Rabu, 15 Juli 2015

FIQIH (HAJI & UMROH) - Syarat Wajib Haji & Umroh



Pokok Bahasan     :  FIQIH  (HAJI & UMROH)
Judul                    :  Syarat Wajib Haji & Umroh
Nara Sumber        :  Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


Assalamu’alaikum Wr. Wb.



Hendaknya kamu bersegera dalam menunaikan kewajiban ibadah haji disaat sudah ada kemampuan baik dari segi fisik maupun harta. Dan hati-hati jangan kamu mengakhir-akhirkan dalam melaksanakan ibadah haji ( ibadah-ibadah yang lainnya ) diwaktu sudah ada kemampuan secara fisik dan harta. Karena kita tidak dapat menduga pada saat yang akan datang akan timbul hambatan-hambatan yang akan menghalangi seperti: ajal yang keburu menjemput, kesehatan yang semakin berkurang dan keuangan yang mungkin tidak mencukupi lagi ataupun musibah-musibah lain yang mungkin akan datang.

Apabila ada orang yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi belum melaksanakannya, maka pada saat ia meninggal dunia, hartanya belum boleh dibagikan kepada ahli waris sebelum dilaksanakan ba’dal haji untuk orang yang meninggal tersebut.

Hadist Nabi: “Siapa orang yang tidak ditahan oleh hajat yang nyata atau penguasa yang zholim yang menghalanginya, tetapi ia tidak melaksanakan haji, maka ia boleh memilih mati secara yahudi atau nasrani.”

Hendaknya disaat kita ada kemampun lagi, hendaknya kita melaksanakan haji dan umroh sunnah. Hendaknya ibadah haji tersebut kita ulangi minimal setiap 5 tahun sekali setelah kita melaksanakan ibadah haji yang wajib.

Disaat akan melaksanakan ibadah haji, hendaknya mempelajari terlebih dahulu hal yang wajib dalam haji, hal yang sunnah, bacaan atau doa-doa dalam haji, ruh’soh safar (keringan ibadah dalam perjalanan), serta ilmu tentang penentuan arah qiblat, akan tetapi untuk saat ini ilmu tersebut sudah kurang diperlukan lagi, karena sudah banyak petunjuk tentang arah qiblat dimana-mana.

Dalam ibadah haji tidak ada shalat Ja’ma’ (menggabungkan dua waktu shalat pada satu waktu) karena orang yang melaksanakan ibadah haji akan tinggal cukup lama, jadi tidak dapat digolongkan sebagai musafir.

Meskipun dibolehkan, hendaknya jangan membarengi ibadah haji dengan tujuan-tujuan lain, seperti berdagang. Bahkan jangan kamu membawa harta banyak, terkecuali untuk dinafkahkan atau dishodaqohkan disana. Bila mesti membawa uang banyak, maka jauhkan dari membawa sesuatu yang akan membimbangkan kamu dari melaksanakan ibadah haji.


Haji menurut Luqhot (bahasa) adalah: kita datang atau menuju. Sedangkan haji menurut Syara (agama) adalah: kita datang menuju ke Baitul Harom untuk menjalankan manasik haji (ibadah-ibadah haji). Tetapi kita tidak hanya sekedar datang, melainkan kita datangkan rukun-rukun haji juga.

Haji bukan khusus untuk umat Nabi Muhammad SAW., haji adalah syariah yang lama bukan syariah yang baru. Pada saat Nabi Adam AS. melaksanakan ibadah haji, malaikat Jibril AS. berkata kepada Nabi Adam AS.: “Sesungguhnya malaikat-malaikat Alloh dahulu mereka thawaf sebelum kamu di ini Ka’bah selama 7.000 tahun. Ini membuktikan bahwa ibadah haji bukan merupakan syariat yang baru, melainkan syariat yang sudah lama.

Dalam kitab: “Ta’jiz” dikatakan bahwa: “Sesungguhnya manusia yang pertama kali melaksanakan ibadah haji adalah Nabi Adam AS. Nabi Adam melaksanakan haji selama 40 tahun berturut-turut, ia berangkat dari India dengan berjalan kaki.” Tidak ada satu nabi pun yang tidak melaksanakan ibadah haji.

Ulama-ulama berbeda pendapat mengenai kapan mulai di wajibkannya ibadah haji bagi umat Nabi Muhammad SAW. mereka ada yang berpendapat bahwa kewajiban ibadah haji itu telah Alloh wajibkan sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah seperti di katakan dalam kitab “Nihayah”. Akan tetapi yang mashur/ mu’tamat adalah ibadah haji di wajibkan setelah nabi hijrah ke Madinah, tepatnya pada tahun ke-5 setelah Nabi hijrah.

Hikmahnya kenapa orang yang melakukan manasik haji di panggil sebagai Hajjah/Haji, karena huruf “H” disini sebagai isyarat karena Alloh bersifat “Hilim/Halim” (tidak cepat bertindak/sabar). Sedangkan huruf “Jim” berarti “Julum/ Jurmun/ Jurmi. Seakan-akan orang yang pergi haji menghadap Ka’bah ini berkata: “Ya Rabbi, aku datang kepadamu dengan membawa dosa-dosaku yang banyak untuk kau ampuni dosa-dosaku yang banyak itu dengan sifat diri-Mu yang tidak cepat bertindak (Hilim).”

Umroh menurut Lughot (bahasa) artinya: “Jiarah”. Dan jika menurut Syara’ (hukum agama): “Jiarah menuju Ka’bah di Baitul Harom untuk mendatangkan manasik-manasik (peribadatan-peribadatan) haji atau manasik-manasik umroh, serta mengerjakan rukun-rukun haji dan rukun-rukun umroh. Kita diwajibkan haji dan diwajibkan umroh 1 (satu) kali dalam seumur hidup kita.

Hadist Riwayat Ibnu Hibam dari Abdullah bin Umar RA.: “Sesungguhnya orang-orang yang akan melaksanakan ibadah haji disaat ia keluar melangkah dari rumah tangganya ia tidak melangkah satu langkah melainkan Alloh tulis baginya satu kebajikan dan Alloh gugurkan/hapuskan dari langkah tadi dosa-dosa dan kesalahannya.”  Sekalipun kita naik pesawat ataupun naik mobil, tetap akan di hitung sebagaimana kita melangkah dengan berjalan kaki. Bisa jadi sebelum dia melaksanakan ibadah haji, dia sudah terhapus dosa-dosanya.

Biasanya jama’ah haji dari Indonesia sudah diberangkatkan menuju Padang Arafah pada tanggal 8 Dzulhijah (untuk menghindari kemacetan). Dan pada tanggal 8 Dzulhijah tersebut belum ada kegiatan ibadah haji, meskipun kita sudah berada di Padang Arafah, biasanya jama’ah haji mengisinya dengan membaca Al Qur’an ataupun dzikir.

Cental Ibadah Haji adalah Arafah, jika kita sudah meninggalkan Arafah sebelum masuk waktu Dzuhur, maka tidak sah ibadah haji kita. Wuquf di padang Arafah di mulai ba’da jawwal dan Wuquf tidak membutuhkan waktu lama, 5 atau 10 menit sudah sah, sambil lewat ataupun tertidurpun tetap sah, makanya untuk orang yang sedang sakitpun wajib di datangkan ke padang Arafah, karena wuquf di Padang Arafah tidak dapat di wakilkan.

Pada mahzab Imam Syafi’i di isyaratkan untuk tetap berada di Padang Arafah sampai terbenamnya matahari (masuk waktu Maghrib). Maka bagi pengikut Mahzab Imam Syafi’i bila ia keluar dari Padang Arafah sebelum masuk waktu Magrib mereka di sunnahkan (tidak di wajibkan) membayar dam (denda) 1 (satu) ekor kambing.

Jika mereka sudah melaksanakan Wuquf di Padang Arafah (9 Dzulhijah),  Alloh membanggakan kepada para malaikat-malaikatnya. Alloh berfirman: “Hai malaikat-malaikatku, pandang dan lihatlah itu hamba-hamba-Ku yang sedang Wukuf di Arafah, mereka datang kepada-Ku dalam keadaan kusut dia punya rambut, dalam keadaan berdebu ia punya muka. Aku angkat kalian sebagai saksi sesungguhnya Aku sudah ampuni dosa-dosa mereka sekalipun mereka hamba-hamba-Ku jumlah bilangannya sebilangan tetesan air hujan, sebanyak butiran pasir di gurun. Sebanyak apapun mereka dan sebanyak apapun dosa-dosa mereka Aku ampuni dosa-dosa mereka.”  Maka dosa yang paling besar adalah dosa yang di saat ia Wuquf di Arafah, ia tidak meyakini bahwa Alloh mengampuni ia punya dosa. Dosa sebesar apapun juga, saat ia sedang Wuquf, maka Alloh ampuni dosa-dosanya.

Setelah wuquf di padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah, setelah ba’da Maghrib dia mulai berjalan menuju Muzdalifah untuk ‘mabid’ (bermalam) di Muzdalifah hukumnya wajib. Dia tidak boleh keluar/ meninggalkan Muzdalifah sebelum melewati jam 12 malam waktu setempat. Jarak antara Arafah ke Muzdalifah tidak beberapa jauh, berjalan kaki dapat dijadikan alternatif, karena bila menggunakan kendaraan akan terjebak macet. Andaikata kita berangkat dari Arafah setelah ba’da Maghrib, maka diperkirakan kita akan sampai di Muzdalifah pada jam 8 atau jam 9 malam. Kita harus mabid di Muzdalifah sampai tengah malam (sebaikanya dilewatkan sampai 10/15 menit, lebih juga dibolehkan). Apabila kita meninggalkan Muzdalifah sebelum masuk tengah malam, maka kita terkena sangsi/dam berupa menyembelih 1 ekor kambing.

Setelah mabid di Muzdalifah perjalanan di lanjutkan menuju Minna untuk melontar ‘Jamroh Aqobah’ (bukan jumroh). Melontar jamroh baru boleh mulai dikerjakan setelahlewat tengah malam. Andaikata kita keluar dari Muzdalifah menuju Minna sebelum tengah malam dan akibatnya kita terkena dam 1 ekor kambing, dan setelah sampai di Minna-pun kita tidak dapat langsung melontar Jamroh, karena melontar baru boleh dilakukan setelah lewat tengah malam.

Jika mereka sudah melontar Jamroh Aqobah (sebanyak 7 lontaran), maka tidak ada seorangpun yang mengetahui ganjaran pahala apa yang telah Alloh siapkan sampai Alloh wafatkan ia, nanti di hari Qiamat baru ia mengetahui ganjaran pahala yang ia terima. Pada malam ke-10 (sepuluh) hanya melontar Jamroh Aqobah saja, dan pada tanggal 11, 12, 13 Dzulhijah baru melontar Jamroh Ula, Wusto dan Aqobah.

Urutan prosesi yang normal (biasa) adalah: Wuquf di Padang Arafah – Mabid di Muzdalifah – Jamroh Aqobah di Minna – Kemudian Tahalul Awal (bercukur).  Akan tetapi pelaksanaannya tidaklah wajib tertib (berurutan). Apabila kita di hadang masuk ke Minna karena jama’ah haji telah penuh di Minna, maka urutan prosesi ibadah hajinya menjadi: Wuquf di Padang Arafah – Mabid di Muzdalifah – Thawaf Ifadoh (Thawaf Rukun) di Makkah – Sa’ii – Kemudian Tahalul Awal (bercukur).

Setelah melakukan Tahalul Awal, maka kita sudah bebas dari apa yang Alloh haramkan sebelumnya (semacam mengunakan pakaian yang berjahit, memakai peci, memakai minyak wangi dll.) di saat kita sedang melaksanakan ibadah haji, kecuali berhubungan suami istri dan mukadimah (pembukaannya/ cumbu-rayu) tetap di larang dilakukan.

Tahalul Awal adalah kita bercukur/ memotong/ mencabut/ membakar minimal 3 helai rambut. Akan tetapi yang lebih bagus adalah mencukur habis (botak) kita punya rambut. Nabi mendoakan bagi orang yang mencukur rambutnya hanya 3 helai rambut dengan 1 kali doa, tetapi bila kita mencukur habis rambutnya, maka Nabi mendoakannya sebanyak 3 kali. Setelah ia bercukur rambut, maka untuk dia dan tiap-tiap rambut yang telah lepas dari batok kepalanya menjadi cahaya di hari Qiamat. Sehingga bagi orang yang mencukur habis rambutnya, tentu cahayanya di hari Qiamat akan semakin terang.

Apabila ia sudah melaksanakan akhir Thawaf Ifadoh-nya (Thawaf rukun), maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti anak yang baru di lahirkan dari ibunya (bersih tanpa dosa), dan selanjutnya jagalah kita punya diri untuk tidak kembali berbuat dosa.

Syarat-syarat Wajib Haji dan Umroh ada 7 perkara. Syarat dan Rukun itu berbeda. Syarat adanya diluar pekerjaan. 5 (lima) diantara syarat Wajib Haji dan Umroh adalah:
1.    Islam, maka tidak sah Haji dan Umroh orang kafir. Ada aturan yang melarang orang kafir (di luar Islam) masuk ke wilayah tanah Haram.
2.    Baliq, maka anak yang belum baliq belum wajib Haji & Umroh baginya.
3.    Berakal, tidak sah hajinya orang gila atau tidak berakal.
4.    Orang yang merdeka, Budaq tidak ada kewajiban untuk melaksanakan Haji dan Umroh.
5.    Ada kemampuan baik dari segi fisik maupun dari segi materi untuk melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh.

Maka tidak wajib Haji dan Umroh atas orang-orang yang bersifat berlawanan dengan apa yang sudah disebutkan dalam syarat di atas.

Mengapa budaq masih disebutkan sebagai salah satu syarat, karena yang kita ketahui bahwa saat ini sudah tidak terlihat adanya perbudakan? Ini adalah hukum Alloh. Agama Islam memang berusaha keras menghapus perbudakan, seperti salah satu syarat untuk membayar kafarot, adalah kita diharuskan membebaskan budaq jika mampu. Pada kenyataannya perbudakan masih terjadi di dunia ini, khususnya di Negara-negara Amerika dan Eropa, seperti di Jerman, Prancis dan beberapa Negara lain. Perbudakan bisa saja terjadi kembali apabila terjadi perang antara Negara Islam dengan Negara kafir, karena tawanan perang dari Negara kafir statusnya adalah sebagai budaq. Jadi sangat relevan bila pembahasan masalah perbudakan masih harus kita pelajari.

Syarat Wajib Haji adalah mampu, batasan bagaimana orang dapat dikatakan mampu. Syarat dapat dikatakan mampu ada 7, yaitu:

1.  Adanya Bekal (Wujudul Zat)
Kita memerlukan bekal untuk kebutuhan saat menunaikan ibadah haji hingga kembali ke tanah air. Adanya sesuatu yang dapat dikeluarkannya untuk mendapatkan zat, artinya adanya uang untuk membeli/ menghasilkan bekal (zat), jangan meminta-minta, jaga kita punya kehormatan diri agar tidak meminta-minta di sana. Untuk mendapatkan bekal ia harus memiliki uang. Untuk pergi haji di zaman sekarang lebih mudah, tinggal membawa uang yang cukup atau membawa semacam kartu ATM kita sudah dapat menarik uang di sana. Lain halnya dengan orang-orang tua kita dahulu, mereka harus mempersiapkan perbekalan yang begitu banyak untuk kebutuhan di tanah suci.
Orang yang tidak membawa bekal, tetapi ia ada usaha dengan berdagang atau menjual jasa dalam perjalanannya. Dengan sebab usahanya ia dapat membeli bekalnya, dengan usahanya cukup untuk memenuhi segala kebutuhannya selama melaksanakan manasik haji di Makkah. Andaikata jauh perjalanannya lebih dari 2 marhalah atau lebih, dan dia tidak mempunyai bekal yang cukup, maka dia tidak diwajibkan melaksanakan manasik/ ibadah haji. Andaikata hasil usahanya dalam 1 hari dapat memenuhi kebutuhannya untuk beberapa hari itu masih dapat digolongkan tidak mampu. Dengan alasan tidak selamanya dagangannya laku atau tidak selamanya ada yang memakai jasanya, sehingga mesti ada bekal yang cukup untuk di bawa.

          Tempat Penyimpan Bekal (Sahara/Rotan/Bejana/Karung)
Wadaa’h/ penampungan untuk membawa zat bersama dengan dia dari negerinya. Bila sudah ada bekal, tetapi kita tidak mempunyai tempat/ Wadaa’h untuk membawa bekal itu, maka kita masih digolongkan tidak mampu. Untuk saat ini yang disebut sebagai tempat/ Wadaa’h untuk menampung bekal kita adalah semacam koper dan alat pengikat. Jika ia butuh, tetapi ia tidak mampu mengadakan/ membelinya, maka ia masih dapat dikatakan belum mampu. Terkadang ada orang tidak butuh dengan Wadaa’h/ tempat penyimpanan, karena misalnya tempat tinggalnya dekat dari Makkah,  jarak antara tempat tinggalnya dengan Makkah kurang dari 2 marhalah (82 Km). Imam Hanafi baru membolehkan orang melaksanakan Shalat Qoshor-Jamma’ bila sudah menempuh perjalanan sejauh 3 marhalah (123 Km.), tetapi pendapat dari Imam Syafi’i, 2 marhalah sudah boleh melaksanakan Shalat Qoshor-Jamma’. Untuk keluar dari khilaf yang mewajibkannya, meskipun bila perjalanan sudah mencapai 2 marhalah boleh melaksanakan Shalat Qoshor-Jamma’, tetapi disunnahkan apabila kurang dari 3 marhalah, maka jangan melakukan Shalat Qoshor-Jamma’ untuk menghargai pendapat dari Imam Hanafi.

2.  Adanya Air
Dahulu di padang sahara air sangat dibutuhkan, sehingga di zaman dahulu shodaqoh yang lebih afdol adalah berupa air. Untuk zaman sekarang air sudah cukup banyak di tanah suci. Membawa air di tempat-tempat yang biasanya orang membawa air, karena kita akan mengalami kehausan bila tidak membawa air. Misalkan ada air, tetapi harganya tidak wajar (mahal) maka belum dibebankan/ diwajibkan baginya melaksanakan manasik haji. Andaikata ia tidak mendapatkan air di tempat-tempat yang dibutuhkan air, ia mempunyai uang, tetapi air yang akan dibeli tidak ada, maka ia belum diwajibkan melaksanakan ibadah haji. Atau uang dan airnya ada, tetapi harganya melambung tinggi, maka itu juga dapat menggugurkan kewajiban ibadah haji baginya.

3.  Adanya Kendaraaan
Adanya uang untuk mendatangkan kendaraan, atau adanya kemampuan kita untuk mendatangkan kendaraan. Pada zaman dahulu biasanya binatang semacam onta, kuda, kapal layar atapun lainnya. Sedangkan untuk zaman sekarang misalnya sudah ada pesawat udara. Tidak sembarang kendaraan, adalah kendaraan yang layak baginya dengan jalan membeli dengan harga yang biasa/ harga yang pantas untuk ia dapat menunaikan ibadah haji ke Makkah. Jika ada kendaraan, tetapi harganya melambung tinggi, sehingga ia tidak sanggup membelinya ataupun ia mampu membelinya, tetapi tetap belum wajib baginya melaksanakan ibadah haji.
Ataupun dengan jalan menyewa, tetapi dengan harga sewa yang wajar pula, bila melampaui harga pasaran, maka tidak di wajibkan juga baginya melaksanakan ibadah haji. Disayaratkan adanya kendaraan untuk perempuna dan unsa’/banci (yang mempunyai 2 alat kelamin), syarat ini mutlaq, baik mampu ataupun tidak mampu untuk berjalan kaki, tetap wajib baginya mengendarai kendaraan. Hal ini untuk menghindari fitnah, dengan kendaraan akan menghindari fitnah dibandingkan ia berjalan kaki. Adapun bagi laki-laki yang tidak mampu untuk berjalan (mislanya karena tua renta atau ada cacat di kakinya), maka wajib baginya untuk membawa kendaraan. Akan tetapi bagi laki-laki yang mampu berjalan dan jarak perjalan antara rumah tinggalnya dengan Makkah sejauh 2 marhalah (82 Km) atau lebih, maka meskipun ia mampu berjalan, tetap disyaratkan adanya kendaraan. Meskipun jarak antara rumahnya dengan padang Arafah dekat, tetapi jarak antara rumahnya dengan Makkah cukup jauh, maka jarak antara rumahnya dengan padang Arafah tidak dipandang, ia tetap harus ada kendaraan. Ia mampu untuk berjalan kaki meskipun jarak antara tempat tinggalnya dengan Makkah cukup jauh, meskipun tidak wajib baginya untuk melaksanakan haji bila tidak ada kendaraan, tetapi ia masih disunnahkan untuk pergi haji. Jadi mampu atau tidak mampu dia berjalan kaki, apabila jarak rumah tinggalnya dengan Makkah sejauh 2 marhalah atau lebih, maka tetap disyaratkan baginya untuk mengendarai kendaraan, bila tidak ada kendaraan maka gugur kewajiban haji baginya, tetapi bila tidak ada kendaraan tetapi ia mampu untuk berjalan kaki, maka masih disunnahkan baginya melaksanakan ibadah haji.
Jika laki-laki yang mampu berjalan kaki dan jarak antara rumah tinggalnya dengan Makkah kurang dari 2 marhalah dan ia mampu membawa zat (bekalnya) dan bejana/koper-koper tempat bekalnya serta  air atau ia mampu untuk mendatangkan kendaraan atau binatang (onta, kuda ataupun lainnya) dan binatang atau kendaraan itu dapat untuk mengangakut zat/bekalnya, maka wajib baginya untuk menunaikan ibadah haji.
Jika ia telah memperhitungkan jumlah uang yang dimilikinya dan ia juga memperhitungkan jumlah hutang-hutangnya, setelah uang/ hartanya dikurangi dengan hutang-hutangnya ternyata masih cukup baginya untuk menunaikan ibadah haji dan cukup pula untuk membeli bekal(zat), bejana/ koper, mampu untuk mendatangkan kendaraan dan mampu untuk membeli air, maka wajib baginya untuk pergi haji. Jika masih ada hutang, maka jangan pergi haji terlebih dahulu, apalagi umroh, jika ingin pergi haji juga ataupun ia ingin pergi yang cukup jauh maka harus se-izin dari yang memberi hutang (debitur), karena kita tidak tahu umur kita sedangkan kita tidak ada wasiat/ pesan kepada ahli waris/ keluarga kita.  Sekalipun hutangnya itu tempo, tidak cash/ kontan, maka tetap wajib di lunasi sebelum kita pergi haji atau kita meminta izin kepada orang yang memberikan pinjaman/ debitur.
Ataupun kita mempunyai hutang kepada Alloh, semacam untuk membayar kafarot/ denda ataupun ada hutang nazar dan itu semua harus di bayar/ di lunasi terlebih dahulu sebelum kita melaksanakan ibadah haji.
Dan kita ada juga kemampuan untuk meninggalkan/ menyediakan bekal untuk anak dan istri dan orang-orang yang wajib untuk dibiayai selama kita tinggalkan pergi haji. Jangan uang untuk nafkah mereka dikurang-kurangi dari yang biasanya/ semestinya, kebutuhan makan, kebutuhan sekolah anak-anaknya, ada biaya untuk menjaga kesehatan mereka, ada biaya untuk cucu, orang tua atau kakek/nenek bila mereka tidak mampu, dari mulai kita berangkat haji sampai kita kembali dari ibadah haji. Kita juga harus dapat menjamin agar anak istri kita dapat tinggal di tempat yang layak, jangan sampai bila biasanya mereka tinggal di rumah yang besar, begitu kita berangkat haji, mereka kita tempatkan di rumah yang kecil, hal ini tidak layak dan tidak boleh kita lakukan, jika memungkinkan hendaknya yang lebih bagus. Hal ini bila mereka tidak butuh akan tempat penginapan/losmen/ hotel/rubat, bila mereka membutuhkan maka kita harus pula menyediakannya.
Dan bila mereka memerlukan budaq (zaman dahulu) atau sekarang ini semacam pembantu, maka kita harus pula menyediakannya. Jangan sampai biasaya ada pembantu, kemudian untuk menghemat pengeluaran kita memberhentikan pembantu, maka hal itu tidak layak/patut kita lakukan. Dan untuk menggaji pembantu tersebut, tentunya kita juga harus menyiapkan uang untuk menggaji mereka. Bila misalnya istri atau anak kita dalam kondisi lumpuh yang tentunya membutuhan orang untuk melayaninya, maka kita wajib menyediakannya. Kita harus menjaga jangan sampai keluarga yang kita tinggalkan meminta-minta untuk memenuhi kebutuhannya selama kita tinggalkan.
Ada suatu kisoh tentang Hatim bin Ashom, suatu saat ia akan berangkat haji, tetapi keluarganya mencegahnya untuk pergi haji, karena keadaan keluarga mereka memang kekurangan, keluarganya beralasan ada saja Hatim di rumahnya kebutuhannya tidak mencukupi apalagi bila ia pergi menunaikan ibadah haji. Akan tetapi ada seorang anak perempuannya yang paling kecil berkata: “Pergilah bapak berangkat ke tanah suci, kami ada Alloh yang akan menjamin rizki kami selama bapak pergi haji.” Mendengar perkataan anak yang paling kecil, istrinya dan anak-anaknya yang lain menjadi sadar dan merelakan Hatim bin Ashom untuk berangat haji. Keyakinan semacam ini adalah karena kualitas keimanan yang sudah tinggi, kita tidak bisa samakan kulitas keimanan mereka dengan kualitas keimanan dari anak dan istiri kita. Setelah keluarganya mengikhlaskan untuk pergi, maka pergilah Hatim bin Ashom ke tanah suci. Tidak beberapa lama setelah Hatim bin Ashom berangkat, lewatlah di depan rumah mereka rombongan raja, mereka sedang mencari air minum, anak Hatim bin Ashom yang paling kecil mengeluarkan air minum untuk raja dan rombongannya, dan sebagai balasannya raja memberikan ikat pinggangnya yang terbuat dari emas. Melihat raja memberikan sumbangan, para pengawalnya tidak mau ketinggalan untuk ikut bershodaqoh, mereka juga memberikan harta yang mereka miliki. Sehingga dengan semua pemberian itu tidak hanya cukup untuk kebutuhan mereka beberapa bulan, bahkan dapat memenuhi kebutuhan mereka untuk beberapa tahun. Ini membuktikan bahwa Alloh menjamin rizki hambaNya.

4.  Sunyinya Jalan dari Binatang Buas dan Orang Jahat
Jika tidak ada hambatan yang mengganggu keselamatan nyawa dan harta kita baru disitu terpenuhi syarat yang keempat. Kosongnya jalan yang disyaratkan disini adalah amannya jalan, sekalipun hanya merupakan sangkaan/ dugaan dia saja, tidak sampai pada keyakinan. Jalan yang aman adalah yang layak, yang pantas dalam pelayaran/ perjalanan. Dalam pelayaran/ perjalanan suasana seperti ini aman dan layak. Meskipun jika kita bandingkan dengan suasana di kampung kita, suasana seperti ini tidak aman. Jadi jangan dibandingkan dengan suasana/ kondisi di lain tempat. Masing-masing tempat suasana dan kondisinya berbeda-beda, bila suasana seperti ini di nilai aman di suatu tempat, sedangkan bila dibandingkan dengan di tempat lain suasana seperti ini di nilai tidak aman, jadi yang dipandang adalah suasana yang layak di masing-masing tempat, sama saja di daratan maupun di lautan. Umumnya suasana jalan seperti ini orang selamat dari perampokan, pembunuhan, pelecehan sexual dan lain sebagainya, maka sudah cukup memenuhi syarat untuk ia pergi haji. Andaikata seseorang tidak merasa aman atas keselamatan jiwanya atau hartanya yang dia butuh untuk menyertainya bersama dia meskipun sedikit nilainya, ataupun dia tidak merasa aman akan kehormatannya (bagi wanita), maka belum wajib baginya untuk menunaikan ibadah haji begitupula tidak wajib umroh. Bahkan tidak hanya tidak wajib, tetapi tidakpula di sunnahkan. Dalam qoidah: keselamatan jiwa lebih diutamakan. Bahkan kemungkinan bisa menjadi harom, bila kondisinya mengganggu keselamatan jiwa, harta dan kehormatannya. Bila sangkaan lebih kuat tidak amannya di bandingkan dengan amannya, maka harom untuk dia pergi haji pada tahun itu. Bila sangkaan aman dan tidak amannya berimbang, maka tidak di wajibkan dan tidak disunnahkan, tetapi bila sangkaan tidak amannya lebih besar, maka tidak hanya tidak wajib dan tidak pula disunnahkan, bahkan bisa menjadi harom menunaikan ibadah haji/ umroh pada tahun itu.

5.  Masa yang Memungkinkan Baginya Berjalan Dengan Waktu yang Biasa
Kriterianya dikatakan ia mampu berjalan yaitu adanya masa/ waktu yang memungkinkan bagi dia untuk berjalan yang wajar/ biasa. Misalkan masa untuk berjalan ke Makkah dengan berjalan kaki biasanya ditempuh dalam waktu 2 bulan, akan tetapi karena waktunya sudah picik sekali, maka harus ditempuh dalam waktu 1 bulan, maka tidak wajib haji baginya. Misalkan untuk menuju Padang Arafah yang biasanya ditempuh dengan berjalan kaki membutuhkan waktu 2 hari, tetapi karena sudah picik waktu, maka harus di tempuh dalam waktu 1 hari untuk mengejar waktu Wuquf tanggal 9 Dzulhijah di Padang Arafah, maka menjadi tidak wajib haji baginya. Masa yang memungkinkan dia berjalan dengan waktu yang biasa menuju ke Makkah. Misalkan jarak tempuh antara Jakarta menuju bandara King Abdul Aziz dengan pesawat memakan waktu 9 jam. Jika ditempuh dalam waktu 9 jam, maka akan habis masa Wuquf di Padang Arafah, maka untuk mengejar waktu Wuquf di Padang Arafah pesawat harus menempuh perjalanan hanya dalam waktu 5 jam, maka hal itu juga tidak menjadi wajib haji, karena menimbulkan resiko keselamatan kita. Ini syarat untuk wajib haji saja, yaitu masa/waktu yang memungkinkan baginya berjalan yang biasa, tidak boleh yang luar biasa. Adapun untuk Umroh tidak ada waktu tertentu, kapan saja bisa Umroh, sedangkan untuk Haji tidak dapat dilakukan pada sembarang bulan. Sedangkan Haji hanya terbatas waktu, yaitu mulai tanggal 1 Syawal sampai tanggal 10 Dzulhijah waktu Shubuh. Jika ia sanggup berjalan yang memungkinkan baginya menempuh perjalanan dalam waktu yang tidak dari biasanya (lebih cepat), tetapi tetap ia tidak wajib haji. Keselamatan nyawanya lebih utama dari pada kepentingan agama, bukan hanya tidak wajib bahkan bisa harom. Jika sangkaannya lebih kuat akan membahayakan dirinya, maka itu menjadi tidak wajib. Jika persyaratan hajinya sudah lengkap, tetapi ternyata perjalanannya harus ditempuh dengan waktu yang tidak biasanya (harus cepat) dan ia keburu  meninggal pada ini tahun, maka tidak wajib dikhodho dari harta warisan peninggalannya. Silahkan pecah waris, tidak perlu disisihkan untuk membuat badal haji. Akan tetapi jika semua persyaratan sudah terpenuhi dan perjalanannya pun dapat dilakukan dalam masa/ waktu yang normal, tetapi ia keburu meninggal pada tahun ini, maka harta warisan jangan dipecah terlebih dahulu sebelum disisihkan untuk membayar hutang-hutangnya, menjalankan wasiatnya, membuat badal haji. Meskipun ia tidak wajib haji karena ada halangan masa yang tidak memungkinkan baginya untuk melakukan perjalanan ibadah haji dalam waktu yang normal, tetapi dibolehkan pihak ahli waris mengupah orang untuk  membuat badal haji apabila ada kesepakatan dari semua ahli waris. Membuat badal haji hukumnya sunnah, seperti juga membayarkan hutang orang. Akan tetapi disini ada Hilaful Ulama (Perbedaan Pendapat Ulama).

6.  Bagi Perempuan Harus Ada Pendamping
Untuk perempuan yang akan pergi haji harus ada yang mendampingi yaitu suaminya atau mahromnya. Mahrom adalah orang yang tidak dibolehkan ia menikah dengannya seperti anak lelaki, paman, keponakan lelaki, saudara laki-lakinya, bapak ataupun kakeknya. Sudah menjadi kebiasaan orang dalam menyebutkan orang yang tidak halal untuk dinikahi adalah dengan sebutan muhrim, padahal itu adalah salah dalam arti bahasa, karena arti muhrim adalah orang yang sedang ikhrom haji atau umroh. Sedangkan arti mahrom adalah orang lelaki/ perempuan yang tidak boleh atau tidak halal bagi kita untuk menikahinya. Jadi bagi perempuan yang ingin pergi haji harus di dampingi oleh suaminya, akan tetapi bila suaminya berhalangan, maka dapat didampingi oleh mahromnya. Syarat dari salah satu dari keduanya (suami atau mahromnya) yang mendampingi perempuan untuk pergi haji adalah mempunyai rasa ghiroh (rasa cemburu) andaikata perempuan tersebut di ganggu atau dilecehkan orang. Yang mendampingi perempuan tersebut harus mempunyai rasa cemburu/ marah/ tidak senang apabila perempuan yang didampingi di ganggu atau dilecehkan karena ini merupakan suatu kehormatan yang harus dijaga. Jangan menjadi lelaki yang dayus (tidak mempunyai rasa cemburu),  apabila istrinya jalan dengan lelaki lain, pulang malam, pergi jauh tanpa didampingi mahromnya, tempat suami yang dayus nantinya adalah di neraka jahanam. Perempuan yang menunaikan ibadah haji tidak boleh didampingi oleh suami atau mahrom yang dayus. Apabila suami atau mahromnya tidak dapat mendampinginya, maka yang mendampinginya adalah budaq lelakinya atau beberapa budaq perempuannya, syaratnya budaqnya tersebut adalah budaq yang dapat dipercaya (minimal 2 orang atau lebih, semakin banyak semakin bagus), agar perempuan tadi merasa aman atas keselamatan dirinya dan kehormatannya.
Hadist Nabi SAW. Riwayat Bukhari dan Muslim: “Tidak dibolehkan perempuan berlayar (mengadakan perjalanan) selama 2 hari saja kecuali ada bersama dia suaminya atau mahromnya.”
          Keluar dari hadist di atas, untuk pergi haji yang fardhu dibolehkan perempuan ditemani oleh seorang perempuan saja, dibolehkan juga ia pergi sendiri menunaikan ibadah haji yang fardhu bila tidak ada biaya untuk membayar orang untuk mendampingi dia dengan catatan kondisinya aman. Andaikata ia mesti membayar orang untuk mendampingnya, maka harus dibayarkan bila ia ada uang, tetapi bila tidak ada uang yang cukup, maka dia boleh pergi sendiri untuk pergi haji yang fardhu (haji yang pertama kali). Untuk haji yang ke-2 dan seterusnya tidak dibolehkan tanpa pendamping suami atau mahromnya. Meskipun bila ada banyak perempuan yang pergi bersamanya, tetap tidak dibolehkan bila tidak didampingi oleh suami atau mahromnya. Demikian pula untuk semua pelayaran (perjalanan) yang tidak wajib semacam ziaroh atau tamasya, hukumnya harom sebagaimana fatwa-fatwa dari ulama-ulama sholihin. Jaga istri kita jangan sampai tertipu, ingin mencari barokah ke maqom-maqom waliyullah tetapi dengan melanggar aturan syariat/agama, bukan keberkahan yang didapat malah dosa yang didapat.

7.  Dapat Duduk Nyaman di Kendaraannya
Bila misalkan dia pergi haji sendiri dengan mengendarai onta, sehingga kedudukan posisi duduknya menjadi miring karena tidak seimbang, akibatnya menjadi tidak nyaman ia punya posisi duduk, maka tidak wajib haji baginya. Misalkan perjalanannya terganggu degan kondisi cuaca, maka tidak wajib haji pula baginya. Tidak mengapa posisi duduknya tidak nyaman, asal ketidaknyamanannya itu berdasarkan adat atau kebiasaannya dapat ia tanggung dan diatasi, maka masih wajib baginya untuk melaksanakan ibadah haji.


CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri. Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya Jawab dalam Blog ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini. 
Afwan Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di maklum, terima kasih. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Diterbitkan dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui E-mail:  hsn_5805@yahoo.co.id

Ingin mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY: http://www.facebook.com/groups/alkifahi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar