Pokok
Bahasan : FIQIH
(HAJI & UMROH)
Judul : Syarat Wajib Haji & Umroh
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Hendaknya
kamu bersegera dalam menunaikan kewajiban ibadah haji disaat sudah ada
kemampuan baik dari segi fisik maupun harta. Dan hati-hati jangan kamu
mengakhir-akhirkan dalam melaksanakan ibadah haji ( ibadah-ibadah yang lainnya
) diwaktu sudah ada kemampuan secara fisik dan harta. Karena kita tidak dapat
menduga pada saat yang akan datang akan timbul hambatan-hambatan yang akan
menghalangi seperti: ajal yang keburu menjemput, kesehatan yang semakin
berkurang dan keuangan yang mungkin tidak mencukupi lagi ataupun
musibah-musibah lain yang mungkin akan datang.
Apabila
ada orang yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi belum
melaksanakannya, maka pada saat ia meninggal dunia, hartanya belum boleh
dibagikan kepada ahli waris sebelum dilaksanakan ba’dal haji untuk orang yang
meninggal tersebut.
Hadist
Nabi: “Siapa orang yang tidak ditahan oleh hajat yang nyata atau penguasa yang
zholim yang menghalanginya, tetapi ia tidak melaksanakan haji, maka ia boleh
memilih mati secara yahudi atau nasrani.”
Hendaknya
disaat kita ada kemampun lagi, hendaknya kita melaksanakan haji dan umroh
sunnah. Hendaknya ibadah haji tersebut kita ulangi minimal setiap 5 tahun
sekali setelah kita melaksanakan ibadah haji yang wajib.
Disaat
akan melaksanakan ibadah haji, hendaknya mempelajari terlebih dahulu hal yang
wajib dalam haji, hal yang sunnah, bacaan atau doa-doa dalam haji, ruh’soh
safar (keringan ibadah dalam perjalanan), serta ilmu tentang penentuan arah
qiblat, akan tetapi untuk saat ini ilmu tersebut sudah kurang diperlukan lagi,
karena sudah banyak petunjuk tentang arah qiblat dimana-mana.
Dalam
ibadah haji tidak ada shalat Ja’ma’ (menggabungkan dua waktu shalat pada satu
waktu) karena orang yang melaksanakan ibadah haji akan tinggal cukup lama, jadi
tidak dapat digolongkan sebagai musafir.
Meskipun
dibolehkan, hendaknya jangan membarengi ibadah haji dengan tujuan-tujuan lain,
seperti berdagang. Bahkan jangan kamu membawa harta banyak, terkecuali untuk
dinafkahkan atau dishodaqohkan disana. Bila mesti membawa uang banyak, maka
jauhkan dari membawa sesuatu yang akan membimbangkan kamu dari melaksanakan
ibadah haji.
Haji menurut Luqhot (bahasa) adalah: kita datang atau menuju. Sedangkan haji menurut Syara (agama) adalah: kita datang menuju ke Baitul Harom untuk menjalankan manasik haji (ibadah-ibadah haji). Tetapi kita tidak hanya sekedar datang, melainkan kita datangkan rukun-rukun haji juga.
Haji
bukan khusus untuk umat Nabi Muhammad SAW., haji adalah syariah yang lama bukan
syariah yang baru. Pada saat Nabi Adam AS. melaksanakan ibadah haji, malaikat
Jibril AS. berkata kepada Nabi Adam AS.: “Sesungguhnya malaikat-malaikat Alloh
dahulu mereka thawaf sebelum kamu di ini Ka’bah selama 7.000 tahun. Ini
membuktikan bahwa ibadah haji bukan merupakan syariat yang baru, melainkan
syariat yang sudah lama.
Dalam
kitab: “Ta’jiz” dikatakan bahwa: “Sesungguhnya manusia yang pertama kali
melaksanakan ibadah haji adalah Nabi Adam AS. Nabi Adam melaksanakan haji
selama 40 tahun berturut-turut, ia berangkat dari India dengan berjalan kaki.”
Tidak ada satu nabi pun yang tidak melaksanakan ibadah haji.
Ulama-ulama
berbeda pendapat mengenai kapan mulai di wajibkannya ibadah haji bagi umat Nabi
Muhammad SAW. mereka ada yang berpendapat bahwa kewajiban ibadah haji itu telah
Alloh wajibkan sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah seperti di katakan dalam kitab
“Nihayah”. Akan tetapi yang mashur/ mu’tamat adalah ibadah haji di wajibkan
setelah nabi hijrah ke Madinah, tepatnya pada tahun ke-5 setelah Nabi hijrah.
Hikmahnya
kenapa orang yang melakukan manasik haji di panggil sebagai Hajjah/Haji, karena
huruf “H” disini sebagai isyarat karena Alloh bersifat “Hilim/Halim” (tidak
cepat bertindak/sabar). Sedangkan huruf “Jim” berarti “Julum/ Jurmun/ Jurmi.
Seakan-akan orang yang pergi haji menghadap Ka’bah ini berkata: “Ya Rabbi, aku
datang kepadamu dengan membawa dosa-dosaku yang banyak untuk kau ampuni
dosa-dosaku yang banyak itu dengan sifat diri-Mu yang tidak cepat bertindak
(Hilim).”
Umroh
menurut Lughot (bahasa) artinya: “Jiarah”. Dan jika menurut Syara’ (hukum
agama): “Jiarah menuju Ka’bah di Baitul Harom untuk mendatangkan
manasik-manasik (peribadatan-peribadatan) haji atau manasik-manasik umroh,
serta mengerjakan rukun-rukun haji dan rukun-rukun umroh. Kita diwajibkan haji
dan diwajibkan umroh 1 (satu) kali dalam seumur hidup kita.
Hadist
Riwayat Ibnu Hibam dari Abdullah bin Umar RA.: “Sesungguhnya orang-orang yang akan
melaksanakan ibadah haji disaat ia keluar melangkah dari rumah tangganya ia
tidak melangkah satu langkah melainkan Alloh tulis baginya satu kebajikan dan Alloh
gugurkan/hapuskan dari langkah tadi dosa-dosa dan kesalahannya.” Sekalipun kita naik pesawat ataupun naik
mobil, tetap akan di hitung sebagaimana kita melangkah dengan berjalan kaki.
Bisa jadi sebelum dia melaksanakan ibadah haji, dia sudah terhapus
dosa-dosanya.
Biasanya
jama’ah haji dari Indonesia sudah diberangkatkan menuju Padang Arafah pada
tanggal 8 Dzulhijah (untuk menghindari kemacetan). Dan pada tanggal 8 Dzulhijah
tersebut belum ada kegiatan ibadah haji, meskipun kita sudah berada di Padang
Arafah, biasanya jama’ah haji mengisinya dengan membaca Al Qur’an ataupun
dzikir.
Cental
Ibadah Haji adalah Arafah, jika kita sudah meninggalkan Arafah sebelum masuk
waktu Dzuhur, maka tidak sah ibadah haji kita. Wuquf di padang Arafah di mulai
ba’da jawwal dan Wuquf tidak membutuhkan waktu lama, 5 atau 10 menit sudah sah,
sambil lewat ataupun tertidurpun tetap sah, makanya untuk orang yang sedang
sakitpun wajib di datangkan ke padang Arafah, karena wuquf di Padang Arafah
tidak dapat di wakilkan.
Pada
mahzab Imam Syafi’i di isyaratkan untuk tetap berada di Padang Arafah sampai
terbenamnya matahari (masuk waktu Maghrib). Maka bagi pengikut Mahzab Imam
Syafi’i bila ia keluar dari Padang Arafah sebelum masuk waktu Magrib mereka di
sunnahkan (tidak di wajibkan) membayar dam (denda) 1 (satu) ekor kambing.
Jika
mereka sudah melaksanakan Wuquf di Padang Arafah (9 Dzulhijah), Alloh membanggakan kepada para
malaikat-malaikatnya. Alloh berfirman: “Hai
malaikat-malaikatku, pandang dan lihatlah itu hamba-hamba-Ku yang sedang Wukuf
di Arafah, mereka datang kepada-Ku dalam keadaan kusut dia punya rambut, dalam
keadaan berdebu ia punya muka. Aku angkat kalian sebagai saksi sesungguhnya Aku
sudah ampuni dosa-dosa mereka sekalipun mereka hamba-hamba-Ku jumlah
bilangannya sebilangan tetesan air hujan, sebanyak butiran pasir di gurun.
Sebanyak apapun mereka dan sebanyak apapun dosa-dosa mereka Aku ampuni
dosa-dosa mereka.” Maka dosa yang
paling besar adalah dosa yang di saat ia Wuquf di Arafah, ia tidak meyakini
bahwa Alloh mengampuni ia punya dosa. Dosa sebesar apapun juga, saat ia sedang
Wuquf, maka Alloh ampuni dosa-dosanya.
Setelah
wuquf di padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah, setelah ba’da Maghrib dia
mulai berjalan menuju Muzdalifah untuk ‘mabid’ (bermalam) di Muzdalifah
hukumnya wajib. Dia tidak boleh keluar/ meninggalkan Muzdalifah sebelum
melewati jam 12 malam waktu setempat. Jarak antara Arafah ke Muzdalifah tidak
beberapa jauh, berjalan kaki dapat dijadikan alternatif, karena bila
menggunakan kendaraan akan terjebak macet. Andaikata kita berangkat dari Arafah
setelah ba’da Maghrib, maka diperkirakan kita akan sampai di Muzdalifah pada jam
8 atau jam 9 malam. Kita harus mabid di Muzdalifah sampai tengah malam
(sebaikanya dilewatkan sampai 10/15 menit, lebih juga dibolehkan). Apabila kita
meninggalkan Muzdalifah sebelum masuk tengah malam, maka kita terkena
sangsi/dam berupa menyembelih 1 ekor kambing.
Setelah
mabid di Muzdalifah perjalanan di lanjutkan menuju Minna untuk melontar ‘Jamroh
Aqobah’ (bukan jumroh). Melontar jamroh baru boleh mulai dikerjakan
setelahlewat tengah malam. Andaikata kita keluar dari Muzdalifah menuju Minna
sebelum tengah malam dan akibatnya kita terkena dam 1 ekor kambing, dan setelah
sampai di Minna-pun kita tidak dapat langsung melontar Jamroh, karena melontar
baru boleh dilakukan setelah lewat tengah malam.
Jika
mereka sudah melontar Jamroh Aqobah (sebanyak 7 lontaran), maka tidak ada
seorangpun yang mengetahui ganjaran pahala apa yang telah Alloh siapkan sampai Alloh
wafatkan ia, nanti di hari Qiamat baru ia mengetahui ganjaran pahala yang ia
terima. Pada malam ke-10 (sepuluh) hanya melontar Jamroh Aqobah saja, dan pada
tanggal 11, 12, 13 Dzulhijah baru melontar Jamroh Ula, Wusto dan Aqobah.
Urutan
prosesi yang normal (biasa) adalah: Wuquf
di Padang Arafah – Mabid di Muzdalifah – Jamroh Aqobah di Minna – Kemudian
Tahalul Awal (bercukur). Akan tetapi
pelaksanaannya tidaklah wajib tertib (berurutan). Apabila kita di hadang masuk
ke Minna karena jama’ah haji telah penuh di Minna, maka urutan prosesi ibadah
hajinya menjadi: Wuquf di Padang Arafah
– Mabid di Muzdalifah – Thawaf Ifadoh (Thawaf Rukun) di Makkah – Sa’ii –
Kemudian Tahalul Awal (bercukur).
Setelah
melakukan Tahalul Awal, maka kita sudah bebas dari apa yang Alloh haramkan
sebelumnya (semacam mengunakan pakaian yang berjahit, memakai peci, memakai
minyak wangi dll.) di saat kita sedang melaksanakan ibadah haji, kecuali
berhubungan suami istri dan mukadimah (pembukaannya/ cumbu-rayu) tetap di
larang dilakukan.
Tahalul
Awal adalah kita bercukur/ memotong/ mencabut/ membakar minimal 3 helai rambut.
Akan tetapi yang lebih bagus adalah mencukur habis (botak) kita punya rambut.
Nabi mendoakan bagi orang yang mencukur rambutnya hanya 3 helai rambut dengan 1
kali doa, tetapi bila kita mencukur habis rambutnya, maka Nabi mendoakannya
sebanyak 3 kali. Setelah ia bercukur rambut, maka untuk dia dan tiap-tiap
rambut yang telah lepas dari batok kepalanya menjadi cahaya di hari Qiamat.
Sehingga bagi orang yang mencukur habis rambutnya, tentu cahayanya di hari
Qiamat akan semakin terang.
Apabila
ia sudah melaksanakan akhir Thawaf Ifadoh-nya (Thawaf rukun), maka keluarlah ia
dari dosa-dosanya seperti anak yang baru di lahirkan dari ibunya (bersih tanpa
dosa), dan selanjutnya jagalah kita punya diri untuk tidak kembali berbuat
dosa.
Syarat-syarat
Wajib Haji dan Umroh ada 7 perkara. Syarat dan Rukun itu berbeda. Syarat adanya
diluar pekerjaan. 5 (lima) diantara syarat Wajib Haji dan Umroh adalah:
1. Islam, maka
tidak sah Haji dan Umroh orang kafir. Ada aturan yang melarang orang kafir (di
luar Islam) masuk ke wilayah tanah Haram.
2. Baliq, maka
anak yang belum baliq belum wajib Haji & Umroh baginya.
3. Berakal,
tidak sah hajinya orang gila atau tidak berakal.
4. Orang yang
merdeka, Budaq tidak ada kewajiban untuk melaksanakan Haji dan Umroh.
5. Ada kemampuan
baik dari segi fisik maupun dari segi materi untuk melaksanakan Ibadah Haji dan
Umroh.
Maka
tidak wajib Haji dan Umroh atas orang-orang yang bersifat berlawanan dengan apa
yang sudah disebutkan dalam syarat di atas.
Mengapa
budaq masih disebutkan sebagai salah satu syarat, karena yang kita ketahui
bahwa saat ini sudah tidak terlihat adanya perbudakan? Ini adalah hukum Alloh.
Agama Islam memang berusaha keras menghapus perbudakan, seperti salah satu
syarat untuk membayar kafarot, adalah kita diharuskan membebaskan budaq jika
mampu. Pada kenyataannya perbudakan masih terjadi di dunia ini, khususnya di
Negara-negara Amerika dan Eropa, seperti di Jerman, Prancis dan beberapa Negara
lain. Perbudakan bisa saja terjadi kembali apabila terjadi perang antara Negara
Islam dengan Negara kafir, karena tawanan perang dari Negara kafir statusnya
adalah sebagai budaq. Jadi sangat relevan bila pembahasan masalah perbudakan
masih harus kita pelajari.
Syarat
Wajib Haji adalah mampu, batasan bagaimana orang dapat dikatakan mampu. Syarat
dapat dikatakan mampu ada 7, yaitu:
1. Adanya Bekal (Wujudul Zat)
Kita memerlukan bekal untuk kebutuhan
saat menunaikan ibadah haji hingga kembali ke tanah air. Adanya sesuatu yang
dapat dikeluarkannya untuk mendapatkan zat, artinya adanya uang untuk membeli/
menghasilkan bekal (zat), jangan meminta-minta, jaga kita punya kehormatan diri
agar tidak meminta-minta di sana. Untuk mendapatkan bekal ia harus memiliki
uang. Untuk pergi haji di zaman sekarang lebih mudah, tinggal membawa uang yang
cukup atau membawa semacam kartu ATM kita sudah dapat menarik uang di sana. Lain
halnya dengan orang-orang tua kita dahulu, mereka harus mempersiapkan
perbekalan yang begitu banyak untuk kebutuhan di tanah suci.
Orang yang tidak membawa bekal,
tetapi ia ada usaha dengan berdagang atau menjual jasa dalam perjalanannya.
Dengan sebab usahanya ia dapat membeli bekalnya, dengan usahanya cukup untuk
memenuhi segala kebutuhannya selama melaksanakan manasik haji di Makkah.
Andaikata jauh perjalanannya lebih dari 2 marhalah atau lebih, dan dia tidak
mempunyai bekal yang cukup, maka dia tidak diwajibkan melaksanakan manasik/
ibadah haji. Andaikata hasil usahanya dalam 1 hari dapat memenuhi kebutuhannya
untuk beberapa hari itu masih dapat digolongkan tidak mampu. Dengan alasan
tidak selamanya dagangannya laku atau tidak selamanya ada yang memakai jasanya,
sehingga mesti ada bekal yang cukup untuk di bawa.
Tempat Penyimpan Bekal
(Sahara/Rotan/Bejana/Karung)
Wadaa’h/ penampungan untuk membawa
zat bersama dengan dia dari negerinya. Bila sudah ada bekal, tetapi kita tidak
mempunyai tempat/ Wadaa’h untuk membawa bekal itu, maka kita masih digolongkan
tidak mampu. Untuk saat ini yang disebut sebagai tempat/ Wadaa’h untuk
menampung bekal kita adalah semacam koper dan alat pengikat. Jika ia butuh,
tetapi ia tidak mampu mengadakan/ membelinya, maka ia masih dapat dikatakan
belum mampu. Terkadang ada orang tidak butuh dengan Wadaa’h/ tempat
penyimpanan, karena misalnya tempat tinggalnya dekat dari Makkah, jarak antara tempat tinggalnya dengan Makkah
kurang dari 2 marhalah (82 Km). Imam Hanafi baru membolehkan orang melaksanakan
Shalat Qoshor-Jamma’ bila sudah menempuh perjalanan sejauh 3 marhalah (123
Km.), tetapi pendapat dari Imam Syafi’i, 2 marhalah sudah boleh melaksanakan
Shalat Qoshor-Jamma’. Untuk keluar dari khilaf yang mewajibkannya, meskipun
bila perjalanan sudah mencapai 2 marhalah boleh melaksanakan Shalat
Qoshor-Jamma’, tetapi disunnahkan apabila kurang dari 3 marhalah, maka jangan
melakukan Shalat Qoshor-Jamma’ untuk menghargai pendapat dari Imam Hanafi.
2. Adanya Air
Dahulu di padang sahara air sangat
dibutuhkan, sehingga di zaman dahulu shodaqoh yang lebih afdol adalah berupa
air. Untuk zaman sekarang air sudah cukup banyak di tanah suci. Membawa air di
tempat-tempat yang biasanya orang membawa air, karena kita akan mengalami
kehausan bila tidak membawa air. Misalkan ada air, tetapi harganya tidak wajar
(mahal) maka belum dibebankan/ diwajibkan baginya melaksanakan manasik haji. Andaikata ia tidak mendapatkan air di
tempat-tempat yang dibutuhkan air, ia mempunyai uang, tetapi air yang akan
dibeli tidak ada, maka ia belum diwajibkan melaksanakan ibadah haji. Atau uang
dan airnya ada, tetapi harganya melambung tinggi, maka itu juga dapat
menggugurkan kewajiban ibadah haji baginya.
3. Adanya Kendaraaan
Adanya uang untuk mendatangkan
kendaraan, atau adanya kemampuan kita untuk mendatangkan kendaraan. Pada zaman
dahulu biasanya binatang semacam onta, kuda, kapal layar atapun lainnya.
Sedangkan untuk zaman sekarang misalnya sudah ada pesawat udara. Tidak
sembarang kendaraan, adalah kendaraan yang layak baginya dengan jalan membeli
dengan harga yang biasa/ harga yang pantas untuk ia dapat menunaikan ibadah
haji ke Makkah. Jika ada kendaraan, tetapi harganya melambung tinggi, sehingga
ia tidak sanggup membelinya ataupun ia mampu membelinya, tetapi tetap belum
wajib baginya melaksanakan ibadah haji.
Ataupun dengan jalan menyewa, tetapi
dengan harga sewa yang wajar pula, bila melampaui harga pasaran, maka tidak di
wajibkan juga baginya melaksanakan ibadah haji. Disayaratkan adanya kendaraan
untuk perempuna dan unsa’/banci (yang mempunyai 2 alat kelamin), syarat ini
mutlaq, baik mampu ataupun tidak mampu untuk berjalan kaki, tetap wajib baginya
mengendarai kendaraan. Hal ini untuk menghindari fitnah, dengan kendaraan akan
menghindari fitnah dibandingkan ia berjalan kaki. Adapun bagi laki-laki yang
tidak mampu untuk berjalan (mislanya karena tua renta atau ada cacat di
kakinya), maka wajib baginya untuk membawa kendaraan. Akan tetapi bagi
laki-laki yang mampu berjalan dan jarak perjalan antara rumah tinggalnya dengan
Makkah sejauh 2 marhalah (82 Km) atau lebih, maka meskipun ia mampu berjalan,
tetap disyaratkan adanya kendaraan. Meskipun jarak antara rumahnya dengan
padang Arafah dekat, tetapi jarak antara rumahnya dengan Makkah cukup jauh,
maka jarak antara rumahnya dengan padang Arafah tidak dipandang, ia tetap harus
ada kendaraan. Ia mampu untuk berjalan kaki meskipun jarak antara tempat
tinggalnya dengan Makkah cukup jauh, meskipun tidak wajib baginya untuk
melaksanakan haji bila tidak ada kendaraan, tetapi ia masih disunnahkan untuk
pergi haji. Jadi mampu atau tidak mampu dia berjalan kaki, apabila jarak rumah
tinggalnya dengan Makkah sejauh 2 marhalah atau lebih, maka tetap disyaratkan
baginya untuk mengendarai kendaraan, bila tidak ada kendaraan maka gugur
kewajiban haji baginya, tetapi bila tidak ada kendaraan tetapi ia mampu untuk
berjalan kaki, maka masih disunnahkan baginya melaksanakan ibadah haji.
Jika laki-laki yang mampu berjalan
kaki dan jarak antara rumah tinggalnya dengan Makkah kurang dari 2 marhalah dan
ia mampu membawa zat (bekalnya) dan bejana/koper-koper tempat bekalnya
serta air atau ia mampu untuk
mendatangkan kendaraan atau binatang (onta, kuda ataupun lainnya) dan binatang
atau kendaraan itu dapat untuk mengangakut zat/bekalnya, maka wajib baginya
untuk menunaikan ibadah haji.
Jika ia telah memperhitungkan jumlah
uang yang dimilikinya dan ia juga memperhitungkan jumlah hutang-hutangnya,
setelah uang/ hartanya dikurangi dengan hutang-hutangnya ternyata masih cukup
baginya untuk menunaikan ibadah haji dan cukup pula untuk membeli bekal(zat),
bejana/ koper, mampu untuk mendatangkan kendaraan dan mampu untuk membeli air,
maka wajib baginya untuk pergi haji. Jika masih ada hutang, maka jangan pergi
haji terlebih dahulu, apalagi umroh, jika ingin pergi haji juga ataupun ia
ingin pergi yang cukup jauh maka harus se-izin dari yang memberi hutang
(debitur), karena kita tidak tahu umur kita sedangkan kita tidak ada wasiat/
pesan kepada ahli waris/ keluarga kita.
Sekalipun hutangnya itu tempo, tidak cash/ kontan, maka tetap wajib di
lunasi sebelum kita pergi haji atau kita meminta izin kepada orang yang
memberikan pinjaman/ debitur.
Ataupun kita mempunyai hutang kepada Alloh,
semacam untuk membayar kafarot/ denda ataupun ada hutang nazar dan itu semua
harus di bayar/ di lunasi terlebih dahulu sebelum kita melaksanakan ibadah
haji.
Dan kita ada juga kemampuan untuk
meninggalkan/ menyediakan bekal untuk anak dan istri dan orang-orang yang wajib
untuk dibiayai selama kita tinggalkan pergi haji. Jangan uang untuk nafkah
mereka dikurang-kurangi dari yang biasanya/ semestinya, kebutuhan makan,
kebutuhan sekolah anak-anaknya, ada biaya untuk menjaga kesehatan mereka, ada
biaya untuk cucu, orang tua atau kakek/nenek bila mereka tidak mampu, dari
mulai kita berangkat haji sampai kita kembali dari ibadah haji. Kita juga harus
dapat menjamin agar anak istri kita dapat tinggal di tempat yang layak, jangan
sampai bila biasanya mereka tinggal di rumah yang besar, begitu kita berangkat
haji, mereka kita tempatkan di rumah yang kecil, hal ini tidak layak dan tidak
boleh kita lakukan, jika memungkinkan hendaknya yang lebih bagus. Hal ini bila
mereka tidak butuh akan tempat penginapan/losmen/ hotel/rubat, bila mereka
membutuhkan maka kita harus pula menyediakannya.
Dan bila mereka memerlukan budaq
(zaman dahulu) atau sekarang ini semacam pembantu, maka kita harus pula
menyediakannya. Jangan sampai biasaya ada pembantu, kemudian untuk menghemat
pengeluaran kita memberhentikan pembantu, maka hal itu tidak layak/patut kita
lakukan. Dan untuk menggaji pembantu tersebut, tentunya kita juga harus
menyiapkan uang untuk menggaji mereka. Bila misalnya istri atau anak kita dalam
kondisi lumpuh yang tentunya membutuhan orang untuk melayaninya, maka kita
wajib menyediakannya. Kita harus menjaga jangan sampai keluarga yang kita
tinggalkan meminta-minta untuk memenuhi kebutuhannya selama kita tinggalkan.
Ada suatu kisoh tentang Hatim bin
Ashom, suatu saat ia akan berangkat haji, tetapi keluarganya mencegahnya untuk
pergi haji, karena keadaan keluarga mereka memang kekurangan, keluarganya
beralasan ada saja Hatim di rumahnya kebutuhannya tidak mencukupi apalagi bila
ia pergi menunaikan ibadah haji. Akan tetapi ada seorang anak perempuannya yang
paling kecil berkata: “Pergilah bapak berangkat ke tanah suci, kami ada Alloh
yang akan menjamin rizki kami selama bapak pergi haji.” Mendengar perkataan
anak yang paling kecil, istrinya dan anak-anaknya yang lain menjadi sadar dan
merelakan Hatim bin Ashom untuk berangat haji. Keyakinan semacam ini adalah
karena kualitas keimanan yang sudah tinggi, kita tidak bisa samakan kulitas
keimanan mereka dengan kualitas keimanan dari anak dan istiri kita. Setelah
keluarganya mengikhlaskan untuk pergi, maka pergilah Hatim bin Ashom ke tanah
suci. Tidak beberapa lama setelah Hatim bin Ashom berangkat, lewatlah di depan
rumah mereka rombongan raja, mereka sedang mencari air minum, anak Hatim bin
Ashom yang paling kecil mengeluarkan air minum untuk raja dan rombongannya, dan
sebagai balasannya raja memberikan ikat pinggangnya yang terbuat dari emas.
Melihat raja memberikan sumbangan, para pengawalnya tidak mau ketinggalan untuk
ikut bershodaqoh, mereka juga memberikan harta yang mereka miliki. Sehingga dengan
semua pemberian itu tidak hanya cukup untuk kebutuhan mereka beberapa bulan,
bahkan dapat memenuhi kebutuhan mereka untuk beberapa tahun. Ini membuktikan
bahwa Alloh menjamin rizki hambaNya.
4. Sunyinya Jalan dari Binatang Buas dan Orang Jahat
Jika tidak ada hambatan yang
mengganggu keselamatan nyawa dan harta kita baru disitu terpenuhi syarat yang
keempat. Kosongnya jalan yang disyaratkan disini adalah amannya jalan,
sekalipun hanya merupakan sangkaan/ dugaan dia saja, tidak sampai pada
keyakinan. Jalan yang aman adalah yang layak, yang pantas dalam pelayaran/
perjalanan. Dalam pelayaran/ perjalanan suasana seperti ini aman dan layak.
Meskipun jika kita bandingkan dengan suasana di kampung kita, suasana seperti
ini tidak aman. Jadi jangan dibandingkan dengan suasana/ kondisi di lain
tempat. Masing-masing tempat suasana dan kondisinya berbeda-beda, bila suasana
seperti ini di nilai aman di suatu tempat, sedangkan bila dibandingkan dengan
di tempat lain suasana seperti ini di nilai tidak aman, jadi yang dipandang
adalah suasana yang layak di masing-masing tempat, sama saja di daratan maupun
di lautan. Umumnya suasana jalan seperti ini orang selamat dari perampokan,
pembunuhan, pelecehan sexual dan lain sebagainya, maka sudah cukup memenuhi
syarat untuk ia pergi haji. Andaikata seseorang tidak merasa aman atas
keselamatan jiwanya atau hartanya yang dia butuh untuk menyertainya bersama dia
meskipun sedikit nilainya, ataupun dia tidak merasa aman akan kehormatannya
(bagi wanita), maka belum wajib baginya untuk menunaikan ibadah haji begitupula
tidak wajib umroh. Bahkan tidak hanya tidak wajib, tetapi tidakpula di
sunnahkan. Dalam qoidah: keselamatan jiwa lebih diutamakan. Bahkan kemungkinan
bisa menjadi harom, bila kondisinya mengganggu keselamatan jiwa, harta dan
kehormatannya. Bila sangkaan lebih kuat tidak amannya di bandingkan dengan
amannya, maka harom untuk dia pergi haji pada tahun itu. Bila sangkaan aman dan
tidak amannya berimbang, maka tidak di wajibkan dan tidak disunnahkan, tetapi
bila sangkaan tidak amannya lebih besar, maka tidak hanya tidak wajib dan tidak
pula disunnahkan, bahkan bisa menjadi harom menunaikan ibadah haji/ umroh pada
tahun itu.
5. Masa yang Memungkinkan Baginya Berjalan Dengan
Waktu yang Biasa
Kriterianya dikatakan ia mampu
berjalan yaitu adanya masa/ waktu yang memungkinkan bagi dia untuk berjalan
yang wajar/ biasa. Misalkan masa untuk berjalan ke Makkah dengan berjalan kaki
biasanya ditempuh dalam waktu 2 bulan, akan tetapi karena waktunya sudah picik
sekali, maka harus ditempuh dalam waktu 1 bulan, maka tidak wajib haji baginya.
Misalkan untuk menuju Padang Arafah yang biasanya ditempuh dengan berjalan kaki
membutuhkan waktu 2 hari, tetapi karena sudah picik waktu, maka harus di tempuh
dalam waktu 1 hari untuk mengejar waktu Wuquf tanggal 9 Dzulhijah di Padang
Arafah, maka menjadi tidak wajib haji baginya. Masa yang memungkinkan dia
berjalan dengan waktu yang biasa menuju ke Makkah. Misalkan jarak tempuh antara
Jakarta menuju bandara King Abdul Aziz dengan pesawat memakan waktu 9 jam. Jika
ditempuh dalam waktu 9 jam, maka akan habis masa Wuquf di Padang Arafah, maka
untuk mengejar waktu Wuquf di Padang Arafah pesawat harus menempuh perjalanan
hanya dalam waktu 5 jam, maka hal itu juga tidak menjadi wajib haji, karena
menimbulkan resiko keselamatan kita. Ini syarat untuk wajib haji saja, yaitu
masa/waktu yang memungkinkan baginya berjalan yang biasa, tidak boleh yang luar
biasa. Adapun untuk Umroh tidak ada waktu tertentu, kapan saja bisa Umroh,
sedangkan untuk Haji tidak dapat dilakukan pada sembarang bulan. Sedangkan Haji
hanya terbatas waktu, yaitu mulai tanggal 1 Syawal sampai tanggal 10 Dzulhijah
waktu Shubuh. Jika ia sanggup
berjalan yang memungkinkan baginya menempuh perjalanan dalam waktu yang tidak
dari biasanya (lebih cepat), tetapi tetap ia tidak wajib haji. Keselamatan
nyawanya lebih utama dari pada kepentingan agama, bukan hanya tidak wajib
bahkan bisa harom. Jika sangkaannya lebih kuat akan membahayakan dirinya, maka
itu menjadi tidak wajib. Jika persyaratan hajinya sudah lengkap, tetapi
ternyata perjalanannya harus ditempuh dengan waktu yang tidak biasanya (harus
cepat) dan ia keburu meninggal pada ini
tahun, maka tidak wajib dikhodho dari harta warisan peninggalannya. Silahkan
pecah waris, tidak perlu disisihkan untuk membuat badal haji. Akan tetapi jika
semua persyaratan sudah terpenuhi dan perjalanannya pun dapat dilakukan dalam
masa/ waktu yang normal, tetapi ia keburu meninggal pada tahun ini, maka harta
warisan jangan dipecah terlebih dahulu sebelum disisihkan untuk membayar
hutang-hutangnya, menjalankan wasiatnya, membuat badal haji. Meskipun ia tidak
wajib haji karena ada halangan masa yang tidak memungkinkan baginya untuk
melakukan perjalanan ibadah haji dalam waktu yang normal, tetapi dibolehkan
pihak ahli waris mengupah orang untuk
membuat badal haji apabila ada kesepakatan dari semua ahli waris.
Membuat badal haji hukumnya sunnah, seperti juga membayarkan hutang orang. Akan
tetapi disini ada Hilaful Ulama (Perbedaan Pendapat Ulama).
6. Bagi Perempuan Harus Ada Pendamping
Untuk perempuan yang akan pergi haji
harus ada yang mendampingi yaitu suaminya atau mahromnya. Mahrom adalah orang
yang tidak dibolehkan ia menikah dengannya seperti anak lelaki, paman,
keponakan lelaki, saudara laki-lakinya, bapak ataupun kakeknya. Sudah menjadi
kebiasaan orang dalam menyebutkan orang yang tidak halal untuk dinikahi adalah
dengan sebutan muhrim, padahal itu adalah salah dalam arti bahasa, karena arti
muhrim adalah orang yang sedang ikhrom haji atau umroh. Sedangkan arti mahrom
adalah orang lelaki/ perempuan yang tidak boleh atau tidak halal bagi kita
untuk menikahinya. Jadi bagi perempuan yang ingin pergi haji harus di dampingi
oleh suaminya, akan tetapi bila suaminya berhalangan, maka dapat didampingi
oleh mahromnya. Syarat dari salah satu dari keduanya (suami atau mahromnya)
yang mendampingi perempuan untuk pergi haji adalah mempunyai rasa ghiroh (rasa
cemburu) andaikata perempuan tersebut di ganggu atau dilecehkan orang. Yang
mendampingi perempuan tersebut harus mempunyai rasa cemburu/ marah/ tidak
senang apabila perempuan yang didampingi di ganggu atau dilecehkan karena ini
merupakan suatu kehormatan yang harus dijaga. Jangan menjadi lelaki yang dayus
(tidak mempunyai rasa cemburu), apabila
istrinya jalan dengan lelaki lain, pulang malam, pergi jauh tanpa didampingi
mahromnya, tempat suami yang dayus nantinya adalah di neraka jahanam. Perempuan
yang menunaikan ibadah haji tidak boleh didampingi oleh suami atau mahrom yang
dayus. Apabila suami atau mahromnya tidak dapat mendampinginya, maka yang
mendampinginya adalah budaq lelakinya atau beberapa budaq perempuannya,
syaratnya budaqnya tersebut adalah budaq yang dapat dipercaya (minimal 2 orang
atau lebih, semakin banyak semakin bagus), agar perempuan tadi merasa aman atas
keselamatan dirinya dan kehormatannya.
Hadist
Nabi SAW. Riwayat Bukhari dan Muslim: “Tidak
dibolehkan perempuan berlayar (mengadakan perjalanan) selama 2 hari saja
kecuali ada bersama dia suaminya atau mahromnya.”
Keluar
dari hadist di atas, untuk pergi haji yang fardhu dibolehkan perempuan ditemani
oleh seorang perempuan saja, dibolehkan juga ia pergi sendiri menunaikan ibadah
haji yang fardhu bila tidak ada biaya untuk membayar orang untuk mendampingi
dia dengan catatan kondisinya aman. Andaikata ia mesti membayar orang untuk
mendampingnya, maka harus dibayarkan bila ia ada uang, tetapi bila tidak ada
uang yang cukup, maka dia boleh pergi sendiri untuk pergi haji yang fardhu
(haji yang pertama kali). Untuk haji yang ke-2 dan seterusnya tidak dibolehkan
tanpa pendamping suami atau mahromnya. Meskipun bila ada banyak perempuan yang
pergi bersamanya, tetap tidak dibolehkan bila tidak didampingi oleh suami atau
mahromnya. Demikian pula untuk semua pelayaran (perjalanan) yang tidak wajib
semacam ziaroh atau tamasya, hukumnya harom sebagaimana fatwa-fatwa dari
ulama-ulama sholihin. Jaga istri kita jangan sampai tertipu, ingin mencari
barokah ke maqom-maqom waliyullah tetapi dengan melanggar aturan syariat/agama,
bukan keberkahan yang didapat malah dosa yang didapat.
7. Dapat Duduk Nyaman di Kendaraannya
Bila misalkan dia pergi haji sendiri
dengan mengendarai onta, sehingga kedudukan posisi duduknya menjadi miring
karena tidak seimbang, akibatnya menjadi tidak nyaman ia punya posisi duduk,
maka tidak wajib haji baginya. Misalkan perjalanannya terganggu degan kondisi
cuaca, maka tidak wajib haji pula baginya. Tidak mengapa posisi duduknya tidak
nyaman, asal ketidaknyamanannya itu berdasarkan adat atau kebiasaannya dapat ia
tanggung dan diatasi, maka masih wajib baginya untuk melaksanakan ibadah haji.
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman yang
al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar