Rabu, 15 Juli 2015

FIQIH - I’tiqaf



Pokok Bahasan     :  FIQIH
Judul                    :  I’tiqaf
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Ada beberapa alasan pengarang kitab membahas masalah I’tiqaf setelah membahas masalah puasa, yaitu:
-        Karena I’tiqaf adalah pengiring puasa.
-        Karena dalam puasa I’tiqaf adalah termasuk sunnah mu’akadah.
-        Karena tujuan puasa dan I’tiqaf adalah satu yaitu mencegah diri dari menuruti keinginan hawa nafsu.
-        Karena yang membatalkan puasa dan yang membatalkan I’tiqaf adalah sama, yaitu bila datangnya haid dan nifas bagi perempuan dan keluarnya mani bagi laki-laki akan membatalkan puasa, maka begitu pula halnya dengan I’tiqaf. Bagi perempuna yang sedang I’tiqaf kemudian ia mengalami haid atau nifas dan laki-laki keluar mani maka batal pula I’tiqafnya.
-        Alasan berikutnya karena disunnahkan orang yang I’tiqaf untuk berpuasa.

Menurut Bahasa (Lughot): Orang yang melazimkan dalam melakukan sesuatu baik pekerjaan yang baik ataupun pekerjaan yang tidak baik maka disebut I’tiqaf, sekalipun pekerjaan tersebut bukan di lakukan di masjid.

Akan tetapi menurut Syara’: Orang yang dihukumkan I’tiqaf adalah orang yang berada di masjid. Masjid adalah suatu tempat yang diwaqafkan seseorang untuk dijadikan masjid. Masjid tidak harus berbentuk bangunan. Tanah lapang sekalipun bisa disebut masjid bila diketahui batas-batasan waqafnya secara jelas, bila tidak diketahui batasan-batasan waqafnya maka tidak sah bila I’tiqaf di tempat tersebut.

I’tiqaf harus diawali dengan niat. Meskipun duduk berjam-jam di masjid bila tidak ada niat I’tiqaf, maka tidak ada pahala I’tiqaf baginya. Andaikata seseorang masuk ke dalam masjid, dan ia mempunyai tempat yang dituju, maka syarat niatnya di takhirkan saat ia sampai di tempat yang ditujunya, bukan saat ia memasuki masjid. Bila ia berniat saat memasuki masjid (sambil berjalan), maka niat I’tiqafnya tidak sah.
Sah-lah I’tiqaf seseorang bila ia berniat saat ia telah sampai di tempat yang dituju, karena antara niat dan pekerjaan harus berbarengan.

Niatkan terlebih dahulu niat wajib, agar mendapatkan pahala double. Niat wajibnya yaitu: “LILLAHI  ALAYA ANTA’QIFAL  FI  HADZAL  MASJIDI  MA’ DUMTU  FIHI.” Artinya: “Aku wajibkan atas diriku untuk I’tiqaf di ini masjid selama aku berada di dalamnya.”
Kemudian baru niat I’tiqaf, yaitu: “ NAWAITU  I’TIQAF  FI  HADZAL  MASJIDI  MA’ DUMTU  FIHI.” Artinya: “Aku niat I’tiqaf di ini masjid selama aku berada di dalamnya.”

Dasar hukum di sunnahkannya I’tiqaf: “Jangan kau gauli istri-istrimu saat berada di dalam masjid.”  Nabi melakukan I’tiqaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. I’tiqaf bukan hanya syari’at Nabi Muhammad saja, tetapi Nabi-nabi sebelumnya pun melakukan I’tiqaf seperti halnya dengan ibadah Haji.

Syarat-syarat yang boleh melakukan I’tiqaf adalah: muslim, mumayis, tidak sedang haid atau nifas atau menanggung hadast besar. I’tiqaf adalah Sunnah Nabi dan dituntut bagi kita untuk mengerjakannya, apakah pada waktu siang ataupun malam.

Hadist Nabi: “Siapa orang yang berjalan memenuhi hajad saudaranya, pahalanya lebih baik dari pada I’tiqaf di masjid selama 10 tahun.”
Dalam hadist yang lain Nabi bersabda: “Siapa orang yang I’tiqaf di masjid hanya 1 hari saja untuk mencari Ridho Alloh, maka Alloh menciptakan 3 parit yang memisahkannya dari api neraka. 1 parit jaraknya antara Timur (Masriq) dengan Barat (Maghrib). Jika kita melakukannya selama 2 hari, maka seperti kita melakukan ibadah Haji & Umroh sebanyak 2 kali.”

I’tiqaf boleh dilakukan diwaktu makruh, baik disaat puasa ataupun tidak puasa. Bila kita tujuannya hanya untuk menumpang lewat masjid saja, maka tidak sah I’tiqafnya. I’tiqaf pada 10 hari yang terakhir di bulan Ramadhan pahlanya lebih utama dari pada 10 hari di awal bulan ataupun 10 hari di pertengahan bulan. Ataupun nilai pahlanya juga akan berbeda bila dilakukan selain di bulan Ramadhan.

Tujuan I’tiqaf pada 10 hari yang terakhir di bulan Ramadhan adalah untuk mendapatkan Malam Lailatul Qodar, maka dianjurkan menghidupkannya dengan bermacam-macam ibadah seperti Shalat Sunnah, Dzikir, Tilawatil Qur’an dll. Meskipun kita tidak menyaksikan Malam Lailatul Qodar, tetapi kita dihukumkan mendapatkan keutamaan Malam Lailatul Qodar.

Kita sangat diajurkan (disunnahkan) untuk melaksanakan I’tiqaf pada bulan puasa, wabil khusus pada malam-malam yang diyakini akan terjadinya Malam Lailatul Qodar. Malam Lailatul Qodar menurut pendapat Imam Syaifi’i RA.: “Terkurung atau terbatas pada 10 malam yang terakhir di bulan Ramadhan ( tanggal 21 sampai malam akhir bulan Ramadhan).”

Maka tiap-tiap malam pada 10 yang terakhir, ada mengandung kemungkinan terjadinya Malam Lailatul Qodar, tidak mesti pada malam-malam ganjil (malam 21, 23, 25, 27 atau 29), akan tetapi pada malam-malam yang ganjil lebih diharapkan datangnya Malam Lailatul Qodar. Dan dari malam-malam ganjil pada 10 hari yang terakhir ada malam yang paling sangat diharapkan terjadinya Malam Lailatul Qodar yaitu pada malam 21, sebagaimana disebutkan dalam Hadist Bukhari & Muslim. Sedangkan Hadist yang di riwayatkan oleh Imam Muslim mengatakan bahwa Malam Lailatul Qodar sangat diharapkan terjadi pada malam 23.

Dan telah memilih Imam Syafi’i beliau melazimkan menetap bahwa Malam Lailatul Qodar pada malam 21 dan 23 dan tidak berpindah-pindah ke malam-malam lainnya. Dan menurut Jumhur (Mayoritas) Ulama/Fukoha mereka melazimkan malam-malam tertentu pada 10 hari yang terakhir. Bersalahan dengan pendapat Imam Syafi’i yang pertama, bahwa pendapat dari Jumhur (Mayoritas) Ulama mengatakan bahwa pendapat mereka sama dengan pendapat dari Imam Syafi’i. Jadi Jumhur Ulama berpendapat bahwa pendapat mereka sama dengan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa Malam Lailatul Qodar ada pada 10 hari yang terakhir.

Pendapat yang mu’tamat adalah pendapat yang mengatakan bahwa Malam Lailatul Qodar tidak keluar dari malam 10 yang terakhir, bisa salah satu dari malam tanggal 21 sampai malam terakhir bulan Ramadhan. Malam yang ada padanya Malam Lailatul Qodar sejak di zaman Nabi masih ada, tidak pernah berpindah dari malam 10 yang terakhir di bulan Ramadhan sampai sekarang.

Berkata Ibrahim dan juga Hujaimah bahwa Malam Lailatul Qodar berpindah-pindah tiap tahun (tidak menetap pada malam tertentu), tetapi masih berada pada malam 10 yang terakhir di bulan Ramadhan.

Berkata Ibnu Abbas RA. dan Ubay bahwa Malam Lailatul Qodar ada pada malam 27 Ramadhan, pendapat ini adalah pendapat/perkataan dari Syaidina Umar Ibnu Khotob. Malam 27 adalah pendapat kebanyakan ahli Ilim (orang-orang berilmu).

Pendapat-pendapat tentang Malam Lailatul Qodar banyak sekali, sampai lebih dari 30 pendapat-pendapat ulama. Ada pendapat yang menyebutkan:
-        Jika awal Ramadhan dimulai pada hari Jum’at, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan kuatnya akan jatuh pada malam 29 Ramadhan.
-        Jika awal Ramadhan dimulai pada hari Sabtu, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan kuatnya akan jatuh pada malam 21 Ramadhan.
-        Jika awal Ramadhan dimulai pada hari Ahad/Minggu, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan kuatnya akan jatuh pada malam 27 Ramadhan.
-        Jika awal Ramadhan dimulai pada hari Senin, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan kuatnya akan jatuh pada malam 29 Ramadhan
-        Jika awal Ramadhan dimulai pada hari Selasa, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan kuatnya akan jatuh pada malam 25 Ramadhan.
-        Jika awal Ramadhan dimulai pada hari Rabu, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan kuatnya akan jatuh pada malam 27 Ramadhan.
-        Jika awal Ramadhan dimulai pada hari Kamis, maka Malam Lailatul Qodar sangkaan kuatnya akan jatuh pada malam 21 Ramadhan.

Diantara alamat-alamat akan datangnya Malam Lailatul Qodar:
-        Pada pagi harinya udara tidak terasa panas dan juga tidak terasa dingin.
-        Pada pagi harinya matahari terbit dengan cahaya tidak banyak (redup).
-        Tidak ada gonggongan anjing di pagi harinya.
-        Dimalam Lailatul Qodar jika orang kafir berhubungan badan, maka nutfah (sperma)nya tidak menjadi anak.

Faedah kita mengetahui alamat-alamat datangnya Malam Lailatul Qodar adalah agar kita bersungguh-sungguh dalam beribadah pada malam harinya. Pada malam harinya kita disunnahkan/ dianjurkan untuk memperbanyak ucapan: “Allohuma innaka afu’un karim tuhibbul afwaa fa’fuani.” Artinya: “Engkau Maha Pema’af lagi Maha Pemurah, Yang suka mema’afkan, maka Ma’afkanlah aku.”

Disunnahkan untuk orang yang mendapatkan Malam Lailatul Qodar agar tidak usah dibicarakan/ diberitahukan kepada orang lain, hendaknya disembunyikan, ini merupakan kemulyaan yang Alloh berikan, karomah mesti disembunyikan jangan disebarkan/ diberitahukan kepada orang lain.

Umar Muhdor bin Abdurrahman Assegaf mempunyai karomah yang luar biasa, bila ia berdoa maka doanya cepat sekali di khobulkan Alloh, beliaupun meninggal dalam keadaan sujud kepada Alloh. Dalam suatu kisoh, keluarganya akan melaksanakan perjalanan cukup jauh, karena sangat sayangnya ia kepada keluarganya maka ia berkata akan menyiapkan kendaraan yang kecepatannya melebihi cepatnya kilat. Mendengar perkataannya, keluarganya sangat senang. Akan tetapi pada akhirnya ia berfikir bahwa datuk-datuknya (kakek-kakeknya) seperti Habib Abdurrahman Assegaf Maula Dawillah, karomahnya jelas lebih tinggi darinya, tetapi mereka tidak menunjukkan karomahnya, sehingga pada akhirnya ia membatalkan niatnya.

Akan tetapi pada zaman sekarang, bukanlah wali tetapi menempatkan/ mencitrakan dirinya sebagai wali, ngomongnya aneh-aneh, perilakunya aneh-aneh, pakaiannya aneh-aneh, jangan tertipu oleh mereka. Pada umumnya ulama-ulama menyembunyikan karomahnya.

Terjadinya Malam Lailatul Qodar itu secepat kilat, kecepatannya semacam kilat yang menyambar. Orang dianjurkan untuk menghidupkan diantara 2 (dua) Isya. Isya awal adalah sebutan untuk waktu Maghrib, sedangkan sebutan untuk Isya akhir adalah waktu Isya itu sendiri. Siapa orang yang shalat berjama’ah pada Isya akhir (Shalat Isya) di bulan Ramadhan pada Malam Lailatul Qodar, maka dia telah dihukumkan mendapatkan Malam Lailatul Qodar.

Untuk sahnya I’tiqaf seseorang ada 2 syarat atau 2 rukun, bahkan ada yang mengatakan 4 syarat sebagai syarat sahnya  I’tiqaf.
1.  Harus Ada Niat
Setiap ibadah harus di dahului dengan niat, niat itu letaknya di dalam hati. Adapun ucapan lafadz-nya secara lisan adalah untuk membantu kita punya hati. Tidak sah ibadah tanpa di awali dengan niat, ibadah yang tanpa di awali dengan niat, maka akan kosong dari nilai pahala. Alangkah baiknya saat kita akan masuk ke masjid, maka kita wajibkan atas diri kita I’tiqaf. Kita niatkan I’tiqaf wajib-nya: “Lillahi allaya an a’taqifa fi hadzal masjidi.”  ( Aku wajibkan atas diriku I’tiqaf di ini masjid.) Baru kemudian kita niatkan I’tiqaf: “Nawaitul I’tiqafa fi hadzal masjidi maa dumtu fihi.”  (Aku niat I’tiqaf di ini masjid selama aku berada di dalamnya). Kita niatkan wajib karena untuk menambahkan nilai pahala. Karena antara ibadah yang sunnah dengan ibadah yang wajib sangat berbeda nilainya. Maka untuk menambah nilai pahala, maka perlu kita niatkan wajib. Hidup di dunia hanya singkat, maka pergunakan waktu semaksimal mungkin untuk memperoleh nilai pahala sebanyak-banyaknya untuk bekal kita di akhirat kelak. Orang yang mempunyai nazar untuk I’tiqaf di masjid, maka dia harus niat fardu untuk I’tiqaf-nya. “Nawaitul Fardu I’tiqafa fi hadzal masjidi maa dumtu fihi.”  Bila dia tidak niatkan fardu, maka ia masih punya tanggungan/ utang nazar yang belum di bayarkan. Misalkan dia punya nazar akan I’tiqaf bila tanah/rumahnya laku terjual, maka bila tanah/rumahnya laku terjual, maka ia harus membayar nazarnya. Akan tetapi nazar untuk melakukan ibadah karena mengharapkan agar Alloh mengabulkannya keinginannya, adalah ciri dari orang yang kikir, kata Imam Gozali. Tidak usah bernazar akan ber-shodaqoh atau mengeluarkan amal jariah jika doanya terkabul. Yang terbaik adalah keluarkan shodaqoh/beramal terlebih dahulu, maka Insya Alloh apa yang kita niatkan tercapai. “Jika ingin memancing/ mendapatkan  sesuatu yang besar, maka hendanya pergunakan umpan yang besar/bagus pula.” Mengapa orang yang nazar harus meniatkan wajib, karena untuk membedakan dengan I’tiqaf yang sunnah. Bila kita hanya mengucapkan: “Nawaitul I’tiqafa fi hadzal masjidi maa dumtu fihi,”  maka itu hanya niat untuk I’tiqaf yang sunnah saja. Nazar harus dibayar sebagaimana janji. I’tiqaf nazar tidak perlu terlalu lama, semenit atau dua menit sudah menggurkan kewajiban, tidak perlu berjam-jam ataupun seharian.

2.  Menetap di Masjid
Syarat I’tiqaf yang berikutnya adalah menetap di masjid, akan tetapi menetapnya tidak harus diam, boleh bolak-balik, tetapi masih berada di dalam masjid. Bukan sekedar melintas dari depan masjid ke belakang masjid. I’tiqaf dapat dilakukan dengan diam/duduk tenang di satu tempat atau boleh bolak-balik asal masih berada di dalam masjid. Disunnahkan  bagi orang yang melintasi masjid, karena misalkan untuk memasuki rumahnya dia harus melewati dalam masjid (bukan lewat di depan masjid), maka raih kesempatan mendapatkan pahala dengan niat I’tiqaf. Lewat tetapi ia harus berhenti sejenak, berhentinya harus melebihi dari sekedar sekurang-kurangnya kadar tuma’nina dalam shalat, yaitu ucapan SubhanAlloh. Bila sewaktu lewat di masjid dia niat I’tiqaf, tetapi dia tidak berhenti atau dia berhenti tetapi hanya sekedar tuma’nina shalat (ucapan: SubhanAlloh), maka tidak sah niat I’tiqafnya. Dia harus berhenti lebih dari sekedar ucapan SubhanAlloh, misalnya mengucapkan: “SubhanAlloh Rabbial a’la Wabihamdihi.” (3x). Sebenarnya sekali saja sudah cukup, tidak membacapun di bolehkan, akan tetapi jangan tinggalkan mengucapkan sekurang-kurangnya 3x, tidak semua yang boleh, pantas untuk dikerjakan. Seperti halnya shalat sunnah witir, dibolehkan mengerjakan sekurang-kurangnya 1 rakaat, tetapi makruh untuk dikerjakan, karena dapat berakibat tertolaknya kita punya syahadat. Jadi jangan sekedar boleh atau halal dikerjakan. Majlis Ta’lim adalah tempat ilmiah, perkara yang boleh dikerjakan di bahas di sini, tetapi kita kembalikan kembali pada diri kita apakah perkara yang dibolehkan tersebut pantas untuk kita kerjakan?

3.  Dilakukan di Masjid
Syarat sah-nya I’tiqaf adalah di masjid, baik yang jami ataupun yang qhoiro jami (semacam: mushola). Tetapi lebih afdolnya di masjid jami untuk menghindari keluar dari Khilaful Ulama (Perbedaan Pendapat Ulama) yang mewajibkan I’tiqaf di masjid jami. Tidak sah I’tiqaf di selain masjid, semacam pondok pesantren, madrasah, majlis ta’lim ataupun tempat-tempat shalat Id (semacam lapangan). Ada pendapat yang menyatakan, bila ada perempuan yang menyiapkan tempat khusus untuk shalat di rumahnya, maka dia boleh I’tiqaf di tempat itu. Apalagi zaman sekarang banyak fitnah, maka sebaiknya perempuan jangan I’tiqaf di masjid-masjid. Ada ulama-ulama yang mewakafkan tempat shalatnya di rumah dengan cara memaku ujung-ujung sajadahnya dan diniatkan mewakafkan ini tempat sebagai wakaf untuk shalat. Akan tetapi yang di niatkan wakaf adalah sajadahnya bukan tanahnya. Karena tanah yang sudah di wakafkan tidak boleh dijual dengan alasan apapun, karena wakaf sudah menjadi haq Alloh.
Emperan/pinggiran masjid yang sudah ada sejak awal dibangunnya masjid, maka masih masuk dalam bagian dari masjid. Sayap masjid, talang air, tempat keluar masuk udara masjid, maka boleh kita I’tiqaf di tempat-tempat tersebut. Bila di dalam masjid ada pohon yang cabang atau ranting pohonnya ada yang keluar dari masjid, maka kita boleh I’tiqaf di cabang/ ranting pohon tersebut. Tetapi bangunan tambahan yang merupakan perluasan, maka tidak termasuk bagian dari masjid.
Menganjurkan Imam Syafi’i R.A. kepada para pengikutnya agar mengerjakan I’tiqaf sekedar selama 1 hari, untuk keluar dari Hilaful Ulama yang mewajibkan tentang syaratnya I’tiqaf selama 1 hari. Imam Syafi’i sangat menghargai dan menghormati pendapat orang lain, beliau tidak menyalahkan pendapat orang lain dan tidak mengkafirkan pendapat orang lain.

4.  Orang yang I’tiqaf ( Mu’taqif )
Dapat dilihat bentuk dari I’tiqaf apabila ada orang yang melakukan I’tiqaf itu sendiri. Sehingga pengarang kitab ini memasukkan orang yang I’tiqaf (Mu’taqif) kedalam salah satu rukun dari I’tiqaf. Karena ketiadaan bentuk gambaran dari I’tiqaf yang nyata yang dapat dilihat, bila tidak ada orang yang melakukan I’tiqaf. Seperti halnya dengan puasa, tiada yang dapat melihat bentuk dari puasa.

Syarat orang yang dapat melakukan I’tiqaf :
1.  Orang Islam
Sejak ia mulai I’tiqaf, ia sudah Islam, bukan ia masuk masjid terlebih dahulu, baru kemudian masuk Islam. Tetapi sejak masuk masjid ia sudah menjadi orang Islam dan sampai akhir dia I’tiqaf ia masih dalam keadaan Islam. Bila ditengah I’tiqaf-nya ia murtad (keluar dari agama Islam), maka batAlloh I’tiqaf-nya.
2.  Berakal & Tam’yis
Tam’yis adalah anak kecil yang belum baliq, tetapi ia sudah dapat membedakan mana yang baik? Mana yang buruk? Mana yang kanan? mana yang kiri? Dapat beristinja sendiri, makan/ minum sendiri. Anak umur 7 tahun biasanya sudah dapat dikatakan tam’yis. Bila anak yang sudah tam’yis melakukan I’tiqaf, maka sah niat I’tiqaf-nya.
3.  Bersih dari Hadast Besar (Haid, Nifas & Jannabah)
Suci, bersih dan kosong dari hadast besar adalah sebagai syarat dan sahnya I’tiqaf. Karena jika sedang Haid, Nifas, ataupun menanggung Jannabah bukan hanya tidak sah ia punya I’tiqaf, tetapi malah haram hukumnya berada di masjid.

Maka tidak sah niat I’tiqaf-nya orang-orang kafir, karena syarat sah-nya I’tiqaf adalah harus beragama Islam. Tidak sah pula niat I’tiqaf dari orang gila, karena salah satu syarat sah-nya I’tiqaf adalah harus berakal dan tam’yis. Tidak sah niat I’tiqaf dari orang yang sedang Haid, Nifas dan sedang Jannabah, karena salah satu syarat sah-nya I’tiqaf adalah harus suci dari hadast besar.

Mengapa tidak sah I’tiqaf-nya orang kafir? Karena tidak sah-nya niat orang kafir. Dan tidak sah pula niat-nya orang yang gila/ hilang akal, meskipun niat-nya sama dengan niat kita. Mengapa tidak sah niat I’tiqaf orang yang sedang Haid, Nifas dan Jannabah? Karena haram-nya menetap di masjid bagi orang yang sedang menanggung hadast besar.

Andaikan orang yang sedang I’tiqaf murtad (keluar dari agama Islam), karena apa saja, semacam menyembah patung berhala, mengatakan bahwa Alloh ada 3 atau dia mabuk dengan sengaja, maka batAlloh ia punya I’tiqaf. Batal I’tiqaf karena mabok adalah  apabila ia tahu bahwa apa yang diminum/ dimakannya adalah minuman/ makanan yang memabukkan. Baik diminum/ dimakan sebelum datang ke masjid atau saat sedang berada di masjid. Bila ia tidak sengaja atau dia tidak tahu bahwa minuman/ makanan yang diminum/ dimakannya adalah minuman/ makanan yang memabukkan, maka tidak membatalkan I’tiqaf-nya. Dan tidak batal pula bila ia kehilangan akal, karena semacam ayan atau pingsan saat sedang I’tiqaf.

Apabila orang ber-I’tiqaf nazar yang tidak disangkutkan dengan waktu (jam/ hari), dia masih ada niat untuk tetap I’tiqaf di situ, tetapi dia keluar dari masjid dengan tidak ada udzur, maka putuslah dia punya I’tiqaf. Dan apabila dia ingin I’tiqaf kembali, maka dia harus niat baru kembali. Terkecuali dia keluar dari masjid karena ada hajad manusia, seperti ingin buang air kecil/ buang air besar dan semakna dengan itu, misalnya karena melamun atau ia tertidur dan mimpi keluar manni dan ia keluar dengan maksud mandi jannabah,  tetapi mandi jannabahnya bukan karena jannabah yang menyebabkan batal puasa, yaitu jannabah karena mimpi yang menyebabkan ia keluar manni, ataupun karena timbul birahinya sebab melihat atau membayangkan gambar-gambar yang merangsang ia punya birahi, bukan karena bersetubuh. Atau ia keluar untuk makan/ minum atau ia ingin buang angin (kentut), karena makruh hukumnya buang angin di masjid. Bila ada udzur semacam itu, maka orang yang I’tiqaf (Mu’taqif) silahkan keluar dari masjid dan tidak perlu tergesa-gesa atau cepat-cepat, keluarlah secara normal/ biasa, karena hal itu tidak memutuskan niat I’tiqaf-nya.

Seorang perempuan yang keluar dari I’tiqaf nazar karena ada udzur syar’i berupa haid ataupun nifas dan masa I’tiqaf yang dilakukannya panjang, misalnya dia nazar I’tiqaf selama 1 bulan ataupun selama 1 tahun, yang dalam masa I’tiqafnya itu tidak sunyi dari haid (karena pada umumnya wanita yang belum monopuse akan mengalami haid setiap bulannya) ataupun nifas (pada umumnya wanita hamil akan melahirkan setelah kandungannya berusia 9 bulan), misalnya bila ia I’tiqaf saat sedang hamil tua. Masa haid seorang perempuan paling cepat adalah 1 hari (24 jam), pada umumnya selama 1 minggu (7 hari) dan paling lama 15 hari. Bila seorang perempuan mengalami haid ataupun nifas saat ia belum selesai melaksanakan nazar I’tiqafnya, maka ia harus segera keluar dari masjid, karena diharamkanya wanita yang sedang haid ataupun nifas tetap berada di dalam masjid.

Apabila ia keluar dari masjid karena ada udzur berupa sakit yang dideritanya yang tidak memungkinkan baginya untuk melanjutkan I’tiqafnya, semacam penyakit ayan/ epilepsy, maka niat I’tiqafnya tidak batal dan apabila ia telah sembuh dari penyakitnya, maka ia tinggal meneruskan sisa I’tiqaf yang belum dijalankan. Alasan ia keluar dari masjid karena cukup berat penyakitnya sehingga ia butuh tempat pembaringan/ tempat tidur yang layak, ia butuh orang yang melayaninya, ia butuh akan tabib/ dokter, ia khawatir akan mengotori masjid (semacam penyakit diare) atau dia tidak kuat untuk menahan membuang air kecil.

Jika ia tidak keluar dari masjid meskipun kondisi membolehkan dia untuk keluar dari masjid, maka masa sakitnya di dalam masjid di hitung sebagai bagian dari I’tiqaf. Misalkan ia nazar I’tiqaf di masjid selama 1 bulan, sedangkan dia baru melaksanakan I’tiqafnya selama 15 hari, kemudian ia sakit tetapi ia tetap berada di masjid selama 15 selanjutnya, maka ia dihukumkan telah melunasi nazar I’tiqafnya.

Apabila ia keluar dari masjid karena mengalami gila, maka putuslah ia punya I’tiqaf. Misalkan masih dalam kondisi gila ia tetap berada di dalam masjid, tetap I’tiqafnya tidak di hitung. Karena orang gila bukan ahli ibadah atau tidak layak untuk menjalankan ibadah.

Orang yang sedang melaksanakan I’tiqaf nazar yang I’tiqafnya itu dikaitkan dengan waktu dan ia menderita sakit yang berat yang sulit baginya untuk tetap berada di dalam masjid, maka keluarnya ia dari masjid tidak menyebabkan batal I’tiqafnya. Apabila pada suatu saat (setelah ia sembuh) ia ingin melanjutkan I’tiqafnya lagi, maka ia tinggal meneruskan sisa waktu dari I’tiqaf nazar yang belum di jalankan.

Akan tetapi bila ia hanya mengalami sakit yang ringan (pusing, demam yang ringan, gatal-gatal dan semacamnya) yang sesungguhnya tidak memberatkan baginya untuk tetap berada di masjid, dan ia tetap keluar dari masjid, maka batAlloh ia punya I’tiqaf. Bila ia kembali ke masjid untuk melakukan I’tiqaf, maka ia harus memulainya kembali dari awal, karena I’tiqaf yang telah dijalankannya sebelum ia keluar masjid tidak di hitung bagian dari I’tiqaf nazarnya.

I’tiqaf juga dapat batal karena disebabkan berhubungan badan antara suami-istri, baik yang dilakukan di masjid ataupun di luar masjid. Ia melakukannya tidak dalam keadaan di paksa (keinginan sendiri), saat melakukannya ia ingat bahwa ia sedang I’tiqaf dan ia tahu bahwa apa yang dilakukannya haram dikerjakan saat sedang I’tiqaf.

Bersalahan halnya dengan jannabah yang disebabkan karena melamun/ menghayal atau karena mimpi ataupun hubungan badan yang terjadi karena di paksa ataupun hubungan badan yang terjadi karena ia lupa ataupun jahil (tidak tahu), tetapi jahilnya adalah jahil yang ma’dzur (jahil yang dimaaf), seperti ia baru masuk Islam, ia tinggal yang jauh dari ulama atau ahli fiqih. Apabila terjadi yang hal demikian, maka tidak membatalkan I’tiqafnya. Akan tetapi ia harus segera mandi jannabah (jangan di tunda-tunda), bila ia menunda mandi jannabahnya, maka batAlloh I’tiqafnya.

Mu’taqif melakukan sesuatu yang menyebabkan batalnya ia punya wudhu dan dilakukan dengan syahwat, maka batAlloh ia punya I’tiqaf. Bila ia melakukannya tanpa syahwat, maka tidak batal I’tiqafnya.

Bila ia dalam keadaan punya wudhu, kemudian dia bermimpi/ berhayal yang menyebabkan ia keluar manni, maka batAlloh ia punya wudhu dan I’tiqafnya. Sesuatu yang membatalkan wudhu juga akan membatalkan I’tiqaf, bila dilakukannya dengan syahwat. Akan tetapi menyentuh atau mencium istri tetap akan membatalkan wudhu baik dengan syahwat ataupun tanpa syahwat.

Dalam suatu riwayat Nabi sehabis mencium Aisyah RA., beliau langsung shalat tanpa berwudhu lagi. Menanggapi riwayat ini para ulama dari mahzab Syafi’i berpendapat, bahwa hal ini adalah kekhususan untuk Bagianda Nabi Muhammad saw. Dan ada juga yang berpendapat bahwa Nabi melakukannya saat sebelum turunnya ayat Al Qur’an yang melarangnya, setelah turunnya ayat, Nabi tidak melakukannya lagi.

Apabila seoarang mu’taqif mencium atau memeluk istrinya tanpa syahwat dan tidak menyebabkan keluarnya manni, maka hanya membatalkan wudhu (bila sebelumnya ia punya wudhu), tetapi tidak membatalkan I’tiqafnya. Akan tetapi bila ia melakukannya hingga keluar manni, maka batAlloh ia punya wudhu dan batal pula I’tiqafnya.

Bila ia melakukan hubungan suami-istri baik dengan keluarnya manni ataupun tidak keluar manni, maka hal tersebut tetap membatalkan I’tiqafnya.

Bila ia memandang/ menghayal dan pada kebiasaannya tidak menyebabkan ia keluar manni, tetapi saat itu ia keluar manni, maka hal itu tidak membatalkan I’tiqafnya. Akan tetapi bila ia memandang/ menghayal yang pada kebiasaannya menyebabkan ia keluar manni dan ia tetap melakukannya sehingga ia keluar manni, maka hal itu membatalkan I’tiqafnya.

Bila mu’taqif mencium tanpa syahwat semacam ciuman kasih sayang (safaqoh), meskipun keluar manni, maka hal itu tidak membatalkan I’tiqafnya. Ataupun ia mencium tanpa niat apapun, tetapi tanpa syahwat, maka hal itu tidak membatalkan I’tiqafnya.

Sesuatu yang membatalkan puasa, maka akan membatalkan I’tiqafnya. Dan sesuatu yang tidak membatalkan puasa, maka tidak membatalkan I’tiqafnya pula.


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar