Pokok
Bahasan : FIQIH
Judul : Wudhu
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Dalam
melakukan wudhu harus dilakukan secara tertib (berurutan). Bila ragu ada
anggota badan yang belum terbasuh setelah selesai wudhu, maka wudhu tidak perlu
diulang. Keyakinan yang awal tidak dapat dikalahkan dengan keraguan yang timbul
kemudian.
Apabila
ragu sebelum selesai wudhu, maka wajib ia mengulang untuk rukun wudhu yang
tertinggal. Misalkan ia terlupa belum membasuh tangan, maka segera ia membasuh
tangan, kemudian baru membasuh kepala, meskipun ia yakin bahwa tadi telah
membasuh kepala, karena wudhu itu wajib tertib.
Sunnah-sunnah
Wudhu:
-
Membaca
bismillah sewaktu membasuh tangan.
“Tidak sah shalat orang yang tanpa
wudhu, dan tidak sempurna wudhu seseorang bagi yang tidak membaca “bismillah”
(HR. Ahmad & Abu Daud)
-
Niatkan
sunnah sewaktu membasuh tangan, tanpa niat maka sunnah yang kita kerjakan tidak
ada pahlanya.
-
Bersiwak
sebelum berkumur atau dengan benda keras lainnya seperti sapu tangan, lengan
baju dll. Kecuali bagi orang yang berpuasa setelah terbitnya matahari, karena
bersiwak tersebut akan menghilangkan bau mulut, sebab Alloh sangat menyukai
bau mulut orang yang berpuasa.
“Andaikan aku tidak takut memberatkan
umatku untuk bersiwak, niscaya aku wajibkan umatku untuk bersiwak.” (Hadist)
Dalam
Mahzab Imam Safi’i bertemunya/bersentuhan dua kulit lelaki dan perempuan yang
sudah dewasa (aqil balig) dan bukan mahromnya adalah batal. Jika menurut Mahzab
Imam Hanafi tidak batal. Dan menurut Mahzab Imam Maliki tidak batal asal dengan
syarat tidak ada syahwat diantara keduanya.
Dalam
sebuah Hadist Soheh meriwayatkan bahwa Rasululloh pernah mencium istrinya yaitu
Syaidatuna Aisah, kemudian Rasululloh langsung Sholat tanpa berwudhu lagi.
Ulama dari Mahzab Iman Syafi’i berpendapat bahwa itu adalah kekhususan dari Alloh
untuk Baginda Nabi. Dan ada pula yang berpendapat bahwa Hadist tersebut ada
sebelum turunnya Ayat Al Qur’an yang
melarangnya, setelah turun ayat Al Qur’an yang melarangnya, Rasululloh tidak
melakukannya lagi.
Harom
kita Shalat saat kita menanggung hadast kecil ataupun hadast besar dan kita
belum berwudhu. Baik itu shalat Sunnah maupun wajib, Sujud Syukur, Sujud
Tilawah dan Tawaf (baik tawaf rukun, tawaf sunnah ataupun tawaf wada). Tawaf
kedudukannya sama dengan Shalat, hanya bedanya Shalat tidak boleh berbicara,
sedangkan Tawaf boleh bicara, akan tetapi jika kita berbicara saat tawaf
hendaknya bicara yang baik-baik, tetapi kita rugi jika ini kita lakukan karena
meninggalkan zikir kepada Alloh.
Dalam
Sujud Syukur dan Sujud Tilawah harus dengan wudhu, karena makna kedua sujud
tersebut sama dengan Shalat. Sering kita menyaksikan orang yang mendapat berita
gembira ataupun memperoleh kemenangan dia langsung Sujud Syukur, tanpa wudhu,
kadang tanpa menutup aurot dan tidak menghadap qiblat, sesungguhnya Sujud
Syukur-nya tidak sah.
Menyentuh/membawa
Al Qur’an tidak boleh tanpa wudhu, sedangkan membaca Al Qur’an boleh tanpa
wudhu, akan tetapi nilai pahlanya tentu berbeda dengan yang memakai wudhu.
Membalik-balik Al Qur’an dengan menggunakan kayu dibolehkan, karena hukumnya
bukan membawa, tetapi dengan syarat membaliknya secara penuh tanpa tersentuh
tangan. Tidak boleh membawa sesuatu yang di dalamnya ada tertulis tulisan Al
Qur’an, seperti pada buku, papan tulis dll.
Dibolehkan/tidak
haram membawa Tafsir Al Qur’an, asal huruf Tafsirnya lebih banyak dari pada Al
Qur’an-nya dengan keyakinan. Jika diragukan bahwa huruf Al Qur’an-nya lebih
banyak dari pada huruf Tafsir-nya atau sama antara huruf Al Qur’an dengan huruf
Tafsir-nya, maka haram membawanya menurut pendapat dari Syech Romli. Akan
tetapi menurut pendapat dari Syech Ibnu Hajjar dibolehkan/tidak haram bila yang
diragukan adalah jumlahnya.
Ada
seorang ulama Yaman yang mencoba menghitung huruf Al Qur’an dan huruf Tafsir
pada “Kitab Tafsir Jalalain” dan setelah dihitung ternyata huruf Tafsir-nya
lebih banyak dari pada huruf Al
Qur’an-nya meskipun perbedaannya hanya beberapa huruf saja. Pendapat yang
mu’tamat (kuat) adalah jangan membawa Tafsir Jalalain tanpa wudhu.
Wali/orang
tua/guru wajib mencegah anak yang belum Tam’yis untuk membawa Al Qur’an ataupun
buku/papan yang bertuliskan Al Qur’an (meskipun hanya sebagian ayat saja)
walaupun papannya berukuran besar semacam pintu, dibolehkan memegang bagian
yang tidak ada tulisan Al Qur’annya. Akan tetapi Anak yang sudah Tam’yis
dibolehkan memegang Al Qur’an karena adanya suatu hajad, misalnya untuk
mempelajarinya.
Hendaknya
kamu memperbaharui wudhu setiap akan melaksanakan shalat fardhu, meskipun kita
masih dalam keadaan suci (belum batal wudhu).
Niat
untuk memperbaharui wudhu berbeda dengan niat wudhu karena berhadas. Apabila
kita berwudhu karena berhadas maka niatnya adalah: “Nawaitul wudhua’ lirobbhil
hadasil asgor ada’ lilahitaala”. Sedangkan apabila kita berwudhu karena ingin
memperbaharui kita punya wudhu, maka niatnya adalah: “Nawaitu tajidul wudhu
ada’ lillahitaala”.
Alloh
berpesan kepada Nabi Musa AS.: “Apabila kamu kena musibah dalam keadaan tidak
berwudhu, maka jangan sesali diri dan menyalahkan orang lain.”
Wudhu
banyak khasiat dan faedahnya. Salah satunya Wudhu adalah Silahul Mu’min
(Senjatanya orang Mu’min), musuh tidak
akan mendekat apabila seseorang memiliki senjata. Syech Sa’roni berkata:
“Hendaknya kamu menjaga punya wudhu, agar kamu menjadi orang ahli kasyaf (dapat
melihat apa-apa yang terhalang oleh mata biasa).
Pada
saat Baginda Nabi Muhammad SAW. sedang bermi’raj, di surga Nabi mendengar suara
sandal atau terompah, kemudian Nabi bertanya kepada Malikat Jibril AS.: “Suara apakah itu wahai Jibril?” Jibril
menjawab: “Suara itu adalah terompah salah seorang sohabatMu yang bernama
Bilal.” Nabi heran amalan apakah yang dilakukan Bilal sehingga mendapatkan
kemulyaan seperti itu. Dilain waktu Nabi bertanya kepada Sohabat Bilal: “Wahai Bilal amalan apakah yang engkau
harapkan akan diterima di sisi Alloh SWT?” Bilal kemudian menjawab: “Tidak ada
amalan yang sangat Aku harapkan diterima Alloh kecuali dengan menjaga Aku punya
wudhu dan shalat sunnah 2 raka’at sesudahnya.”
Ada
seorang lelaki datang menjumpai Syech Hasan As Syatiri, orang tersebut
mengutarakan maksudnya ingin mempelajari ilmu kimia untuk mendulang emas. Maka
Syech Hasan As Syatiri menganjurkannya untuk bermukim selama 1 tahun disekitar
tempat tinggal beliau dan menjaga wudhunya. Setelah 1 tahun kemudian orang
tersebut pergi menimba air untuk berwudhu, bukannya air yang didapat melainkan
emas dan perak yang ada dalam ember. Orang laki-laki tersebut menuang kembali
emas dan perak kedalam sumur, kemudian dia memasukkan ember kembali kedalam
sumur, tetapi begitu ditarik ternyata isinya tetap sama, yaitu emas dan perak,
bukan air. Kemudian lelaki tersebut menjumpai Syech Hasan As Syatiri dan
menceritakan tentang peristiwa tersebut, kemudian Syech Hasan As Syatiri
berkata: “Tujuan kamu menemuiku pada awalnya adalah untuk mempelajari ilmu
kimia untuk kau gunakan mendulang emas, sekarang dalam tubuhmu telah meresap
ilmu kimia dari sebab kamu menjaga punya wudhu.
Pada
akhirnya orang lelaki tersebut menjadi juru da’wah, ia melupakan cita-citanya
atau keinginannya semula. Dengan menjaga wudhu menjadikannya sebagai seorang
ahli zuhud (berpaling dari kemewahan dunia).
Hendaknya
kamu berwudhu setiap akan membaca Al Qur’an (meskipun dapat membaca Al Qur’an
tanpa wudhu dengan tidak menyentuhnya),
membaca Dzikir, menuntut ilmu, membaca kitab dan lain-lain.
Jalankan
sunnah Nabi dalam berwudhu dan mandi, seperti niat dan membaca doa. Pada hari
Jum’at disunnahkan mandi menjelang hadir pada shalat Jum’at atau mandi pada
pagi hari di hari Jum’at apabila tidak memungkinkan mandi menjelang shalat
Jum’at. Jangan lupa membaca niat agar kita mendapat pahala sunnah.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar