?” Bilal kemudian menjawab: “Tidak ada amalan yang sangat Aku harapkan diterima Alloh kecuali dengan menjaga Aku punya wudhu dan shalat sunnah 2 raka’at sesudahnya.”

Ada seorang lelaki datang menjumpai Syech Hasan As Syatiri, orang tersebut mengutarakan maksudnya ingin mempelajari ilmu kimia untuk mendulang emas. Maka Syech Hasan As Syatiri menganjurkannya untuk bermukim selama 1 tahun disekitar tempat tinggal beliau dan menjaga wudhunya. Setelah 1 tahun kemudian orang tersebut pergi menimba air untuk berwudhu, bukannya air yang didapat melainkan emas dan perak yang ada dalam ember. Orang laki-laki tersebut menuang kembali emas dan perak kedalam sumur, kemudian dia memasukkan ember kembali kedalam sumur, tetapi begitu ditarik ternyata isinya tetap sama, yaitu emas dan perak, bukan air. Kemudian lelaki tersebut menjumpai Syech Hasan As Syatiri dan menceritakan tentang peristiwa tersebut, kemudian Syech Hasan As Syatiri berkata: “Tujuan kamu menemuiku pada awalnya adalah untuk mempelajari ilmu kimia untuk kau gunakan mendulang emas, sekarang dalam tubuhmu telah meresap ilmu kimia dari sebab kamu menjaga punya wudhu.
Pada akhirnya orang lelaki tersebut menjadi juru da’wah, ia melupakan cita-citanya atau keinginannya semula. Dengan menjaga wudhu menjadikannya sebagai seorang ahli zuhud (berpaling dari kemewahan dunia).  

Hendaknya kamu berwudhu setiap akan membaca Al Qur’an (meskipun dapat membaca Al Qur’an tanpa wudhu dengan tidak menyentuhnya),  membaca Dzikir, menuntut ilmu, membaca kitab dan lain-lain.

Jalankan sunnah Nabi dalam berwudhu dan mandi, seperti niat dan membaca doa. Pada hari Jum’at disunnahkan mandi menjelang hadir pada shalat Jum’at atau mandi pada pagi hari di hari Jum’at apabila tidak memungkinkan mandi menjelang shalat Jum’at. Jangan lupa membaca niat agar kita mendapat pahala sunnah.
 

CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar