Pokok
Bahasan : FIQIH
Judul : I’tiqaf
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Ada
beberapa alasan pengarang kitab membahas masalah I’tiqaf setelah membahas
masalah puasa, yaitu:
-
Karena
I’tiqaf adalah pengiring puasa.
-
Karena
dalam puasa I’tiqaf adalah termasuk sunnah mu’akadah.
-
Karena
tujuan puasa dan I’tiqaf adalah satu yaitu mencegah diri dari menuruti
keinginan hawa nafsu.
-
Karena
yang membatalkan puasa dan yang membatalkan I’tiqaf adalah sama, yaitu bila
datangnya haid dan nifas bagi perempuan dan keluarnya mani bagi laki-laki akan
membatalkan puasa, maka begitu pula halnya dengan I’tiqaf. Bagi perempuna yang
sedang I’tiqaf kemudian ia mengalami haid atau nifas dan laki-laki keluar mani
maka batal pula I’tiqafnya.
-
Alasan
berikutnya karena disunnahkan orang yang I’tiqaf untuk berpuasa.
Menurut
Bahasa (Lughot):
Orang yang melazimkan dalam melakukan sesuatu baik pekerjaan yang baik ataupun
pekerjaan yang tidak baik maka disebut I’tiqaf, sekalipun pekerjaan tersebut
bukan di lakukan di masjid.
Akan
tetapi menurut Syara’: Orang yang
dihukumkan I’tiqaf adalah orang yang berada di masjid. Masjid adalah suatu
tempat yang diwaqafkan seseorang untuk dijadikan masjid. Masjid tidak harus berbentuk
bangunan. Tanah lapang sekalipun bisa disebut masjid bila diketahui
batas-batasan waqafnya secara jelas, bila tidak diketahui batasan-batasan
waqafnya maka tidak sah bila I’tiqaf di tempat tersebut.
I’tiqaf
harus diawali dengan niat. Meskipun duduk berjam-jam di masjid bila tidak ada
niat I’tiqaf, maka tidak ada pahala I’tiqaf baginya. Andaikata seseorang masuk
ke dalam masjid, dan ia mempunyai tempat yang dituju, maka syarat niatnya di
takhirkan saat ia sampai di tempat yang ditujunya, bukan saat ia memasuki
masjid. Bila ia berniat saat memasuki masjid (sambil berjalan), maka niat
I’tiqafnya tidak sah.
Sah-lah
I’tiqaf seseorang bila ia berniat saat ia telah sampai di tempat yang dituju,
karena antara niat dan pekerjaan harus berbarengan.
Niatkan
terlebih dahulu niat wajib, agar mendapatkan pahala double. Niat wajibnya
yaitu: “LILLAHI ALAYA ANTA’QIFAL FI HADZAL MASJIDI
MA’ DUMTU FIHI.” Artinya:
“Aku wajibkan atas diriku untuk I’tiqaf di ini masjid selama aku berada di
dalamnya.”
Kemudian
baru niat I’tiqaf, yaitu: “ NAWAITU I’TIQAF
FI HADZAL MASJIDI
MA’ DUMTU FIHI.” Artinya:
“Aku niat I’tiqaf di ini masjid selama aku berada di dalamnya.”
Dasar
hukum di sunnahkannya I’tiqaf: “Jangan
kau gauli istri-istrimu saat berada di dalam masjid.” Nabi melakukan I’tiqaf pada 10 hari terakhir
di bulan Ramadhan. I’tiqaf bukan hanya syari’at Nabi Muhammad saja, tetapi
Nabi-nabi sebelumnya pun melakukan I’tiqaf seperti halnya dengan ibadah Haji.
Syarat-syarat
yang boleh melakukan I’tiqaf adalah: muslim, mumayis, tidak sedang haid atau nifas atau menanggung hadast
besar. I’tiqaf adalah Sunnah Nabi dan dituntut bagi kita untuk
mengerjakannya, apakah pada waktu siang ataupun malam.
Hadist Nabi: “Siapa orang yang berjalan memenuhi hajad
saudaranya, pahalanya lebih baik dari pada I’tiqaf di masjid selama 10 tahun.”
Dalam
hadist yang lain Nabi bersabda: “Siapa orang yang I’tiqaf di masjid hanya 1
hari saja untuk mencari Ridho Alloh, maka Alloh menciptakan 3 parit yang
memisahkannya dari api neraka. 1 parit jaraknya antara Timur (Masriq) dengan
Barat (Maghrib). Jika kita melakukannya selama 2 hari, maka seperti kita
melakukan ibadah Haji & Umroh sebanyak 2 kali.”
I’tiqaf
boleh dilakukan diwaktu makruh, baik disaat puasa ataupun tidak puasa. Bila
kita tujuannya hanya untuk menumpang lewat masjid saja, maka tidak sah
I’tiqafnya. I’tiqaf pada 10 hari yang terakhir di bulan Ramadhan pahlanya lebih
utama dari pada 10 hari di awal bulan ataupun 10 hari di pertengahan bulan.
Ataupun nilai pahlanya juga akan berbeda bila dilakukan selain di bulan
Ramadhan.
Tujuan
I’tiqaf pada 10 hari yang terakhir di bulan Ramadhan adalah untuk mendapatkan
Malam Lailatul Qodar, maka dianjurkan menghidupkannya dengan bermacam-macam
ibadah seperti Shalat Sunnah, Dzikir, Tilawatil Qur’an dll. Meskipun kita tidak
menyaksikan Malam Lailatul Qodar, tetapi kita dihukumkan mendapatkan keutamaan
Malam Lailatul Qodar.
Kita
sangat diajurkan (disunnahkan) untuk melaksanakan I’tiqaf pada bulan puasa,
wabil khusus pada malam-malam yang diyakini akan terjadinya Malam Lailatul
Qodar. Malam Lailatul Qodar menurut pendapat Imam Syaifi’i RA.: “Terkurung atau
terbatas pada 10 malam yang terakhir di bulan Ramadhan ( tanggal 21 sampai
malam akhir bulan Ramadhan).”
Maka
tiap-tiap malam pada 10 yang terakhir, ada mengandung kemungkinan terjadinya
Malam Lailatul Qodar, tidak mesti pada malam-malam ganjil (malam 21, 23, 25, 27
atau 29), akan tetapi pada malam-malam yang ganjil lebih diharapkan datangnya
Malam Lailatul Qodar. Dan dari malam-malam ganjil pada 10 hari yang terakhir
ada malam yang paling sangat diharapkan terjadinya Malam Lailatul Qodar yaitu
pada malam 21, sebagaimana disebutkan dalam Hadist Bukhari & Muslim.
Sedangkan Hadist yang di riwayatkan oleh Imam Muslim mengatakan bahwa Malam
Lailatul Qodar sangat diharapkan terjadi pada malam 23.
Dan
telah memilih Imam Syafi’i beliau melazimkan menetap bahwa Malam Lailatul Qodar
pada malam 21 dan 23 dan tidak berpindah-pindah ke malam-malam lainnya. Dan
menurut Jumhur (Mayoritas) Ulama/Fukoha mereka melazimkan malam-malam tertentu
pada 10 hari yang terakhir. Bersalahan dengan pendapat Imam Syafi’i yang
pertama, bahwa pendapat dari Jumhur (Mayoritas) Ulama mengatakan bahwa pendapat
mereka sama dengan pendapat dari Imam Syafi’i. Jadi Jumhur Ulama berpendapat bahwa
pendapat mereka sama dengan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa Malam
Lailatul Qodar ada pada 10 hari yang terakhir.
Pendapat
yang mu’tamat adalah pendapat yang mengatakan bahwa Malam Lailatul Qodar tidak
keluar dari malam 10 yang terakhir, bisa salah satu dari malam tanggal 21
sampai malam terakhir bulan Ramadhan. Malam yang ada padanya Malam Lailatul
Qodar sejak di zaman Nabi masih ada, tidak pernah berpindah dari malam 10 yang
terakhir di bulan Ramadhan sampai sekarang.
Berkata
Ibrahim dan juga Hujaimah bahwa Malam Lailatul Qodar berpindah-pindah tiap
tahun (tidak menetap pada malam tertentu), tetapi masih berada pada malam 10
yang terakhir di bulan Ramadhan.
Berkata
Ibnu Abbas RA. dan Ubay bahwa Malam Lailatul Qodar ada pada malam 27 Ramadhan,
pendapat ini adalah pendapat/perkataan dari Syaidina Umar Ibnu Khotob. Malam 27
adalah pendapat kebanyakan ahli Ilim (orang-orang berilmu).
Pendapat-pendapat
tentang Malam Lailatul Qodar banyak sekali, sampai lebih dari 30
pendapat-pendapat ulama. Ada pendapat yang menyebutkan:
-
Jika
awal Ramadhan dimulai pada hari Jum’at, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan
kuatnya akan jatuh pada malam 29 Ramadhan.
-
Jika
awal Ramadhan dimulai pada hari Sabtu, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan
kuatnya akan jatuh pada malam 21 Ramadhan.
-
Jika
awal Ramadhan dimulai pada hari Ahad/Minggu, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan
kuatnya akan jatuh pada malam 27 Ramadhan.
-
Jika
awal Ramadhan dimulai pada hari Senin, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan
kuatnya akan jatuh pada malam 29 Ramadhan
-
Jika
awal Ramadhan dimulai pada hari Selasa, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan
kuatnya akan jatuh pada malam 25 Ramadhan.
-
Jika
awal Ramadhan dimulai pada hari Rabu, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan
kuatnya akan jatuh pada malam 27 Ramadhan.
-
Jika
awal Ramadhan dimulai pada hari Kamis, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan
kuatnya akan jatuh pada malam 21 Ramadhan.
Diantara
alamat-alamat akan datangnya Malam Lailatul Qodar:
-
Pada
pagi harinya udara tidak terasa panas dan juga tidak terasa dingin.
-
Pada
pagi harinya matahari terbit dengan cahaya tidak banyak (redup).
-
Tidak
ada gonggongan anjing di pagi harinya.
-
Dimalam
Lailatul Qodar jika orang kafir berhubungan badan, maka nutfah (sperma)nya
tidak menjadi anak.
Faedah
kita mengetahui alamat-alamat datangnya Malam Lailatul Qodar adalah agar kita
bersungguh-sungguh dalam beribadah pada malam harinya. Pada malam harinya kita
disunnahkan/ dianjurkan untuk memperbanyak ucapan: “Allohuma innaka afu’un
karim tuhibbul afwaa fa’fuani.” Artinya: “Engkau Maha Pema’af lagi Maha
Pemurah, Yang suka mema’afkan, maka Ma’afkanlah aku.”
Disunnahkan
untuk orang yang mendapatkan Malam Lailatul Qodar agar tidak usah dibicarakan/
diberitahukan kepada orang lain, hendaknya disembunyikan, ini merupakan
kemulyaan yang Alloh berikan, karomah mesti disembunyikan jangan disebarkan/
diberitahukan kepada orang lain.
Umar
Muhdor bin Abdurrahman Assegaf mempunyai karomah yang luar biasa, bila ia
berdoa maka doanya cepat sekali di khobulkan Alloh, beliaupun meninggal dalam
keadaan sujud kepada Alloh. Dalam suatu kisoh, keluarganya akan melaksanakan
perjalanan cukup jauh, karena sangat sayangnya ia kepada keluarganya maka ia
berkata akan menyiapkan kendaraan yang kecepatannya melebihi cepatnya kilat. Mendengar
perkataannya, keluarganya sangat senang. Akan tetapi pada akhirnya ia berfikir
bahwa datuk-datuknya (kakek-kakeknya) seperti Habib Abdurrahman Assegaf Maula
Dawillah, karomahnya jelas lebih tinggi darinya, tetapi mereka tidak
menunjukkan karomahnya, sehingga pada akhirnya ia membatalkan niatnya.
Akan
tetapi pada zaman sekarang, bukanlah wali tetapi menempatkan/ mencitrakan
dirinya sebagai wali, ngomongnya aneh-aneh, perilakunya aneh-aneh, pakaiannya
aneh-aneh, jangan tertipu oleh mereka. Pada umumnya ulama-ulama menyembunyikan
karomahnya.
Terjadinya
Malam Lailatul Qodar itu secepat kilat, kecepatannya semacam kilat yang
menyambar. Orang dianjurkan untuk menghidupkan diantara 2 (dua) Isya. Isya awal
adalah sebutan untuk waktu Maghrib, sedangkan sebutan untuk Isya akhir adalah
waktu Isya itu sendiri. Siapa orang yang shalat berjama’ah pada Isya akhir
(Shalat Isya) di bulan Ramadhan pada Malam Lailatul Qodar, maka dia telah
dihukumkan mendapatkan Malam Lailatul Qodar.
Untuk
sahnya I’tiqaf seseorang ada 2 syarat atau 2 rukun, bahkan ada yang mengatakan
4 syarat sebagai syarat sahnya I’tiqaf.
1. Harus Ada Niat
Setiap ibadah harus di dahului dengan
niat, niat itu letaknya di dalam hati. Adapun ucapan lafadz-nya secara lisan
adalah untuk membantu kita punya hati. Tidak sah ibadah tanpa di awali dengan
niat, ibadah yang tanpa di awali dengan niat, maka akan kosong dari nilai
pahala. Alangkah baiknya saat kita akan masuk ke masjid, maka kita wajibkan
atas diri kita I’tiqaf. Kita niatkan I’tiqaf wajib-nya: “Lillahi allaya an a’taqifa fi
hadzal masjidi.” ( Aku wajibkan atas diriku I’tiqaf di ini
masjid.) Baru kemudian kita niatkan I’tiqaf: “Nawaitul I’tiqafa fi hadzal
masjidi maa dumtu fihi.” (Aku niat I’tiqaf di ini masjid selama aku
berada di dalamnya). Kita niatkan wajib karena untuk menambahkan nilai
pahala. Karena antara ibadah yang sunnah dengan ibadah yang wajib sangat
berbeda nilainya. Maka untuk menambah nilai pahala, maka perlu kita niatkan
wajib. Hidup di dunia hanya singkat, maka pergunakan waktu semaksimal mungkin
untuk memperoleh nilai pahala sebanyak-banyaknya untuk bekal kita di akhirat
kelak. Orang yang mempunyai nazar untuk I’tiqaf di masjid, maka dia harus niat
fardu untuk I’tiqaf-nya. “Nawaitul Fardu I’tiqafa fi hadzal masjidi
maa dumtu fihi.” Bila dia tidak
niatkan fardu, maka ia masih punya tanggungan/ utang nazar yang belum di
bayarkan. Misalkan dia punya nazar akan I’tiqaf bila tanah/rumahnya laku
terjual, maka bila tanah/rumahnya laku terjual, maka ia harus membayar
nazarnya. Akan tetapi nazar untuk melakukan ibadah karena mengharapkan agar Alloh
mengabulkannya keinginannya, adalah ciri dari orang yang kikir, kata Imam
Gozali. Tidak usah bernazar akan ber-shodaqoh atau mengeluarkan amal jariah
jika doanya terkabul. Yang terbaik adalah keluarkan shodaqoh/beramal terlebih
dahulu, maka Insya Alloh apa yang kita niatkan tercapai. “Jika ingin memancing/
mendapatkan sesuatu yang besar, maka
hendanya pergunakan umpan yang besar/bagus pula.” Mengapa orang yang nazar
harus meniatkan wajib, karena untuk membedakan dengan I’tiqaf yang sunnah. Bila
kita hanya mengucapkan: “Nawaitul I’tiqafa fi hadzal masjidi maa
dumtu fihi,” maka itu hanya niat
untuk I’tiqaf yang sunnah saja. Nazar harus dibayar sebagaimana janji. I’tiqaf
nazar tidak perlu terlalu lama, semenit atau dua menit sudah menggurkan
kewajiban, tidak perlu berjam-jam ataupun seharian.
2. Menetap di Masjid
Syarat I’tiqaf yang berikutnya adalah
menetap di masjid, akan tetapi menetapnya tidak harus diam, boleh bolak-balik,
tetapi masih berada di dalam masjid. Bukan sekedar melintas dari depan masjid
ke belakang masjid. I’tiqaf dapat dilakukan dengan diam/duduk tenang di satu
tempat atau boleh bolak-balik asal masih berada di dalam masjid.
Disunnahkan bagi orang yang melintasi
masjid, karena misalkan untuk memasuki rumahnya dia harus melewati dalam masjid
(bukan lewat di depan masjid), maka raih kesempatan mendapatkan pahala dengan
niat I’tiqaf. Lewat tetapi ia harus berhenti sejenak, berhentinya harus
melebihi dari sekedar sekurang-kurangnya kadar tuma’nina dalam shalat, yaitu
ucapan SubhanAlloh. Bila sewaktu lewat di masjid dia niat I’tiqaf, tetapi dia
tidak berhenti atau dia berhenti tetapi hanya sekedar tuma’nina shalat (ucapan:
SubhanAlloh), maka tidak sah niat I’tiqafnya. Dia harus berhenti lebih dari
sekedar ucapan SubhanAlloh, misalnya mengucapkan: “SubhanAlloh Rabbial a’la
Wabihamdihi.” (3x). Sebenarnya sekali saja sudah cukup, tidak membacapun di
bolehkan, akan tetapi jangan tinggalkan mengucapkan sekurang-kurangnya 3x,
tidak semua yang boleh, pantas untuk dikerjakan. Seperti halnya shalat sunnah
witir, dibolehkan mengerjakan sekurang-kurangnya 1 rakaat, tetapi makruh untuk
dikerjakan, karena dapat berakibat tertolaknya kita punya syahadat. Jadi jangan
sekedar boleh atau halal dikerjakan. Majlis Ta’lim adalah tempat ilmiah,
perkara yang boleh dikerjakan di bahas di sini, tetapi kita kembalikan kembali
pada diri kita apakah perkara yang dibolehkan tersebut pantas untuk kita
kerjakan?
3. Dilakukan di Masjid
Syarat sah-nya I’tiqaf adalah di
masjid, baik yang jami ataupun yang qhoiro jami (semacam: mushola). Tetapi
lebih afdolnya di masjid jami untuk menghindari keluar dari Khilaful Ulama
(Perbedaan Pendapat Ulama) yang mewajibkan I’tiqaf di masjid jami. Tidak sah
I’tiqaf di selain masjid, semacam pondok pesantren, madrasah, majlis ta’lim
ataupun tempat-tempat shalat Id (semacam lapangan). Ada pendapat yang
menyatakan, bila ada perempuan yang menyiapkan tempat khusus untuk shalat di
rumahnya, maka dia boleh I’tiqaf di tempat itu. Apalagi zaman sekarang banyak
fitnah, maka sebaiknya perempuan jangan I’tiqaf di masjid-masjid. Ada
ulama-ulama yang mewakafkan tempat shalatnya di rumah dengan cara memaku
ujung-ujung sajadahnya dan diniatkan mewakafkan ini tempat sebagai wakaf untuk
shalat. Akan tetapi yang di niatkan wakaf adalah sajadahnya bukan tanahnya.
Karena tanah yang sudah di wakafkan tidak boleh dijual dengan alasan apapun,
karena wakaf sudah menjadi haq Alloh.
Emperan/pinggiran masjid yang sudah
ada sejak awal dibangunnya masjid, maka masih masuk dalam bagian dari masjid.
Sayap masjid, talang air, tempat keluar masuk udara masjid, maka boleh kita
I’tiqaf di tempat-tempat tersebut. Bila di dalam masjid ada pohon yang cabang
atau ranting pohonnya ada yang keluar dari masjid, maka kita boleh I’tiqaf di
cabang/ ranting pohon tersebut. Tetapi bangunan tambahan yang merupakan
perluasan, maka tidak termasuk bagian dari masjid.
Menganjurkan Imam Syafi’i R.A. kepada
para pengikutnya agar mengerjakan I’tiqaf sekedar selama 1 hari, untuk keluar
dari Hilaful Ulama yang mewajibkan tentang syaratnya I’tiqaf selama 1 hari.
Imam Syafi’i sangat menghargai dan menghormati pendapat orang lain, beliau
tidak menyalahkan pendapat orang lain dan tidak mengkafirkan pendapat orang
lain.
4. Orang yang I’tiqaf ( Mu’taqif )
Dapat dilihat bentuk dari I’tiqaf
apabila ada orang yang melakukan I’tiqaf itu sendiri. Sehingga pengarang kitab
ini memasukkan orang yang I’tiqaf (Mu’taqif) kedalam salah satu rukun dari
I’tiqaf. Karena ketiadaan bentuk gambaran dari I’tiqaf yang nyata yang dapat
dilihat, bila tidak ada orang yang melakukan I’tiqaf. Seperti halnya dengan
puasa, tiada yang dapat melihat bentuk dari puasa.
Syarat
orang yang dapat melakukan I’tiqaf :
1. Orang Islam
Sejak ia mulai I’tiqaf, ia sudah
Islam, bukan ia masuk masjid terlebih dahulu, baru kemudian masuk Islam. Tetapi
sejak masuk masjid ia sudah menjadi orang Islam dan sampai akhir dia I’tiqaf ia
masih dalam keadaan Islam. Bila ditengah I’tiqaf-nya ia murtad (keluar dari
agama Islam), maka batAlloh I’tiqaf-nya.
2. Berakal &
Tam’yis
Tam’yis adalah anak kecil yang belum
baliq, tetapi ia sudah dapat membedakan mana yang baik? Mana yang buruk? Mana
yang kanan? mana yang kiri? Dapat beristinja sendiri, makan/ minum sendiri.
Anak umur 7 tahun biasanya sudah dapat dikatakan tam’yis. Bila anak yang sudah
tam’yis melakukan I’tiqaf, maka sah niat I’tiqaf-nya.
3. Bersih dari
Hadast Besar (Haid, Nifas & Jannabah)
Suci, bersih dan kosong dari hadast
besar adalah sebagai syarat dan sahnya I’tiqaf. Karena jika sedang Haid, Nifas,
ataupun menanggung Jannabah bukan hanya tidak sah ia punya I’tiqaf, tetapi
malah haram hukumnya berada di masjid.
Maka tidak sah niat I’tiqaf-nya
orang-orang kafir, karena syarat sah-nya I’tiqaf adalah harus beragama Islam.
Tidak sah pula niat I’tiqaf dari orang gila, karena salah satu syarat sah-nya
I’tiqaf adalah harus berakal dan tam’yis. Tidak sah niat I’tiqaf dari orang
yang sedang Haid, Nifas dan sedang Jannabah, karena salah satu syarat sah-nya
I’tiqaf adalah harus suci dari hadast besar.
Mengapa tidak sah I’tiqaf-nya orang
kafir? Karena tidak sah-nya niat orang kafir. Dan tidak sah pula niat-nya orang
yang gila/ hilang akal, meskipun niat-nya sama dengan niat kita. Mengapa tidak
sah niat I’tiqaf orang yang sedang Haid, Nifas dan Jannabah? Karena haram-nya
menetap di masjid bagi orang yang sedang menanggung hadast besar.
Andaikan orang yang sedang I’tiqaf
murtad (keluar dari agama Islam), karena apa saja, semacam menyembah patung
berhala, mengatakan bahwa Alloh ada 3 atau dia mabuk dengan sengaja, maka batAlloh
ia punya I’tiqaf. Batal I’tiqaf karena mabok adalah apabila ia tahu bahwa apa yang diminum/
dimakannya adalah minuman/ makanan yang memabukkan. Baik diminum/ dimakan
sebelum datang ke masjid atau saat sedang berada di masjid. Bila ia tidak
sengaja atau dia tidak tahu bahwa minuman/ makanan yang diminum/ dimakannya
adalah minuman/ makanan yang memabukkan, maka tidak membatalkan I’tiqaf-nya.
Dan tidak batal pula bila ia kehilangan akal, karena semacam ayan atau pingsan
saat sedang I’tiqaf.
Apabila orang ber-I’tiqaf nazar yang
tidak disangkutkan dengan waktu (jam/ hari), dia masih ada niat untuk tetap
I’tiqaf di situ, tetapi dia keluar dari masjid dengan tidak ada udzur, maka
putuslah dia punya I’tiqaf. Dan apabila dia ingin I’tiqaf kembali, maka dia
harus niat baru kembali. Terkecuali dia keluar dari masjid karena ada hajad manusia,
seperti ingin buang air kecil/ buang air besar dan semakna dengan itu, misalnya
karena melamun atau ia tertidur dan mimpi keluar manni dan ia keluar dengan
maksud mandi jannabah, tetapi mandi
jannabahnya bukan karena jannabah yang menyebabkan batal puasa, yaitu jannabah
karena mimpi yang menyebabkan ia keluar manni, ataupun karena timbul birahinya
sebab melihat atau membayangkan gambar-gambar yang merangsang ia punya birahi,
bukan karena bersetubuh. Atau ia keluar untuk makan/ minum atau ia ingin buang
angin (kentut), karena makruh hukumnya buang angin di masjid. Bila ada udzur
semacam itu, maka orang yang I’tiqaf (Mu’taqif) silahkan keluar dari masjid dan
tidak perlu tergesa-gesa atau cepat-cepat, keluarlah secara normal/ biasa,
karena hal itu tidak memutuskan niat I’tiqaf-nya.
Seorang perempuan yang keluar dari
I’tiqaf nazar karena ada udzur syar’i berupa haid ataupun nifas dan masa
I’tiqaf yang dilakukannya panjang, misalnya dia nazar I’tiqaf selama 1 bulan
ataupun selama 1 tahun, yang dalam masa I’tiqafnya itu tidak sunyi dari haid
(karena pada umumnya wanita yang belum monopuse akan mengalami haid setiap
bulannya) ataupun nifas (pada umumnya wanita hamil akan melahirkan setelah
kandungannya berusia 9 bulan), misalnya bila ia I’tiqaf saat sedang hamil tua.
Masa haid seorang perempuan paling cepat adalah 1 hari (24 jam), pada umumnya
selama 1 minggu (7 hari) dan paling lama 15 hari. Bila seorang perempuan
mengalami haid ataupun nifas saat ia belum selesai melaksanakan nazar
I’tiqafnya, maka ia harus segera keluar dari masjid, karena diharamkanya wanita
yang sedang haid ataupun nifas tetap berada di dalam masjid.
Apabila ia keluar dari masjid karena
ada udzur berupa sakit yang dideritanya yang tidak memungkinkan baginya untuk
melanjutkan I’tiqafnya, semacam penyakit ayan/ epilepsy, maka niat I’tiqafnya
tidak batal dan apabila ia telah sembuh dari penyakitnya, maka ia tinggal
meneruskan sisa I’tiqaf yang belum dijalankan. Alasan ia keluar dari masjid
karena cukup berat penyakitnya sehingga ia butuh tempat pembaringan/ tempat
tidur yang layak, ia butuh orang yang melayaninya, ia butuh akan tabib/ dokter,
ia khawatir akan mengotori masjid (semacam penyakit diare) atau dia tidak kuat
untuk menahan membuang air kecil.
Jika ia tidak keluar dari masjid meskipun
kondisi membolehkan dia untuk keluar dari masjid, maka masa sakitnya di dalam
masjid di hitung sebagai bagian dari I’tiqaf. Misalkan ia nazar I’tiqaf di
masjid selama 1 bulan, sedangkan dia baru melaksanakan I’tiqafnya selama 15
hari, kemudian ia sakit tetapi ia tetap berada di masjid selama 15 selanjutnya,
maka ia dihukumkan telah melunasi nazar I’tiqafnya.
Apabila ia keluar dari masjid karena
mengalami gila, maka putuslah ia punya I’tiqaf. Misalkan masih dalam kondisi
gila ia tetap berada di dalam masjid, tetap I’tiqafnya tidak di hitung. Karena
orang gila bukan ahli ibadah atau tidak layak untuk menjalankan ibadah.
Orang yang sedang melaksanakan
I’tiqaf nazar yang I’tiqafnya itu dikaitkan dengan waktu dan ia menderita sakit
yang berat yang sulit baginya untuk tetap berada di dalam masjid, maka
keluarnya ia dari masjid tidak menyebabkan batal I’tiqafnya. Apabila pada suatu
saat (setelah ia sembuh) ia ingin melanjutkan I’tiqafnya lagi, maka ia tinggal
meneruskan sisa waktu dari I’tiqaf nazar yang belum di jalankan.
Akan tetapi bila ia hanya mengalami
sakit yang ringan (pusing, demam yang ringan, gatal-gatal dan semacamnya) yang
sesungguhnya tidak memberatkan baginya untuk tetap berada di masjid, dan ia
tetap keluar dari masjid, maka batAlloh ia punya I’tiqaf. Bila ia kembali ke
masjid untuk melakukan I’tiqaf, maka ia harus memulainya kembali dari awal,
karena I’tiqaf yang telah dijalankannya sebelum ia keluar masjid tidak di
hitung bagian dari I’tiqaf nazarnya.
I’tiqaf juga dapat batal karena disebabkan
berhubungan badan antara suami-istri, baik yang dilakukan di masjid ataupun di
luar masjid. Ia melakukannya tidak dalam keadaan di paksa (keinginan sendiri),
saat melakukannya ia ingat bahwa ia sedang I’tiqaf dan ia tahu bahwa apa yang
dilakukannya haram dikerjakan saat sedang I’tiqaf.
Bersalahan halnya dengan jannabah
yang disebabkan karena melamun/ menghayal atau karena mimpi ataupun hubungan
badan yang terjadi karena di paksa ataupun hubungan badan yang terjadi karena
ia lupa ataupun jahil (tidak tahu), tetapi jahilnya adalah jahil yang ma’dzur
(jahil yang dimaaf), seperti ia baru masuk Islam, ia tinggal yang jauh dari
ulama atau ahli fiqih. Apabila terjadi yang hal demikian, maka tidak
membatalkan I’tiqafnya. Akan tetapi ia harus segera mandi jannabah (jangan di
tunda-tunda), bila ia menunda mandi jannabahnya, maka batAlloh I’tiqafnya.
Mu’taqif melakukan sesuatu yang
menyebabkan batalnya ia punya wudhu dan dilakukan dengan syahwat, maka batAlloh
ia punya I’tiqaf. Bila ia melakukannya tanpa syahwat, maka tidak batal
I’tiqafnya.
Bila ia dalam keadaan punya wudhu,
kemudian dia bermimpi/ berhayal yang menyebabkan ia keluar manni, maka batAlloh
ia punya wudhu dan I’tiqafnya. Sesuatu yang membatalkan wudhu juga akan
membatalkan I’tiqaf, bila dilakukannya dengan syahwat. Akan tetapi menyentuh
atau mencium istri tetap akan membatalkan wudhu baik dengan syahwat ataupun
tanpa syahwat.
Dalam suatu riwayat Nabi sehabis
mencium Aisyah RA., beliau langsung shalat tanpa berwudhu lagi. Menanggapi
riwayat ini para ulama dari mahzab Syafi’i berpendapat, bahwa hal ini adalah
kekhususan untuk Bagianda Nabi Muhammad saw. Dan ada juga yang berpendapat
bahwa Nabi melakukannya saat sebelum turunnya ayat Al Qur’an yang melarangnya,
setelah turunnya ayat, Nabi tidak melakukannya lagi.
Apabila seoarang mu’taqif mencium
atau memeluk istrinya tanpa syahwat dan tidak menyebabkan keluarnya manni, maka
hanya membatalkan wudhu (bila sebelumnya ia punya wudhu), tetapi tidak
membatalkan I’tiqafnya. Akan tetapi bila ia melakukannya hingga keluar manni,
maka batAlloh ia punya wudhu dan batal pula I’tiqafnya.
Bila ia melakukan hubungan
suami-istri baik dengan keluarnya manni ataupun tidak keluar manni, maka hal
tersebut tetap membatalkan I’tiqafnya.
Bila ia memandang/ menghayal dan pada
kebiasaannya tidak menyebabkan ia keluar manni, tetapi saat itu ia keluar
manni, maka hal itu tidak membatalkan I’tiqafnya. Akan tetapi bila ia
memandang/ menghayal yang pada kebiasaannya menyebabkan ia keluar manni dan ia tetap
melakukannya sehingga ia keluar manni, maka hal itu membatalkan I’tiqafnya.
Bila mu’taqif mencium tanpa syahwat
semacam ciuman kasih sayang (safaqoh), meskipun keluar manni, maka hal itu
tidak membatalkan I’tiqafnya. Ataupun ia mencium tanpa niat apapun, tetapi
tanpa syahwat, maka hal itu tidak membatalkan I’tiqafnya.
Sesuatu yang membatalkan puasa, maka
akan membatalkan I’tiqafnya. Dan sesuatu yang tidak membatalkan puasa, maka
tidak membatalkan I’tiqafnya pula.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan
permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum,
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar