Pokok
Bahasan : FIQIH
(HAJI & UMROH)
Judul : Rukun Haji & Umroh
Nara
Sumber : Al
Ustdz. Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Rukun
Haji berdasarkan kitab ini ada 4, tetapi sebagian kitab yang lain ada yang
mengatakan rukun haji ada 6. Kitab yang menyebutkan rukun haji ada 6,
memasukkan niat kedalam rukun haji, sedangkan pada kitab ini niat tidak
dimasukkan kedalam rukun, niat hanya dijadikan wasilah/ sarana untuk syahnya
ibadah.
RUKUN HAJI
1. Ihrom Disertai Dengan Niat
Niat adalah Ihrom dan Ihrom adalah
niat. Niat yang disertai dengan Ihrom. Niat
Haji: “Nawaitul hajja wa ahromtu
bihi lillahi taala.” Sedangkan Niat Umroh: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha lillahi taala.” Ihrom masuk dalam manasik haji. Kita masuk ke
tanah Haram dalam keadaan sudah memakai pakaian ihrom. Setelah kita membersihkan diri dan memakai
wangi-wangian serta memakai pakaian Ihrom, baru kita memasuki tanah haram untuk
memulai dalam mengerjakan amal-amal haji. Untuk Umroh dapat mengambil miqot di
bandara King Abdul Aziz begitupula bila kita melaksanakan Haji Tamattu. Rukun
yang sesungguhnya adalah niat. Sebelum masuk ke tanah harom disitu kita niat: “Nawaitul umrota wa ahromtu biha lillahi
taala.” Niat adalah syarat mutlak
untuk syahnya kita punya umroh. Nanti pada saat akan melaksanakan ibadah haji
tanggal 9 Dzulhijah, di maktab dengan catatan masih berada di tanah Haram
(bukan tanah Halal), kita berniat: “Nawaitul
hajja wa ahromtu bihi lillahi taala.”
Bila kita akan bikin umroh, maka kita harus keluar dari tahan Haram (ke
tanah Halal), bisa mengambil miqot di Ja’rona, Hubaidiah, Bir’ali dll.
2. Wuquf di Padang Arofah
Wuquf di Padang Arofah adalah sentral
dari peribadatan haji. Wuquf di Padang Arofah adalah adanya/hadirnya si-muhrim
(orang yang ihrom haji) berada di lokasi Padang Arofah yang mana saja (karena
jumlah orang yang hadir jutaan), tidak perlu ditempat-tempat yang
strategis/tertentu, asalkan masih di kawasan Arofah, sekalipun dalam keadaan
tertidur, atau ia tidak tahu karena menyelamatkan diri dari kejaran musuh, atau
ia sekedar lewat disitu dan berhenti minimal sekitar 5 menit, maka sudah syah
wuqufnya. Sekalipun ia tidak tahu bahwa disitu letak Padang Arofah, masih sah
ia punya wuquf. Wuquf di Padang Arofah tidak memerlukan waktu lama, sekedar
berhenti sejenak 5 menit sebelum masuk waktu Shubuh tanggal 10 Dzulhijah kita
sudah sampai di Padang Arofah, kemudian kita diam selama 5 menit setelah masuk
waktu Shubuh, maka sudah sah kita punya wuquf. Biasanya jamaah haji Indonesia
sudah masuk ke Arofah dari tanggal 8 Dzulhijah, karena untuk menghindari
kemacetan. Tanggal 8 Dzulhijah belum ada ada aktifitas manasik haji, kita
menunggu sampai masuk waktu Dzuhur tanggal 9 Dzulhijah. Sah wukuf kita di
Padang Arofah bila kita sudah sampai di Padang Arafah sebelum masuk waktu
Shubuh tanggal 10 Dzulhijah. Mulainya waktu wuquf adalah setelah tergelincir
matahari (masuk waktu Dzuhur) tanggal 9 Dzulhijah. Misalkan setelah sekitar 5
menit kita keluar kembali ke Makkah, atau kita langsung ke Muzdalifah, maka
sudah sah ibadah haji kita. Meskipun pada Mahzab Imam Syafi’i disunnahkan tetap
berada di Padang Arafah sampai memasuki waktu malam yaitu ba’da Maghrib, . Bila
sebelum masuk waktu Maghrib (terbenam matahari) kita sudah keluar dari Padang
Arafah dan tidak kembali sebelum masuk waktu Maghrib, maka pada Mahzab Imam
Syafi’i di sunnahkan membayar dam 1 ekor kambing, untuk keluar dari
Khilaf/pendapat yang mewajibkan untuk tetap berada di Padang Arafah sampai
terbenam matahari (menghimpun antara dua waktu yaitu waktu siang dan waktu
malam), seperti pendapat dari Imam Rofi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Iman
Syafi’i selalu menghargai pandangan/ pendapat yang diistinbatkan oleh imam-imam
yang lain. Syarat sahnya ia punya wuquf untuk orang yang sebentar/singkat wuqufnya adalah ia ahli ibadah/ sah
peribadatannya, ia tidak ayan, tidak gila, tidak mabuk dan tidak hilang
akalnya, sehingga tidak memadai ia punya wuquf/ tidak sah wuqufnya. Wuquf di
Padang Arofah adalah sentral peribadatan haji. Maka Nabi pernah berkata: Dosa
yang paling besar adalah orang yang wuquf di Padang Arafah, dan dia menyangka/
menduga Alloh tidak ampuni ia punya dosa. Wuquf di Padang Arafah adalah pemutihan,
dosa besar dan kecil habis setelah wuquf di Padang Arofah. Jika orang yang
wuquf tidak sadar/ siuman (dia tetap pingsan/ ayan) dari mulai sejak wuquf
(Dzuhur tanggal 9 Dzulhijah) sampai akhir wuquf (Shubuh tanggal 10 Dzulhijah),
maka tidak sah hajinya, artinya dia tidak jadi haji, karena dia bukan ahli
ibadah/ orang yang sah untuk ibadah. Tidak jadi Haji fardhu ataupun haji
sunnah. Adapun orang yang gila, maka hajinya menjadi haji sunnah, sama seperti
hajinya anak kecil yang belum tamyis (pada saat ia sudah dewasa harus pergi
haji kembli untuk melakukan ibadah haji yang fardhu). Jika yang wuquf dalam
kondisi mabuk sampai hilang akal, maka dihukumkan sama dengan orang yang gila,
hajinya menjadi haji sunnah. Jika yang mabuk tadi tidak sampai kehilangan akalnya,
maka sah ia punya haji fardhu. Maka tidak ada tuntutan pergi haji lagi seumur
hidupnya.
Dan berlanjut terus waktu wuquf di
Padang Arafah sampai datang fajar waktu Shubuh di hari ke 10 Dzulhijah, masih
sah hajinya bila ia sampai di Padang Arafah sekitar 5 menit sebelum masuk waktu
Shubuh tanggal 10 Dzulhijah, bila ia datang berbarengan dengan adzan Shubuh
maka tidak sah ia punya haji. Dasarnya Hadist Nabi SAW.: “Siapa orang yang
datang di Padang Arafah di malam jama’ (malam berkumpulnya orang di Muzdalifah,
jam 12 malam), maka orang itu sudah mendapatkan haji.” Berarti dia sudah
mendapatkan wuquf di Padang Arafah, mendapatkan wuquf, berarti sudah sah ia
punya haji. Versi yang pertama menyatakan: Berkumpulnya orang (jama’) di
Muzdalifah. Adapun versi yang kedua menyatakan: Dijama’-nya shalat Magrib dan
Isya’ di Padang Arafah. Akan tetapi dari pengalaman 3 kali pergi haji, guru
kita Al Ustdz. Al Habib Umar Assegaf tidak pernah men-jama’ Shalat, karena
menurut pendapat beliau punya guru (Mualim Ahmad Djunaidi & Mualim Syafi’i
Hazami), bagi kita orang Indonesia yang pergi haji, tidak dihukumkan sebagai
musyafir (tetapi mukimin/orang yang menetap). Kita sudah tinggal sekian lama
disitu (sekitar 30-40 hari), jadi selama kita menjalankan ibadah haji tidak ada
shalat Qoshor jama’, karena status kita sebagai mukimin. Karena lebih dari 4
hari bukan disebut musyafir lagi. Yang disebut Musyafir adalah orang yang
tinggal di sekitar Makkah, Ryad’, Saudi, Mesir, Madinah dan lain-lain. Mereka
dapat meng-qoshor dan men-jama’ shalat karena status mereka sebagai musyafir,
seperti ada hadist Nabi yang menyatakan bahwa Nabi men-jama’ shalatnya pada
saat menunaikan ibadah haji, karena saat itu status Nabi sebagai musyafir,
karena Nabi berangkat dari Madinah. Ada Nas’ yang menyatakan, yang boleh
men-jama’ shalat di situ apabila maqomnya maqom qoshor, kita bukan maqom
qoshor, karena kita bukan musyafir lagi. Adapun orang yang mengerjakan shalat
jama’ disana, sekira-kita ia dapat melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’ pada
waktu sepertiga malam di Muzdalifah, jika tidak dapat jangan dikerjakan, lebih
baik shalat di Padang Arafah. Hadist
Riwayat Abu Daud: “Malam jama’ yaitu
malam di Muzdalifah.”
3. Thawaf di Ka’bah
Syarat/Wajib Thawaf adalah:
1. Thawaf
sebanyak 7 kali putaran, jika kurang dari 7 kali maka tidak sah thawaf kita,
tidak boleh kurang walau hanya sejengkalpun juga.
2. Hal keadaan
kita pada saat Thawaf, Ka’bah ada di posisi kiri kita. Kita berjalan kearah
depan. Disaat dia thawaf posisinya harus keluar dari tembok Ka’bah, jangan
sambil kita jalan kita memegang kelambu (penutup) Ka’bah, jika kita memegang
kelambu Ka’bah berarti sebagian badan kita ada di dalam Ka’bah. Kita harus
berada di luar sajarwan (langkan) Ka’bah. Hijir Ismail termasuk bagian dari
Ka’bah, oleh karena itu kita jangan melalui Hijir Ismail, karena bila kita
melaluinya maka sebagian badan kita berada di dalam Ka’bah. Bila sambil
berjalan kita memegang kelambu Ka’bah atau sajarwan (langkan) Ka’bah, maka
tidak sah kita punya Thawaf. Misalkan pada putaran yang ke-empat kita memegang
kelambu Ka’bah, maka sejak kita memegang kelambu itu, Thawaf kita tidak sah.
Mulai starnya Thawaf adalah di
Hajarul Aswad, saat dahulu ada garis merah yang menandakan kita mulai star
disitu, tapi saat ini sudah diganti dengan lampu hijau. Pada saat kita mulai
melangkah, badan kita harus sejajar dengan Hajarul Aswad. Tidak boleh separuh
badan kita melebihi Hajarul Aswad, bila melebihi maka tidak sah. Misalkan
badannya yang sebelah kiri sejajar dengan Hajarul Aswad, tapi badannya yang
kanan melebihi dari Hajarul Aswad, maka tidak sah. Mungkin putaran pertama Thawaf
kita tidak sah, untuk selanjutnya baru sah.
3. Andaikata ia
mulai melangkah Thawaf setelah Hajarul Aswad, maka untuk putaran Thawaf tersebut tidak dihitung. Setelah ia
menyelesaikan putaran Thawaf awalnya yang tidak sah tersebut dan posisi
badannya sudah sejajar kembali dengan Hajarul Aswad (lampu hijau), maka dia
mulai hitungan pertama Thawafnya, yang putaran awal tadi tidak dihitung, karena
dia mulai melangkah Thawafnya setelah Hajarul Aswad. Imam Rubini ditanya apa hikmahnya Alloh menurunkan Ka’bah sebanyak
120 Rahmat, dari 120 dibagi-bagi, untuk orang yang Thawaf mendapatkan 60
Rahmat, untuk orang yang Shalat disitu mendapatkan 40 Rahmat, dan yang
memandang Ka’bah mendapatkan 20 Rahmat. Apa hikmahnya? Imam Rubini menjawab:
Orang yang Thawaf menghimpun 3 kerjaan, yaitu Thawaf, Shalat dan Memandang
Ka’bah, maka bagi mereka mendapatkan 60 bagian Rahmat. Sedangkan orang yang
Shalat saja, maka luput/ tidak mendapatkan Thawaf, ia hanya mendapatkan kerjaan
Shalat dan memandang Ka’bah saja, maka Alloh berikan bagian 40 Rahmat.
Sedangkan bagi orang yang hanya memandang saja, maka luput darinya dua kerjaan,
yaitu Thawaf dan Shalat, maka untuk mereka hanya mendapatkan 20 Rahmat saja.
4. Sa’ii Antara Sofa dan Marwah
Sa’ii termasuk rukun haji yang tidak
dapat di tambal/diganti dengan dam, jadi harus dikerjakan. Syarat atau wajib
dari Sa’ii, yaitu:
1. Sa’ii
dikerjakan sebanyak 7 kali. Syarat sahnya sa’ii adalah pertama kali mulai Sa’ii
dari Sofa dan di sudahi di Marwah. Dan dihitung perginya dia dari Sofa menuju
Marwah dihitung 1 kali, dan kembalinya dia dari Marwah menuju Sofa dihitung 1
kali lagi.
2. Syarat sahnya
sa’ii yang kedua adalah dikerjakannya setelah Thawaf Rukun yaitu Thawaf Ifadoh,
Thawaf yang syarat dikerjakan setelah kita wukuf di Padang Arafah. Jangan kita
setelah Wukuf di Padang Arafah, kita langsung Sa’ii padahal kita belum
mengerjakan Thawaf Ifadoh. Dikerjakannya wajib tertib/berurutan. Atau tidak
setelah Thawaf rukun/ Thawaf Ifadoh tetapi setelah Thawaf Quduum. Misalnya kita mengerjakan Haji Ifrood,
saat kita masuk ke Makkah, setelah niat Haji, kita langsung Thawaf, itu yang
disebut Thawaf Quduum. Setiap orang
yang masuk ke Makkah di anjurkan mengerjakan Thawaf, itu yang disebut Thawaf
Quduum. Pada umumnya jama’ah haji Indonesia melaksanakan haji Tamattu, masuk ke
Makkah Umroh dulu. Kita Thawaf – Sa’ii – Tahalul (Bercukur) selesai, setelah
itu kita boleh bercampur dengan istri, boleh memakai pakaian yang berjahit,
boleh memakai minyak wangi, dan semua kerjaan yang semula diharamkan saat kita
memakai pakaian ihrom, hal ini karena kita sudah tahalul. Arti Tamattu adalah
bersenang-bersenang, maka akibatnya kita kena dam. Orang yang membuat Haji Tamattu
kena dam 1 ekor kambing. Orang yang mengerjakan Haji Ifrood tidak kena dam, dia
terus mengalami kesulitan, sekian lama mengerjakan Ibadah Haji (sebulan lebih)
dia terus memakai pakaian ihrom, tidak boleh bercampur dengan istri, tidak
boleh memakai pakaian berjahit (semacam celana dalam), tidak boleh memakai
minyak wangi. Sejak dia datang sampai nanti dia selesai Tahalul dia terus
memakai pakaian ihrom. Misalkan dia datang pada gelombang pertama dengan niat
Haji, tetapi belum ada realisasi ibadah haji saat itu, karena central ibdaha
haji adalah tanggal 9 Dzulhijah ba’da jawal, berarti dia harus menunggu sekian
lama, dengan terus memakai pakaian ihrom kemana-mana, makanya dia tidak terkena
dam. Karena kesulitan yang dihadapinya tersebut, maka haji Ifrood pahala lebih
besar, paling utama dan lebih afdol.
Jadi tidak mesti mengerjakan Sa’ii
setelah Thawaf Ifadoh (Thawaf rukun), tapi dapat mengerjakan Sa’ii setelah Thawaf
Quduum. Bagi yang mengerjakan Haji Ifrood, setelah ia Thawaf Qudum, maka dia
mengerjakan Sa’ii dan Sa’ii –nya itu sah. Maka nanti setelah dia Wukuf di
Padang Arafah, dan dia mengerjakan Thawaf Rukun (Thawaf Ifadoh) maka dia tidak
mesti/ tidak harus mengerjakan Sa’ii lagi, karena Sa’ii yang dia kerjakan
setelah Thawaf Quduum sudah sah, bila ia mengerjakan Sa’ii lagi, maka hukumnya
makruh.
Syarat sahnya Sa’ii kita setelah Thawaf
Quduum, adalah jangan diselingi
antara Thawaf Qudum dan Sa’ii kita dengan Wukuf, karena syarat sahnya Sa’ii
adalah setelah thawaf, baik Thawaf Ifadoh ataupun Thawaf Quduum. Jadi syarat sahnya Sa’ii harus
tertib, setelah Thawaf kita langsung Sa’ii tidak boleh diselingi dengan Wukuf
di Padang Arafah. Bila setelah kita Thawaf Quduum kemudian kita Wukuf baru kemudian kita Sa’ii, maka Sa’ii-nya ini
tidak sah, karena diselingi dengan Wukuf di Padang Arafah.
Sofa adalah ujung dari Jabal Abi
Qubais. Disebut Jabal Abi Qubais, karena dari tu tempat Nabi Adam AS. mengambil
api. Sedangkan dinamakan Marwah adalah karena di itu tempat banyak mengandung
batu-batu yang putih dan mengkilap, apabila digosok-gosok maka keluarlah api.
Jarak antara Sofa dengan Marwah adalah 777 ziro (+400m).
5. Tahalul (Menghilangkan Rambut Kepala)
Sarana untuk tahalul yaitu harus
menghilangkan rambut kepala (bukan rambut jengot, kumis ataupun rambut ketiak),
selama belum gunting rambut berarti kita belum tahalul. Caranya dengan mencukur
habis atau memotong/mengunting rambut menjadi pendek, minimal 3 helai rambut.
Bila rambut panjang 1 helai digunting sebanyak 3 kali yang itu-itu juga, maka
itu bukan termasuk 3 helai rambut, tetapi tetap dihitung 1 helai rambut.
Laki-laki boleh dia cukur habis ataupun memotong pendek, tetapi sunnahnya/
afdolnya mencukur habis. Ada Hadist Nabi yang menyatakan: “Wahai Tuhanku berikan Rahmat kepada orang-orang yang mencukur habis
rambutnya di saat menunaikan manasik haji atau umroh, (Nabi mendoakan sebanyak
3 kali), kemudian doa yang keempat dan yang memotong rambutnya.” Jadi yang mencukur habis didoakan sebanyak 3
kali dan yang hanya memotong (tidak mencukur habis) hanya didoakan 1 kali oleh
Nabi. Menghilangkan rambutnya dengan cara: digunting, dicabut, dibakar, atau
dengan cara apa saja yang penting menghilangkan minimal 3 helai rambut dari
kepalanya. Sedangkan untuk perempuan hanya memotong minimal 3 helai, tidak
perlu mencukur habis, karena rambut adalah mahkota bagi perempuan. Karena ada
hadist Nabi Riwayat Abu Daud: “Tidak wajib atas perempuan mencukur rambut habis
yang wajib adalah memotong rambutnya minimal 3 helai rambut.”
Ada 2 pendapat ulama mengenai
Tahalul, yaitu:
a. Tahalul
termasuk rukun haji menurut Qaul Rojih/Mashur/Mu’tamat
Menurut qoul yang Mu’tamat adalah:
memasukkan tiap satu atau keduanya yaitu mencukur atau memotong rambut bagi
laki-laki ataupun memotong rambut bagi perempuan kedalam ibadah, atau bagian
yang tidak terpisahkan dari ibadah haji. Bila termasuk rukun/ ibadah, maka bila
kita kerjakan mendapat pahala.
b. Tahalul tidak
termasuk rukun haji menurut Qaul Marjuh/Do’if
Menurut qoul yang Do’if adalah: tidak memasukkan tiap satu atau
keduanya yaitu mencukur atau memotong rambut bagi laki-laki ataupun memotong
rambut bagi perempuan kedalam ibadah atau rukun haji, tetapi hanya sebagai
sarana untuk membolehkan sesuatu yang semula dilarang (semacam memakai pakaian
yang berjahit, memakai minyak wangi ataupun bercampur dengan istri dll.). Bila
kita ikuti pendapat qoul ini, maka sah ibadah haji kita bila kita tidak
bercukur atau memotong rambut, karena menurut qoul ini mencukur atau memotong
rambut bukan termasuk rukun. Akan tetapi qoul yang Marjuh/ Do’if tidak boleh di
fatwakan, dalam forum-forum yang ilmiah (semacam menuntut ilmu) boleh dibahas,
tetapi ingat jangan difatwakan. Karena bagi orang yang sedang ihrom maka banyak
yang diharamkan atasnya, maka dibolehkan atas dia dengan sebab bercukur atau
memotong rambut, maka tidak ada pahalanya jika menurut pendapat qoul ini,
karena hanya sebagai sarana untuk membolehkan yang tadinya haram dilakukan saat
sedang ihrom. Karena bukan termasuk rukun/ibadah, maka bercukur ataupun
memotong rambut tidak ada pahalanya bila menurut qoul ini.
Tetapi hendaknya pendapat yang
pertama (yang memasukkan Tahalul kedalam rukun haji) yang kita pakai, karena
itu merupakan pendapat yang mu’tamat.
6. Tertib
Mentertibkan sebagian besar rukun
haji, tetapi tidak semua rukun haji mesti tertib, ada rukun haji yang tidak
mesti tertib. Maka wajiblah mendahulukan ikhrom( niat haji) atas rukun-rukun
haji yang lainnya. Tanpa mendahulukan niat haji (ikhrom), maka hajinya tidak
sah. Niat harus berbarengan dengan awal kerjaan. Biasanya jamaah haji Indonesia
melaksanakan Haji Tamattu, jadi pada saat datang ke Makkah, mereka niat Ikhrom
Umroh terlebih dahulu: “Nawaitul umrota
wa ahromtu biha lillahi taala.”. Nanti saat tanggal 8 Dzulhijah sebelum
mereka berangkat ke Padang Arafah, mereka niat haji di maktabnya masing-masing
dengan niat haji: “Nawaitul hajja wa
ahromtu bihi lillahi taala.” Niat hajinya sebelum dia keluar dari tanah
harom, bukan berada di tanah halal. Lain halnya bila mengerjakan umroh-umroh
sunnah, maka niatnya harus di tanah halal, artinya bila ia berada di Makkah,
maka dia harus keluar dulu ke tanah halal, dia dapat mengambil miqot di
Ja’rona, Hubaidiah, Bir’ali dll.
Rukun haji selanjutnya setelah ikhrom
haji (niat haji) adalah Wuquf di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah ba’da
Jawal (tergelincirnya matahari), disitulah baru dimulainya peribadatan haji.
Tidak boleh Thawaf Rukun (Thawaf Ifadoh) mendahului Wuquf di Padang Arafah. Dan
selanjutnya mendahulukan Thawaf Ifadoh atas Sa’ii.
Jadi mesti tertib, tidak boleh
mendahulukan Sa’ii atas Thawaf, tidak boleh mendahulukan Thawaf Ifadoh atas
Wukuf. Urutannya: Wuquf - Thawaf Ifadoh – Sa’ii. Bila ia
melakukan Sa’ii setelah Thawaf Quduum, maka setelah Wuquf, dia tidak perlu/
tidak harus Sa’ii lagi. Karena Sa’ii yang dilakukannya setelah Thawaf Quduum
telah memadai/ sah. Bila nanti setelah Wuquf di Padang Arafah, kemudian dia Thawaf
Ifadoh, dia tidak perlu Sa’ii lagi. Bila dia mengerjakan Sa’ii lagi boleh-boleh
saja, sah-sah saja, tetapi hukumnya makruh.
Sebelumnya telah disebutkan harus tertib, tidak boleh
mendahulukan Thawaf atas Wuquf dan tidak boleh Sa’ii sebelum Wuquf, tetapi
ternyata ada sebelum Wuquf di Padang Arafah dia telah Sa’ii, hal ini boleh
dikerjakan karena dia mengerjakan Sa’ii-nya setelah Thawaf Quduum.
Tidak mesti/ wajib tertib antara
memotong/ menggunting rambut dengan Thawaf, boleh menggunting/ memotong rambut
terlebih dahulu baru kemudian Thawaf, boleh juga Thawaf terlebih dahulu baru
mengunting/ memotong rambut. Bila mengerjakan sistematisasi haji yang sekarang
berjalan, maka urutan kerjaannya adalah: Wuquf
di Padang Arafah – Bermalam di Muzdalifah – Melepar Jamrotul Aqobah di Minna –
Mengunting/ memotong rambut. Jadi mendahulukan menggunting rambut dari pada
Thawaf Rukun (Thawaf Ifadoh). Padahal ini termasuk ada Hilaful Ulama disini,
tetapi masih dibolehkan.
Akan tetapi bila setelah kita
bermalam di Muzdalifah kita tidak boleh masuk ke Mina karena misalkan Mina
sudah penuh, maka kita boleh langsung ke Makkah untuk Thawaf Ifadoh (Thawaf
Rukun) baru kemudian kita bercukur/ memotong rambut. Jadi mendahulukan Thawaf
Ifadoh dari pada bercukur/ menggunting rambut. Urutan kerjaannya: Wuquf di Padang Arafah – Bermalam di
Muzdalifah – Thawaf Ifadoh di Ka’bah – Mengunting/ memotong rambut.
RUKUN UMROH
Rukun
Umroh pada sebagian salinan kitab ada 3, dan pada sebagian salian kitab yang
lain ada 4. Yang menyebutkan Rukun Umroh ada 4, maka mereka memasukan memotong/
mengunting rambut sebagai Rukun Umroh. Bila yang menyebutkan Rukun Umroh hanya
3, mereka tidak memasukan memotong/ menggunting rambut sebagai Rukun Umroh,
karena mereka hanya beranggapan bahwa tahalul itu hanya sebagai sarana untuk
membolehkan sesuatu yang semula dilarang menjadi boleh (semacam memakai pakaian
yang berjahit, memakai minyak wangi, gunting kuku ataupun bercampur dengan
istri dll.).
Rukun
Umroh, yaitu:
1. Ikhrom (Niat
Umroh): “Nawaitul umrota wa ahromtu biha
lillahi taala.”
2. Thawaf di
Ka’bah
3. Sa’ii antara
Sofa dengan Marwah sebanyak 7 kali.
4. Tahalul
(Bercukur/ memotong rambut).
Pada salah satu dari dua pendapat
Fuqoha (ahli fiqih), menurut Qoul yang Rojih/ Mu’tamat, bercukur/ memotong
rambut adalah termasuk rukun. Sedangkan yang mengatakan bercukur/ menggunting
rambut bukan rukun, maka itu adalah Qoul yang Marjuh (Do’if). Qoul yang Do’if tidak
boleh difatwakan, tetapi di Maqom yang ilmiah semacam majlis ta’lim boleh di
bahas.
Mengapa bercukur/ memotong rambut di
masukan ke dalam rukun dan menjadi Qoul yang Rojih? Qoul yang kuat, qoul yang
mu’tamat, qoul yang patut untuk di fatwakan. Karena terhentinya/ tergantungnya
tahalul itu atas halaq (bercukur/ memotong rambut), sebelum ada halaq, maka
belum ada tahalul, mungikin baru tahalul awal, belum tahalul tsani, sebelum ada
tahalul tsani belum halal semuanya, masih tergantung. Jika seseorang sudah Wuquf di Padang Arafah,
sudah Thawaf di Ka’bah dan ia sudah Sa’ii, maka itu baru Tahalul Awal, belum
Tahalul Tsani. Tahalul Tsani apabila ia sudah halaq (bercukur/memotong rambut).
Jika sudah Tahalul Awal, maka dia boleh memakai pakaian berjahit, boleh memakai
minyak wangi, boleh menggunting kuku, tetapi ia belum boleh bercampur dengan
istri, karena belum Tahalul Tsani, yaitu mengunting/ mencukur rambut. Jadi
selama kita belum bercukur (halaq), maka selama itu pula kita belum bisa
bercampur dengan istri. Andaikata kita tinggalkan bercukur, maka tidak ada
kewajiban di tambal dengan dam, akan tetapi resikonya kita tidak dibolehkan
bercampur dengan istri. Maka lebih baik membayar dam daripada tidak dibolehkan
bercampur dengan istri. Lain halnya dengan wajib haji, bila ditinggalkan maka
mesti ditambal dengan dam, misalkan meninggalkan mabit di Muzdalifah, maka
harus bayar dam.
Jika kita tidak mengikuti qoul yang
Rojih/ qoul yang mu’tamat, dengan jalan kita mengikuti qoul yang marjuh
(menganggap tahalul hanya sebagai sarana untuk membolehkan yang semuala
dilarang), maka tidaklah terbilang menghilangkan/ bercukur rambut ini adalah
bagian dari rukun umroh.
5. Tertib
Semua Rukun Umroh mesti/ harus
tertib, tidak boleh ada yang didahulukan. Urutannya yaitu: Ikhrom (niat Umroh) – Thawaf di Ka’bah – Sa’ii dari Sofa ke Marwah –
Tahalul (Memotong/ bercukur rambut).
CATATAN:
Ini saja yang dapat al-faqir rangkum
dari isi penjelasan ta’lim yang begitu luas yang disampaikan oleh Al Ustdz. Al
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat dan
menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.
Kebenaran
Mutlaq milik Alloh dan Segala Kekhilafan adalah dari pribadi Al-faqir sendiri.
Segala kelebihan dan kekurangan yang Al-faqir sampaikan dalam ringkasan ini
mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.
Karena
keterbatasan ilmu yang Al-faqir miliki, maka Al-faqir tidak membuka forum Tanya
Jawab dalam Blog ini.
Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya al-faqir haturkan kepada Syaidil Walid Al
Ustdz Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf yang telah memberikan izin kepada
al-faqir untuk dapat menyebarluaskan isi ta’lim di Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY, dan tal lupa ucapan terima
kasih al-faqir sampaikan untuk H. Aun Mustofa yang telah mengizinkan al-faqir
untuk menggunakan fasilitas kantor untuk membuat ringkasan ta’lim ini.
Afwan
Al-faqir tidak mencantumkan nama kitab dan pengarang dalam setiap rangkuman
yang al-faqir kirimkan, karena ada permintaan dari Al Ustdz untuk tidak
mencantumkannya. Karena disamping mengunakan kitab utama, beliau juga
mengunakan kitab-kitab lain sebagai referensi untuk memperjelas dalam
menerangkan permasalahan yang ada dalam kitab utama yang dibaca, harap dapat di
maklum, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Diterbitkan
dalam rangka mengajak untuk menghadiri Majlis
Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY. Kritik & Saran dapat disampaikan melalui
E-mail: hsn_5805@yahoo.co.id
Ingin
mendapatkan kiriman ringkasan ta’lim secara rutin silahkan gabung di Facebook
Group Majlis Ta’lim AL KIFAHI AL TSAQAFY:
http://www.facebook.com/groups/alkifahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar